Celah yang Menumbuhkan
“Kesalahan itu bukan tanda akhir, melainkan pintu masuk untuk mengenali dirimu yang lebih jujur.”
“Tak semua luka perlu dihapus; sebagian harus dipeluk agar berhenti melukai.”
“Yang retak tak selalu lemah—kadang di sanalah cahaya masuk.”
.
Jakarta, Maret yang hujan. Kamar kos lantai dua di gang sempit belakang Jalan Prapanca seakan sebuah kotak suara yang menampung derik genting, desah AC tua yang menggeram, dan langkah-langkah payah manusia yang pulang terlalu malam. Di balik tirai abu-abu, seorang pria muda bernama Wiratma duduk bersandar pada dinding, lutut ditekuk, telapak kaki menempel lantai yang dinginnya menyusup ke tulang. Di layar laptop, dua kata besar berkedip-kedip, menuntut jawaban: Resign Letter.
Ini bukan perkara gaji yang kurang, bukan pula soal pekerjaan yang tidak sesuai passion. Ini soal rasa gagal yang menempel seperti bau hujan pada kain yang lupa dijemur. Kesalahan yang menyalakan senter ke arah sudut-sudut paling gelap dalam pikirannya: Tak layak. Tak mampu. Tak cukup.
“Kau terlalu idealis,” sebuah suara dalam kepalanya berbisik, suaranya datar seperti notifikasi tak penting yang terus muncul. Tapi jauh di sudut hati yang lain, suara ibunya di Bangkalan, Madura, menggema pelan, bergaung seperti doa sehabis subuh: “Ngelmu iku kalakone kanthi laku.” Ilmu hanya tumbuh lewat laku, lewat jatuh dan bangun, lewat keringat yang tak selalu terlihat orang lain.
Ia mengetik To whom it may concern lalu berhenti. Kursor berkedip-kedip seperti detak jam yang sengaja dibiarkan tanpa bunyi. Di luar jendela, lampu-lampu kota seperti gugusan bintang yang lupa arah; Jakarta kalau malam tampak cantik, tapi juga dingin, seperti ruang pamer yang memajang barang-barang mewah tanpa harga—karena semua memang tak terjangkau.
.
Sudut Kota dan Retakan Pertama
Wiratma baru dua tahun bekerja di hotel butik di kawasan Kemang—hotel ber-45 kamar, dindingnya berbalut mural hitam-putih, kafe-nya terkenal karena cold brew yang disajikan dalam gelas pendek dengan es batu serupa kristal. Posisi asisten manajer operasional ia raih bukan karena koneksi, melainkan karena kebiasaan datang paling pagi dan pulang paling akhir—mata yang jeli pada detail, tangan yang tak segan mengangkat kardus, dan napas yang panjang ketika harus menghadapi tamu yang mengeluh tanpa jeda.
Ia teliti, jujur, hampir perfeksionis. Justru di sanalah celahnya.
Satu sore di bulan Februari, kesalahan input inventory membuat hotel memesan barang yang sama dua kali: bed linen impor dan amenities kamar dalam jumlah tak masuk akal. Kerugian belasan juta rupiah. Semua mata menoleh kepadanya. Spreadsheet tak bisa dibantah, waktu pengadaan mencatat namanya.
Manajernya, Barmawi, lelaki berwajah tirus dengan kebiasaan melipat ujung lengan kemeja hingga siku, berkata tanpa nada tinggi, tenang seperti orang membaca cuaca, “Kamu tahu sendiri, Wir. Kita sedang tekan anggaran. Ini… ya, fatal.” Tidak ada bentakan. Justru keheningan yang membuat kalimat itu memantul berkali-kali.
Wiratma menelan ludah yang terasa seperti batu. Ia ingin menjelaskan bahwa malam itu ia lembur sendirian karena staf gudang pulang mendadak; ia ingin menyebut bahwa sistem double approval belum berjalan. Namun logika kalah oleh rasa salah. Ia mengangguk, meminta maaf, lalu menandatangani surat pernyataan dengan tangan gemetar yang berusaha ia sembunyikan.
