Badai Ini Terlalu Kencang, Kawan
“Kita tidak selalu bisa memilih arah angin, tapi kita bisa belajar melipat layar agar tidak karam. Dan kalau layar pun robek, kita masih bisa mendayung pelan-pelan, asal tidak berhenti.”
Kota yang Menelan Mimpi
Langit Jakarta seperti wajah orang yang baru saja kehilangan. Kelabu, sembab, tapi tetap saja harus terlihat biasa. Di sela gemuruh kota yang tak pernah benar-benar tidur, seorang lelaki berdiri sendirian di halte busway Dukuh Atas. Namanya Wiratma. Orang-orang biasa memanggilnya Wir.
Jaket biru dongker yang sudah kusam membungkus tubuhnya, celana jins sobek di lutut kiri seolah bicara, “Hidup ini keras, dan saya tidak sedang main-main.” Di tangannya ada map usang, berisi lembar-lembar yang jadi saksi: ijazah sarjana, pelatihan daring, sertifikat gratis dengan nama tercetak miring, dan surat lamaran kerja yang sudah disalin sampai kertasnya jadi tipis seperti kertas minyak.
Wir pernah juara umum. Di SMA-nya di Bangkalan, ia disebut Menak Wiratma. Bukan karena hartanya, tapi karena logikanya yang tajam dan tutur katanya yang menenangkan. Tapi Jakarta bukan Madura. Di sini, bukan siapa kamu, tapi siapa yang kamu kenal. Bukan seberapa pintar kamu, tapi seberapa sering kamu terlihat penting. Itu dia pelajaran pertama di dunia kerja yang tak tertulis di bangku kuliah.
Busway datang dengan desis rem yang kedengaran seperti keluhan. Wir naik, menyelip di antara pundak-pundak lelah. Di luar jendela, gedung-gedung kaca memantulkan matahari yang setengah malu, reklame digital menjanjikan masa depan dalam 7 detik, dan pejalan kaki menyeberang seperti huruf-huruf kecil yang berusaha dibaca oleh hidup yang terburu-buru. Di dalam, ada bau seragam: parfum hemat, keringat pagi, dan harap-harap cemas.
Surat Lamaran dan Janji Palsu
Pagi itu ia turun di kawasan perkantoran yang jalannya licin oleh hujan malam. Wir menata rambutnya dengan jari. Ia hafal tata cara: ketuk pintu, salam, senyum, sampaikan tujuan, serahkan map. Semua ia lakukan seperti ritual kecil untuk memohon cuaca baik.
“Tinggalkan saja map-nya, Mas. Nanti kami hubungi,” kata petugas resepsionis yang suaranya seperti kaset diputar ulang. Senyum di bibirnya tidak bergerak ke matanya.
Di papan pengumuman, tercetak rapi syarat-syarat yang langsung membuat lutut dingin: usia di bawah 27, pengalaman minimal tiga tahun, mampu bekerja di bawah tekanan dan senyum. Wir menghitung. Umurnya 31. Pengalaman ada, tapi terputus-putus, lebih mirip jahitan tambal sulam daripada garis karier. Di sudut ruangan, selembar poster: “Kami mencari orang jujur, rajin, dan berpengalaman.” Dalam hati Wir tersenyum getir: seringnya mereka mencari orang yang sudah jadi, untuk digaji seperti yang baru mulai.
Wir melangkah keluar. Hujan rintik turun, menyapu debu dari sepatu-sepatunya yang dulu mengkilap saat diwisuda. Di trotoar, pedagang kopi keliling menawarkan gelas plastik. Wir membeli satu. Kopinya pahit, tapi hangatnya mengajak percaya bahwa sesuatu masih mungkin.
.
Balon Sabun dan Trotoar Kota
Di perempatan lampu merah, ia berhenti. Seorang anak kecil—rambut seperti disisir angin—meniup balon sabun dari botol plastik. Balon itu melayang pelan, menangkap sisa-sisa cahaya seperti mata yang masih mau percaya, lalu pecah begitu saja. Seperti harapan yang mendengar kabar: “Mohon maaf, saat ini kami memilih kandidat lain.”
