Dalam Hening, Seorang Pemimpin Dilahirkan
“Yang tulus tak selalu terang-terangan, tapi ia tak pernah lepas dari ketulusan.”
“Keberanian paling sunyi adalah menolak yang tak pantas ketika tak ada yang melihat.”
“Pemimpin lahir bukan dari gelar, melainkan dari luka yang ia pertanggungjawabkan.”
.
Langit Jakarta menghitam saat Yuda berdiri di balik jendela kantor lantai dua puluh. Jalan Sudirman tersusun garis merah dari lampu rem, hujan gerimis menepuk-nepuk kaca seperti jemari kecil menanyakan kabar. Di meja, undangan gala dinner berwarna hitam-emas terbuka separuh, menunggu tanda tangan kehadiran. Di telepon, notifikasi ucapan selamat menggunung: “Congrats Dirut termuda!” “Bangga sama lo!” “Malam ini kita toast di SCBD, ya.”
Yuda menutup semua. Ia menekan tombol “Do Not Disturb.” Hanya dirinya, bayangan pada kaca, dan raut yang tak sepenuhnya percaya pada kabar baik.
“Pemimpin itu bukan gelar. Ia adalah laku.”
Kata-kata itu datang bersama kenangan pada suara Pak Kresna—mantan atasannya, mentor yang wafat tiga bulan lalu karena serangan jantung. Kemeja lusuh, tawa kecil yang selalu tertahan, dan cara beliau menatap orang seperti menatap peta: mencari jalur paling manusiawi untuk ditempuh.
Ruang sunyi mengembang. Di lantai dua puluh, suara kota terdengar seperti dengung jauh dari sarang lebah. Yuda meraba saku jasnya. Ada buku catatan bersampul kain abu-abu—warisan terakhir dari Pak Kresna. Di halaman pertama, tulisan tangan yang miring kecil menempel:
Jangan menjadi orang besar yang takut terlihat kecil. Jadilah manusia biasa yang keberadaannya membesarkan orang lain.
Yuda menutup buku. Hujan makin takzim. Malam memantulkan lampu kota dan ambisi manusia. Dan di titik itu, ia merasa sendirian, sepi yang tidak terucapkan.
.
Tiga tahun lalu, Yuda hanya manajer muda yang keras kepala. Ia menghafal metrik, menguasai presentasi, memperhitungkan jam demi jam seperti pedagang yang lupa menatap wajah pembeli. Dalam rapat, ia cepat memotong pendapat, mengoreksi tanpa menimbang hati. Target tercapai, timnya retak.
Suatu siang, setelah rapat yang memanas, nama Yuda dipanggil ke ruang kerja. Pak Kresna menunggu, duduk di ujung meja panjang yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya.
“Kau cerdas,” katanya tanpa basa-basi. “Tapi kecerdasan yang tak menyisakan tempat bagi orang lain akan jadi pisau yang menghadap ke dalam. Ingin memimpin? Belajarlah mendengarkan. Panjang telinga sebelum panjang jabatan.”
Yuda ingin membantah. Mulutnya sempat terbuka. Tapi ada sesuatu pada mata tua itu—bukan ancaman, melainkan harap—yang membuatnya diam. Esoknya, ia mencoba duduk di kubikel staf operasional. Ia ikut naik KRL, berdiri terhimpit bau hujan dan parfum murah, membiarkan dirinya menghapal ritme kota: pengamen suara parau, ibu-ibu memeluk tas belanja, anak muda menatap layar yang tak kunjung kosong. Siang hari ia makan pecel lele di bawah jembatan, malam hari ia menahan diri untuk tidak memberi instruksi, melainkan bertanya.
“Menurutmu, kenapa modul autentikasi kita sering timeout?”
“Mas, kabel FO di gardu sebelah sini kerap digigit tikus. Vendor bilang sudah diganti, tapi….”
“Mas Yud, user kita bukan robot. Login dua langkah itu penting, tapi jangan bikin mereka merasa diawasi.”
Yuda mencatat. Bukan sekadar masalah teknis. Ini tentang rasa percaya. Tentang kota yang terlalu cepat sehingga manusia berjalan serupa notifikasi: muncul, menghilang, menunggu diabaikan.