.
Anak Laki-laki dari Bangkalan
Dulu, di rumah sederhana di pinggiran Bangkalan, ia tumbuh bersama laut yang selalu berubah warna—kadang pirus, kadang kelabu, kadang hitam seperti minyak. Ayahnya, seorang nelayan, tidak pulang suatu malam ketika angin memutar ombak seperti cambuk. Sejak itu, ibunya menjajakan nasi jagung dengan lauk ikan asin dan sambal terasi dari kampung ke kampung. Pada suatu pagi yang lengang, ibunya berpesan, “Jer basuki mawa beya, Le.” Kesuksesan menuntut biaya. Bukan hanya rupiah, tapi juga sabar, tidur yang kurang, dan menahan malu ketika harus mulai lagi dari nol.
Wiratma kuliah sambil kerja malam di warung kopi—mencuci gelas hingga jari-jarinya mengeriput oleh sabun. Ia ikut pelatihan perhotelan dan magang di front office, belajar tersenyum dengan mata, bukan bibir. Ia ke Jakarta membawa mimpi sederhana dan gahar sekaligus: suatu hari ingin punya hotel sendiri, hotel kecil yang hangat seperti pelukan. Kini, di hadapan layar yang menampilkan “Resign Letter”, mimpi itu seperti kertas origami yang kena hujan: bentuknya masih ada, tapi basah, rapuh, mudah sobek.
.
Rasa Salah yang Membatu
Hari-hari setelahnya berubah seperti lorong panjang tanpa jendela. Wiratma masih mengerjakan tugas, namun tubuhnya seperti kereta yang berjalan tanpa masinis. Ia menghindari mess room saat makan staf, memilih duduk di tangga darurat sambil menyuap nasi bungkus yang cepat dingin. Di lift, ia menatap angka-angka naik-turun tanpa benar-benar melihat.
Malam itu, ia naik ke rooftop hotel—lantai tertinggi, tempat para tamu memotret senja di antara gedung-gedung. Jaket tipisnya tak cukup menahan angin. Dari situ, Jalan Antasari terhampar seperti sungai logam, lampu kendaraan mengalir deras. Ia menulis di jurnal kecil ber-cover cokelat, warisan dari pelatihan leadership semasa kuliah:
“Aku retak. Bukan oleh kerasnya dunia, tapi oleh rasa malu kepada diri sendiri.”
Retak itu memecahkan suaranya ketika ada tamu komplain karena air panas baru menyala setelah menunggu hampir sepuluh menit. Retak itu juga membuatnya menolak ajakan staf lain menonton konser kecil di M Bloc. Ia mulai berjarak dari semua, termasuk dari orang-orang yang sebetulnya diam-diam menyayanginya karena kegigihan yang tanpa suara.
.
Suara yang Menghidupkan Kembali
Sore yang lain, ketika lembur dan lampu kantor menyisakan cahaya kuning yang membuat bayangan meja panjang, Salmah—staf housekeeping paling senior, perempuan dengan tangan cekatan dan sorot mata teduh—datang membawa dua gelas teh manis. “Minum dulu,” katanya, meletakkan satu gelas di samping laptop. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Nak. Kamar bisa dibersihkan dua kali, tapi hati yang hancur kalau tak dirawat bisa jadi pecahan selamanya.”
Kalimat itu menampar pelan, namun panasnya mengalir sampai ke tengkuk. Wiratma hanya mengangguk, tak memperdebatkan. Salmah pergi, meninggalkan aroma karamel yang mengambang.
Malam itu, ia membongkar kardus buku di pojok kamar. Ia menemukan satu buku tua dari masa-masa hemat: Mindset karya Carol Dweck yang sampulnya sudah kusam, banyak coretan dengan stabilo kuning. Di bawah judul bab pertama, ia menemukan catatan kecil tulisan tangannya sendiri: “Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” Ia menutup mata. Ada tangan dari masa lalu yang seakan menyentuh bahunya, mengajaknya berdiri lagi.