“Bang, seribu aja,” kata anak itu.
Wir merogoh saku. Dua lembar lima ribuan. “Ini. Satu buat kamu. Satu lagi buat beli makan, ya.”
Anak itu menunduk dalam, matanya seperti ingin menyimpan wajah Wir di rak kecil dalam kepalanya. “Makasih, Bang…”
Balon sabun kembali ditiup. Melayang. Pecah. Tapi tetap ditiup lagi. Wir tertawa pelan. Anak itu belum sekolah. Belum tahu betapa keras hidup ini. Tapi sudah tahu cara bertahan. Dalam kepala Wir, kalimat membentuk sendiri: Mungkin, ketahanan pertama-tama bukan pelajaran, melainkan refleks.
Ponsel, Kos-Kosan, dan Sunyi
Kosan Wir di gang yang memanjang seperti kalimat tanpa titik. Pintu triplek tipis, lantai ubin retak, langit-langit bocor di pojok. Kalau hujan lebat, ada ember biru yang menadah suara. Wir duduk bersandar ke dinding. Ponsel di tangan—perangkat pintar yang akhir-akhir ini hanya pintar mengingatkan tagihan. Notifikasi yang masuk kebanyakan penawaran pinjaman, daftar webinar motivasi, dan lowongan yang tampak serupa: janji besar, gaji kecil.
Ia menulis di catatan ponsel:
“Ternyata, pekerjaan bukan semata soal ijazah dan niat baik. Kadang soal keberuntungan. Kadang juga soal urusan yang tak kita mengerti—angka-angka di meja orang yang tidak pernah kita temui.”
Tetangganya, Mas Waluyo, sudah pulang kampung tiga bulan lalu setelah digusur dari proyek. Kamar sebelah kini kosong. Jakarta tidak pernah benar-benar sepi, tapi beberapa sunyi bisa terdengar lebih bising daripada truk sampah subuh-subuh. Sunyi macam apa? Sunyi ketika nama sendiri terasa asing kalau dipanggil. Sunyi ketika berdoa pun terdengar seperti memesan makanan: cepat, jelas, tapi kita tidak tahu kapan sampai.
Malam itu, listrik sempat kedap-kedip. Wir membuka map lamaran. Kertas-kertas itu seperti album foto; tiap lembar punya tanggal, tempat, dan nama yang melukai pelan-pelan. Ia menelusuri garis waktunya seperti orang mengurut punggung agar pegalnya pindah ke ibu jari.
Bursa Kerja: Janji yang Gemerlap
Keesokan hari, Wir datang ke bursa kerja di sebuah balai besar. Spanduk warna-warni menggantung seperti janji. Musik dari pengeras terdengar semangat; kata-kata seperti karier, masa depan, kesempatan berloncatan seperti kembang api.
Antrian panjang di depan stan perusahaan besar berkelok-kelok seperti ular mainan. Di stan yang lebih kecil, brosur menumpuk rapi, menunggu tangan-tangan ragu. Ada yang memotret, ada yang menguap, ada yang bertanya: “Pak, bisa untuk S1 umum?”—yang di belakangnya selalu dijawab: “Sayangnya, kami butuh jurusan spesifik.”
Wir menyerahkan berkas di beberapa stan. Ia ikut sesi CV clinic. Seorang relawan memeriksa berkasnya: “Pak Wir, pengalaman Bapak bagus. Cuma harus dibuat fokus. Jangan semua dicantumkan. Pilih tiga yang paling relevan.”
Wir mengangguk. Dalam hati ia bertanya, Bagaimana kalau relevan yang mereka cari bukan pengalaman, melainkan kebetulan? Tapi kata itu ditelannya. Di bursa kerja, yang keras disimpan, yang sopan diucapkan.
