Bab Baru Frekuensi Baru

“Ketika frekuensi hidupmu naik, beberapa orang akan terdengar seperti gangguan. Jangan kecilkan volumenya dirimu hanya agar tetap enak di telinga mereka.”

.

Hujan baru saja reda ketika Jayeng menyalakan mesin mobil listriknya di basement sebuah mal di Jakarta Selatan. Di kaca depan, sisa-sisa gerimis masih menempel seperti jejak yang enggan hilang. Ia menatap pantulan wajahnya sendiri: mata yang sedikit lelah tapi lebih tenang dari beberapa tahun lalu.

“Naik ke rooftop dulu atau langsung pulang?” gumamnya, setengah bertanya pada dirinya sendiri.

Ponselnya bergetar. Notifikasi grup WhatsApp “Geng Malem Jumat” muncul. Grup yang dulu ramai dengan tawa, rencana nongkrong, dan keluhan soal kerjaan. Sekarang isinya terasa asing. Ia menatap sekilas.

Umar: “Eh liat si Jayeng sekarang, statusnya isinya webinar mulu. Udah jadi motivator ya?”
Wangi: “Hahaha, iya. Kalo chat di sini udah jarang nongol. Beda frekuensi kayaknya.”
Satriya: “Biarin. Orang kalo udah ngerasa di atas, biasanya lupa daratan.”

Jayeng membaca perlahan. Ada jeda di dadanya — bukan lagi luka yang tajam, tapi rasa nyeri tumpul yang datang diam-diam.

Ia mengetuk layar, ingin mengetik sesuatu. Membela diri? Bercanda balik? Atau… keluar dari grup?

Ia menghela napas panjang, mematikan layar ponsel, lalu menyalakan wiper sekali lagi. Di radio mobil, lagu lama Dewa 19 mengalun pelan, tentang jarak dan waktu yang memisahkan. Jakarta malam itu seperti biasa: ramai, berisik, tapi di dalam kabin mobilnya, Jayeng merasa sedang berada di ruang tunggu antara bab lama dan bab baru hidupnya.

.

Beberapa tahun sebelumnya, hidup Jayeng berbeda.

Ia adalah konsultan kreatif untuk beberapa brand gaya hidup di Jakarta, sering berpindah dari satu kafe ke kafe lain, pitching, mempresentasikan ide kampanye, mengelola tim kecil. Gajinya cukup besar, kliennya cukup bergengsi, gaya hidupnya… cukup mengesankan buat ukuran kelas menengah ke atas.

Sabtu malam biasanya dihabiskan di bar hotel, menikmati koktail, membicarakan peluang bisnis, gosip industri, atau sekadar membahas saham dan kripto. Di situ Jayeng bertemu dengan Umar, seorang pengusaha F&B yang baru naik daun; Wangi, content creator yang sedang hangat-hangatnya diliput media; dan Satriya, anak pengusaha properti yang sedang belajar memegang kendali perusahaan keluarga.

Hidup mereka seperti highlight Instagram: brunch di Senopati, short escape ke Bali, foto di lounge bandara, caption penuh kata “hustle”, “grind”, dan “winning”.

Lalu Retna datang seperti jeda: seorang psikolog pendidikan yang pulang kuliah dari luar negeri, memilih membuka praktik kecil di sudut Jakarta Timur. Saat pertama kali bertemu di sebuah acara diskusi tentang transformasi karier, Jayeng mendengarnya bicara tentang “kejujuran pada diri sendiri” dan “konsekuensi dari memilih hidup yang lebih tenang tapi lebih jujur”.

Ada sesuatu yang bergetar pelan di dada Jayeng waktu itu. Sesuatu yang tak pernah muncul ketika ia memandang angka di rekeningnya, atau kontrak baru dari klien asing.

“Jadi menurut kamu, sukses itu apa?” tanya Jayeng ketika mereka mengobrol di coffee break.

Retna mengaduk kopi hitamnya pelan. “Sukses itu ketika kamu pulang ke rumah, menatap wajahmu sendiri di cermin, dan nggak perlu pura-pura jadi orang lain. Sesederhana itu.”

“Sederhana tapi susah,” jawab Jayeng.

“Justru karena susah, makanya banyak yang memilih hidup di frekuensi yang ramai, bukan yang jujur,” Retna tersenyum tipis.