Kesalahan bukan vonis. Ia cermin. Ia celah di cangkang benih saat bersiap menumbuhkan batang.
.
Pilihan yang Menentukan
Keesokan paginya ia bangun lebih cepat, menyiapkan presentasi yang sederhana: Inventory Audit & Digital Control Proposal. Ia memetakan alur barang masuk-keluar, menyusun kontrol silang antara gudang, purchasing, dan front office, mengusulkan kode unik untuk tiap jenis barang agar tak ganda dalam sistem. Ia menambahkan usul approval berlapis—bukan sekadar formalitas, namun checklist yang memaksa orang untuk melihat.
Siang itu ia mengetuk pintu ruang manajer. Barmawi mengangkat alis, memberi isyarat duduk. Wiratma memutar laptop, memulai dengan suara yang stabil meski telapak tangannya berkeringat: “Pak, ini rencana pembenahan. Salah saya bukan alasan untuk berhenti, tapi alasan untuk memperbaiki. Kalau Bapak izinkan, saya ingin menguji ini selama empat minggu, melibatkan seluruh departemen. Saya juga akan membimbing storekeeper baru dan staf lama, shift demi shift.”
Barmawi menatapnya cukup lama, seperti menilai bukan isi presentasi, melainkan cara Wiratma berdiri menahan gentar. “Kau belajar cepat,” ucapnya akhirnya. “Dan aku menyukai orang yang tidak kabur dari kesalahannya. Jalankan. Tapi siap bertanggung jawab atas hasilnya?”
“Siap,” jawabnya. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, suaranya seperti miliknya sendiri.
.
Jakarta: Kaca, Beton, dan Bayangan
Empat minggu itu berubah menjadi lintasan: pagi memeriksa par stock, siang mendampingi receiving, sore evaluasi, malam mengajari staf mencatat di tablet murah yang dibeli dari marketplace. Ia menandai setiap anomali dengan spidol merah di papan back office. Di sela-selanya, ia tetap menghadapi tamu: pasangan muda yang ribut akibat kamar sebelah terlalu bising, pebisnis yang minta late checkout tanpa biaya, selebgram yang protes karena lighting di kamar tak mendukung brand tone.
Di hari ke-27, ada uji sebenarnya: wedding proposal mendadak di rooftop yang viral di TikTok; vendor menagih lampu fairy lebih dari yang disepakati; cuaca—seperti Jakarta pada umumnya—berkhianat, hujan turun tanpa janji. Tim FO panik karena tamu VIP dari Surabaya mendarat lebih cepat. Salmah basah kuyup menutupi kursi-kursi dengan plastik.
Wiratma mengambil alih. Ia memindahkan lokasi ke function room yang ber-AC, menggelar karpet portable, meminta barista menyiapkan signature mocktail dalam jumlah dua kali lipat. Ia menelpon Rengganis—teman lamanya yang kini jadi event stylist—memohon pinjaman standing flower yang bisa diantar dalam tiga puluh menit. Ia menukar layout kursi, menambah focal point di belakang photobooth dengan kain putih tipis yang ditemukan di gudang linen.
Ketika lampu padam sedetik karena stabilizer kewalahan, ia berlari ke ruang panel listrik, menyalakan kembali seperti orang yang tahu setiap urat nadi bangunan itu. Acara berjalan. Lamaran berlangsung. Tamu tersenyum. Dan malam itu, tagar hotel mereka menjadi trending lokal dengan komentar yang memuji “sigap, hangat, rapi dalam chaos.”
Wiratma pulang paling terakhir. Di tangannya, jurnal kecilnya kembali terbuka. Ia menulis: “Hari ini aku tidak sempurna, tapi cukup.” Dan kata “cukup” itu menenangkan seperti suara hujan yang menghampiri jendela, bukan mengetuknya.
