Asmaradana

“Cinta tak selalu berawal dari tatapan, kadang dari keheningan yang saling memahami.”

.

Pagi datang tanpa nama. Di ruang kerjanya yang berbau cat dan kertas cetak biru, Panji duduk memandangi layar laptop. Garis-garis digital di hadapannya membentuk rancangan taman komunitas, dengan jalan setapak yang melengkung lembut dan deretan pohon yang ia pilih satu per satu seperti menata kalimat doa.
Ia percaya, arsitektur bukan sekadar tentang ruang, tapi tentang perasaan manusia di dalamnya. Tentang bagaimana sebuah bangku bisa membuat seseorang merasa diterima, bagaimana sebuah pintu bisa mengajarkan rendah hati kepada siapa pun yang melintasinya.

Tapi keyakinan itu kadang terasa asing, bahkan untuk dirinya sendiri. Di luar, dunia bergerak terlalu cepat. Orang berlomba membangun lebih tinggi, lebih megah, lebih instan. Sementara Panji justru ingin memperlambat segalanya.

Ia meneguk kopi yang sudah dingin. Di dinding, ada papan tulis penuh coretan ide—tentang proyek sosial, rancangan taman baca, dan kelas desain untuk anak muda. Ia menyebutnya “Gerakan Ruang Baik.”
Banyak yang menganggapnya utopia. Tapi Panji sudah lama berhenti menjawab sinis dengan kata-kata. Ia memilih bekerja diam-diam, menanam gagasan seperti menanam benih.

.

Sore itu, Sekar datang dengan langkah pelan dan senyum yang sulit ditafsirkan—campuran antara kagum dan hati-hati. Ia mengenakan blus putih longgar dan membawa map berisi dokumen penelitian.
“Kau masih suka menulis di buku catatan?” tanya Sekar, duduk tanpa diminta.
Panji mengangguk. “Menulis membuatku lambat. Dan aku butuh lambat untuk tetap waras.”

Sekar tertawa kecil. “Lucu. Aku justru menulis agar tetap cepat. Kalau tidak, pikiranku berlarian seperti anak kecil di lapangan.”

Pertemuan mereka terjadi tanpa rencana. Sekar kini bekerja sebagai peneliti komunikasi lintas budaya. Ia sedang menggarap riset tentang bagaimana desain ruang publik memengaruhi perilaku sosial masyarakat urban.
Panji sudah lama mengagumi tulisan-tulisannya—tajam tapi lembut, akademis tapi puitis. Ketika Sekar mengajaknya berdiskusi, ia langsung setuju.

Mereka berbicara lama. Tentang ruang dan manusia, tentang arsitektur dan moralitas, tentang apa yang membuat seseorang betah di satu tempat.
“Ruang yang baik,” kata Sekar, “adalah ruang yang memberi kesempatan orang untuk berhenti sejenak.”
Panji menatapnya, lama. “Dan orang yang baik,” balasnya, “adalah orang yang membuatmu ingin berhenti tanpa merasa bersalah.”

.

Kerja sama mereka berkembang seperti bunga yang mekar tanpa aba-aba. Sekar menulis narasi untuk pameran karya Panji, sementara Panji membantu Sekar memvisualisasikan data risetnya.
Dalam ritme itu, ada kedekatan yang tidak pernah mereka rencanakan. Mereka saling memahami tanpa banyak bicara.

Panji mulai terbiasa dengan pesan singkat yang dikirim Sekar setiap pagi:
“Jangan lupa makan siang, desainmu bisa menunggu.”
Atau “Hari ini aku menulis tentang makna pulang. Apa bagimu pulang itu rumah, atau hati?”

Ia selalu menjawab pendek, tapi selalu jujur.
“Pulang adalah tempat aku berhenti mencari alasan untuk pergi.”

Sampai suatu malam, Sekar menulis kalimat yang mengubah segalanya:
“Mungkin kita tak sedang bekerja, Panji. Mungkin kita sedang saling menambal yang hilang.”

.

Hari-hari berikutnya terasa seperti musik yang disusun oleh kesunyian. Mereka sering berjalan kaki sepulang kerja, berbagi cerita tanpa topik, menertawakan hal-hal kecil yang hanya mereka pahami.
Panji yang biasanya keras kepala menjadi lebih sabar. Sekar yang biasanya tenang kadang gugup di hadapan Panji, tapi tidak takut.

Dalam diam, keduanya tahu: mereka sedang jatuh cinta. Tapi cinta mereka bukan seperti api, melainkan seperti cahaya lampu yang perlahan menyala di ruang gelap—hangat, tapi tidak menyilaukan.

Suatu malam, di sebuah kafe yang menghadap taman, Sekar berkata, “Kau tahu kenapa aku suka berbincang denganmu?”
“Kenapa?”
“Karena kau tidak berusaha membuatku kagum.”
“Dan kau tidak berusaha membuatku mengerti,” jawab Panji.

Mereka tertawa. Di luar, hujan turun ringan, seperti sedang menepuk-nepuk bahu bumi.

.

Jayeng, sahabat Panji sejak kuliah, menatap perubahan itu dengan heran.
“Jadi, kau serius dengan peneliti itu?” tanyanya sambil menyeruput kopi.
Panji tersenyum samar. “Aku tidak tahu serius atau tidak. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak ingin terburu-buru.”
Jayeng tertawa. “Kau selalu punya alasan logis untuk hal-hal yang seharusnya irasional.”

Panji tidak menjawab. Ia tahu betul, cinta yang ia rasakan bukan lagi urusan muda atau berapi-api. Ia hanya ingin tenang.

.