Malam itu, Jayeng pulang dengan kepala penuh suara yang tak bisa ia matikan. Ia menatap kamarnya yang rapi, lemari penuh kemeja mahal, rak buku dipenuhi judul-judul produktivitas, meja kerja dengan laptop dan dua monitor. Semuanya tampak baik-baik saja. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia bertanya:

“Aku ini sedang hidup, atau cuma ikut arus?”

.

Perubahan Jayeng tidak terjadi dalam sehari. Seperti Jakarta yang pelan-pelan berganti wajah, hidupnya pun berubah dalam lapisan-lapisan tipis.

Ia mulai mengurangi nongkrong larut malam. Bukan berhenti total, hanya mengurangi. Dari lima kali seminggu jadi dua, lalu satu. Ia mengganti sebagian waktu scroll media sosial dengan membaca lebih banyak buku tentang psikologi, filosofi, dan spiritualitas praktis.

Ia ikut kelas meditasi singkat yang direkomendasikan Retna. Awalnya Jayeng merasa canggung — apa gunanya duduk diam dengan mata terpejam selama sepuluh menit, sementara di luar sana ada ratusan email menunggu? Tapi pelan-pelan, ia menemukan satu ruang sunyi yang tak pernah ia izinkan hadir sebelumnya.

Dari meditasi, ia belajar satu hal: suara paling jujur dalam hidup sering kali yang paling pelan. Dan selama ini, suara itu tenggelam oleh tawa, klien, target, dan validasi.

Suatu malam, setelah sesi meditasi, ia membuka ponsel. Grup “Geng Malem Jumat” ramai. Video pendek, meme, foto struk makan di restoran mahal.

Umar: “Jeng, nongol dong. Jangan kayak komisaris perusahaan BUMN. Sibuk mulu.”
Jayeng: “Besok pagi gue ada presentasi penting, Mar. Harus istirahat.”
Wangi: “Alaaaah. Dulu juga kalo presentasi tetep sempet ke sini.”
Satriya: “Udah beda kelas dia. Maklum.”

Kata “beda kelas” itu waktu pertama kali muncul, dibungkus emotikon tertawa. Tapi buat Jayeng, itu menancap seperti paku kecil, tidak terlalu dalam, tapi terasa setiap kali ia berjalan.

Apa aku memang sedang merasa di atas?
Atau mereka yang takut melihat aku tak lagi sama?

.

Perubahan besar datang setahun kemudian, ketika salah satu klien terbesar Jayeng menawariku kontrak baru — kali ini bukan hanya sebagai konsultan kampanye, tapi sebagai mitra dalam proyek pengembangan brand jangka panjang. Kontrak itu berarti dua hal: jam kerja makin gila, atau ia harus membangun struktur tim dan memilih fokus. Di saat yang sama, ia mulai diberi kesempatan menjadi pembicara dalam beberapa seminar tentang personal branding dan storytelling.

Retna-lah yang mengajukan pertanyaan penentu.

“Kalau kamu ambil semuanya, kamu mau jadi siapa? Bukan dalam kartu nama, tapi di dalam hidupmu yang sebenarnya.”

Jayeng terdiam lama. Mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil di Kemang, malam turun pelan di luar jendela. Lampu-lampu jalan memantul di kaca, membingkai wajah Retna yang lelah tapi hangat.

“Aku… belum tahu,” jawabnya jujur.

Retna tersenyum. “Kalau kamu belum tahu, mungkin ini saatnya berhenti sejenak. Bukan untuk mundur, tapi untuk melihat ke mana kamu mau maju.”

Itu titik di mana Jayeng membuat keputusan yang membuat lingkarannya bergeser: ia menolak beberapa pekerjaan yang sudah di depan mata, memilih membangun struktur bisnis yang lebih sehat, merekrut anak-anak muda yang ingin belajar, dan menata ulang jadwal hidupnya agar tidak lagi dibakar sepanjang waktu.

Ia mulai mengajar workshop kecil tentang storytelling di ruang co-working, mengisi kelas online tentang “membangun brand diri tanpa kehilangan jati diri”, dan sesekali membantu Retna membuat program integrasi kesehatan mental untuk para profesional muda.

Di permukaan, hidupnya naik kelas: dari sekadar konsultan “bayar per proyek” jadi partner strategis. Dari sekadar “nongkrong dan curhat soal kerjaan” jadi fasilitator untuk orang-orang yang ingin mengubah hidup.

Namun di saat yang sama, jarak dengan lingkaran lamanya makin terasa.

.

Semuanya memuncak pada satu malam Jumat yang dingin.