.
Kelopak yang Membuka Lagi
Dua bulan kemudian, sistem baru resmi diterapkan. Angka shrinkage menurun, pengadaan lebih tertata. Pada evaluasi tengah tahun, nama Wiratma disebut sebagai kandidat supervisor. Bukan karena ia sama sekali tak pernah salah lagi—ia masih lupa makan, masih sesekali keliru menyebut nomor kamar—tetapi karena ia berani mengakui, mencatat, memperbaiki, dan mengajarkan.
Sore itu, ia kembali ke rooftop. Jakarta menjelang malam selalu tampak seperti kota yang sedang berdandan—kilau kaca-kaca perkantoran di Sudirman, lampu oranye di sepanjang Antasari, dan langit yang menahan ungu sebentar sebelum kehabisan. Di sana, ia membiarkan angin mengibaskan pinggiran kemejanya, sementara di bawah, surau kecil di pertigaan jalan memutar azan magrib yang suaranya seperti kelambu—lembut, menutup pelan.
Ia menulis lagi di jurnal:
“Kesalahan bukan akhir. Ia seperti benih yang retak sebelum tumbuh. Jika aku tak retak, aku takkan tahu bahwa aku bisa bertumbuh.”
.
Arya Wiraraja, Barmawi, dan Salmah
Malam lain, mereka bertiga—Barmawi, Salmah, dan Wiratma—duduk di pantry staf, makan soto dari warung pojok. Salmah bercerita tentang kampung halamannya di Sampang, tentang pasar malam yang menjual gelang plastik menyala, tentang dolanan yang kini tinggal kenangan. Barmawi, ternyata, pernah magang di Bali, lalu pulang karena bapaknya sakit. “Kau tahu, Wir,” katanya sambil menatap kosong pada uap soto, “Dalam kisah-kisah lama, di tanahmu ada nama Arya Wiraraja—orang yang menjembatani. Bukan raja, tapi penghubung yang membuat hal-hal sulit menjadi mungkin. Di hotel, kita butuh orang seperti itu.”
Wiratma tertawa kecil. “Saya bukan siapa-siapa, Pak.”
“Justru,” jawab Barmawi. “Yang bukan siapa-siapa biasanya sudah biasa mengukur langkah. Tak mabuk kalau dipuji, tak patah kalau dibentak.”
Salmah menepuk punggung Wiratma ringan. “Kalau bukan siapa-siapa saja bisa membuat kamar kinclong, masa yang punya mimpi besar kalah hati?”
Ada canda setelahnya, tapi di sela-selanya, ada rasa diterima yang mengendap. Sepiring soto bisa jadi sakral ketika dimakan bersama orang-orang yang mengerti.
.
Suara-suara dari Dalam Diri
Sekali waktu, suara yang dulu membisiki “Kau terlalu idealis” datang lagi, mencoba menyusup melalui celah lelah. Tapi kali ini, suara-suara lain menjawab: suara ibunya, suara Salmah, suara Barmawi, dan suara kecil dari dalam dirinya sendiri—yang belajar berbicara tanpa berteriak.
“Jangan keluar dari medan perang sebelum belajar dari pedang yang melukaimu,” kata suara itu, mengulang-ulang.
“Menang tak harus melawan orang lain. Kadang kau hanya perlu tidak menyerah pada dirimu sendiri.”
Pada suatu Minggu siang, ia menyeberang Jembatan Suramadu dalam pikirannya—mengulang perjalanan yang dulu ia tempuh dari Madura ke Surabaya lalu ke Jakarta. Ia teringat rotan kursi plastik yang bergoyang, kipas angin yang berdebu, TV tabung di warung kopi tempat ia dulu kerja. Apa kabar, anak muda yang dulu mengantuk di belakang mesin kopi? tanyanya pada dirinya pada masa lalu.
Jawabannya datang pelan: Aku masih ada di sini, di bawah kulitmu yang baru.
Dan tiba-tiba, rasa syukur membengkak di dada seperti pasang air.