Selesai acara, ia keluar dengan tas kain berisi brosur dan gantungan kunci. Langit sudah panas. Jaketnya lengket. Di halte, seorang perempuan muda menangis pelan menutup wajah dengan file. Wir tidak bertanya. Di kota ini, banyak air mata punya hak untuk tetap anonim.
Masa-Masa Serabutan
Beberapa minggu berikutnya, Wir menerima apa saja: menginput data part-time, menjadi admin media sosial warung kopi, membantu inventaris gudang di akhir pekan, bahkan sempat jadi pengantar makanan selama dua minggu. Ia belajar peta kota dari maps, mengeja nama jalan yang sering dipersingkat sesuka hati. Pada hari ketujuh, motornya kena tilang karena masa berlaku pajak lewat, sesuatu yang ia lupakan karena lebih sibuk menghitung sisa uang kos.
Di setiap pekerjaan serabutan, Wir menemukan pelajaran kecil. Di gudang, ia belajar bahwa sistem bisa hanya setebal dua lembar kertas, tapi kebiasaan orang bisa lebih tebal dari dinding. Di warung kopi, ia belajar bahwa engagement rate tidak selalu berarti penjualan. Di jalan, ia belajar bahwa sabar itu bukan teori, melainkan rem kaki kiri yang tidak terlalu cepat menginjak.
Malam hari, ia kembali ke kamar, mencuci baju sendiri, menjemur di pintu, lalu menatap ponsel seperti menatap langit mendung: mungkin akan hujan panggilan.
Pulang yang Tidak Malu
Pada bulan ketika dompetnya lebih ringan daripada kantong plastik, Wir menjual ponsel. Dapat uang pas untuk tiket bus ekonomi. Tujuannya bukan Jakarta Pusat, tapi rumah. Bangkalan.
“Pulang, Wir?” suara Ibu di telepon warung terdengar seperti bantal.
“Iya, Bu. Wir bawa diri. Itu saja.”
Ibunya memeluk erat di teras rumah yang tujuannya selalu sama: menyambut siapa pun yang kembali. Tak banyak kata. Ibu tahu, anaknya sedang belajar bentuk baru dari keberanian: mengakui bahwa Jakarta terlalu kencang untuk dilawan hari ini. Bukan kalah, hanya memilih tempat memulihkan nafas.
Di desa, Wir jadi guru honorer. Gajinya kecil. Tapi tiap kali ia menghapus papan tulis, ia tahu: setidaknya dia berguna. Ia membuka kelas daring di balai desa, pinjam Wi-Fi dari koperasi. Ia bantu anak-anak buat CV, latih cara wawancara, ajarkan cara menjawab pertanyaan HRD yang suka tiba-tiba menguji: “Kenapa kami harus memilih Anda?”—yang dijawab Wir: “Karena saya tidak akan membuat Bapak/Ibu menyesal.”
Pak RT—Pak Sam’an namanya—awalnya tak percaya. Tapi setelah cucunya keterima magang di Surabaya karena ikut pelatihan daringnya Wir, ia mulai percaya. “Aku dulu kalau kerja cukup pakai surat pengantar kepala desa. Sekarang harus bisa bahasa Inggris sama punya LinkedIn, ya, Wir?” katanya sambil ngopi di warung Mbok Sri.
“Kalau bisa, Pak. Tapi yang lebih penting: anak-anak punya keberanian untuk mencoba lagi,” jawab Wir.
Anekdot dari Kampung
Suatu malam, listrik mati. Lampu petromak dinyalakan, suara jangkrik jadi lebih jelas. Anak-anak duduk melingkar. Wir bercerita tentang “lowongan kerja” yang syaratnya lebih banyak dari isi kontrak pernikahan.
“Ada loker minta umur di bawah 25 tahun tapi pengalaman lima tahun. Lah, itu apa nggak harus kerja dari umur 15?” Anak-anak tertawa. Pak Lurah datang membawa singkong rebus, ikut duduk. “Zaman saya, asal bisa nulis dan baca, diterima kerja. Sekarang, bisa tiga bahasa asing pun belum tentu dipanggil,” gumamnya.
