Asing yang Kita Sepakati

“Ada jarak yang melindungi, ada batas yang menyelamatkan. Melepaskan bukan kalah, melainkan cara merawat jiwa.”

.

Jakarta, selepas hujan terasa selalu lebih jujur. Bau aspal yang basah melayang dari arah Sudirman, membingkai lampu-lampu gedung yang bersinar seperti doa yang tak lelah dipanjatkan. Di bawahnya, arus manusia menutup payung, menggulung celana, dan kembali mengejar selisih menit. Dari halte Dukuh Atas yang benderang, seorang perempuan berdiri memeluk ransel hitam dan menatap layar ponsel yang memantulkan wajahnya sendiri: Sekar—dua puluh delapan, konsultan komunikasi, anak kos di Tebet yang hidupnya menumpang pada tiga moda: MRT, TransJakarta, dan takdir.

Malam itu, notifikasi mengalir seperti arus Ciliwung di musim penghujan: rapat dipercepat, revisi materi, nomor vendor, serta satu pesan yang selalu ia tunggu tanpa perlu diberi nama di kontak—Wirya. Di layar, gelembung obrolan abu-abu berhenti di kalimat, “Aku telat lagi, Kar. Macetnya gila.”

Sekar tersenyum tipis. “Jakarta selalu gila,” gumamnya, separuh pahit, separuh rindu. Ia menutup ponsel, melompat ke bus, lalu membiarkan tubuhnya bergoyang seiring laju. Di kaca, wajahnya menyatu dengan lampu-lampu kota; seperti bayang-bayang yang tak pernah benar-benar ia punya.

.

Mereka berkenalan setahun lalu, di sebuah ruang rapat lantai empat puluh dengan jendela yang menghadap ke barat—tempat matahari selalu terlihat mau patah. Perusahaan Sekar diminta menangani kampanye rebranding sebuah bank digital. Tim klien dipimpin Wirya: pria kurus, berkulit sawo matang, dengan senyum yang sedikit telat muncul setelah setiap kalimat. Ada kecanggungan yang menawan dalam cara ia mengerutkan kening saat mencari kata, juga ketelitian yang membuat diagram alir di tangannya tampak seperti peta harta karun. Mereka mulai dari rapat-rapat dingin dan slide-slide kaku, lalu beranjak ke warung soto belakang kantor; dari tanya-jawab profesional ke obrolan tentang ibu masing-masing; dari deadline menjadi life-line.

Nama mereka seperti diambil dari kitab yang lama: Sekar—bunga yang tak memilih tanah; Wirya—kebajikan yang diuji oleh keadaan. Keduanya seperti tokoh wayang yang tersesat dalam kota kontemporer, mengganti keris dengan laptop, mengganti kereta kencana dengan ojek daring. Jakarta, bagaimanapun, menyediakan panggung yang cukup luas untuk siapa pun yang ingin merasa penting.

Hubungan mereka tidak pernah diresmikan; tidak ada deklarasi, cincin, atau foto soft launching di Instagram. Hanya kedekatan yang terbentuk dari jam-jam lembur, dari kopi yang berbagi pahit, dan dari musik yang dinyalakan pelan di ruang kerja ketika karyawan lain sudah pulang. Sekar memotret langit jingga lewat jendela; Wirya menulis komentar konyol di chat: “Sunset hari ini kayak cat minyak. Mungkin Tuhan juga suka proyek-proyek estetika.” Sekar tertawa. Keduanya memilih untuk percaya, sebelum kelak harus belajar melepaskan.

.

Jakarta tidak pernah berlaku adil pada mereka yang percaya waktu bisa ditawar. Proyek yang satu belum selesai, proyek berikutnya sudah mengetuk rapat. Wirya mulai sering datang terlambat—kadang karena rapat menabrak rapat, kadang karena hal-hal yang tak dijelaskan. Ia meminta maaf dengan serius, menyodorkan alasan yang terdengar benar, dan Sekar—yang mengira cinta adalah memberi cukup ruang—mengangguk.