.
Guncangan Kecil yang Menguji
Tentu hidup tak berhenti menguji. Pada suatu Sabtu yang padat, layanan air mengalir kecil karena pompa aus. Tamu kamar 503—seorang content creator dengan jutaan pengikut—membuat Instagram Story bernada sinis. Staf FO baru panik. Grup WhatsApp operational tiba-tiba seperti pasar pecah: voice note berulang, stiker, tag_ yang saling merunduk.
Wiratma meminta semua ke saluran paling sunyi: ia mendatangi kamar 503 dengan senyum sopan yang punya batas, mengakui kesalahan, menawarkan kompensasi upgrade dan late checkout. Pada saat yang sama, ia turun ke ruang pompa, memutar katup manual, menelepon teknisi pengganti yang sedang libur, mengatur jadwal flushing. Dalam dua jam, pressure kembali normal.
Di malamnya, story sang content creator berubah: ia memuji respon cepat dan ketulusan. “Kalau salah, bilang salah, kalau baiki, ya baiki. Hotel ini jujur.” Ia menuliskan itu dengan foto latte dan kue kecil di piring bertepi emas. Sederhana, tapi artinya besar: kepercayaan yang pulih tak hanya untuk satu tamu, melainkan untuk ia—kepada dirinya sendiri.
.
Surat yang Tak Dikirim
Di meja kecil kamar kosnya, surat Resign Letter itu masih tersimpan di folder bernama Drafts. Sesekali ia membuka, membaca kembali kalimat pembukanya, lalu menutupnya. Bukan untuk menyangkal kemungkinan pindah suatu hari nanti, tapi untuk mengingat bahwa pergi harus punya alasan yang tumbuh—bukan lari dari luka yang belum dirawat.
Ia menulis surat lain—bukan untuk HR, tapi untuk dirinya lima tahun ke depan:
“Kalau kelak kau lupa: kau pernah retak. Jangan ingin kembali mulus; inginlah kembali utuh. Utuh itu punya bekas, dan bekas itu mengajari arah.”
Surat itu ia selipkan di belakang frame foto ibunya—perempuan yang menatap kamera dengan senyum yang menyalakan cahaya di mata. Pada bibirnya, ada sisa merah yang samar, entah lipstik murah atau bekas cabai. Cantik dengan cara yang tak dijual di iklan.
.
Orang-orang yang Datang dan Tinggal
Di hotel, wajah-wajah datang dan pergi seperti gelombang kecil. Rengganis yang dulu dimintai tolong untuk dekor, kini sering kolaborasi: menghadirkan bunga liar yang tak berlagu, kain-kain tanpa motif yang justru menonjolkan keterbatasan ruang dan membuatnya terasa intim. Ia dan Wiratma berdiri di belakang layar, berbagi rokok yang tak dihisap, hanya dibiarkan membara di ujungnya. “Kau tambah tenang,” kata Rengganis suatu malam.
“Tenang bukan karena tak ada masalah,” jawabnya. “Tenang karena tahu bagaimana menghadapi, bukan siapa yang harus disalahkan.”
Salmah, yang rambutnya mulai beruban dan disanggul seadanya, sesekali menyisipkan amplop kecil ke saku seragam Wiratma—amplop berisi kertas doa yang ditulis tangan: “Sing sabar, sing manfaat.” Ia tertawa setiap kali ketahuan. “Biar, Nak. Orang tua tugasnya mendoakan.”
Barmawi sesekali memanggilnya, bercerita tentang target okupansi, tentang forecast yang berubah-ubah karena event di kota. “Kau mau ikut kuasai revenue minggu depan? Biar kau tak hanya menguasai lantai, tapi juga angka,” katanya. Wiratma mengangguk. Celah baru menunggu untuk ditumbuhkan.
.
