Berhenti Percaya
“Kepercayaan retak tidak selalu terdengar: ia pecah di dalam dada orang yang paling lembut, sunyi seperti kaca jatuh ke karpet.”
.
Hujan sore di Surabaya turun seperti garis-garis tipis di jendela kaca kantor lantai dua puluh. Ragil menempelkan telapak tangan ke permukaan yang dingin, melihat lampu-lampu kota menyala satu per satu seperti nadi yang terus bekerja tanpa jeda. Di mejanya, ada dua map: biru untuk tender hotel butik di Seminyak, merah untuk program CSR “Makan Siang Gratis” yang ia rintis bersama beberapa sahabat. Di ponselnya, satu pesan dari Jayeng menunggu: “Kita bicara nanti malam, di rooftop Kertajaya. Penting.”
Rooftop itu menyimpan banyak hal: presentasi pertama mereka, malam ketika investor bernama Jingga menaruh uangnya, juga ucapan-ucapan janji yang kedengarannya kokoh seperti beton. Ragil merapikan blazer, meraih tote bag, mematikan lampu ruangan. Di lift, bayangannya sendiri seperti orang yang tak sempat tidur—mata setengah redup, bibir diatur teguh.
Di atas, angin mengibas rambutnya. Surabaya tampak seperti peta elektronik; lampu oranye panjang mengiris jalan. Jayeng berdiri di sisi pagar, memegang dua gelas kopi. “Kita berhasil,” katanya ketika Ragil mendekat. “Proposal Seminyak lolos tahap akhir.”
Ragil mengangguk. “Kabar bagus.”
Jayeng menunggu beberapa detik. “Ragil, aku harus jujur. Untuk kontrak final, Jingga meminta kepemilikan saham tim kita direvisi. Nama kamu… tidak masuk sebagai key person. Katanya untuk memudahkan struktur.”
Ada bunyi yang tidak terdengar, semacam kaca pecah di karpet. Ragil tersenyum kecil. “Tidak masuk, bagaimana maksudnya?”
“Formalitas.” Jayeng mencoba tertawa. “Kamu tetap pimpin operasional. Honor aman. Tapi—”
“Tanpa tanda tangan, tanpa keputusan, tanpa hak veto.” Ragil menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap kota. “Kapan kamu tahu?”
“Dua minggu lalu. Aku berniat bicara. Cuma… kamu lagi sibuk program CSR, ngajar di kampus, dan review SOP Jember. Aku tidak ingin—”
“Tidak ingin merusak mood,” Ragil mengangguk. “Jadi kamu ambil keputusan.”
“Ini demi percepatan,” Jayeng menambahkan, suaranya datar. “Kamu tahu sendiri, investor macam Jingga maunya garis komando sederhana.”
Ragil mendengar suara hujan menumbuk kanopi. Ia pernah belajar bahwa kepercayaan tidak roboh oleh satu pukulan. Ia retak halus dari benturan-benturan kecil: janji yang ditunda, rapat yang tidak diundang, berkas yang tidak ditembuskan. Malam itu retakannya menyatu.
“Baik,” ujar Ragil. “Kita profesional saja. Kirimkan draft revisi. Aku akan merapikan transisi.”
“Ragil, jangan dingin begini. Kamu yang mengajarkan aku tentang graceful exit dalam hospitality.”
Ragil menatapnya. “Keluar itu bukan karena aku marah, Jayeng. Karena aku berhenti percaya.”
.
Cerita ini tidak berhenti di rooftop. Seperti jalanan kota, ia bercabang ke tempat lain. Ragil menempuh hidup kelas menengah ke atas yang sering disangka mulus: punya apartemen kecil di tengah kota, mobil listrik cicilan, kartu akses coworking penuh jendela, kalender harian yang padat. Pagi ia mengajar branding di fakultas ekonomi, siang menjadi strategist untuk chain kopi lokal, petang meninjau protokol layanan hotel yang baru masuk tahap soft opening. Ia berteman dengan Umar—founder tech yang kalem—dan Madi, chef yang baru pulang dari Singapura. Ada juga Kerta, bankir yang gemar memotret langit selepas jam kantor.
Mereka bertemu di suatu Sabtu di ruang bersama apartemen Ragil yang penuh buku. Umar menyeduh kopi, Madi membawakan donat, Kerta memeriksa pitch deck. Jayeng tidak datang; “Ada urusan keluarga,” katanya di grup, yang belakangan diketahui sebagai makan malam dengan Jingga dan dua pengacara.
Ragil menceritakan hal rooftop. Umar mengerutkan kening. “Secara legal, kamu dipinggirkan. Secara etis, kamu dikhianati.”
