Beranda yang Menuntun Pulang
“Di tengah riuh kota dan sejuknya pendingin udara, jangan biarkan hatimu mengeras. Ingatlah: rumah bukan sekadar alamat—ia arah pulang bagi doa yang menunggu dikabulkan.”
.
Ibu Bumi Bopo Angkoso—begitu suara itu memantul dari dalam kepala Sabrang saban subuh, entah dari mana asalnya. Barangkali dari ingatan masa kecil tentang neneknya yang menidurkannya di beranda, di antara bau kayu basah dan suara kucing kampung. Barangkali dari sisa-sisa pitutur yang dulu ia anggap kuno, lalu kini ia temukan sebagai alat napas yang menyelamatkan.
Pagi itu, Sabrang berdiri di depan jendela apartemen 38 lantai di jantung kota. Di bawah sana, tol melilit seperti ular perak. Di atas meja, laptop menyala, notifikasi rapat bergiliran menyentil: Kickoff Q3, Investor Call, Press Launch. Ia menatap wajahnya yang memantul di kaca—refleksi seorang pria empat puluh tiga tahun, lulusan terbaik kampus ternama, pendiri startup edukasi yang tumbuh menjadi grup usaha: sekolah hybrid, platform micro-learning, konsultan kurikulum korporat. Orang-orang menyebutnya “visioner”. Media finansial memajangnya dalam daftar “40 under 40”—meski ulang tahunnya yang ke-41 sunyi di kalender pribadi.
Sabrang menutup mata. Di antara kesunyian yang diciptakan oleh bunyi mesin pendingin udara, ia membisikkan doa: “Kakang kawah adi ari-ari, papat kiblat limo pancer…” Ia tak hafal seluruhnya; potongan kata-kata itu datang seperti ombak—sekejap ada, sekejap lenyap. Yang tinggal hanya satu janji: jangan mengeraskan hati.
.
Siang hari, ia menjejak lobby marmer kantor pusat: lampu-lampu gantung seperti bintang jatuh, senyum resepsionis setipis cucumber sandwich. Ruang rapat utama menghadap kota; dindingnya videowall menampilkan peta kelas-kelas yang sedang berlangsung di 24 kota, 12 kabupaten. Sabrang menggeser duduk, menghadap para petinggi anak usaha.
Umarmaya, Chief Strategy—mantan banker yang pandai membaca angka seperti cuaca—membuka paparan.
“Ekspansi berhasil,” katanya, “tetapi arus kas kita kering karena subsidi scholarship yang minta diperluas. Revenue corporate training naik, tetapi burn rate juga ikut membesar. Kita butuh mitra CSR.”
Dari ujung meja, Jayeng—kepala content studio dengan rambut yang selalu seperti baru keluar dari salon—mengangkat tangan. “Aku dapat kabar dari satu perusahaan rokok besar. Manajer CSR-nya, Wirawangsa, orangnya luwes, realistis. Mereka ingin mendanai kelas literasi finansial untuk keluarga buruh pabrik dan ojek online. Bukan cuma event, tapi program.”
“Tapi rokok?” bisik Umarmadi, COO yang pernah menjadi pegiat kesehatan masyarakat. Napasnya mengandung skeptis yang panjang. “Apa kita tidak akan digergaji publik?”
Sabrang menatap mereka satu demi satu. Ia tahu diskusi ini akan datang. Ada resiko reputasi, ada pertanyaan moral—apakah uang yang diambil dari satu keterikatan bisa membebaskan ikatan lain?
“Kalau kita masuk,” kata Sabrang pelan, “syaratku dua. Pertama, kurikulum tetap milik kita. Kedua, program tidak boleh menjadi iklan terselubung.”
Semua mengangguk tanpa pasti. Di layar, grafik bergerak seperti detak jantung. Sabrang menghela napas. Dalam hidup kelas menengah ke atas, pilihan jarang benar-benar bersih. Kita hanya memilih kadar lumpur yang masih bisa dicuci.
