Bohemia Mode On
“Disiplin itu bukan rantai, melainkan kunci yang membuka pintu keheningan batin.”
“Berhemat adalah seni melihat cukup, bukan kekurangan.”
“Ketika dompet menipis, imajinasi jadi mata uang kedua.”
.
Di kota yang tak pernah mematikan lampu, Jayen belajar menipu dirinya sendiri dengan hal-hal kecil yang ia sebut “hadiah”. Bukan hadiah mahal; hanya secangkir kopi hitam di sudut kafe yang memutar jazz pelan, sebungkus klepon dari pedagang kaki lima yang lewat di bawah gedung perkantoran, atau dua menit memejam mata di kursi ergonomis sambil menyalakan white noise di ponselnya.
Ia menyebutnya: teknik bertahan.
Ia menyebutnya: cara agar nyala dalam dirinya tidak padam oleh daftar tugas.
Jayen—nama lengkapnya Jayengrana Sabrang—bekerja sebagai konsultan merek untuk bisnis keluarga kelas menengah ke atas yang baru naik kelas. Pagi ini, ia memulai hari dengan ritual sederhana: merapikan kaus kaki di laci, menyiram tanaman lidah mertua di ambang jendela apartemen, lalu menempel catatan kuning di layar laptop: “Kerjakan satu persatu. Jangan mentok di langit-langit semangat.” Di kalender digitalnya, blok warna saling tindih: rapat dengan Retna Property, diskusi kreatif untuk restoran Umarmaya, survei lokasi bersama Kerto Stoneworks, kelas online untuk mahasiswa branding di kampus negeri favorit.
Ritme kota menuntutnya menjejalkan banyak peran ke dalam satu nama: konsultan, mentor, saudara, anak, rekan bisnis, teman diskusi. Dan, tentu saja, manusia biasa yang diam-diam merindukan rumah yang lebih sederhana dari apartemen kaca ini.
.
Retna mengundang Jayen ke kantornya di lantai 28, gedung baru berkulit ganda yang memantulkan awan seperti kaca patri raksasa. Di ruang rapat, di hadapan maket apartemen mewah berkonsep “urban sanctuary”, Retna menunjuk sketsa: ruang komunal terbuka, pepohonan, ampiteater kecil. “Aku ingin konsep ini bukan sekadar menjual meter persegi. Aku ingin menjual nafas.”
Jayen mengamati. “Nafas harus bisa didengar, bukan cuma difoto,” katanya tenang. “Jadi suara air, daun yang bergesek, pijakan langkah di batu—semua harus nyata. Narasinya: rumah bukan tempat lari dari kota, tapi tempat kota berhenti mengejar kita.”
Retna tersenyum, lelah tapi percaya. Sejak ayahnya, Wong Agung Karno, wafat, perusahaan dititipkan ke tangannya. Retna tidak memamerkan duka; ia mengubahnya jadi rancangan yang lebih manusiawi. Di jam makan siang, mereka turun ke bawah, menyeberang ke kios sup buntut yang aromanya menelan jarak. Retna bercerita tentang hidupnya seperti arsitektur: sebuah rencana induk dengan banyak revisi.
“Kau pernah takut,” tanya Retna, “kalau kerja kerasmu tak dihitung siapa-siapa?”
Jayen mengaduk teh manisnya. “Kerap. Tapi lalu kuingat, ada hal-hal yang tidak harus menjadi sorak sorai orang lain. Ada hasil yang hanya perlu jadi lebih baik dari diriku kemarin.”
Di luar, matahari memantul pada kaca-kaca, menuliskan gemerlap di aspal. Kota seperti panggung, dan mereka aktor yang tak punya jeda babak.
.
Sore itu Jayen menuju restoran Umarmaya, milik sahabat kembar: Umar dan Maya. Restoran itu berdiri di ruko tiga lantai yang disulap menjadi ruang makan berlangit-langit tinggi. Dinding bata dicat setengah, seolah sengaja menahan kisah lama. Aroma butter dan bawang putih menyapa seperti salam akrab.
“Masuk, Jayen!” sapa Maya, menggeser tirai kain. “Kau harus coba menu baru: risotto jamur kopi. Jangan nyengir dulu. Ini serius.”