.
Di apartemen kecilnya di Senopati, malam-malam Yuda menjadi kamp ungkap batin. Ia menyalakan lampu kuning temaram, menyeduh kopi hitam, membuka buku catatan abu-abu. Ia membaca lagi catatan Pak Kresna, kali ini halaman yang dilipat di sudut bawah:
Pemimpin tak menuntaskan semua hal. Ia menuntaskan kegetiran pada hati sendiri, agar tak menetes ke orang-orang yang dipimpinnya.
Yuda mengingat ibunya di Kampung Suci, rumah kayu dengan halaman tanah yang basah setiap pagi oleh sisa embun. Ibunya membuat serabi setiap subuh, memberinya makan waktu kecil ketika ayah sudah lama absen dari cerita keluarga. Ibunya terbiasa kalimat sederhana: “Rezeki itu bukan soal banyak, Nak, tapi soal restu. Kalau jadi besar, jangan jadikan orang lain kecil.”
Restu—kata yang gampang diucap, berat ditunaikan di kota yang memuja posisi.
Dan ketika pengangkatan resmi sebagai Direktur Utama diumumkan, restu diuji.
.
Godaan datang rapi, aromanya wangi, kertasnya bertekstur.
“Mobil dinas yang proper, Pak. Standar Dirut.”
“Apartemen transisi di Kuningan, bisa dipakai keluarga nanti.”
“Tiket konferensi ke Eropa, semua akses VIP. Sekalian ada ‘pertemuan bermanfaat’.”
Orang-orang tersenyum seperti pelayan yang sigap. Salah satu pejabat kementerian menepuk bahu, napasnya menguarkan kopi dan rahasia: “Santai saja. Di atas, begini alurnya. Tanda tangan ini tak ada di berita.”
Yuda menatap kertas itu. Di kepalanya, ibunya sedang menutup wajan serabi, uap panas memeluk wajahnya. Di lembar ingatan, Pak Kresna mengajarinya menggambar peta resiko pakai bolpoin, bukan software presentasi.
“Terima kasih,” kata Yuda, suaranya sopan tapi tidak menyisakan celah. “Saya pakai mobil pribadi. Apartemen, tidak usah. Perjalanan, nanti saya klasifikasikan berdasarkan kebutuhan program dan transparan biayanya.”
Sejenak, ruangan menjadi lebih dingin daripada AC-nya. Seseorang tertawa kecil, menertawakan kejujuran seperti menertawakan sepatu yang tak bermerek. “Idealismemu manis, Mas. Nanti juga paham.”
Yuda tersenyum. Senyumnya bukan perisai, melainkan tanda bahwa ia akrab dengan sunyi.
.
Di kantor, keputusan-keputusan Yuda tampak tidak efektif bagi mereka yang hanya memandang angka. Ia membatasi lembur, mengganti sistem absensi dengan penilaian berbasis trust dan output, memindahkan sebagian tim ke co-working space yang lebih dekat dengan jalur MRT, memesan menu katering paling sederhana tapi bergizi.
Umar, kepala unit infrastruktur yang rambutnya selalu berantakan, semula sinis. “Ini Jakarta, Bos. Trust itu lux. Orang di sini cerdas mengakali.”
“Kalau kita tak memulai dari percaya,” jawab Yuda, “kita tinggal menunggu giliran saling menuduh.”
Madi, data scientist paling brilian di lantai itu, menatap Yuda dari balik kacamata bulat. “Saya ikut, tapi saya mau kebebasan riset. Target boleh, tapi jangan bunuh kreativitas saya dengan rapat harian yang cuma menghitung napas.”
“Kita batasi rapat. Hanya yang perlu. Selebihnya, kamu bertanggung jawab pada dirimu sendiri dan tim kecilmu. Sepakat?”
Madi mengangguk. “Sepakat.”
Di ujung ruangan, Zubaedah—dipanggil semua orang sebagai Zuba—yang memimpin tim keamanan siber, membawa kabar buruk suatu pagi. “Ada akses vendor lama yang belum dicabut. Ada trafik ganjil. Bisa jadi kebocoran.”