Mereka punya kafe langganan di gang Tebet Dalam; kedainya sempit, kursinya persis menabrak dinding yang penuh poster band lama. Di sana, Sekar menandai halaman buku yang sedang ia baca: kisah-kisah Menak yang diretold jadi prosa ringkas di blog seorang penulis. Ia menunjuk nama-nama yang terasa akrab—Wirya, Anggini, Jasmara—seolah masa lalu mengulurkan tangan pada masa kini. “Aku suka nama kamu,” kata Sekar. “Kedengarannya teguh.”
Wirya tersenyum terlambat. “Teguh itu relatif. Kadang, yang kita sebut teguh hanyalah cara lain untuk bertahan pada sesuatu yang seharusnya kita lepaskan.”

Kalimat itu lewat seperti suara sirene, tak lama tapi memecah udara. Sekar menyimpannya tanpa catatan: setengah firasat, setengah puisi.

.

Malam-malam berikutnya, Jakarta semakin bising. Di layar ponsel Sekar, pesan Wirya semakin pendek. Kelak, ia akan mengerti: perhatian yang diringkas tanda tanya sering adalah pertanda. Sekar, dengan cara perempuan yang telah berkali-kali memaklumi, menambal kekurangan dengan pengertian. Ia menutup mata pada janji yang telat ditepati, menahan kecewa pada perhatian yang datang seperti hujan deras—tiba-tiba, lebat, lalu berhenti begitu saja.

“Mungkin ia benar-benar sibuk,” pikir Sekar. “Aku pun tak selalu siap ketika ia butuh.”
Ia berjanji pada diri sendiri untuk merapikan ekspektasi seperti meja kerja: menumpuk keperluan, membuang sisa-sisa. Namun ada yang tersisa: rasa menunggu yang mengendap seperti kopi bubuk di dasar gelas.

Pada suatu Sabtu, mereka berjanji menonton konser di Senayan. Wirya tertahan rapat sampai pukul sembilan malam. Tiket yang Sekar pegang berubah menjadi selembar kertas yang tak punya fungsi lain selain menguatkan hati. Ia tetap datang, berdiri di luar stadion, mendengarkan musik dari kejauhan, dan menulis di catatan ponsel, “Kebahagiaan tidak pernah harus menunggu seseorang yang lupa pulang.” Ia pulang naik MRT, kursi penuh, berdiri memegang strap sambil menatap poster layanan publik yang entah mengapa terasa ramah. Saat itulah ia merasa hidupnya adalah peta jalur kereta: bersih, berkilau, tapi sering tertunda.

.

Hujan berulang-ulang mengguyur Jakarta. Kali ini banjir merambah jalan-jalan yang biasanya aman. Sekar pulang kerja lewat Matraman, berteduh di bawah jembatan layang sambil mengirim pesan pada Wirya: “Hati-hati di jalan.” Titik tiga yang berkedip tak berubah jadi balasan. Besoknya, ia membaca berita tentang terjebaknya seorang pejalan di basement parkir yang tergenang. “Untung bukan kamu,” tulisnya lagi. Balasan datang dua jam kemudian, “Maaf, ketiduran.”

Ada rasa ingin marah yang justru membuatnya tenang. Emosi, bagi sebagian orang, adalah kemewahan yang tak sempat dirayakan. Sekar minum jahe hangat di warung tenda, menatap air yang mengalir membawa sisa daun, plastik, dan mungkin bagian-bagian kecil dari harapannya sendiri.

Di rumah kos, ia menatap cermin lama yang ditempel di pintu lemari. “Seberapa jauh lagi aku harus mengalah?” tanya suaranya sendiri. Ia tahu mengalah tak sama dengan kalah—namun terlalu sering mengalah berarti meniadakan diri. Pada titik itu, keheningan menjelma pengukur jarak.