Umar menyerahkan apron—kebiasaan lama: siapa pun yang berkunjung, diminta menyentuh dapur. “Supaya tahu rasa itu bukan cuma di lidah, tapi juga di lengan dan punggung,” kata Umar.
Di balik kompor, di tengah suara seruling exhaust fan, Jayen mengaduk panci, memandangi butiran arborio yang perlahan melepas tepungnya. “Hidup itu seperti menanak risotto,” gumamnya. “Butuh sabar, dituang sedikit demi sedikit, diaduk tanpa ingin cepat-cepat. Kalau terburu-buru, yang tersisa hanya keras di tengah.”
Malamnya, di lantai dua, Umarmaya mengadakan community dinner: dua belas orang duduk melingkar, berasal dari dunia berbeda—seniman, software engineer, guru, pebisnis batu alam, mahasiswa, content creator, dokter residen—semuanya saling asing, tapi dibikin akrab oleh meja. Jayen diminta berbagi tentang membangun merek dan membangun diri.
Ia berdiri tanpa slide. “Brand,” ujarnya, “bukan topeng yang kita pakai agar orang lain percaya pada versi terbaik dari kita. Brand adalah pola yang kita ulang sehari-hari, bahkan saat tak ada yang menonton. Kalau pola itu jujur, kekokohan datang seperti gravitasi.”
Seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana kalau uang menipu? Di layar bank, saldo seolah cukup. Lalu esoknya, tagihan tersenyum getir.”
“Jangan biarkan angka-angkamu bersuara sendirian,” jawab Jayen. “Suruh juga nurani bicara. Kalau hari ini selamat, besok jangan sembrono.”
Tawa kecil. Gelas-gelas beradu pelan. Umarmaya menggantung lampu-lampu kecil di langit-langit seperti anggur kaca. Di meja bekas potong, Umar menulis dengan kapur: “Makanlah secukupnya, tetapi berharaplah sebesar hati.”
Malam-sudah-malam ketika Jayen keluar. Angin kota mengibarkan kain spanduk di pinggir jalan. Di kepala Jayen, sebuah kalimat mengetuk: Inspirasi itu bukan panggung; ia adalah cara kita memperlakukan orang saat mereka tak membawa apa-apa kecuali harapan.
.
Dua hari berikutnya, Jayen seperti magnet yang menarik rencana. Pagi ia memandu lokakarya kecil untuk murid-murid kelas branding; siang ia rapat di Kerto Stoneworks, showroom batu alam milik Kerto yang sibuk mengejar tender luxury hotel; petang ia melompat ke studio kecil milik Retna untuk merekam voice-over video pemasaran; malam ia menyisihkan dua jam untuk menulis catatan reflektif di blognya—tentang disiplin, keberanian menolak, dan seni menunggu.
Di antara jeda, ponselnya sibuk. Notifikasi berderet seperti jajar genjang: klien menawarkan retainer, teman minta referensi kerja, komunitas meminta ia jadi juri konten, adik mengirim foto raport anaknya. Hidup kota menuntut kemampuan menjadi cermin: memantulkan cahaya ke masing-masing orang tanpa lupa pada sumbernya.
Retna mengirim pesan suara: “Jayen, rancangan urban sanctuary kita aku beri nama sementara: ‘Napas di Tengah Kota’. Menurutmu?”
“Bagus,” kata Jayen. “Tambahkan subjudul: ‘Tempat Kota Berhenti Mengejar’. Agar orang paham ini bukan eskapisme, tapi ritme alternatif.”
Sepanjang dua hari itu, Jayen menyadari sesuatu: semakin ia menahan diri untuk tidak berbelanja, semakin imajinasinya kaya. Ia menukar keinginan belanja gawai baru dengan menulis gagasan di kertas daur ulang. Ia mengganti keinginan makan malam mewah dengan takeaway soto dari gerobak, disantap di balkon sambil memandangi lampu-lampu kota yang bergerak seperti koloni kunang-kunang elektronik.
Ia mengukur “cukup” dengan dua alat: napasnya sendiri dan kemampuan tersenyum tanpa alasan.
.