“Matikan publik endpoint itu sementara,” kata Yuda. “Beritahu pengguna, jelaskan jujur tanpa menyiram rasa panik. Lalu, kamu butuh apa?”
“Dua hal. Waktu dan dukungan. Dan kamu jangan marah di depan orang.”
Yuda menahan senyum. “Kamu minta hal paling sulit.”
Sore itu, ia sempat bicara terlalu keras pada salah satu staf IT. Emosi lama—kecewa pada dirinya sendiri—mencari kambing hitam. Di musholla kecil belakang kantor, ia duduk menatap sajadah yang warnanya memudar. Hatinya berdesir oleh malu.
Ia kembali ke ruangan. Ia menarik kursi, bukan di sisi pimpinan, tapi di sisi staf yang tadi ditegurnya. “Maaf,” katanya pelan. “Tadi saya bicara tanpa mendengar. Ceritakan, supaya saya paham.”
Staf itu menjelaskan: vendor lama lupa mencabut akses, timeline transisi bergeser, beban kerja menumpuk. Kesalahan bukan tunggal.
“Terima kasih sudah jujur,” ucap Yuda.
Dalam jurnal, malam itu, ia menulis: Pemimpin yang baik bukan yang tak pernah marah, tapi yang tahu kapan harus merangkul setelah marah usai.
.
Rapat-rapat dengan regulator berubah menjadi ruang timbang kata. Ada yang menyindir keputusan Yuda menolak fasilitas. Ada yang menitipkan pesan “tak perlu transparan-transparan amat”.
Di satu pertemuan, seorang pria dengan jam tangan mahal berkata, “Anda terlalu jernih untuk air yang keruh, Mas. Hati-hati tenggelam.”
Yuda menjawab, “Air jernih harus mengalir supaya tidak jadi rawa. Kalau suatu saat pun saya tenggelam, semoga karena memilih jernih, bukan keruh.”
Umar dan Madi tertawa kecil setelah keluar ruangan. “Ngeri, Bos. Kalimat begitu bikin banyak orang batuk,” kata Umar.
Zuba menambahkan, “Kalau suatu hari kita diserang lagi—bukan oleh hacker, tapi oleh jaringan—izinkan saya berdiri paling depan.”
“Kita berdiri berdampingan,” kata Yuda.
.
Reuni SMA digelar di hotel megah di Senayan. Lampu gantung besar memantulkan wajah-wajah yang lebih matang, atau lebih letih, atau lebih baik dalam menyembunyikan letih. Percakapan berkisar pada jabatan, gaji, saham, sekolah anak di luar negeri.
Saat giliran Yuda bicara, seseorang bertepuk tangan. “Ini Dirut termuda kita! Tips sukses dong!”
Yuda mengangkat mikrofon. “Aku tak tahu soal sukses. Aku sedang belajar jadi manusia yang tak kehilangan dirinya ketika duduk di kursi tinggi.”
Ada tawa kecil. “Sok bijak.”
Yuda tersenyum dan menunduk. Ia tidak membalas. Ia memeluk kata-kata itu dan membiarkannya lewat seperti angin di balkon yang terlalu mahal.
Di parkiran, ia duduk sebentar, menatap setetes air yang jatuh dari kap mesin ke aspal. Ia membuka ponsel, menulis catatan:
Yang kuat bukan yang tak jatuh. Yang kuat adalah yang tetap berdiri dengan hati utuh setelah dihina.
.
Program transformasi digital yang dipimpinnya mulai menunjukkan hasil. Bukan spektakuler dalam satu malam, tapi konsisten. Aplikasi yang sebelumnya berbelit menjadi ringkas. Proses layanan yang dulu menguji kesabaran menjadi sederhana. Angka-angka yang biasanya dipoles kini diceritakan apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan rencana mengatasinya.
Media mulai menulis. Ada judul-judul yang memuja, ada yang mencurigai. “Dirut Asketis Menolak Fasilitas.” “Transparansi atau Pencitraan?” “Anak Muda Berani Tolak Kenyamanan.”
Yuda membaca sambil menyeduh teh. Ia tahu, pujian dan sinisme berasal dari sumur yang sama: orang ingin percaya, tapi takut dikhianati. Ia tidak berhak memaksa mereka percaya. Ia hanya bisa konsisten.