Umar mengundangnya ke soft opening outlet baru kafenya di bilangan SCBD. “Wajib datang. Lu kan dulu bareng gue dari awal. Masa sekarang nggak nongol?” ujar Umar di telepon, suaranya terdengar setengah bercanda, setengah menuntut.

Jayeng datang tepat waktu. Kafe itu penuh lampu kuning yang hangat, dindingnya dihias foto-foto Umar dengan selebriti dan influencer yang datang di cabang-cabang sebelumnya. Musik mengalun pelan. Aroma kopi dan pastry menyambut Jayeng begitu ia melangkah masuk.

Wangi sudah berada di sudut ruangan, dikelilingi beberapa followers yang ingin foto. Satriya berdiri dekat bar, mengobrol dengan dua orang yang tampak seperti calon investor. Umar menyambut Jayeng dengan tepukan keras di punggung.

“Wah, yang ditunggu akhirnya datang! Gue kira udah lupa sama temen-temen lama,” kata Umar lantang, cukup keras untuk didengar beberapa orang di sekitar mereka.

Jayeng tersenyum, mencoba santai. “Nggak gitu juga, Mar.”

“Tapi bener, lu susah banget diajak nongkrong sekarang,” sahut Satriya sambil mengangkat gelas. “Grup kita aja jarang lu tanggepin. Kayak udah nggak butuh kita.”

“Andaikan gue nggak butuh kalian, gue nggak akan datang ke sini,” jawab Jayeng, masih dengan senyum yang ia paksa tetap hangat.

Wangi mendekat, menatap Jayeng dari ujung kaki hingga kepala. “Lu beda banget sekarang, Jeng. Gaya ngomong berubah. Cara lu lihat orang juga beda. Kayak… semua orang harus punya tujuan hidup mulia gitu. Kita-kita yang masih ‘biasa aja’ berasa salah semua kalau curhat ke lu.”

Jayeng menelan ludah. Di sisi lain ruangan, DJ mengganti lagu, tapi semua suara itu mendadak jauh. Yang terdengar hanya detak jantungnya sendiri.

“I’m sorry kalau lu ngerasa gitu,” katanya pelan. “Gue nggak pernah bermaksud bikin kalian berasa salah. Gue cuma… lagi nyusun hidup gue lagi. Supaya nggak hancur pelan-pelan tanpa gue sadar.”

“Ya, ya, kita tahu. Lu sekarang udah spiritual, udah mindful, udah meditate,” sahut Umar, setengah bercanda, setengah sinis. “Cuma kadang gue kangen aja sama lu yang dulu. Yang ketawa paling keras, yang selalu siap lembur di kafe gue sambil ngerjain campaign bareng. Sekarang kayak ada jarak.”

“Manusia berubah, Mar,” kata Jayeng lembut.

“Gue nggak nyalahin lu berubah,” potong Satriya. “Yang gue sayangkan, kenapa perubahan itu rasanya menjauh dari kita.”

Jayeng diam. Kata-kata itu menusuk. Ia ingin berteriak:

“Kalian tahu nggak, dulu gue sering pulang jam dua pagi dengan dada sesak, merasa kosong meski rekening penuh? Kalian tahu nggak berapa kali gue pengen jujur kalau gue capek hidup hanya sebagai katalog pencapaian?”

Tapi ia tidak mengatakannya.

Sebaliknya, ia menarik napas, menatap mereka satu per satu. Lampu-lampu kafe memantulkan cahaya di mata Umar yang berkaca-kaca, wajah Wangi yang keras tapi tersinggung, dan garis rahang Satriya yang menegang.

“Mungkin… ini saatnya kita jujur,” ujar Jayeng pelan. “Gue memang berubah. Gue memilih pelan-pelan naik kelas, bukan dalam arti merasa di atas. Tapi gue nggak mau lagi hidup dengan cara yang bikin gue benci diri sendiri setiap malam. Kalau perubahan itu bikin kalian ngerasa gue ninggalin, gue minta maaf. Tapi gue nggak akan mundur lagi.”

“Denger nggak, Na?” Umar menoleh ke Retna yang baru masuk, membawa hadiah kecil untuk Umar. “Calon psikolog selebriti lu berhasil mengubah sahabat kami.”

Retna berhenti, menatap situasi, lalu menatap Jayeng. Di matanya ada pertanyaan dan kekhawatiran.

“Maaf, aku terlambat,” katanya pelan.

Jayeng menggeleng. “Kamu tepat waktu. Persis di bab yang penting,” jawabnya lirih.

.

