Bayangan di Balik Jendela
“Setiap manusia menyimpan retaknya sendiri, dan dari sanalah cahaya belajar untuk masuk. Hidup bukan tentang siapa yang sempurna, melainkan siapa yang berani bercermin dan memperbaiki diri. Karena kita tidak dilahirkan untuk menuding, tetapi untuk mengulurkan tangan.”
.
Malam menggulung Jakarta seperti selimut plastik yang melekat ketat pada tubuh raksasa. Dari jendela lantai tujuh Apartemen Prapanca Residences, lampu-lampu memantul pada genangan sisa hujan; garis rem merah, sirene ambulans yang memantul di kaca toko, bayang-bayang motor ojek yang memercikkan air. Udara membawa sisa aroma tanah basah bercampur asap knalpot dan kopi sachet dari warung tenda; sebuah wangi yang cuma dimengerti mereka yang pulang larut.
Dudur berdiri di balik kaca, jemarinya menempel pada permukaan dingin itu seakan hendak menembus kota. Di meja, laptopnya menyala menampilkan slide final untuk presentasi besok—proposal branding kota satelit yang berjanji menjadi “kawasan masa depan.” Kata-katanya tegas, metriknya presisi, tetapi dadanya terasa kosong seperti gedung baru yang belum diisi furnitur.
Telepon bergetar. Satu pesan, singkat:
“Menakjingga baru dikuburkan. Kalau kamu masih menganggapnya sahabat, mampirlah ke rumah ibunya.”
Seperti ada sebuah gelas yang diletakkan di tepi meja tanpa sadar tersenggol: hati Dudur retak, jatuh, berderak pelan tetapi pasti. Ia mengulang membaca pesan itu, lalu duduk. Punggungnya bersandar pada kursi, namun seperti tidak menemukan sandaran apa pun.
Ia memejam. Ada suara dari bertahun-tahun yang lalu, di teras rumah kayu di Sumenep, saat mereka remaja; suara angin membawa aroma garam dari laut, dan tawa Menakjingga yang renyah—nama yang dulu sering ia ejek sebagai terlalu “merah,” terlalu mencolok. “Kita harus jadi orang,” kata Menakjingga waktu itu, “tapi jangan jadi orang yang lupa caranya pulang.”
Dudur lupa. Atau sengaja melupakan.
.
Pagi buta, ia sudah di Stasiun Pasar Senen. Kereta ke Surabaya berangkat jam enam. Di peron, orang-orang mengantre dengan mata buram; koper-koper kecil, tas kain yang diikatkan pada gagang, bunyi roda trolley yang berderit. Di sebelahnya seorang perempuan muda menggendong anak balita yang terus menggumam lagu iklan; lelaki paruh baya mengunyah rokok elektrik, menatap langit plafon. Tak ada wajah Menakjingga di sini, tetapi di setiap wajah orang yang lelah, Dudur seperti melihat refleksi dirinya, suatu bentuk kesepian yang terlalu lama disembunyikan.
Ia duduk di kursi dekat jendela. Ketika kereta bergerak, roda besi menggesek rel seperti penghapus menghapus papan tulis. Gedung-gedung beton berganti rumah-rumah sempit, jemuran baju berwarna neon yang melambai, parit-parit dengan air cokelat, kebun pisang, ladang padi, sungai yang meliuk seperti garis hati yang digambar anak SD. Di sela deru mesin, potongan kenangan datang seperti iklan 30 detik: Menakjingga mengulurkan roti isi saat uang kiriman telat; Menakjingga tertawa saat presentasi mereka ditolak; Menakjingga menatapnya lama waktu itu, saat pertengkaran meledak karena laporan keuangan proyek komunitas yang tidak beres.
“Masalahmu satu, Dur,” kata Menakjingga di warung kopi kecil di Ngagel, “kamu selalu mengukur orang lain dengan penggaris yang cuma kamu punya. Kau lupa, penggarismu bengkok.”
Dudur, kala itu, tidak terima. “Kamu menutup-nutupi salahmu,” katanya, “kamu memakai kata solidaritas untuk memaksa kami menoleransi kelalaianmu.”
“Kelalaian bisa diperbaiki,” jawab Menakjingga pelan, “tapi hati yang merasa paling benar—itu buta.”
Sejak itu mereka renggang seperti baju basah yang dipaksa dijemur di balik kulkas: tidak kering, berbau, membentuk jarak yang kikuk.