.
Malamnya, Sabrang pulang sedikit lebih awal—yang berarti pukul sembilan. Di apartemen, Retna—istrinya—sedang menutup laptop dengan gerakan yang disederhanakan. Ia arsitek interior; merekalah pasangan yang konon “seimbang”: satu berpikir tentang ruang belajar, satu lagi menciptakan ruang yang membuat belajar terasa mungkin. Mereka punya satu anak, Nilam, kelas dua percaya diri di sekolah berbiaya yang sama besarnya dengan cicilan mobil kelas menengah.
“Bagaimana rapat?” tanya Retna sambil menyiapkan teh chamomile. Lampu-lampu gantung yang mereka rancang sendiri melempar bayangan melengkung di dinding; seperti garis pantai pada peta yang belum sempurna.
“Pertimbangannya banyak,” jawab Sabrang. “Kita butuh dana untuk memperluas beasiswa. Ada mitra CSR, tapi sumbernya… kamu tahu.”
“Tujuanmu jelas,” kata Retna, menatapnya. “Tapi jangan menyepelekan perasaanmu sendiri.”
Sabrang mengernyit. “Perasaan?”
“Ya,” Retna tersenyum singkat. “Kamu bisa membuat keputusan paling rasional. Tapi keputusan yang baik bukan hanya soal benar-salah di kertas. Ia harus nyetel dengan orang yang menjalaninya.”
Malam semakin tua. Dari jendela, kota seperti papan sirkuit yang dihuni lampu-lampu kecil. Sabrang berjalan ke kamar Nilam. Anak itu tertidur dengan buku gambar terbuka—di halamannya, sebuah sketsa rumah kayu dengan halaman berumput dan seseorang yang duduk di beranda, memegang cangkir. Sabrang memandangi gambar itu lama sekali, seolah ia menemukan peta menuju sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan.
Saat itulah ia mendengar suara neneknya dari lembah ingatan: “Among sing momong jiwo ragamu… yen goyah, donga.”
.
Pertemuan dengan Wirawangsa berlangsung di sebuah kafe yang menjadi sarang segala rapat—kopi mahal, kursi keras, akustik ramah gosip. Wirawangsa datang dengan batik cokelat yang lembut, usia empat puluhan akhir, pandangan mata seperti orang yang sering melihat matahari dari jendela mobil.
“Pak…” Ia tertahan. “Sabrang,” Wirawangsa memilih menyebut nama langsung, sesuai budaya kiri-kanan kota yang makin ringan dengan gelar. “Saya mengikuti program-program kalian. Impact-nya jelas, datanya rapi. Kami ingin menjadi jembatan. Biar kami menutup biaya operasional, kalian yang mengajar.”
“Tanpa logo di tiap slide,” potong Jayeng yang ikut hadir.
Wirawangsa tertawa kecil. “Kalau kami mau iklan, kami punya caranya. Kami mau yang sederhana: kelas berjalan, keluarganya bisa menata arus kas, dan anaknya bisa mengejar cita-cita tanpa berhutang bodoh.”
Umarmadi menggeser cangkir. “Kita berdiri di wilayah abu-abu. Di satu sisi, bantuan ini bisa membuka kelas bagi ribuan keluarga. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral.”
“Abu-abu,” kata Wirawangsa, “adalah warna senja yang membuka malam. Kita tak boleh buta karenanya. Syarat saya pun sederhana: transparency report per triwulan, audit independen, evaluasi peserta. Bukan laporan tipuan.”
Sabrang menatap tangan mereka. Tangan manusia kota: kuku bersih, buku jari tanpa kapalan, nadi yang menyimpan jam lembur. Ia memikirkan sorot mata Nilam saat memamerkan gambar rumah kayunya. Ia memikirkan beasiswa yang mereka janjikan. Ia memikirkan warisan neneknya—bahwa hidup adalah menjaga pancer di tengah empat kiblat.