Wir menimpali: “Tapi ada juga yang baik. Ada perusahaan kecil di Pamekasan, nggak tanya umur, nggak tanya IPK. Yang ditanya: ‘Kalau komputer mati pas jam 5, apa yang kamu lakukan?'” Anak-anak ramai menjawab: ada yang bilang restart, ada yang bilang panggil teknisi, ada yang bilang pulang saja. Wir tertawa: “Jawaban yang mereka suka: ‘Saya selesaikan pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa komputer dulu.'”
Anekdot itu bukan untuk menghibur. Tapi untuk mengingatkan: kadang, kesenjangan tidak cuma soal uang, tapi juga soal akal sehat. Yang dibutuhkan dunia kerja sering bukan orang paling pintar, tapi yang paling waras menghadapi keadaan.
Warung Mbok Sri: Laboratorium Sosial
Warung Mbok Sri berdiri di tepi jalan desa seperti buku catatan yang selalu terbuka. Di sana gosip bisa lebih cepat dari internet, dan kabar baik sering disampaikan setelah gelas ketiga. Mbok Sri hafal kebiasaan pelanggan: Pak Sam’an suka kopi pahit, Pak Lurah suka teh manis kental, anak-anak suka gorengan yang dibayar belakangan.
Di warung itu, Wir membuat papan pengumuman dari triplek bekas. Ia tempel informasi beasiswa, magang, dan pelatihan daring. Di bawahnya, ada tempelan kertas berjudul: “Contoh Jawaban Wawancara, Bukan Hafalan, Hanya Arah.” Tulisan tangan Wir rapi: Sebutkan tiga hal yang kamu bisa hari ini, bukan besok.
Suatu sore, seorang pemuda bernama Sarpan datang. Wajahnya polos, matanya tajam. “Mas Wir, saya nggak bisa ngomong di depan orang. Nanti kalau wawancara tremor.”
“Boleh latihan di sini?” Wir menunjuk kursi kosong.
Sarpan duduk. “Kenapa kami harus memilih Anda?” tanya Wir.
Sarpan diam lama, menatap gorengan. “Karena… saya selalu datang lebih dulu dari janji.”
Wir tersenyum. “Begitu. Tulis itu di kertas, jadikan kalimat pembuka. Orang yang tepat waktu itu mahal.” Sejak hari itu, Sarpan selalu datang lebih awal, bahkan saat latihan. Beberapa minggu kemudian, ia diterima kerja sebagai operator percetakan kecil di kota tetangga. Ia kembali ke warung dengan wajah yang seperti bulan baru.
Ruang Tumbuh dari Bawah
Nama Wiratma mulai terdengar di kampung sebelah. Ia bukan siapa-siapa. Tapi cerita gagal lamar kerja dua puluh kali membuatnya jadi seseorang. Para ibu mengirim anaknya ke balai desa tiap Sabtu: ada kelas mengetik cepat, kelas menata kata, kelas menata hati bila email balasan berbunyi penolakan.
Wir menulis buku digital: “Surat Lamaran yang Tak Pernah Dibaca.” Ia bagikan gratis. Di bab pertama, ia tulis hal yang tidak diajarkan di mana-mana: Jangan mengukur dirimu dari jumlah penolakan. Ukurlah dari jumlah kali kamu mengoreksi CV dengan jujur. Di bab lain, ia ajarkan hal sederhana yang sering lupa: “Alamat email harus tampak seperti alamat orang, bukan alamat masa lalu.” Anak-anak tertawa waktu membaca contoh: anakbandaldulu@… diganti menjadi sariputra.work@….
Pada sebuah pelatihan daring yang ramai peserta, moderator bertanya: “Pak Wiratma, motivasi terbesar Bapak apa?”
Wir menjawab pelan: “Saya hanya tidak ingin ada orang yang pulang karena malu. Pulanglah karena perlu. Berangkat lagi kalau sudah siap.”