Namun angka tidak selalu jujur. Di layar ponsel, saldo tampak aman—proyek Kerto sudah masuk termin kedua, retainer Retna mendarat tepat waktu, penyuluhan di kampus sudah dibayar. Jayen merasa nyaman, seperti seseorang yang duduk di kursi malas dan lupa bahwa kursi itu punya sekrup longgar.
Ia memesan tiket low-cost untuk mengunjungi ibunya di Malang akhir bulan, mentraktir tim kecil copywriting—Umarmadi, adik Umar, dan Ratri—makan sushi di mall, bahkan menitip beli setelan jas semi-linen pada sahabat penjahitnya. “Sesekali, tidak apa-apa,” bisiknya pada diri sendiri, “hadiah untuk konsistensi.”
Yang tak ia lihat: auto-debit asuransi jatuh tempo, tagihan pajak tahunan yang dikreditkan bank dua hari lebih cepat, dan sisa pembayaran cicilan kamera yang kira-kira “sebulan lagi lunas” tapi ternyata dua.
Malam itu, ketika ia membuka mobile banking untuk memindahkan dana ke rekening investasi, wajahnya terpampang dalam refleksi layar: mata sedikit cekung, senyum yang tetap sopan meski tertatih. Saldo menukik, bukan lagi bukit hijau, melainkan lembah yang baru disinari matahari jam enam. Ia duduk lama. Di mejanya, post-it kuning dengan tulisan: “Jangan mentok di langit-langit semangat.” Di bawahnya ia tambahkan: “Jangan juga terbang tanpa bahan bakar.”
Ia menghela. “Tenang, Jayen. Kau pernah maraton dengan bahan bakar lebih sedikit dari ini.”
Ia membuka berkas keuangan, menyalakan spreadsheet. Baris-baris angka berbaris seperti pasukan yang menunggu perintah. Ia memeriksa, mengurutkan, menandai. Hampir tengah malam ketika ia menulis e-mail yang sopan untuk menunda pembelian jas pada penjahitnya—“Nanti ya, Mas, aku pesan ukur. Biar pas sekaligus pas waktunya”—dan mengirim pesan ke tim copywriting bahwa makan sushi berubah jadi makan nasi goreng di pinggir sungai yang baru ditata itu. “Dominasi rasa bukan soal harga,” tulisnya, “yang penting tawa tidak dikorbankan.”
Di jendela apartemen, kota memantulkan bintang-bintang palsu. Namun di dada Jayen, ada satu bintang kecil yang justru makin terang: kesadaran bahwa keterbatasan bisa menajamkan pilihan.
.
Akhir pekan datang seperti jeda yang tak dijanjikan, hanya diisyaratkan oleh tubuh. Dompet menipis, tetapi imajinasi sedang subur. Jayen menamai keadaan itu: mode bohemia. Ia memutuskan tidak ke mall, tidak ke konser berbayar, tidak ke kafe artis yang viral. Ia memilih berjalan kaki dari apartemennya melewati koridor-koridor kota, mengumpulkan suara: dengus busway, nyaring kereta, siulan tukang parkir, doa penjual bunga, canda anak-anak sepeda, percakapan orang-orang di tepi lapangan basket.
Di bawah jembatan penyeberangan, sekelompok anak muda membuat pameran mini dari barang temuan—kaleng bekas jadi robot, kain perca jadi bendera, tutup botol jadi mozaik. Mereka menamai komunitasnya “Umarmadi Lab”, dipimpin adik Umar yang bersuara empuk. “Kami ingin membuktikan,” kata Umarmadi, “kota ini bisa jadi studio siapa saja yang mau mencintai ulang barang-barang terluka.”
Jayen duduk, memotret dengan ponsel, lalu berhenti memotret dan memilih menatap. Ada getar dalam dada yang tak mudah didefinisikan selain kata: pulang. Pulang ke perasaan bahwa hidup tidak harus berdering untuk terdengar.
Di rumah ibadah tua yang menjadi perpustakaan komunitas di sore hari, ia meminjam dua buku: satu tentang behavioral economics, satu lagi kumpulan cerpen lama. Petugas menulis namanya di kartu peminjam, huruf demi huruf seperti menenun helai waktu.