Kereta memekik memasuki Semarang Tawang, lalu meluncur lagi. Di bangku lipat dekat pintu, seorang bapak berjaket lusuh memeriksa ponsel, memandangi foto: laki-laki muda tersenyum di depan pabrik. Bapak itu menghela napas panjang. Dudur tiba-tiba ingin menanyakan sesuatu, apa saja, hanya untuk memastikan hidup ini masih bisa dibicarakan. Tapi pintu otomatis terbuka, dan angin asin dari utara masuk; ia urung bicara.
Di kotak makan yang dibelinya, nasi goreng dingin sudah mengeras. Ia menyuap beberapa sendok seperti hukuman. Setiap butir nasi menyerupai kata-kata yang pernah ia ucapkan pada orang lain: tajam, tergesa, meninggalkan rasa getir yang lama.
.
Surabaya disambut awan rendah dan terik matahari yang menumbuk kepala. Ia naik taksi online, berkendara ke rumah ibu Menakjingga di pinggir kota. Jalanan itu tidak banyak berubah: warung soto yang masih ramai, bengkel tambal ban dengan kursi plastik hijau, masjid kecil bercat putih yang catnya mulai pudar, pohon asam yang tetap besar, tetap tenang.
Rumah itu menyimpan waktu. Dinding yang dulu berwarna krem sekarang lebih pucat; jendela kayu, gorden bunga-bunga yang diikat simpul. Di beranda, ibu Menakjingga duduk. Rambutnya memutih, namun kerut di wajahnya masih serupa peta yang mengarah ke tempat bernama ketabahan.
“Ibu,” suara Dudur pecah pada suku kata pertama.
Perempuan itu menoleh perlahan, dan seketika matanya berkaca-kaca. “Dudur,” katanya seolah memanggil anak sendiri yang pulang telat, “akhirnya.”
Mereka saling menggenggam, tetapi tidak langsung bicara. Ketika ibu itu mempersilakan masuk, langkah mereka lambat, seperti mengukur ulang jarak antara masa kini dengan masa lalu.
Di ruang tamu ada sebuah foto berbingkai: Menakjingga berdiri di pinggir pantai, mata menyipit, senyum tipis. Di bawah foto, ada kaleng biskuit yang disulap menjadi tempat dupa kecil, wangi cendana naik pelan.
“Dia jatuh sakit beberapa bulan terakhir,” kata ibu, menyodorkan gelas teh. “Sesak. Dokter bilang telat. Tapi kepergian, Nak, selalu datang dengan waktunya, bukan dengan kehendak kita.”
Dudur menatap uap teh. “Maafkan saya, Bu. Saya… saya tidak baik pada dia. Saya membiarkan jarak itu menebal.”
Ibu Menakjingga menghela napas lembut. “Anak-anak lelaki sering malu pada maaf. Padahal maaf itu seperti pintu yang berat di awal, tapi setelah dibuka, kita akan heran kenapa dulu menunda.”
“Dia… pernah bercerita tentang saya?”
“Sering.” Ibu tersenyum pahit. “Dia bilang kamu keras kepala, tapi hatimu sebenarnya lembut. Dia menunggumu pulang untuk duduk dan makan gorengan bersama lagi, seperti dulu.”
Dudur menutup wajah. Di bawah telapak tangannya, ia merasakan air mata yang ia tahan sejak pesan itu tiba. Rumah tua itu menjadi semacam wadah; menampung segala yang tumpah: penyesalan, rindu, malu, kagum, takut.
“Boleh saya ke makamnya, Bu?”
“Boleh. Nanti sore hujan katanya. Tapi kalaupun hujan, hujan selalu baik untuk orang yang datang dengan hati.”
.
Pemakaman kampung berdampingan dengan kebun pisang. Nisan-nisan putih berbaris, beberapa miring, yang lain tertutup tumbuhan menjalar. Nama Menakjingga terukir sederhana. Dudur berlutut. Ia menyentuh tanah lembab itu dengan punggung jari, merasakan dinginnya menembus kulit.
“Jingga…” suaranya turun naik, “aku tidak datang saat kamu ingin bicara. Aku memilih tertawa di meja rapat yang dingin. Aku mengukur nilai seseorang dari catatan debit-kredit yang rapi dan lupa bahwa kamu menambal kekurangan orang lain tanpa menulisnya sebagai piutang. Aku salah. Aku mencintai diriku sendiri lebih dari persahabatan kita.”