“Kamu mau apa?” tanya Madi.
“Pergi,” jawab Ragil. “Tapi berkelas. Aku tidak ingin melawan dengan kebencian. Aku ingin menang dengan data, dengan catatan pekerjaan, dengan arsip proses. Kita yang di service industry diajari begitu.”
Kerta menutup laptop. “Kamu too kind, Gil.”
Ragil tersenyum. “Bukan too kind. Well taught.”
Malam itu mereka menyusun daftar. Ragil membuka folder di cloud berisi timeline Seminyak: pertemuan awal, benchmark, rancangan SOP kamar, guest journey dari booking hingga review, training front office. Semua dilakukan Ragil dan tim kecilnya. Ada jejak digital: email, minutes of meeting, Gantt chart. Umar mengarsipkannya rapi. “Ini jaring pengaman,” katanya. “Bukan buat menyerang, tapi buat membuktikan kalau kebaikan kita bukan naivete.”
.
Sementara itu, program CSR yang dirintis Ragil pelan-pelan tumbuh. Di gang sempit di utara kota, mushala kecil menjadi dapur bersama. Madi menyusun menu: nasi sayur, tempe, sup bening. “Gizi cukup bukan soal mahal,” katanya. “Soal komposisi.” Lima hari seminggu, jam sebelas hingga satu, warga yang bekerja serabutan datang bergantian. Ragil menulis di whiteboard: “Makan bukan sedekah, ini kerja sama. Kamu diajak menyelesaikan hari.”
Ia percaya sedekah paling efektif adalah yang menghormati martabat. Foto-foto tidak dipamerkan. Laporan keuangan disusun terbuka. Kerta membuatkan rekening khusus. Umar merancang micro-site untuk transparansi.
Di sinilah Ragil belajar lagi tentang senyap. Orang yang sakit hati biasanya berteriak. Orang yang sangat sakit hati memilih diam. Dari para pengunjung dapur kecil itu, ia melihat cara orang menanggung hidup: buruh pabrik yang memotret menu untuk anaknya, nenek yang menambah kuah agar cucunya kenyang, mahasiswa perantau yang menyembunyikan kartu mahasiswanya agar tidak dianggap minta belas kasihan.
“Semua orang ingin dipandang cukup,” kata Ragil pada Umar suatu siang. “Sama seperti aku yang ingin dipandang cukup di timku sendiri.”
“Enoughness,” jawab Umar. “Itu kata yang jarang dipahami dalam model bisnis.”
.
Satu bulan berlalu. Kontrak Seminyak disahkan tanpa nama Ragil. Jayeng mengirim pesan yang terasa seperti siaran pers: “Terima kasih atas kontribusinya. Kami berharap kerja sama lain di masa depan.”
Ragil membalas sopan. Lalu ia menulis empat surat: untuk dirinya sendiri, untuk Jayeng, untuk Jingga, dan untuk tim yang tersisa.
Surat untuk dirinya sendiri dimulai begini:
“Ragil, jangan biarkan luka menjadi identitas. Jadikan ia kurikulum.”
Ia menuliskan apa yang ia pelajari: bahwa rapat yang kita absenkan tanpa kejelasan akan menjadi kebiasaan orang lain menghapus nama kita; bahwa kerja tanpa perjanjian tertulis adalah undangan pada kabar buruk; bahwa kebaikan bukan alasan untuk tidak tegas.
Surat untuk Jayeng lebih pendek:
“Setiap orang berhak mengejar percepatan. Aku memilih ketepatan. Semoga kita bertemu lagi di garis etika yang sama.”
Untuk Jingga, ia menulis:
“Terima kasih atas kepercayaan pada proyek. Semoga hotelnya penuh tamu dan penuh kebaikan pada pekerjanya.”
Ia tahu kalimat itu mungkin tak dibaca; namun menulisnya membuat dadanya lega. Ia melepaskan tanpa dendam.
Untuk tim yang tersisa, ia lampirkan SOP akhir yang sudah ia poles. Di halaman dua ia menulis:
“Kualitas layanan ditentukan oleh apa yang kamu lakukan ketika tak ada yang menonton.”
Ragil tahu, banyak di antara mereka yang masih mengirim pesan pribadi, menceritakan kondisi lapangan, gaji yang telat, training yang tumpang tindih. Ia membalas satu per satu dengan hormat, tanpa menghasut, tanpa mengorek. Kelak sebagian dari mereka pindah ke jaringan hotel lain, ada yang mengajar pariwisata, ada pula yang membuka kafe kecil. Nama Ragil sering disebut sebagai rujukan—bukan karena ia pernah menang dengan gaduh, melainkan karena ia tak menambah luka pada luka.