Malamnya, di balkon, ia menyalakan lampu kecil dan membaca. Prospect theory mengajarinya bahwa manusia lebih takut rugi daripada bersemangat untung. Cerpen lama mengajarinya bahwa luka bisa jadi lensa yang membuat cahaya lebih tajam. Di sela dua bacaan itu, Jayen menulis tiga kalimat untuk dirinya sendiri:
-
“Disiplin itu struktur, bukan hukuman.”
-
“Standarmu bukan orang lain, tapi komitmen yang kau buat saat lampu dimatikan.”
-
“Jika dompet menipis, tebarkan benih: berbagi ilmu, memberi waktu, mendengarkan. Itulah investasi yang selalu kembali.”
Saat merebahkan badan, ia tersenyum. Mode bohemia ternyata bukan tentang menolak kenyamanan, melainkan memilih jenis kenyamanan yang tidak menyandera.
.
Pagi pertama setelah jeda, Retna mengirim pesan: “Jayen, presentasi kemarin menenangkan investor. Mereka setuju menambah ruang belajar bersama di lantai dasar. Kita menamainya ‘Pawon Ide’—tempat orang memasak gagasan.”
Jayen membalas: “Pawon Ide adalah definisi kota yang pulang. Kita uji program: kelas gratis tiap pekan, mentor sukarela, kurasi tema.”
Kerto menelepon, suaranya penuh debit. “Bro, tender hotel di Batu masuk. Tapi mereka minta brand story batu sungai jadi narasi spa. Bisa kamu bantu? Budget mepet.”
Jayen tertawa ringan. “Bisa. Nanti kita cerita begini: tangan-tangan tetangga sungai yang mengangkat batu, bukan hanya mengangkat bahan bangunan, tapi juga memindahkan doa dari dasar arus ke lantai pijak manusia.”
Umar mengirim foto community dinner yang makin ramai. Maya menambahkan catatan: “Kami mulai kumpulkan sumbangan vegetasi untuk taman kota. Sisa sayur bersih kami olah jadi compost.”
Di antara semua kabar itu, pesan dari ibunya datang paling pelan: “Nak, jangan lupa pulang sebentar bulan depan. Sawah di garis bukit masih menanti langkahmu yang pernah tertinggal di pematang.”
Jayen menghela napas, menandai tanggal, dan memindahkan rencana belanja ke rencana pulang. “Rumah,” pikirnya, “adalah tempat yang menghitung kita sebagai anak lebih dulu, baru sebagai apa-apa yang kita pamerkan di kota.”
.
Malam itu, Jayen mengundang kecil-kecilan: Retna, Umar, Maya, Kerto, Umarmadi, dan beberapa muridnya. Bukan di restoran, melainkan di ruang bersama apartemennya yang sederhana. Ia menyeduh kopi dengan kompor kecil, mengiris buah, menata roti tawar dengan mentega kacang. Di papan tulis portabelnya, tertulis: “Lokakarya Sunyi: Menipu Diri dengan Cara Baik.” Mereka tertawa.
“Kita semua,” kata Jayen, “pandai mengelabui diri. Kadang ke arah buruk—menunda, membenarkan keborosan, menutup mata pada alarm. Malam ini, mari kita akali diri kita ke arah yang baik. Mari pasang jebakan-jebakan kecil untuk disiplin: reward sederhana setelah pekerjaan selesai, sistem amplop agar uang bicara jujur, auto-transfer untuk sedekah dan tabungan, dan satu jam tanpa gawai setiap hari.”
Retna menimpali, “Aku akan menaruh sepatu lari di sisi kasur. Supaya tak ada alasan untuk tidak bergerak.”
Umar mengangguk, “Di dapur, kami akan menuliskan resep low-cost high-love untuk keluarga muda.”
Kerto tersenyum, “Aku ingin showroom yang bisa berubah jadi kelas gratis bagi anak-anak pekerja pabrik, seminggu sekali.”
Umarmadi mengangkat tangan, “Komunitasku akan mengadakan ‘Bengkel Barang Patah’. Orang bawa barang rusak, kita perbaiki sambil bicara tentang patah yang lain.”
Jayen mendengar, menuliskan, dan menahan sesuatu di tenggorokan: rasa yang mengharukan ketika kota tiba-tiba menjadi rumah karena orang-orangnya.
“Ada satu hal lagi,” kata Jayen. “Ketika dompet menipis, kita gampang merasa tidak berguna. Padahal justru di situ kita bisa kreatif mengubah cara memberi. Waktu, perhatian, pengetahuan, telinga yang tidak menghakimi—semuanya mata uang.”