“Baik,” katanya akhirnya. “Kita coba tiga kota dulu. Kalau sesuai, kita tambah.”
Wirawangsa menunduk, seolah orang Jawa yang menyimpan syukur dalam gerak kecil. “Terima kasih,” ucapnya.
.
Tiga bulan berikutnya, hidup melaju bagai montase film. Kamera bergerak cepat: ruang-ruang kelas sederhana di pinggir kota; layar proyektor yang memantulkan grafik arus kas rumah tangga; anak-anak yang menyalin mimpi dalam kertas origami; ibu-ibu yang tertawa malu saat pertama kali mengenal dompet digital; bapak-bapak yang merapikan catatan cashflow sambil menghela napas lega. Wirawangsa berjalan di belakang, mencatat pada ponsel. Jayeng mengabadikan momen dengan tim kreatifnya, menyuntingnya menjadi klip satu menit yang lembut dan bersahaja.
“Data,” kata Umarmaya pada rapat evaluasi. “Retention 78%. Rumah tangga peserta mengurangi utang konsumtif rata-rata 24% dalam dua bulan. Anak-anak… ini yang menarik: absensi sekolah membaik, engagement belajar meningkat di kelas daring.”
Sabrang tersenyum. “Kita sedang menambal jaring,” katanya. “Kalau ada satu simpul kuat, ikan-ikan kecil itu tidak akan lolos.”
Namun kabar baik berumur pendek. Suatu pagi, media sosial menyambar: “Startup pendidikan bekerja sama dengan perusahaan rokok. Ironi atau kompromi?” Tagar melata seperti semut. Seorang influencer kesehatan memotong klip rapat peresmian, menuduh program sebagai whitewashing. Komentar membludak. Tiga klien korporat menunda kontrak. Dua investor ragu.
Di ruang rapat, layar menampilkan badai digital. Jayeng duduk menekuk punggung. Umarmadi membeku. Umarmaya merapikan kacamata.
“Kita jelaskan datanya,” ujar Umarmaya. “Transparansi.”
“Sambil meminta maaf,” tambah Umarmadi pelan. “Bukan karena salah bermitra, tapi karena kami belum menjelaskan yang kami jaga.”
Sabrang mengangguk. “Kita adakan forum terbuka. Undang influencer, akademisi, LSM, peserta program. Biarkan data dan suara keluarga itu yang bicara.”
“Dan kamu sendiri?” tanya Retna malam itu. “Kamu sudah bicara pada dirimu?”
Sabrang memutar cangkir kosong. Di luar, lampu-lampu kendaraan menyusun garis putus-putus yang tak pernah benar-benar sampai. Ia menatap gambar rumah kayu yang masih tertempel di kulkas.
“Aku takut menjadi orang yang benar di atas kertas, tapi kosong di dalam,” katanya akhirnya.
“Kalau begitu, bicaralah sebagai manusia,” jawab Retna.
.
Forum digelar di aula sekolah negeri favorit—tempat yang akustiknya menampung amarah dan harap seperti panci besar. Di depan, wangi pernis bercampur bau proyektor yang memanas. Kamera media berbaris. Wirawangsa hadir, duduk agak di belakang, memilih menepi. Di barisan tengah, peserta program—ibu-ibu dengan jilbab warna bunga dan bapak-bapak dengan kemeja lengan pendek—menatap panggung dengan mata yang tak terbiasa menjadi pusat perhatian.
Sabrang berdiri, microfon di tangan. Ia membaca catatan, lalu menutupnya perlahan.
“Teman-teman,” katanya, suaranya datar namun bergetar, “kami datang bukan untuk membenarkan diri. Kami datang untuk mendengar. Kami memilih bekerja sama dengan sumber dana yang diperdebatkan karena kami percaya tujuan ini mendesak: pendidikan finansial keluarga, kesempatan belajar untuk anak-anak. Kami menolak iklan terselubung, menolak kontrol kurikulum. Semua finansial kami buka—silakan audit. Jika kami salah membaca, kami siap memperbaiki, atau bahkan mundur.”