Kota Datang Menjemput
Suatu hari, rombongan dari sebuah perusahaan rintisan datang ke balai desa. Mereka mencari anak-anak yang mau magang jarak jauh. Ruangan balai desa yang biasanya dipakai arisan berubah jadi tempat seleksi. Ada kabel menjuntai, ada proyektor memantulkan wajah ke kain putih, ada kipas angin berdengung seperti doa.
Perwakilan perusahaan, lelaki muda berkaus, bertanya: “Siapa yang punya karya? Bukan harus bagus, asal milik sendiri.”
Wir menyodorkan folder plastik berisi portofolio anak-anak: tulisan singkat, desain kartu undangan, foto produk, data penjualan kecil-kecilan di pasar daring. Ia menyebutkan satu per satu nama seperti memanggil pemain bola. Beberapa anak diterima. Sorak-sorai kecil terjadi di ruangan. Pak Sam’an menepuk pundak Wir. “Ternyata balai desa bisa jadi kantor juga, ya.”
“Bisa, Pak. Kantor itu bukan gedung, tapi kebiasaan,” jawab Wir.
Surat untuk Dirinya Sendiri
Malamnya, setelah semua riuh mereda, Wir duduk sendirian di teras rumah. Angin dari sawah membawa bau padi muda. Ia menulis surat untuk dirinya sendiri:
Wir, kalau suatu saat kamu kembali ke kota, ingat ini: kamu tidak berangkat untuk membuktikan apa-apa kepada siapa pun. Kamu berangkat untuk bekerja baik-baik. Kalau angin kencang, lipat layar. Kalau layar robek, mendayunglah pelan-pelan. Kalau dayung patah, pakai tangan. Kalau tangan lelah, diam dulu di tepi. Tidak ada yang akan menilaimu karena istirahat. Orang hanya menilai apakah kamu kembali mengayuh.
Ia melipat kertas itu, menyimpannya di bawah bantal. Seperti anak kecil menyimpan gigi susu yang tanggal, berharap ada peri datang membawa hadiah. Wir tahu tidak ada peri, tapi ada pagi. Dan pagi selalu membawa satu hal: kesempatan untuk mulai lagi.
Hari Ketika Nama Dipanggil
Beberapa bulan setelah kelas-kelas berjalan, sebuah email masuk ke akun balai desa. Surat elektronik itu ditujukan untuk Wir: sebuah perusahaan logistik—bukan yang dulu—membuka cabang baru di kota kabupaten. Mereka butuh orang yang bisa memimpin tim kecil, bukan yang paling hebat, melainkan yang sudah pernah jatuh dan bangun.
Wawancara dilakukan di kantor kabupaten yang cat dindingnya baru. Kursi-kursi plastik berbaris seperti paduan suara. Wir datang dengan kemeja yang disetrika Ibu, wajah yang tidur cukup, dan hati yang tidak lagi berdebat dengan dirinya sendiri.
“Pak Wiratma, mengapa kami harus memilih Anda?” tanya pewawancara.
Wir menatap meja, lalu menatap mata pewawancara. “Karena saya tahu rasanya ditolak dan tidak akan membuang-buang waktu orang lain. Saya datang tepat waktu, pulang setelah pekerjaan selesai, dan saya tidak akan membuat Bapak/Ibu menyesal.”
Pewawancara menulis sesuatu, menutup map, tersenyum dengan mata, bukan bibir saja. “Baik. Kami akan kabari secepatnya.”
Kali ini, kabar benar-benar datang. Bukan janji. Bukan seen tanpa balasan. Wir diterima sebagai koordinator operasional. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup tanpa mesti memilih antara bahan bakar atau beras. Ia pulang naik bus kecil, memeluk kabar itu di dadanya sendiri. Di teras rumah, Ibu menunggu dengan dua cangkir teh. Mereka minum tanpa kata-kata besar. Malamnya, kampung ramai seperti 17 Agustus kecil. Mbok Sri menggoreng tempe lebih banyak dari biasa.