Ia menutup pertemuan dengan sebuah kalimat yang dicetaknya dari printer mungil, lalu menempelkan ke dinding:
“Hidup kota bukan perlombaan mengisi keranjang, melainkan latihan berkala menimbang yang penting.”
Malam meregang jadi ziarah kecil. Mereka pulang satu-satu, membawa kantong-kantong plastik berisi sisa roti dan buah, serta daftar kecil “jebakan baik” untuk diri masing-masing.
.
Beberapa waktu kemudian—tak usah sebut waktunya, agar kisah ini bebas berpindah ke kehidupan siapa saja—Jayen berdiri di diorama kota yang bergerak pelan. Di depan Pawon Ide, anak-anak muda menggelar karpet untuk kelas gratis “Menulis CV yang Jujur dan Memikat”. Di community garden belakang restoran Umarmaya, ibu-ibu menukar bibit cabai dan basil. Di showroom Kerto, anak-anak menempelkan stiker pada batu-batu permukaan halus: menggambar sungai, jalur sepeda, dan hati.
Retna menghampiri, membawa dua gelas air. “Kau tahu, Jayen,” ujarnya, “dulu aku ingin membangun ruang yang indah. Sekarang aku ingin membangun ruang yang ramah. Keindahan mengundang, keramahan menahan.”
Jayen tersenyum, memandangi lalu-lalang. “Kota ini seperti risotto tadi. Kita tak bisa cepat-cepat. Tapi kalau sabar, yang muncul bukan sekadar kenyang, melainkan rasa.”
Seorang mahasiswa mendekat, ragu-ragu. “Mas, bagaimana caranya terus menyala tanpa membakar diri habis?”
Jayen menimbang kata-katanya. “Pisahkan dirimu menjadi dua: yang bekerja, dan yang menjaga yang bekerja. Yang pertama butuh target. Yang kedua butuh tatapan lembut. Bila keduanya bergandengan, letih itu bukan musuh, melainkan tanda kau hidup sungguh-sungguh.”
Mahasiswa itu mengangguk, menunduk, lalu menuliskan sesuatu di buku catatan: mungkin doa, mungkin rencana.
Di langit, lampu-lampu kota menyusun alfabet yang tak pernah lengkap. Di dada, Jayen tahu: tidak apa-apa jika masa depan masih kabur. Manusia bertumbuh di kabur-kabur seperti itu.
Malam itu, saat ia kembali ke apartemen, post-it kuningnya ditambah satu kalimat—hadiah untuk dirinya yang telah bertahan:
“Bahagia itu bukan tentang di mana kau berada, tapi bagaimana kau kembali ke dirimu setelah seharian di dunia.”
Dan esoknya—ketika lagi-lagi daftar tugas berbaris seperti pasukan—ia menemukan dirinya tetap bisa tersenyum. Karena ia tahu, di ujung hari yang berat, ada nyala kecil yang menunggu untuk disiram: nyala yang tak merepotkan dompet, tetapi mengundang hati untuk tumbuh.
.
Catatan Reflektif & Solutif Jayen
-
Teknik Menipu Diri dengan Baik: pecah tugas jadi unit kecil, beri reward sederhana.
-
Sistem Amplop Modern: pisahkan pos wajib (tabungan, sedekah, investasi) di awal, bukan sisa.
-
Alarm Finansial Jujur: matikan notifikasi diskon, hidupkan pengingat pajak/asuransi.
-
Bohemia Produktif: saat anggaran seret, tukar hiburan mahal dengan aktivitas komunitas.
-
Ritme Kebaikan: jadwalkan satu jam tanpa gawai, satu percakapan tanpa menggurui, satu ide dikembalikan ke publik per pekan.
Karena pada akhirnya, kota yang tidak pernah selesai menunggu kita memutuskan: mau jadi kerumunan yang terburu, atau jadi manusia yang bertumbuh.
.
.
.
Malang, 3 November 2025
.
.
#BohemiaModeOn #CerpenKota #BohemiaProduktif #DisiplinHarian #LiterasiFinansial #RefleksiHidup #KisahUrban #NamakuBrandku