Namun kehidupan jarang memberi jeda panjang untuk ketenangan. Tawaran datang pada Sekar: beasiswa doktoral penuh di luar negeri. Programnya bergengsi, dan waktunya hanya satu bulan untuk memutuskan.

Sekar bimbang. Panji tidak menyuruhnya pergi, tapi juga tidak menahannya. Mereka berdua duduk di bangku taman, di bawah pohon flamboyan yang mulai gugur.

“Kalau aku pergi, apa yang akan kau lakukan?” tanya Sekar.
“Menggambar,” jawab Panji singkat. “Karena itu satu-satunya cara aku mengingat.”
“Dan kalau aku tidak kembali?”
“Aku akan tetap menggambar. Tapi mungkin aku akan mulai belajar menanam.”

Sekar menatapnya, bibirnya bergetar. “Kau memang selalu punya cara indah untuk menyembunyikan luka.”
Panji menggeleng pelan. “Tidak, Sekar. Aku hanya belajar bahwa kehilangan juga bagian dari desain kehidupan.”

Malam itu mereka berpisah tanpa pelukan. Hanya tatapan panjang yang lebih jujur dari janji.

.

Kepergian Sekar meninggalkan sunyi yang bertekstur. Panji kembali sibuk, tapi kesibukan itu terasa seperti bayangan yang tak bisa menutupi cahaya. Ia menyibukkan diri dengan proyek taman kota—proyek yang ia dedikasikan untuk masyarakat.
Dalam setiap garis yang ia gambar, selalu ada satu ruang kosong tanpa fungsi. Ia menamainya ruang Sekar—sebuah ruang untuk diam dan mengingat.

Kadang ia membaca ulang pesan-pesan lama dari Sekar, terutama yang terakhir:
“Cinta itu seperti arsitektur, Panji. Ia butuh pondasi yang kuat, tapi juga ruang untuk bernafas.”

Dan setiap kali membaca itu, Panji menatap ke luar jendela, pada langit yang tampak sama tapi terasa berbeda.

.

Bertahun kemudian, nama Panji dikenal luas. Ia menjadi pembicara di berbagai seminar, dari universitas hingga forum internasional. Tapi di setiap pidato, ia selalu menyelipkan kalimat yang sama:

“Ruang yang dibangun tanpa empati akan menjadi dinding yang memenjarakan.”

Suatu malam, ia berdiri di atas panggung besar untuk berbicara tentang nilai kemanusiaan dalam desain.
Lampu sorot menyorot wajahnya. Di layar belakang, tampil sketsa taman—pohon-pohon, kursi, dan jalur setapak yang saling menyambung seperti garis kehidupan.

“Ruang,” katanya, “adalah perpanjangan dari doa. Jika ia dibangun dengan keserakahan, ia menyesakkan. Tapi jika ia dibangun dengan kasih, ia menyembuhkan. Saya belajar itu bukan dari buku, tapi dari seseorang yang mengerti bahwa cinta adalah cara paling arif untuk merancang hidup.”

Auditorium sunyi sesaat sebelum tepuk tangan bergema panjang. Tapi Panji tidak mendengar apa-apa. Yang ia bayangkan hanyalah satu wajah—Sekar, yang entah di mana, mungkin sedang menulis tentang ruang yang sama dari belahan dunia lain.

.

Beberapa tahun kemudian, Sekar kembali. Ia datang diam-diam ke pameran karya Panji. Di tengah ruangan, berdiri maket taman yang begitu familiar: jalur melengkung, bangku kayu, dan kolam kecil yang memantulkan cahaya.
Di bawahnya tertulis nama: Taman Asmaradana.

Sekar mendekat. Ada tulisan kecil di prasasti marmer:
“Untuk seseorang yang mengajarkan bahwa cinta tak harus dimiliki untuk dirawat.”

Air matanya jatuh perlahan. Ia tahu, Panji masih sama—tetap tenang, tetap hangat, tetap menjaga ruang untuk dirinya.

Dari jauh, Panji melihat Sekar berdiri di depan taman miniatur itu. Ia tidak mendekat. Ia tahu, beberapa pertemuan lebih indah bila tidak direncanakan.

.

Di luar galeri, angin sore membawa aroma hujan pertama. Panji berjalan perlahan, membuka ponsel, dan menulis catatan baru di aplikasinya:
“Cinta adalah ruang yang tidak pernah benar-benar selesai digambar. Setiap garisnya berubah, tapi maknanya tetap.”

Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu tersenyum kecil. Entah karena lega, entah karena akhirnya mengerti bahwa beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tidak dimiliki—hanya untuk disyukuri.

Sekar, di sisi lain kota, menulis di jurnalnya malam itu:
“Kita tak pernah benar-benar berpisah. Kita hanya tumbuh di arah yang berbeda, di bawah langit yang sama.”

Ia menutup buku, menatap ke luar jendela, dan tersenyum. Dalam hatinya, ia mengucap doa yang sama: semoga semua yang dibangun dengan kasih, bertahan dengan keindahan.

.

“Yang paling indah dari cinta bukan pertemuan atau perpisahan, melainkan keberanian untuk tetap lembut setelah keduanya.”

.

.

.

Malang, 13 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Asmaradana #CerpenKompasMinggu #KisahCintaDewasa #JeffreyWibisonoV #SastraIndonesia #EmpatiDalamDesain #CintaYangTertib #NarasiReflektif

.

Quotes dari cerita

  • “Cinta yang tumbuh pelan lebih tahan pada cuaca.”

  • “Benih yang baik tak memilih tanah; ia memilih perawat.”

  • “Kota adalah cermin; jernihnya bergantung pada siapa yang menatap.”

  • “Tertib bukan berarti kaku; tertib adalah doa dengan jam kerja.”

  • “Jarak menguji janji, rutinitas menguji cinta.”

Leave a Reply