.

Titik balik datang bukan dalam drama besar, melainkan dalam hal sepele yang diam-diam menentukan. Mereka bertemu di Tebet, di kafe langganan, jam tujuh yang bergeser jadi delapan. Wirya datang dengan wajah kelelahan yang memohon dimengerti. “Sorry. Ada call mendadak,” ucapnya. Sekar mengangguk. Ia bukan penyidik; ia tidak perlu daftar bukti untuk percaya.

Obrolan dimulai dengan pekerjaan: timeline, deliverables, lanceran KPI. Lalu beralih pada rencana spontan menonton pameran di TIM akhir pekan—rencana yang segera dibatalkan Wirya karena “keluarga datang”. Sekar tidak lagi mengintip pintu-pintu kemungkinan; ia hanya mendengar bunyi pintu ditutup dari sisi lain.

“Wirya,” katanya kemudian. “Aku ingin kau jujur—bukan soal kesibukan, tapi soal niat.”
Wirya menatap mata Secar dengan telat. “Maksudmu?”
“Apakah kita ini rumah atau halte?” Sekar menarik napas. “Kurasa aku sudah terlalu lama berdiri.”

Wirya menatap meja, seolah jawaban ada pada sisa gula. “Aku… sedang berusaha menyamakan lonceng,” katanya, mencari kata-kata. “Banyak hal belum beres.”
“Lonceng di kota ini jarang berbunyi bersamaan,” Sekar tersenyum tipis. “Aku tak butuh bunyi yang sama. Aku hanya butuh kau hadir pada waktu yang kau pilih sendiri.”

Keheningan jatuh seperti hujan rintik. Di dinding, poster band lama terasa seperti saksi yang lelah. “Aku lelah, Wirya,” kata Sekar, akhirnya. “Bukan lelah menunggumu. Lelah menunggu diriku yang tak kunjung kau temui.”

Wirya hendak menggenggam tangannya, tapi Sekar menarik diri. Ada batas yang baru ia pasang; garis yang tidak kasatmata namun sangat tegas.

.

Malam itu mereka berpisah tanpa janji bertemu lagi. Jakarta, yang di peta terlihat kecil, mendadak luas untuk dua orang yang memilih tidak saling mencari. Sekar berjalan ke halte; angin membawa bau tanah dan rebusan bakso dari warung tenda. Ia memesan bus ke arah Ragunan—entah kenapa kali ini ia ingin jalan lebih jauh sebelum pulang.

Di dalam bus, ia duduk di bangku paling belakang, memandangi punggung orang-orang yang sama lelahnya. Ia teringat ibu di Jember yang selalu menelepon pukul sembilan, bertanya apakah anaknya sudah makan. Sekar tersenyum, lalu menghitung hal-hal yang bisa ia syukuri: pekerjaannya yang membuatnya merasa berguna, sahabat-sahabat yang mendengarkan tanpa menghakimi, dan dirinya yang—mendadak—mampu menyebut kata cukup tanpa takut kehilangan kesempatan untuk dicintai.

“Mungkin beginilah melepaskan,” pikirnya. “Bukan melupakan, melainkan mengizinkan.” Ia mengetik pesan panjang untuk Wirya, lalu menghapusnya, lalu menulis lagi. Akhirnya, yang terkirim hanya satu paragraf pendek:

“Kita pernah dekat. Biarlah itu menjadi cerita yang tak perlu diulang. Jangan salah paham—aku bersyukur pernah bertemu. Hanya saja, untuk hari-hari ke depan, biarkan kita tetap asing. Aku perlu mencintai diriku sendiri.”

Titik biru kecil bergerak, lalu berhenti. Tidak ada balasan. Kadang, hening adalah jawaban yang paling sopan.

.