Hujan turun halus, seperti serpih tisu yang tercerai dari langit. Seorang bapak yang lewat menyodorkan payung kecil. Dudur menolak dengan anggukan terima kasih. Biarkan hujan membasuh. Biarkan tanah menempel pada lutut celananya. Biarkan kemeja putihnya memudar.
“Tidak ada lagi kesempatan untuk merangkai kata yang tepat,” lanjutnya, “tapi aku janji, sisa hidupku akan kupakai untuk memperbaiki yang masih bisa.”
Hujan mulai deras. Air mengalir pada lekuk huruf namanya, seperti melelehkan duka, tetapi juga menajamkan bentuk. Dudur tidak tahu berapa lama ia di sana. Ketika ia akhirnya berdiri, gemeretak di gigi-giginya lebih banyak karena gugup daripada dingin. Sore itu, langit Surabaya mengantarnya pulang seperti seorang kakak yang menepuk punggung adiknya.
.
Beberapa hari kemudian, Dudur kembali ke Jakarta. Penerbangan sore menurunkan cahaya oranye di antara sayap-sayap beton bandara. Di taksi, ia menatap jalan bebas hambatan yang memanjang seperti garis lurus yang diminta untuk ditempuh tanpa ragu. Tapi di dalam hati, ia tahu, tidak ada garis lurus untuk urusan manusia. Yang ada tikungan, u-turn, jalan berlubang, dan rambu yang sering kita abai.
Kantornya di Kuningan tetap sama: lampu putih dingin, karpet mengilap, mesin kopi yang suara desisnya seperti ular. Rekan-rekan menyapa, beberapa memuji presentasinya yang diundur seminggu. “Besok latihan ya, Dur,” kata Mira, tim kreatif andalannya. “Biasanya kamu yang paling teliti.”
Dudur mengangguk. “Besok kita mulai, tapi ada yang ingin saya ubah dari cara kita kerja.”
Mereka saling pandang. Kalimat itu tidak biasa keluar dari mulutnya.
Rapat tim dimulai jam empat sore. Dudur berdiri di depan papan tulis. Tangannya memegang spidol, tetapi ia tidak menggambar bagan. Ia menatap satu-satu wajah di meja: Mira yang selalu menyimpan potongan kertas di balik HP, Nuh dengan headphone menggantung di leher, Sari yang gelisah memutar cincin, dan Yusa yang baru magang, duduk paling pinggir.
“Selama ini,” kata Dudur, “kita mengupas kesalahan seperti wartawan gosip. Kita lupa bertanya apa yang membuat seseorang gagal. Mulai hari ini, setiap evaluasi dimulai dengan pertanyaan: ‘Apa yang sudah kamu coba dan tak berhasil, dan bantuan apa yang kamu butuhkan?’ Bukan ‘Mengapa kamu salah?’”
Mereka terdiam. Nuh menurunkan headphone. Yusa duduk tegak.
“Contohnya,” lanjut Dudur, “presentasi ruko Kota Belantara. Aku keras pada tim, padahal brief dari klien berubah lima kali dalam sepuluh hari. Itu membuatku cemas—dan aku melampiaskannya. Maaf.”
Kata maaf itu meluncur pelan, tetapi ketika jatuh, bunyinya nyaring seperti koin di lantai marmer. Mira berkedip. “Oke,” katanya, separo lega, separo tidak percaya.
“Kita tetap mengejar kualitas,” kata Dudur. “Tapi kualitas tanpa belas kasih itu namanya kesombongan.”
Sore itu mereka pulang lebih lambat, namun langkahnya lebih ringan. Di lift, Sari menahan pintu. “Terima kasih, Dur. Aku merasa didengar.”
Di parkiran, Dudur mengambil napas panjang. Jakarta, meski keras, selalu menyediakan ruang bagi orang yang sudi mulai dari awal.
.
Perubahan bukan drama sekali jadi; ia seperti mengubah kebiasaan tangan dominan. Ada hari ketika lidahnya kembali tajam, ada saat ia tergoda menghakimi, ada detik-detik lama ketika ia ingin membuktikan orang lain lebih buruk agar ia merasa aman. Tapi setiap kali itu terjadi, Dudur menulis di buku saku kecil: “Jangan sibuk mencari noda di baju orang lain, jika bajumu sendiri penuh lumpur.” Ia mengulangnya seperti zikir.