Malam itu berakhir dengan canggung. Tidak ada pertengkaran besar, tapi juga tidak ada pelukan hangat seperti dulu. Hanya percakapan yang menggantung, tawa yang dipaksakan, dan perpisahan di depan pintu kafe yang dingin.

Dalam perjalanan pulang, Retna menatap lampu kota yang berlarian di kaca mobil.

“Kamu sedih?” tanyanya.

“Sedih,” jawab Jayeng tanpa ragu. “Mereka bukan orang jahat. Mereka cuma… belum siap melihat gue jadi versi lain dari diri gue.”

“Dan kamu?”

“Aku… juga belum siap kehilangan mereka, sebenarnya.”

Retna mengangguk. “Perubahan memang selalu punya harga. Kita nggak bisa naik kelas tanpa meninggalkan beberapa bangku yang dulu terasa nyaman.”

“Jadi ini salah gue?” tanya Jayeng, ada nada anak kecil yang kehilangan mainan favorit di dalam suaranya.

Retna tersenyum tipis. “Pertanyaan ‘siapa yang salah’ kadang menghambat kita untuk melihat ‘apa yang perlu kita terima’. Kamu berkembang. Itu fakta. Mereka belum tentu salah karena belum bisa ikut. Itu kenyataan. Tapi kamu juga nggak salah karena memilih bertumbuh.”

“Kenapa rasanya kayak dituduh sombong, egois, ninggalin?”

“Karena orang sering menyebut ‘kamu sombong’ ketika mereka merasa tertinggal. Itu pelindung ego. Dan itu manusiawi.”

Mobil melaju pelan di jalanan yang mulai lenggang. Lampu-lampu kota bergeser seperti bab-bab buku yang berganti.

“Kamu tahu, Jeng,” lanjut Retna, “tidak semua orang ditakdirkan untuk menemanimu sampai garis akhir. Beberapa orang cuma menemani satu bab, lalu pergi. Bukan karena mereka buruk. Tapi karena cerita hidup mereka dan cerita hidupmu mengambil arah yang lain.”

“Kalimat itu… terdengar bijak, tapi sakit sekali di dada,” Jayeng tertawa hambar.

“Karena kamu sedang berdiri di tengah bab,” jawab Retna. “Bab belum selesai, tapi beberapa tokoh sudah pamit. Rasanya selalu ganjil.”

Malam itu, ketika Jayeng menatap wajahnya di cermin kamar, ia melihat dua hal sekaligus: anak muda yang dulu suka tertawa keras di kafe sambil membicarakan masa depan, dan pria yang sekarang memilih duduk diam beberapa menit setiap pagi untuk menyapa dirinya sendiri.

“Kalau kamu berubah jadi lebih baik,” katanya pelan pada pantulan itu, “jangan heran kalau beberapa orang menjauh. Barusan aku mengalaminya.”

Di sudut kamar, ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup “Geng Malem Jumat”.

Umar: “Thanks udah dateng, Jeng.”
Wangi: “I wish you well, whatever path you choose.”
Satriya: “Kalo suatu hari butuh partner buat project gila lagi, lu tahu harus nyari ke mana.”

Jayeng membaca pelan-pelan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada juga kata-kata pahit. Hanya tiga pria yang dulu tertawa bersamanya, kini berdiri di perempatan yang berbeda.

Kadang, cara alam semesta menutup bab adalah dengan sunyi yang sopan, pikirnya.

Ia mengetik balasan.

Jayeng: “Makasi buat semua bab yang udah kita lewatin bareng. Kalau suatu hari frekuensi kita ketemu lagi, gue akan duduk dan denger cerita kalian dengan senang hati.”

Ia menekan tombol send, lalu menaruh ponselnya. Di luar, hujan turun lagi. Tapi kali ini, di dalam dirinya, ada ruang yang lebih luas. Ruang untuk kehilangan, dan ruang untuk kemungkinan.

.

Beberapa tahun kemudian, hidup Jayeng benar-benar bergeser. Ia membangun firma kecil konsultasi dan edukasi, menggabungkan storytelling dengan pelatihan kesehatan mental untuk profesional muda. Ia dan Retna menyiapkan program “Naik Kelas Tanpa Kehilangan Jiwa”, mengajar di berbagai kota — dari Jakarta hingga Malang, dari kampus swasta elit sampai komunitas pegiat UMKM.

Suatu sore, setelah sesi workshop di sebuah hotel di Surabaya, Jayeng duduk sendiri di pojok restoran, menatap peserta yang masih bercengkerama. Di layar ponselnya, ada pesan dari nomor yang sudah lama tak muncul: Umar.