Dari belakang, terdengar seseorang berdehem. Mikrofon berpindah ke seorang perempuan muda di barisan peserta. “Saya Retno,” katanya, menatap kamera singkat, “sebelumnya saya kerja shift di pabrik, sekarang saya lagi kuliah malam. Kelas ini mengajari saya bikin pos keuangan dan dana darurat. Saya jadi bisa bayar cicilan tanpa gali lubang. Kalau besok program ini ditutup, saya sedih. Tapi saya juga nggak mau anak-anak saya ngerokok.”
Tawa kecil. Tepuk tangan.
Seorang influencer kesehatan yang kritis mengangkat tangan berikutnya. “Saya tidak anti pada niat baik,” katanya, “tapi saya mau menantang: bisakah kalian cari sumber dana lain yang tidak berkontradiksi dengan tujuan edukasi kesehatan? Kalau bisa, kenapa memilih opsi ini?”
Sabrang menghela napas. “Karena cepat. Karena di sisi lain, ada pabrik-pabrik lain yang tidak akan tiba-tiba berhenti beroperasi besok, sementara keluarga yang membutuhkan tidak bisa menunggu. Tapi tantangan Anda benar. Mari kita cari opsi lain bersama. Sementara itu, kami ingin memastikan program ini tidak membenarkan konsumsi yang beresiko.”
Forum berjalan tujuh puluh menit. Di akhir, tak ada pemenang yang diarak. Hanya data yang terbaca, dan wajah-wajah yang saling menatap tanpa saling meniadakan.
Di luar aula, hujan turun deras. Retna merapatkan blazer. Sabrang menengadah. Di remang parkiran, Wirawangsa berdiri, menatap langit.
“Saya siap jika harus mundur,” kata Wirawangsa. “Kalian bisa lanjut cari sumber lain. Saya nggak ingin program ini jadi beban.”
Sabrang mendekat. “Aku tidak mau kaubawa sendiri semua beban.”
Mereka berdiri berlindung di bawah emper bersama. Air menetes dari ujung genteng, menggambar garis tipis di tanah. Sejenak, kota terasa seperti desa—tempat orang bisa diam tanpa perlu menjelaskan.
.
Seminggu kemudian, badai digital mereda. Bukan karena semua setuju, melainkan karena debat pindah ke isu baru. Namun ada yang berubah di dalam Sabrang—suara yang meminta ruang untuk pulang.
Ia memutuskan cuti dua hari. Bukan liburan; ia ingin pulang ke rumah kayu dalam gambar Nilam. Mereka bertiga menyusuri jalan tol ke selatan, keluar di kota kecil tempat neneknya dulu tinggal. Di pinggir kota, mereka menyewa homestay: rumah panggung jati, beranda lebar, halaman rumput. Di ujung kebun, sungai kecil berkilat semacam nikel. Pagi itu dingin seperti kalimat yang belum selesai.
Di beranda, Sabrang duduk bersama Nilam. “Gambar rumah ini seperti apa?” tanya Sabrang.
“Ini rumah tempat orang-orang belajar pelan-pelan,” jawab Nilam. “Bukan di kelas yang tinggi. Di sini kita bikin kursi dari kayu bekas, terus baca buku di bawah pohon.”
“Siapa yang mengajar?”
Nilam berpikir. “Semua yang datang, saling ajar.”
Retna datang membawa teh. “Kamu selalu mencari jawaban yang luas,” katanya pada Sabrang. “Tapi mungkin yang kamu butuhkan sekarang sederhana: ruang yang membuatmu ingat pada alasan awal.”