Di internal, perubahan paling nyata adalah wajah-wajah yang lebih lega. Orang-orang tersenyum tanpa menoleh. Satpam menyapa tanpa ketakutan salah menyapa jabatan. OB berani meminta cuti untuk mengantar anaknya ujian. Programmer yang dulu gemetar saat presentasi kini mengusulkan arsitektur baru dengan suara yang bulat.
Suatu pagi, Yuda datang lebih awal. Ia mendapati Umar tertidur di kursinya, kopi dingin di samping laptop, jendela menampilkan residu malam. Di papan tulis, ada sketsa jaringan yang rumit. Yuda mengambil selimut tipis dari ruangan sebelah, melepas jasnya, menyampirkannya ke tubuh Umar.
Umar terbangun setengah sadar. “Bos?”
“Lanjutkan tidur lima belas menit. Lalu mandi. Lalu sarapan. Lalu kita rapikan sketsa ini.”
Umar mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Nggak semua bos tahu cara memimpin orang yang lupa memimpin dirinya sendiri.”
.
Kabar lain datang tanpa mengetuk. Ayah Yuda, yang menghilang bertahun-tahun, terdengar sakit di kampung. Ibunya menelpon dengan suara datar, suara orang yang terbiasa menyimpan gemuruh di balik pintu. “Kalau mau menjenguk, datanglah. Kalau tidak, tak apa. Ibuk tidak menuntut.”
Yuda memutar kunci mobil, melaju ke tol. Perjalanan terasa seperti menyeberang masa kanak-kanak yang ia kubur. Di rumah kayu itu, ayahnya terbaring kurus, aroma balsem lebih kuat dari penyesalan.
“Maaf,” kata lelaki itu, suara parau, “Ayah baru paham bahwa kabar baik bisa datang dari anak yang ditinggal.”
Yuda duduk. Ia ukur jarak, menilai luka, lalu memutuskan: memaafkan bukan hadiah untuk orang lain, melainkan cara menutup luka agar tidak menular.
“Ayah,” katanya perlahan, “Selebihnya kita serahkan pada waktu. Saya minta restu untuk pekerjaan saya.”
Ayahnya menatap, mata tua yang pudar mencari titik terang. “Restu,” katanya seperti orang menggambar garis lurus untuk pertama kali. “Restu.”
Malam itu, Yuda memijit kaki ibunya. “Bu, Yuda belum jadi orang besar. Tapi semoga Yuda bisa jadi anak yang benar.”
Ibunya tertawa kecil, menepuk punggung tangannya. “Orang benar tak butuh panggung. Ia butuh rumah di hati sendiri.”
.
Penghargaan datang: institusi digital paling beretika. Undangan ke istana: Presiden akan menyerahkan piagam. Timnya bersorak di grup chat; stiker-stiker lucu menari di layar.
Hari penyerahan, Yuda berdiri di barisan. Lampu kamera seperti hujan tanpa suara. Ia menerima piagam, menunduk, mengucap terima kasih. Malamnya, ia tidak membawa pulang penghargaan itu. Ia menitipkan piagam di pos satpam.
“Dititipkan?” tanya penjaga yang kaget.
“Untuk kalian,” jawab Yuda. “Kalian yang membuka pintu setiap pagi, menutupnya paling akhir. Kalian memastikan yang masuk dan keluar selalu mengingat bahwa tempat ini milik publik, bukan milik jabatan.”
Berita kecil di pojok media menulis tentang itu. Ada yang menyebutnya gimmick. Ada yang diam-diam menangis di toilet setelah membacanya. Ada pula yang menutup layar, lalu menelepon ibunya.
.
Malam hujan berikutnya, Yuda berjalan di jembatan penyeberangan. Kota berkilap seperti ikan raksasa yang punggungnya tergosok lampu neon. Di bawah, MRT meluncur seperti kalimat yang yakin ke tujuan.
Telepon berdering. Zuba. “Mas, kita deteksi percobaan pembocoran data dengan pola baru. Saya butuh keputusan cepat.”