Ia mulai menata ulang relasi lamanya. Pada satu dini hari, ia mengetik pesan bagi orang-orang yang pernah tersakiti oleh kalimatnya. “Minta waktumu. Aku ingin bicara. Aku tahu aku pernah menyakitimu.” Sebagian membalas dingin, sebagian tidak membalas sama sekali, sebagian menerima ajakannya minum kopi. Ada pertemuan yang canggung; suara sendok menabrak sisi cangkir terdengar terlalu keras. Ada pelukan yang lama, matanya panas.
Satu per satu, simpul tersusun, sebagian longgar, sebagian kuat. Ia tak memaksa. Ia belajar membedakan antara memohon maaf dan memohon pengampunan; yang pertama adalah kewajiban, yang kedua hak orang lain.
Dalam kerja, perubahan itu tampak pada hal kecil: ia memberi kredit pada ide kecil Yusa, ia menunda komentar hingga orang selesai bicara, ia menyisihkan anggaran untuk field trip ke kampung kota—mereka berbincang dengan pedagang sayur yang diusir dari trotoar, mendengar cerita seorang supir bajaj yang kehilangan rute karena jalan ditutup proyek. “Branding bukan hanya soal warna,” katanya pada tim, “tetapi soal nilai: siapa yang kita jadikan ‘manusia utama’ dalam narasi kota ini.”
Pada presentasi besar yang ditunggu, Dudur membuka dengan foto-foto yang mereka ambil sendiri: seorang anak kecil lompat di genangan hujan, perempuan pekerja housekeeping hotel menjemur sprei di atap, satpam tidur di kursi plastik, kakek penjual koran. “Kota adalah kita,” ujar Dudur. “Jika kampanye ini hanya mempercantik gedung tanpa memperbaiki cara kita memandang sesama, maka kita sedang memoles cermin yang retak.”
Ruangan hening. Seorang komisaris yang terkenal keras wajahnya melunak. “Lanjutkan,” katanya. “Aku ingin mendengar lebih banyak tentang ‘manusia utama’ itu.”
Malamnya, tim mereka makan nasi padang beralaskan koran di pantry. Mira tergelak melihat Nuh kepedasan. Yusa mengangkat kamera analog, memotret sekuat hati. Sari mengirim pesan singkat pada suaminya bahwa ia pulang agak larut tetapi hatinya ringan. Dudur duduk di ujung, memandangi mereka; matanya berkaca, bukan karena pedas.
.
Namun berita buruk datang dengan cara yang tidak dramatis: sebuah email dari bank yang menunjukkan saldo tabungan ibu Menakjingga pas-pasan. Lalu pesan dari tetangga bahwa rumah kayu itu beberapa kali bocor besar kalau hujan. Dudur menghubungi ibu.
“Bolehkah aku bantu memperbaiki atap?”
“Tak usah, Nak. Ibu akan pelan-pelan.”
“Anggap saja aku mengerjakan PR yang dulu sering aku tunda.”
Ia mengatur tukang, memesan kayu, mengganti seng, mengecat ulang tembok, dan dengan canggung memasang kipas angin baru di ruang tamu. Ketika ia pulang ke Surabaya untuk melihat hasilnya, ibu itu memeluknya seperti memeluk anak bungsu yang kembali membawa nilai bagus. “Menakjingga pasti senang,” katanya pelan.
Malamnya, Dudur duduk di teras. Angin membawa wangi pisang rebus dari dapur tetangga. Dari kejauhan, suara kereta lewat seperti garis panjang yang menyisir malam. Ia menatap langit Madura—sebagian awan, sebagian bintik cahaya kecil, semuanya terasa dekat. Ia menyadari, kebahagiaan bukan panggung besar dengan sorot lampu kuat; kadang ia cuma teras sederhana, kursi butut, dan seseorang yang mau duduk mendengarkan.
“Bu,” kata Dudur, “bolehkah aku menaruh satu foto Menakjingga di kotak kerjaku, di kantor? Supaya aku ingat pulang.”
“Boleh. Tapi jangan dijadikan jimat,” jawab ibu, “jadikan itu cermin. Biar kalau kamu sedang merasa paling benar, kamu melihat matanya dan bertanya: ‘Benarkah?’”