Sabrang mengangguk. Di beranda itu, ia menulis sebuah pesan pada board manajemen: Kita bangun satu pusat belajar kecil. Bukan gedung megah, bukan franchise, hanya rumah kayu. Tempat untuk bernafas, tempat para pengajar kita pulang, tempat keluarga belajar dalam kesederhanaan yang disengaja. Ini bukan strategi bisnis; ini strategi menjaga jiwa.
Umarmaya membalas cepat: Dari sisi keuangan, kecil sekali dampaknya. Tapi dari sisi manusia, mungkin besar. Aku ikut.
Jayeng membalas dengan dua kata: Aku pulang.
Umarmadi mengirim foto surau kecil di kampungnya: Kita bisa mulai dari sini.
.
Dua bulan kemudian, rumah kayu itu berdiri. Mereka menamainya Pancer—pusat kecil yang menahan langkah agar tidak melebar tanpa arah. Di beranda, rak buku dari kayu palet; di halaman, meja-meja lipat; di ruang tengah, papan tulis bekas kantor yang dikelupas logonya. Kelas-kelas berlangsung tanpa seragam: seorang akuntan mengajar ibu-ibu mencatat pemasukan, seorang perajin kayu mengajari anak-anak membuat mobil mini, seorang mahasiswa hukum menjelaskan hak pekerja. Kadang Retna menggelar kelas kecil tentang layout ruang, menjelaskan bahwa rumah yang baik bukan sekadar cantik tapi memudahkan orang berbahagia; kadang Sabrang mengajar “berpikir jernih”—bukan tentang pitch deck atau target, melainkan belajar mempertanyakan kenapa.
Suatu sore, seorang lelaki bertubuh kokoh datang. “Aku Panoleh,” katanya—nama yang terdengar seperti dongeng bergema di pinggiran Madura. Ia tukang las yang baru berhenti minum karena istrinya hamil. Ia duduk di sudut beranda, mata mengitari rak buku.
“Kamu ingin apa?” tanya Sabrang.
“Belajar diam,” jawab Panoleh, jujur seperti anak kecil.
Sabrang tertawa pendek. “Di kota, diam dianggap malas. Padahal diam kadang cara paling cepat untuk mengerti.”
Mereka duduk sampai senja turun. Di ujung sawah, cahaya kuning bersandar pada batang siwalan. Panoleh bercerita tentang usahanya yang sepi, tentang anak yang akan lahir, tentang rasa bersalah yang membengkak di dada. Sabrang bercerita tentang kota yang menyesakkan karena terlalu pandai meminjamkan ambisi. Mereka bertukar hening; hening yang tidak memalukan.
Malamnya, Panoleh menulis satu kalimat di papan tulis: “Aku ingin anakku belajar bahagia sebelum pintar.” Kelas bubar dengan pelan; orang-orang membawa pulang kalimat itu seperti benih.
.
Namun hidup tak berhenti memberi ujian. Di kota, salah satu investor utama mereka tiba-tiba menarik diri—badai ekonomi global, kurs yang berguncang. Kontrak-kontrak pelatihan perusahaan ditunda. Arus kas kembali kering. Tim keuangan mengirim pesan panik yang diketik rapi.
Sabrang menatap angka-angka seperti menatap sungai yang tiba-tiba menyusut. Di sisi lain, Pancer justru makin ramai. Orang-orang datang membawa roti, membawa buku bekas, membawa cerita. Wirawangsa datang dua kali, selalu menepi, sesekali hanya meminjam kunci ruang belakang untuk salat.
“Aku bisa bantu,” katanya suatu malam. “Bukan hanya lewat perusahaan. Ada kawan-kawan lama yang ingin mendukung, tanpa syarat. Tapi kalian harus siap bertahan dengan cara yang tidak nyaman: memperlambat ekspansi, memotong hal-hal yang selama ini dianggap penting tapi sebenarnya bising.”
“Seperti apa?” tanya Sabrang.