“Ambil opsi paling jujur,” jawab Yuda. “Kita beri tahu publik dan pemangku kepentingan. Kalau kita rugi di citra, biarlah. Kita simpan untung di hati.”
“Kamu sadar ini bisa jadi bumerang?”
“Bumerang pun kalau kita hadapi dengan kepala tegak, suatu saat kembali membawa pelajaran.”
Zuba tertawa pelan, lebih seperti menghela napas. “Oke. Bersiap untuk malam panjang.”
“Kita sudah terbiasa.”
Malam itu, ia menulis lagi: Keaslian bukan kepahlawanan. Ia akal sehat yang dipraktikkan meski tak praktis.
.
Di satu pagi cerah, seorang wartawan muda mewawancarai Yuda di co-working space. Ia mengajukan pertanyaan yang jujur seperti mata yang belum belajar takut.
“Mengapa Anda tampak menghindari sorotan? Kenapa tak ingin jadi ikon perubahan? Itu efektif, lho.”
Yuda menatap layar di dinding, grafik bergerak pelan. “Karena perubahan sejati tak butuh panggung. Ia butuh keberanian diam-diam yang konsisten. Ikon terlalu gampang mengeras jadi topeng. Kita ini manusia.”
“Lalu, kalau nanti Anda digeser karena tidak ikut arus?”
Yuda tersenyum. “Arus akan selalu ada. Kalau saya hilang, semoga yang tinggal adalah cara kerja yang lebih jujur. Saya tidak sedang membangun karier. Saya sedang mengusahakan kebiasaan baik.”
Wartawan itu terdiam sejenak lalu mengangguk, merekam bukan hanya suara, tapi yang lebih penting: jeda.
.
Sore terakhir di bulan itu, Yuda mengetuk pintu ruang rapat kecil di lantai delapan. Di dalam, Umar, Madi, dan Zuba menunggu. Di meja, ada kertas-kertas berserak, coretan rencana tiga bulan, enam bulan, dua belas bulan.
“Terima kasih,” kata Yuda. “Bukan karena hasil. Karena kalian bertahan menyehatkan cara.”
“Bos,” kata Umar, “Kita bukan bertahan. Kita tumbuh. Pelan, tapi pasti.”
“Dan kadang sambil menangis,” tambah Zuba.
Madi menyeringai. “Menangis itu fitur, bukan bug.”
Mereka tertawa, tawa yang membuat ruangan kecil terasa seperti rumah.
Di luar, Jakarta belum berubah: macet, ramai, sibuk merayakan dirinya sendiri. Tetapi di satu lantai kecil, ada sekelompok orang yang memilih berpihak pada yang sederhana: kata yang jujur, kerja yang cukup, hati yang tidak mengeras.
Yuda memadamkan lampu rapat. Dalam gelap yang damai, ia mengulang dalam hati pelajaran paling awal dari Pak Kresna—yang kini terasa menjadi miliknya sendiri:
Pemimpin lahir ketika seseorang berani bertanggung jawab atas sunyi yang dipilihnya.
Malam menyelubung kota. Di kamar kos ibunya yang sederhana, nanti, ia akan duduk memijit kaki perempuan yang setiap pagi menakar tepung dan doa. Dan di sana, jauh dari panggung, seorang pemimpin akan dilahirkan lagi—setiap hari, setiap keputusan kecil yang tak masuk berita.
.
.
.
Jember, 1 Agustus 2025
.
.
#KepemimpinanAutentik #Integritas #CerpenKompasMinggu #KotaJakarta #EtikaKerja #TransformasiDigital #CeritaIndonesia #MiddleUpperClass #EmotionalWriting #JeffreyWibisonoVStyle
.
Quotes tambahan:
-
“Jabatan bisa diwariskan, tetapi keaslian harus diperjuangkan.”
-
“Ketika dunia meminta topeng, pilihlah wajahmu sendiri.”
-
“Integritas adalah kemewahan yang tak perlu dipamerkan.”
-
“Yang tulus berjalan tanpa bunyi, tetapi jejaknya memudahkan orang lain.”
-
“Pemimpin bukan yang paling keras suaranya, melainkan yang paling halus hatinya.”