Kembali ke Kota, Dengan Cara Berbeda
Wir pindah ke kabupaten. Bukan Jakarta, tapi tetap kota. Jalan lebih lebar, suara lebih pelan. Di kantor, ia menerapkan kebiasaan yang lahir dari kampung: papan pengumuman untuk info magang, jadwal belajar bersama, dan sesi curhat kerja tiap Jumat sore. Karyawan muda datang antusias. Mereka cerita tentang bos-bos lama yang marah dengan nada tinggi, tentang lembur tanpa terima kasih, tentang takut salah sehingga tidak berani benar.
“Di sini kita tidak mencari orang yang tidak pernah salah,” kata Wir di depan timnya. “Kita mencari orang yang bertanggung jawab setelah salah.”
Ia menempel kalimat di dinding: Bekerja bukan untuk membuat orang lain kagum, melainkan untuk membuat diri sendiri berguna. Tulisan itu bukan jargon, melainkan pengingat. Seminggu sekali, ia masih mengajar daring untuk anak-anak desa. Balai desa tetap menjadi kantornya yang lain.
Menutup Lingkaran, Membuka Pintu
Pada suatu Sabtu, Wir diundang bicara di acara kecil di kota kabupaten. Temanya sederhana: Bertahan di Dunia Kerja yang Tidak Sederhana. Gedung aula yang kipas anginnya menempel di langit-langit seperti bintang-bintang. Para peserta duduk di kursi plastik berwarna-warni. Di barisan depan ada Pak Sam’an, Mbok Sri, Sarpan, dan beberapa anak magang yang kini sudah gajian.
“Saya bukan motivator,” kata Wir membuka. “Saya hanya seseorang yang pernah menunggu telepon sampai lupa makan. Saya hanya ingin bilang satu hal: kalau kalian merasa rumput, itu bukan hinaan. Rumput itu kuat karena ia membungkuk saat angin kencang. Pohon besar bisa tumbang, rumput tetap tumbuh, malah sering jadi alas bagi pohon baru.”
Tepuk tangan datang pelan-pelan, lalu memadat seperti hujan turun. Di sudut ruangan, Ibu menatap dengan mata yang menyimpan banyak pagi. Wir menutup presentasinya dengan kalimat yang sudah lama menunggu di tenggorokannya.
“Badai tidak selalu datang untuk menghancurkan. Kadang ia datang untuk mengajari kita caranya membungkuk, lalu tumbuh dari tanah yang retak; dan jika esok angin kencang lagi, kita sudah tahu: bukan kuat yang menentukan, melainkan bijak yang menuntun.”
Setelah acara, orang-orang meminta foto. Sarpan berbisik, “Mas, sekarang saya yang datang paling awal di tempat kerja.” Wir menepuk bahunya. “Pertahankan. Datang awal itu seperti menabung percaya.”
Malamnya, kampung kembali tenang. Di langit, bintang menulis sesuatu yang sulit dibaca tapi enak dilihat. Wir berjalan pulang melewati warung Mbok Sri. Papan pengumuman masih terpasang. Ada kertas baru ditempel anak-anak: Terima kasih, Mas Wir. Kami berangkat, tapi kampung tetap rumah.
Wir tersenyum. Ia tahu, besok angin bisa saja berubah arah. Tapi ia juga tahu, layar sudah dilipat rapi, dayung disandarkan, perahu tidak akan karam begitu saja. Yang perlu dilakukan hanya satu: terus belajar menjadi rumput—tahan, lentur, dan berguna bagi telapak kaki siapa pun yang berjalan.
.
.
.
Jember, 15 Agustus 2025
.
.
#CerpenKompas #Wiratma #CeritaPencariKerja #MotivasiHidup #CeritaMadura #KetimpanganKerja #BertahanHidup #ArswendoStyle #CerpenIndonesia #KisahUrban