Wirawangsa menatap lampu neon yang memantul di meja. “Seperti berani menolak kontrak yang mengharuskanmu menjual mimpi cepat,” jawabnya.
Retna menambahkan, “Seperti berani mengosongkan kalender. Menjadwalkan waktu untuk tidak menjadwalkan apa-apa.”
Mereka lalu membuat keputusan yang—di kota—mungkin akan disebut mundur: menutup empat kantor cabang yang terlalu jauh dari nafas mereka, mengalihkan tenaga untuk pusat-pusat kecil seperti Pancer, membuka pelatihan korporat hanya bagi perusahaan yang bersedia menjalankan modul kesejahteraan pegawai sebagai inti, bukan bonus.
“Ini akan membuat kita terlihat melambat,” protes seseorang di grup.
“Biar terlihat melambat,” jawab Sabrang. “Yang penting kita berjalan dengan kaki sendiri.”
.
Suatu subuh, ketika kabut masih seperti lipatan kain tipis, Sabrang terbangun oleh suara gamang dalam dirinya. Ia duduk di beranda, mengulang doa yang dulu ia lupakan:
“Ibu bumi Bopo Angkoso, kakang kawah adi ari-ari, papat kiblat limo pancer. Sedulur tuo, sedulur enom, kaki among Nini among sing momong jiwo ragaku. Tak jaluk rewang-rewangan, rewangono anggonku nyambut gawe golek rejeki, opo sing dadi dongaku bakal kawujud. Rangkulen aku yen aku goyah, tuntuneno aku yen aku salah mlampah.”
Kata-kata itu menetes pelan seperti embun, membasuh bagian-bagian hidup yang ditimbuni debu. Ia baru sadar: program, strategi, semua itu hanyalah alat untuk menyampaikan salam pada sang inti—pancer—yang selama ini menunggu di halaman belakang, di rumah kayu yang digambar anaknya.
Ia menulis pada newsletter pagi itu: Di jalanan kota, kita mudah percaya bahwa kecepatan adalah bukti hidup. Tapi ada kecepatan yang menipu: ia membuat kita melayang tanpa menyentuh tanah. Hari ini kami memilih menyentuh tanah, meski jejaknya memperlambat langkah. Kami akan tetap mengajar, tetap belajar, merapikan ambisi sampai tidak lagi menyakitkan. Kalau kalian mau, mari datang ke beranda. Bawa diri kalian. Itu cukup.
Pesan itu menyebar diam-diam. Tidak viral, tetapi sampai ke orang-orang yang perlu. Seorang pengacara pro bono menawarkan waktu. Seorang akuntan senior membuka kelas gratis. Seorang barista yang bosan lomba latte art mengajar remaja membuat minuman sehat dari bahan rumahan. Pancer menjadi tempat pulang orang-orang kota yang kepayahan tinggal di kota.
.
Di ulang tahun Sabrang yang ke-43, Retna menyiapkan kejutan kecil: roti rumahan, lilin dua batang, anak-anak kelas menggambar kartu pos dengan goretan warna yang jujur. Jayeng memperdengarkan voice over pendek—potongan suara orang-orang yang pernah belajar di Pancer, tanpa menyebut nama.
“Terima kasih karena mengajarkan saya sabar menghitung,” kata suara perempuan yang sepertinya pernah mengenakan pita di rambutnya ketika kecil. “Terima kasih karena mengajarkan saya menolak hutang yang membuat sumpal napas,” kata suara bapak-bapak, disusul tawa. “Terima kasih karena mengajari kami membaca yang tidak tertulis,” kata suara seorang remaja.
Sabrang berdiri di hadapan rumah kayu itu, matanya basah. Ia meniup lilin pelan, lalu menatap keluarga kecilnya, lalu menatap kawan-kawan yang datang bukan sebagai tim tapi sebagai orang yang ingin hidupnya tak hanya diukur oleh KPI. Ia merasakan sesuatu mengalir dari tanah, naik ke dada—perasaan yang mungkin pernah dialami neneknya di beranda dulu.