Hari-hari setelahnya terasa janggal tapi ringan. Sekar bangun lebih pagi, jogging di Tebet Eco Park sambil mendengar podcast tentang self-compassion. Ia membeli sayur di Pasar Rumput, mengecek angka inflasi di berita pagi, lalu menuliskan pengeluaran di aplikasi keuangan—aktivitas-aktivitas kecil yang membuatnya merasa memegang kendali. Di kantor, ia menangani klien UKM yang memasarkan minuman jamu kekinian. Pitching-nya berhasil; ia pulang membawa semangat seperti belanjaan yang tak berat.

Pada suatu sore, ia mengajar kelas copywriting di komunitas literasi di Cikini. Di papan, ia menulis kalimat pembuka yang ia ciptakan sendiri: “Kata-kata yang baik tidak menaklukkan—ia merangkul.” Murid-muridnya tertawa dan mencatat. Seseorang bertanya, “Kalau menulis tentang putus, kak, bagaimana?” Sekar menjawab sambil tertawa, “Ganti kata putus dengan bertumbuh. Itu lebih sehat.” Dan mereka mengangguk, seolah kata itu memiliki vitamin.

Malamnya, ia menerima email: tulisannya tentang kampanye publik transportasi ramah disabilitas yang dimuat di portal internal kantornya mendapat apresiasi. Ia merayakan sendirian di warung nasi uduk, memesan dua potong ayam, sambal, dan es teh manis. Di meja sebelah, sepasang kekasih berdebat kecil soal rencana liburan. Sekar tersenyum; tiba-tiba ia merasa kota yang sering disebut kejam ini cukup ramah—asalkan manusia di dalamnya saling memeluk, atau setidaknya tidak saling melukai.

.

Jakarta—seusai hujan dan sebelum kemacetan—memiliki satu jam emas. Sekar sedang duduk di bangku taman ketika pesannya dari nomor tak dikenal masuk: “Ini Wirya. Boleh bicara?” Jari-jari Sekar ragu, tapi ia balas singkat, “Singkat saja.”

Wirya menemuinya di lobi perpustakaan daerah. Tidak ada pelukan, tidak ada permintaan maaf yang dibuat dramatis. Ia hanya berkata, “Aku membaca pesanmu berkali-kali. Kau benar. Aku tidak hadir pada waktu yang kupilih sendiri.”
Sekar mengangguk. “Kita sama-sama belajar.”
“Boleh aku menjelaskan?”
“Kau boleh, tapi aku tidak berjanji akan berubah pikiran.”

Wirya bercerita: tentang tanggung jawab pada keluarga, tentang kakak yang bercerai dan menitip anak, tentang pekerjaan yang menyita malam, tentang kebingungan menjadi orang dewasa tanpa manual. Ia bilang, “Aku takut mengajakmu masuk ke rumah yang masih berantakan.” Sekar mendengarkan tanpa menyela. Ketika Wirya selesai, ia berkata, “Terima kasih sudah jujur. Tapi jujur tidak otomatis menyembuhkan.”
“Lalu bagaimana?”
“Kita sisakan saja ini sebagai pelajaran. Ada hal-hal yang baik tetap jadi jarak—agar kita tak saling merusak.”

Wirya memandang lantai. “Jadi, kita betul-betul asing?”
“Bukan asing yang memusuhi. Asing yang saling mendoakan dari jauh.”

Mereka keluar perpustakaan. Langit sore menampakkan warna ungu yang jarang. Di seberang jalan, seorang penjual pisang molen menata dagangan. Wirya menawari Sekar sepotong; ia menolak halus. “Terima kasih. Aku akan pulang duluan.”
“Kar…” panggil Wirya.
Sekar menoleh.
“Terima kasih sudah pernah menungguku.”
Sekar tersenyum. “Terima kasih sudah mengajarkanku berhenti.”

.