Mereka tertawa bersama. Tawa yang tak nyaring, tapi sehat.
.
Bulan berganti. Jakarta seperti biasa tetap gaduh, tetapi bagi Dudur, kebisingan itu kini semacam musik latar yang bisa ia atur volumenya. Ia mulai berlari pagi di Gelora Bung Karno, mengelilingi kolam yang memantulkan langit berwarna susu. Pada suatu pagi, ia bertemu perempuan yang menenun tisu ke ujung kursi—seorang petugas kebersihan. “Mas, maaf, tempat sampahnya penuh,” katanya canggung. Dudur membantu memindahkan kantong plastik, mengikat ujungnya. “Terima kasih sudah membuat stadion ini bersih,” katanya. Perempuan itu tersenyum malu, senyum yang menambal lubang-lubang kecil di hati kota.
Di bus TransJakarta, seorang pemuda memaki sopir karena halte berikutnya dilewati. Penumpang lain menyahut. Suasana memanas. Dudur menepuk bahu pemuda itu, “Mas, mari kita bicara baik-baik. Kita marah karena kita merasa tak dihargai. Tapi marah tak otomatis membuat kita dihargai.” Pemuda itu mendengus, tapi suaranya mengecil.
Di apartemen, ia menempelkan secarik kertas di dinding:
“Sebelum menunjuk orang lain, cek tiga jari yang menunjuk kembali.”
Ia membaca itu sebelum tidur, dan setiap kali terburu menghakimi seseorang di telepon atau email.
.
Suatu pagi, notifikasi media sosial berderet. Seorang pengguna anonim menuduh tim Dudur “mencuri” ide dari presentasi sebuah komunitas. Tuduhan itu cepat menyebar; tangkapan layar, opini, hingga meme. Dulu, Dudur akan melawan—menyerang balik dengan dokumen, tanggal, legalitas. Sekarang ia mengulur napas. Ia menghubungi komunitas itu, mengajak bertemu.
Di sebuah kafe kecil dekat Taman Ismail Marzuki, mereka bertatap muka. Ketua komunitas, anak muda bernama Panji, datang dengan kaus lusuh dan mata sipit. “Kami hanya ingin diakui,” katanya. “Ide ini lahir dari kami, dari jalanan yang kami injak.”
Dudur membuka laptop, menunjukkan garis waktu pekerjaan mereka. Betul, ada kemiripan dalam konsep. “Kami tidak mencuri. Tapi benar bahwa kami kurang peka.” Ia lalu menutup laptop itu. “Bagaimana kalau kita rangkul ide kalian dalam kampanye resmi, dan kalian memimpin sebagian aktivitasnya? Anggaran akan kami alokasikan secara terbuka. Nama kalian ditulis di materi.”
Panji terdiam. “Kalau semua klienmu kayak begini, dunia ramah.”
“Tidak semua,” kata Dudur, “tapi kita bisa mulai dari diri sendiri.”
Kabar kesepakatan itu menyebar juga, tetapi kali ini seperti embun di pagi rumput; tidak heboh, menyejukkan. Beberapa akun yang sebelumnya tajam kini menulis, “Ternyata bisa ya diselesaikan tanpa saling menginjak.”
Malam itu, Dudur kembali ke jendela apartemennya. Lampu-lampu kota seperti bintang yang turun terlalu berani. Ia ingat Menakjingga. “Kau lihat, Jingga,” bisiknya, “aku masih ceroboh, tapi aku belajar. Sehari-hari aku jatuh, lalu aku minta maaf, lalu aku bangun lagi. Mungkin beginilah cara manusia bertahan: bukan dengan tak pernah jatuh, melainkan dengan tak malu mengakui luka.”
Di kaca, ia melihat bayangannya: lelaki biasa, bukan pahlawan, bukan orang suci. Tetapi dari matanya, ada kilau kecil yang dulu jarang muncul: kerendahan hati.
.
Waktu bergulir ke akhir tahun. Kantor mereka mendapat proyek yang membuat semua mata berbinar: sebuah kota kecil di pinggiran Jawa Timur ingin menata ulang ruang publiknya. Mereka datang ke sana; alun-alun dengan pohon beringin, penjual cilok, tukang parkir yang selalu tersenyum. Dudur berjalan menyusuri pasar, mengobrol dengan ibu-ibu yang menjual daun pisang, memotret keranjang anyaman, mendengar cerita seorang pedagang buku bekas yang kehilangan kios karena kebakaran.