.
Suatu malam, Ragil pulang mengemudi pelan melewati Jalan Tidar. Langit cerah. Lampu headlamp memantul pada garis putih aspal yang rapi. Ponselnya menyala: panggilan dari Ibunya di Jember.
“Piye, Le?” suara ibunya hangat. “Kerjaanmu ora kesel?”
“Kesel sing nyenengke,” Ragil tertawa. Lalu ia menceritakan bagian-bagian lewat yang aman: kelas pagi yang ceria, program makan siang, rencana menulis buku kecil tentang pelayanan.
Ibunya mendengarkan. Lalu berkata pelan, “Wong apik kuwi asring kalah swara, nanging ora kalah cara.” Orang baik sering kalah suara, tetapi tidak kalah cara.
Kalimat itu menempel seperti plester di luka yang belum kering.
.
Kabar berikutnya datang dari Kerta yang selalu punya akses rumor: proyek Seminyak berjalan terburu-buru, soft opening dimajukan dua bulan, review tamu awal campur aduk. Beberapa influencer menulis bahwa check-in lambat, staf masih bingung, breakfast kehabisan sup jam tujuh. Jayeng menelpon Ragil tiga kali. Ragil tidak mengangkat. Ia mengirim pesan: “Kamu boleh konsultasi dengan honor standar. Bukan karena aku pahit, tapi karena kerja harus jelas.”
Jayeng membalas singkat: “Baik. Kirimkan tarif.”
Umar terkekeh ketika Ragil menceritakan itu. “Profesional yang matang adalah yang bisa memisah rasa dari kinerja.”
Ragil mengangguk. “Dan yang tahu kapan harus bilang tidak.”
Engagement di micro-site program CSR melonjak. Ada kantor akuntan yang ingin menjadi donatur tetap. Ada kampus yang ingin mahasiswa KKN belajar community kitchen. Ragil menulis modul kecil “Manajemen Dapur Martabat”—tanpa brand yang berisik, tanpa jargon yang menonjok. Ia menulis seperti menata meja: sederhana, bersih, fungsional.
Di tengah kesibukan, ia bertemu lagi dengan Jayeng. Bukan di rooftop, melainkan di ruang rapat sederhana di coworking. Ada papan tulis, spidol hitam, dan dispenser air. Jayeng terlihat kurus.
“Ragil,” suaranya parau. “Aku salah menilai. Aku kira, memotong proses akan mempercepat hasil. Ternyata memotong kepercayaan—”
“—memperlambat segalanya,” Ragil menyelesaikan. “Aku tahu.”
“Aku minta maaf.” Jayeng menatap meja. “Boleh aku memperbaiki?”
Ragil menyandarkan punggung. Ada ruang di dadanya yang mencarikan jawaban paling mudah: “Ya, ayo mulai lagi”. Namun ia memilih jalan yang lebih berat: memulihkan batas.
“Kamu tidak perlu minta maaf terlalu panjang kepadaku,” katanya. “Aku sudah melewati tahap marah. Aku ingin kita belajar. Kalau kamu butuh bantu, ada tarif, ada NDA, ada kontrak. Aku akan membantu karena profesional, bukan karena nostalgia.”
Jayeng mengangguk pelan. “Kamu berubah.”
“Bukan. Aku kembali ke aturan yang benar.” Ragil tersenyum. “Selama ini aku hanya terlalu percaya.”
.
Cerita di kepala kita sering ingin berakhir megah—dengan pelukan, kembang api, atau tepuk tangan panjang. Hidup jarang seperti itu. Penutup lebih sering terjadi dalam bentuk file PDF yang terkirim malam hari, rapat daring 30 menit, atau amplop sederhana yang bertuliskan thank you. Namun ada juga penutup yang sunyi sekaligus terang: hari ketika seseorang berhenti meyakini yang tidak lagi layak diyakini, lalu memilih menyalakan lampu kecil yang bisa ia atur sendiri.
Beberapa bulan setelah percakapan dengan Jayeng, Ragil tengah memberi kuliah umum di ruang auditorium kampus. Slide terakhirnya menampilkan kalimat: “Hospitality adalah keterampilan mengatur rasa orang lain tanpa mengorbankan rasa diri.” Ia melihat mahasiswa-mahasiswanya menyalin cepat, ada yang mengangkat gawai untuk memotret.
Seusai kuliah, seorang mahasiswi mendekat. “Kak Ragil, bagaimana caranya tahu kapan harus berhenti percaya?”