“Aku ingin membaca satu kalimat untuk menutup hari,” katanya. “Kalimat yang dulu asing, sekarang menjadi pulang.”
Ia memejamkan mata, mengucapkannya bukan sebagai mantra, tetapi sebagai janji: “Rangkul aku kalau aku goyah, tuntun aku kalau aku salah melangkah.”
Mereka diam. Angin mengelus rambut Nilam. Lampu-lampu kota jauh di sana terlihat seperti bintang yang berusaha meminjam langit. Di beranda, roti rumahan habis setengah; kebahagiaan tidak selalu harus tandas untuk disebut cukup.
.
Tiga tahun setelah perjumpaan pertama dengan Wirawangsa, kerja sama mereka masih berjalan—namun bukan satu-satunya. Donasi kecil-kecil mengalir dari jaringan alumni, dari komunitas runner, dari arisan ibu-ibu komplek. Mereka mempertahankan standar: kurikulum milik sendiri, laporan terbuka, audit independen, dan keberanian menolak jika syaratnya mengganggu pancer.
Usaha Sabrang bukan lagi “grup usaha” yang menggemaskan investor, melainkan jaringan ruang kecil yang saling mengenal—seperti kampung yang disentuh tangan kota tapi tidak menyerahkan jiwanya. Di Pancer, mereka menempatkan satu papan yang bertuliskan:
“Belajar adalah cara kita menebus masa lalu dan menolong masa depan bertahan dari kebisingan hari ini. Di sini kita tidak mengejar sempurna—kita mengejar pulang.”
Kadang seorang wartawan datang, menulis liputan hangat. Kadang seorang influencer mampir, membuat video yang viral sehari. Kadang hujan besar memaksa kelas dilakukan di ruang tamu. Kadang listrik mati, dan mereka melanjutkan diskusi dengan lilin. Semua baik-baik saja. Mereka belajar menata ritme—kota bukan lagi musuh, melainkan tetangga yang keras kepala.
Pada suatu sore, Panoleh datang membawa anaknya—seorang bocah yang matanya seperti dua butir kopi segar. “Namanya Umarsa,” kata Panoleh. “Aku mau dia main di halaman, nggak apa-apa?”
“Boleh,” kata Retna. “Tapi hati-hati dengan paku di dekat pagar.”
Panoleh mengangguk. Anak itu berlari, menabrak angin. Sabrang memandang mereka, lalu menatap langit yang memerah. Di tempat seperti ini, masa depan bukan abstrak. Ia punya wajah, punya tawa, punya langkah kecil yang berani.
Retna meraih tangan Sabrang, menautkannya. “Kamu akhirnya pulang,” bisiknya.
Sabrang tersenyum, tidak menjawab. Ia tahu perjalanan ini tidak akan selalu mulus. Akan ada lagi debat, ada lagi badai angka, ada lagi komentar pedas yang melintas. Tapi sekarang ia punya peta yang dibuat oleh tangan kecil Nilam, oleh suara neneknya, oleh langkah teman-teman yang memilih berjalan pelan. Ia punya rumah kayu yang membiarkan angin masuk, dan hati yang—meski sesekali goyah—tahu ke mana harus kembali.
Dan ketika malam turun, ia mengulang kalimat yang dulu ia ucapkan dengan malu-malu, sekarang dengan bangga yang lembut:
“Tuntun aku kalau aku salah mlaku.”
Karena pada akhirnya, di kota yang berkilau seakan abadi, hanya itu yang ia butuhkan—dituntun ketika salah, dirangkul ketika goyah, agar tetap manusia di tengah segala kemungkinan menjadi mesin.
.
.
.
Jember, 2 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #SastraUrban #KelasMenengah #PendidikanKeluarga #CSR #EtikaBisnis #MenakMadura #RumahKayu #Pancer #KotaDanPulang