Di aula kantor kecamatan, ia menutup presentasi dengan kalimat: “Menata kota berarti menata hati. Kalau hati kita penuh hujatan bagi orang lain, maka trotoar selebar apa pun tidak akan muat untuk kita berjalan bersama.”
Tepuk tangan pecah, bukan karena retorika, melainkan karena mereka merasa dilihat, diajak, bukan dihakimi. Seorang bapak mendekat setelah acara. “Nak, kamu tidak seperti konsultan yang biasanya datang memberi tahu apa yang salah dengan kami,” katanya. “Kamu datang mengajak kami melihat diri.”
Dudur tersenyum. “Saya belajar dari teman lama, Pak.”
.
Suatu sore, ia kembali ke Surabaya, tanpa janji dengan siapa pun. Hanya ingin duduk di teras itu, menyapa tetangga, membeli es dawet yang dulu mangkal di pojok gang. Ibu Menakjingga menyiapkan pisang goreng. Mereka makan perlahan. Angin mengusik daun jambu. Di jalan kecil, anak-anak main sepak bola dengan sandal sebagai gawang.
“Jangan sering-sering merasa benar, Nak,” kata ibu, tiba-tiba, “orang yang merasa benar itu berat jalannya. Bawaan tasnya banyak.”
Dudur tertawa. “Sekarang saya membiarkan beberapa tas tertinggal, Bu. Biar ringan.”
“Baik,” balas ibu. Ia memandang langit yang mulai ungu. “Kalau menatap langit tanpa beban, warna apa pun akan tampak indah.”
Malam itu, sebelum tidur di kamar kecil yang dulu pernah ia tempati bersama Menakjingga ketika merantau pertama kali, Dudur menulis di buku sakunya: “Kebaikan bukan proyek. Kebaikan adalah kebiasaan kecil yang dibangun dari pengakuan bahwa kita sama-sama rapuh.”
.
Jakarta, beberapa minggu kemudian. Hujan kembali datang, lebih lebat dari yang biasa. Banjir setinggi mata kaki menggenangi halaman apartemen. Anak-anak berlari-lari, menjadikan air sebagai taman bermain. Di balik jendela, Dudur menatap dan, entah kenapa, tertawa kecil. Ia mengambil payung, turun ke bawah, membantu satpam memindahkan kursi-kursi plastik ke tempat lebih tinggi. Seorang bapak tetangga menyodorkan ember, seorang ibu menyeduh kopi untuk semua. Dalam pasir dan lumpur, ada juga tawa; dalam kesulitan, ada jembatan kecil bernama kepedulian.
Ketika malam mengering, ia kembali ke lantai tujuh. Kaca jendela masih dingin, tapi bukan lagi seperti dinding penjara. Ada rasa hangat dari dalam; perasaan bahwa perubahan, meski sering mengigau, tidak sia-sia. Ia menulis satu kalimat terakhir di kertas yang ditempel di dinding:
“Saling mengingatkan tanpa menghakimi, saling menolong tanpa menagih—di situlah kota menemukan jiwanya, dan manusia menemukan pulangnya.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dudur tidur tanpa mimpi buruk. Ia tahu besok mungkin tidak mudah; ada jadwal rapat, kebijakan pemerintah yang berubah, komentar pedas, dan kemacetan. Tetapi ia juga tahu, ia punya kompas baru: sebaris kalimat sederhana yang ia bawa ke mana-mana—bahwa sebelum menuntut orang lain berubah, ia harus menatap bayangan di balik jendela dan berani mengubah dirinya sendiri.
.
Catatan Akhir yang dibacanya keras-keras sebelum mematikan lampu
“Jangan sibuk mencari noda di baju orang lain, kalau bajumu sendiri penuh lumpur. Bersihkan dirimu, maka tanganmu akan lebih lembut saat membantu orang lain membersihkan dirinya.”
Dan Jakarta, yang tak pernah tidur, malam itu terdengar sedikit lebih pelan—seolah-olah kota pun sedang belajar introspeksi.
.
.
.
Jember, 1 Oktober 2025
.
.
#CerpenJakarta #IntrospeksiDiri #Persahabatan #Penyesalan #KehidupanPerkotaan #Mengharubiru #KompasMingguStyle #JeffreyWibisonoVStyle