Ragil menatap anak muda itu, melihat dirinya beberapa tahun lalu: penuh gagasan, agak naïf, mudah bahagia dengan pujian.
“Ketika suara kamu tak lagi dicatat walau kamu sudah mengingatkan dengan sopan,” jawabnya. “Ketika rapat diatur tanpa kamu walau kamu memimpin pekerjaan. Ketika janji bertambah, namun perjanjian berkurang. Saat itu, kepercayaan bukan lagi kebajikan. Ia berubah menjadi pengabaian terhadap dirimu sendiri.”
Mahasiswi itu mengangguk, menatap sepatu ketsnya. “Berarti… kita boleh melepaskan?”
“Boleh,” kata Ragil. “Dan harus. Lepaskan dengan tenang, rapikan catatanmu, ucapkan terima kasih yang wajar, lalu berjalan. Orang baik tidak perlu meninggalkan jejak dendam.”
.
Di sebuah sore lain, dapur kecil di utara kota ramai. Madi membagi sup bening, Umar mengatur antrean, Kerta membagikan form relawan baru. Ragil duduk di bangku plastik, mengikat rambutnya. Dari pengeras suara mushala, lantunan doa mengisi udara hangat. Seorang ibu muda mendekat, membawa anaknya.
“Terima kasih, Mbak,” katanya lirih. “Anak saya jadi kuat sekolah lagi.”
Ragil mengangguk, menepuk punggung si anak. “Semoga harimu menyenangkan.”
Ketika ibu dan anak itu pergi, Ragil menatap papan tulis tempat kalimatnya mulai pudar terkena udara lembab. Ia menulis ulang: “Makan bukan sedekah. Ini kerja sama.” Lalu, di bawahnya, ia tambahkan kalimat baru: “Kepercayaan juga. Ia bekerja ketika kita sama-sama menjaganya.”
Angin petang menggerakkan kertas-kertas. Kota menyalakan lampu-lampunya. Ragil menyadari, diam-diam ia tumbuh. Bukan menjadi kebal—ia masih bisa tersentuh, masih bisa patah—tetapi menjadi terampil: menata batas, mengatur energi, memilih pertempuran.
Di ponsel, ada surel dari sebuah jaringan hotel di Lombok, menawari kerja short term untuk menata ulang guest journey. Ada pesan dari Jayeng yang melaporkan bahwa Seminyak mulai stabil setelah SOP diperbaiki—ia mengirim imbalan konsultasi sesuai tarif, tanpa tawar. Ada notifikasi dari kampus, permintaan untuk mengisi seminar “Etika Bisnis di Industri Layanan.” Semuanya terasa tidak gemerlap, tapi cukup. Sejenis enoughness yang dulu dikejar dengan napas terengah tetapi kini datang dengan langkah stabil.
Malam itu, Ragil menulis catatan harian terakhir untuk bab ini:
“Kebaikan tanpa tegas akan menjadikan kita korban; ketegasan tanpa kebaikan menjadikan kita pelaku. Di antaranya ada seni—seni menjaga diri.”
Ia menutup buku, mematikan lampu kerja, membuka jendela. Dari jauh terdengar kereta melintas, panjang dan sabar. Ragil memejam, tersenyum. Ia tidak lagi menunggu permintaan maaf yang sempurna. Ia sudah memaafkan hidup, juga dirinya sendiri.
Dan ketika seseorang bertanya kelak, kapan ia benar-benar pergi dari sebuah hubungan kerja yang melukai? Jawabannya bukan pada hari ia meneken surat resign, bukan pada malam ia mengembalikan ID kartu. Ia pergi pada saat kepercayaannya selesai—bukan karena benci, melainkan karena batas yang penuh martabat.
.
.
.
Malang, 29 Oktober 2025
.
.
#CerpenIndonesia #UrbanFiction #Hospitality #EtikaBisnis #Kepercayaan #Mentorship #CSR #KelasMenengah #Surabaya #Storytelling
.
Petikan-Petikan dari naskah
-
“Kepercayaan retak tidak selalu terdengar: ia pecah di dalam dada orang yang paling lembut, sunyi seperti kaca jatuh ke karpet.”
-
“Kualitas layanan ditentukan oleh apa yang kamu lakukan ketika tak ada yang menonton.”
-
“Lepaskan dengan tenang; orang baik tidak perlu meninggalkan jejak dendam.”
-
“Kebaikan tanpa tegas menjadikan kita korban; ketegasan tanpa kebaikan menjadikan kita pelaku.”
-
“Hospitality adalah keterampilan mengatur rasa orang lain tanpa mengorbankan rasa diri.”