Minggu kedua setelah pertemuan itu, Sekar menulis sebuah esai pendek dan mengirimkannya ke sebuah rubrik sastra harian. Judulnya Asing yang Kita Sepakati. Dalam esai itu, ia menulis:

“Kita kira cinta selalu tentang merapat. Padahal, ada cinta yang paling jernih justru lahir dari keputusan untuk menjaga jarak. Kita menamai jarak itu ‘batas’, seolah ia musuh. Padahal ia pagar yang kita pasang agar taman tetap hijau.”

Esai itu dimuat. Sekar membaca namanya tercetak di kertas yang bau tintanya mengingatkan masa kecilnya di perpustakaan sekolah. Ia memfoto koran itu, mengirimkannya ke grup keluarga. Ibunya membalas dengan stiker bunga dan pesan, “Bangga sama kamu.” Sekar tertawa, lalu menempelkan koran itu di dinding kos—di sebelah poster peta jalur MRT. Ia membayangkan, suatu hari nanti, ada orang yang membaca tulisannya di kereta, memandang jendela, lalu memutuskan untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri. Bahagia tidak menular lewat pelukan; kadang ia berpindah melalui kata.

.

Hidup mempertemukan Sekar dengan banyak “kebetulan” yang baru: seorang rekan lama mengajaknya bergabung dalam proyek literasi bagi perempuan pekerja; seorang kawan SMA menitipkan naskah untuk ia sunting; seorang tetangga kos mengundangnya gabung kelas yoga murah di lapangan futsal. Ia menerima sebagian, menolak sebagian, dan memaklumi dirinya ketika butuh diam. Di agenda, ia menulis Hari untuk diriku sendiri setiap hari Sabtu pagi. Di catatan keuangan, ia menambah pos hadiah untuk diri—bukan barang mahal, melainkan waktu: seharian tanpa ponsel, jalan kaki di museum, menonton film dokumenter sendirian.

Ada malam-malam ketika bayang Wirya lewat seperti lintasan pesawat di langit: cepat, tinggi, dan tidak berkepanjangan. Sekar mengizinkan kenangan duduk sebentar, seperti penumpang transit, lalu mempersilakan ia pergi. Ia tidak lagi memeriksa last seen, tidak menyusun skenario seandainya. Orang dewasa, pikirnya, harus bisa duduk dengan baik di bangku yang ia pilih sendiri.

.

Pada suatu sore yang teduh, Sekar menghadiri pameran fotografi di TIM—acara yang dulu pernah mereka rencanakan. Ia berdiri di depan foto-foto kota: jalan yang lengang, jendela kecil yang menyala, kursi kosong di halte. Seorang fotografer menulis kuratorialnya: “Kota ini terlihat besar, tapi sesungguhnya terdiri dari ruang-ruang kecil tempat manusia menyimpan rahasia.” Sekar tersenyum. Mungkin rahasianya adalah ini: ia tak lagi menunggu nama tertentu untuk membuatnya merasa utuh.

Di luar gedung, ia duduk di bangku beton dan merogoh ponsel. Jemarinya mengetik pesan untuk dirinya sendiri, dikirim ke aplikasi catatan:

“Aku pernah menutup mata pada kesalahan demi memberi kesempatan. Aku pernah menahan kecewa demi menjaga yang kupikir berharga. Tapi setiap hati punya batas. Aku memilih berhenti di sini, karena aku juga harus mencintai diriku sendiri. Kita pernah dekat. Biarlah itu menjadi cerita yang tak perlu diulang. Jangan salah paham: bukan berarti aku tak bahagia mengenalmu. Justru, aku bersyukur pernah bertemu. Hanya saja, untuk hari-hari ke depan, biarlah kita tetap asing—meski semesta kadang menggoda kita untuk menyatukan langkah.”

Ia menekan save. Angin menggerakkan daun-daun trembesi. Di kejauhan, azan magrib seperti merapikan hari. Sekar berdiri, merapikan tas, dan melangkah pulang. Ia tahu, di kota yang terlalu cepat ini, ia telah menemukan ritmenya sendiri: lebih pelan, lebih sadar, lebih penuh rasa sayang pada diri.