Kota, Kaca, Doa
Jakarta mengajarinya ritme: pagi adalah kesiapan, siang adalah keputusan, sore adalah penyembuhan. Malam? Malam adalah miliknya, saat ia berjalan kaki menyusuri trotoar yang baru dipasang, menyeberang di zebra cross dengan lampu merah yang patuh, melihat anak-anak muda berpose di depan mural, mendengar tawa yang naik turun.
Kadang ia pulang ke Bangkalan, duduk di tepi pantai saat air surut dan karang muncul seperti peta yang masih digambar. Ibunya, dengan tangannya yang kasar dan hangat, akan mengelus rambutnya yang selalu terlalu pendek. “Wis apik,” kata ibunya. “Wis cukup.” Ia tak panjang-panjang. Doa orang tua selalu ringkas, namun dalam.
Di perjalanan kembali ke Jakarta, di bus malam dengan kursi yang wangi pewangi sintetis, ia menatap gelap yang sesekali dipecah rumah makan 24 jam. Ia menyadari: orang-orang yang mengasihi tak selalu banyak bicara. Mereka menimang tanpa membuatmu berutang budi, menyebut namamu dalam doa tanpa minta dikembalikan dalam bentuk apa pun.
.
Celah yang Menumbuhkan
Dunia hospitality bukan sekadar pelayanan; ia adalah ketahanan. Ia meminta manusia untuk tetap lembut di tengah tekanan, tetap jujur di tengah kepentingan, dan tetap tumbuh di tengah rasa bersalah. Hotel adalah metafora kota: kamar-kamar berukuran hampir sama, dihuni oleh cerita-cerita yang tak pernah sama.
Wiratma masih bekerja di hotel itu. Setiap kali ada staf baru yang bingung mengikat simpul housekeeping trolley atau gagap menghadapi tamu pertama yang marah, ia selalu berkata:
“Tenang. Kita semua pernah salah. Orang besar itu bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang tahu cara bangun tanpa merendahkan orang lain.”
Kadang-kadang, ia menyelipkan kalimat Salmah di antara napasnya: “Kamar bisa dibersihkan dua kali; hati yang hancur, kalau tak dirawat, bisa jadi pecahan selamanya.” Dan setiap kali ia mengatakannya, ada bagian di dirinya yang sembuh sekali lagi.
Di kamarnya yang masih sempit namun kini terasa lebih lapang, surat Resign Letter tetap ada di folder Drafts. Ia membiarkannya hidup sebagai pengingat: bahwa rasa ingin kabur bisa ditekan bukan dengan menolak rasa sakit, melainkan dengan memahami dari mana rasa itu datang, mengakui celahnya, dan menumbuhkan di sana.
Di halaman terakhir jurnalnya, di bawah tanggal yang ia tulis dengan tinta yang mulai habis, ia menyalin tiga kalimat untuk masa depan:
-
“Kesalahan itu seperti luka—jika kau rawat dengan sabar, ia akan menjadi kulit yang lebih kuat.”
-
“Tak semua luka harus hilang untuk hidup jadi tenang—kadang, cukup diterima agar tak lagi membusuk dalam diam.”
-
“Celah bukan untuk disembunyikan, melainkan untuk ditanami; di sanalah akar mencari arah.”
Dan Jakarta—dengan kaca, beton, dan doa—terus berdetak di luar jendela, sementara di dalam dada, sesuatu telah tumbuh: bukan kesempurnaan, melainkan keutuhan dengan bekas.
.
.
Jember, 6 Agustus 2025
.
.
#CerpenUrban #Jakarta #Hospitality #GrowthMindset #SelfHealing #Madura #KerjaBaik #BelajarDariSalah #KisahInspiratif
.
Quotes Tambahan relevan dengan isi cerita
-
“Jangan keluar dari medan perang sebelum belajar dari pedang yang melukaimu.”
-
“Menang tidak selalu berarti mengalahkan orang lain; kadang berarti tidak menyerah pada diri sendiri.”
-
“Pergi boleh, tapi pastikan bukan untuk kabur dari luka yang belum dirawat.”