Umar: “Gue lagi di Surabaya juga. Outlet gue yang baru buka di sini. Lu sempet mampir?”

Mereka akhirnya bertemu. Umar terlihat sedikit lebih lelah, sedikit lebih dewasa. Di sudut matanya ada garis yang tidak dimiliki dulu, garis yang biasanya lahir dari lebih banyak berpikir dibanding tertawa.

“Gila ya, hidup,” kata Umar sambil menatap secangkir kopi di tangannya. “Dulu gue pikir yang penting itu punya banyak cabang. Sekarang gue belajar, cabang banyak tanpa jiwa juga percuma.”

“Lu belajar dari mana?” tanya Jayeng.

“Dari bangkrut satu cabang yang gue kira bakal paling laris,” Umar terkekeh pahit. “Dan dari sepi yang datang ketika orang-orang yang dulu gue anggap temen cuma mau deket kalo lagi ada project atau undangan makan gratis.”

Jayeng mengangguk pelan.

“Gue dulu marah sama lo, Jeng,” kata Umar tiba-tiba. “Gue ngerasa lo ninggalin kita. Lo jadi orang yang gue nggak kenal. Tapi ternyata… setelah jalan sendiri, gue paham. Lo bukan ninggalin, lo cuma milih jalur yang gue belum siap lewatin.”

“Aku juga sedih waktu itu, Mar,” jawab Jayeng. “Tapi kalau gue tetap jadi diri gue yang dulu, mungkin sekarang kita ketemu bukan sebagai dua orang yang jujur, tapi dua orang yang sama-sama pura-pura.”

Mereka tertawa pelan. Ada sesuatu yang lega di sana.

“Lo tahu,” lanjut Umar, “kalimat yang lo kirim malam itu di grup… itu kerasa kayak salam penutup bab. Tapi ternyata, mungkin bukan penutup. Cuma tanda koma panjang.”

“Bab hidup kita kayak seri buku,” kata Jayeng. “Ada tokoh yang muncul lagi setelah sekian lama. Bukan untuk mengulang, tapi untuk saling menyapa dengan versi yang lebih matang.”

Malam itu mereka berpisah bukan dengan rasa ditinggalkan, tapi dengan rasa saling menghormati. Jalan mereka mungkin tetap berbeda, tapi frekuensi mereka sudah tak saling melukai.

.

Di kereta menuju Jakarta, Jayeng menulis catatan kecil di ponselnya, yang kelak akan ia bagikan di kelas dan tulisan-tulisan reflektifnya:

“Kalau kamu berubah jadi lebih baik, jangan heran kalau ada yang menjauh. Bukan karena kamu jahat. Bukan juga karena mereka selalu buruk. Kadang, frekuensi kalian sudah tidak sama. Kamu memilih naik kelas, sementara mereka betah di kelas lama. Perubahanmu mengingatkan mereka pada PR hidup mereka sendiri. Itu tidak nyaman, lalu mereka menyebutmu ‘sombong’, ‘beda’, atau ‘nggak kayak dulu lagi.’

Terimalah. Tidak semua orang ditakdirkan menemanimu sampai garis akhir. Beberapa orang hanyalah guru dalam bentuk sahabat, pasangan, atau rekan kerja. Mereka datang untuk satu bab, lalu pergi ketika bab berikutnya memanggil. Tugasmulah untuk tetap berjalan, dengan hati yang tidak mengeras dan langkah yang tidak mundur.”

Ia menutup ponsel, menatap jendela kereta yang memantulkan langit senja.

Di luar, kota-kota berlari mundur. Di dalam, ia menyiapkan diri untuk bab-bab lain yang menunggu, dengan pemahaman sederhana namun berat: bertumbuh tidak selalu berarti bertambah banyak teman. Kadang, justru berarti berani bertahan dengan lingkaran yang lebih kecil, tapi lebih jujur.

Dan di titik itulah, Jayeng tahu: frekuensi hidupnya mungkin tak lagi sama dengan masa lalu, tapi untuk pertama kalinya, ia benar-benar bisa mendengar suaranya sendiri tanpa gangguan.

.

.

.

Malang, 16 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#cerpenIndonesia #cerpenKompasMingguRasa #perubahandiri #naikkelas #lingkaranpertemanan #selfgrowth #kelasduluankini #urbanstory #dewasaBerproses #namakubrandku

Leave a Reply