.

Beberapa bulan kemudian, pada sebuah pagi yang terang, Sekar menerima email dari panitia sayembara penulisan. Cerpennya—yang ia tulis di antara jeda pitching dan kelas yoga—masuk daftar pendek. Hadiahnya tidak besar, tapi cukup untuk membeli kursi kerja yang nyaman dan sekotak teh rempah. Ia tertawa sendirian di kamar kos; tawa yang lahir bukan dari euforia, melainkan dari rasa damai yang matang.

Ia berjalan ke jendela, membuka tirai. Jakarta tampak seperti biasa: berisik, menuntut, glamor, melelahkan, memeluk, menolak, lalu memeluk lagi. Sekar menaruh cangkir di ambang, menghirup wangi teh, dan membiarkan mata menyapu langit. Tiba-tiba ia teringat kalimat yang pernah ia dengar di kelas yoga: “Tarik napas untuk menerima, hembuskan napas untuk melepaskan.” Ia melakukan itu—berulang-ulang—sampai detak jantungnya kembali pelan.

Ponselnya bergetar: pesan dari nomor yang dulu pernah ia hafal ritmenya. “Selamat, aku lihat namamu di pengumuman sayembara. Bangga sama kamu.”
Sekar menatap layar. Tangannya mengetik kemudian menghapus, lalu menulis kalimat yang akhirnya ia kirim: “Terima kasih. Semoga kamu juga baik-baik. Jaga diri.” Tidak ada tanda tanya, tidak ada pintu yang dibuka. Ia memilih jalan yang rata, tanpa lubang.

.

Di sebuah taman kecil dekat Stasiun Cikini, Sekar menulis kalimat penutup untuk cerpen yang hendak ia kirim: “Pada akhirnya, kita semua membutuhkan keberanian untuk tidak mengulang—bukan karena masa lalu buruk, melainkan karena diri yang sekarang layak hidup dengan cara yang lebih sehat.” Ia menambahkan satu paragraf lagi, semacam doa:

“Untuk setiap pertemuan yang tak sempat jadi rumah, semoga kau menjadi halte yang baik: tempat orang-orang beristirahat sebentar tanpa kehilangan arah. Dan untuk setiap perpisahan yang kita terima dengan sadar, semoga ia menjadi kompas yang menunjukkan jalan pulang—bukan pada siapa, melainkan pada diri sendiri.”

Ia mengirim naskah itu, menutup laptop, dan berdiri. Kereta lewat, menggetarkan rel, mengirimkan angin kecil. Sekar tersenyum pada angin itu—kabar baik yang tak perlu alamat. Ia melangkah ke arah stasiun dengan langkah ringan, percaya bahwa sekali waktu, memilih asing yang disepakati adalah cara paling manusiawi untuk menjaga hati.

Dan Jakarta, dengan segala kebisingannya, tiba-tiba terasa tidak lagi menakutkan. Kota ini masih sama, tapi mata yang memandangnya telah berubah: lebih peka, lebih sayang, lebih tegas pada batas.

Sekar berjalan naik tangga, mengetuk kartu di gerbang, lalu berdiri di tepi peron. Ketika kereta tiba, ia melompat masuk, mencari pegangan, dan menatap wajah-wajah asing yang menua dan muda sekaligus. Di kaca, bayangannya menyatu dengan lampu terowongan: berkelebat, hilang, datang lagi, lalu hilang lagi. Ia mengangguk pada dirinya sendiri—yang kini sudah utuh, bahkan dalam gerak yang cepat.

Kereta melaju. Di atasnya, kota yang tak pernah benar-benar istirahat kembali berkisah. Dan di hati Sekar, satu halaman telah ditutup dengan baik.

.

.

.

Jember, 27 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #Melepaskan #BatasHati #SelfLove #JakartaStory

Leave a Reply