Api Kecil di Tengah Kota

“Tidak semua pemberian punya harga; sebagian hanyalah tangan yang tak tega melihat orang lain jatuh.”

.

Pagi di kota selalu dimulai dengan suara yang sama: klakson yang bertengkar, pengeras masjid yang baru beristirahat, dan bunyi logam dari gerobak sayur yang mendorong dingin dari gang ke gang. Panji berdiri di balkon lantai tujuh belas, menatap atap seng yang berkilat tipis oleh sisa hujan semalam. Di bawahnya, sungai kecil yang dipaksa lurus oleh beton memantulkan langit abu-abu. Ia merapatkan jaket, meneguk kopi, lalu menyalakan ponsel.

Notifikasi menggunung: chat grup kantor, pesan dari vendor, dan satu video pendek dari Sekar. Video itu selalu sama: perempuan itu merekam wajahnya tanpa filter, latar belakang dapur umum, panci besar mengepul. “Butuh 200 porsi tambahan buat siang ini. Kebanjiran susulan di Kampung Tambak. Ada yang bisa bantu?”

Panji mematung. Ia manajer komunikasi sebuah hotel yang sudah tua tapi masih tegak, menempel malu-malu pada tepi pusat belanja tua. Hotel itu hidup dari acara-acara kecil, tamu transit, dan pernikahan yang mendung. Enam bulan terakhir, ia dan timnya mendorong program “hospitality as healing”: meminjamkan ruang, nasi kotak, dan tenaga relawan saat bencana datang. Ide itu lahir malam ketika banjir memutus listrik dan tamu-tamu ketakutan; ia membuka lobi untuk warga sekitar. Esoknya, video warga tersebar—hotel yang memberi tumpangan, bukan sekadar layanan. Ada pujian, juga cemooh: pencitraan, kata sebagian.

Panji tahu yang menipiskan garis di keningnya bukan cemooh, melainkan pertanyaan yang terus menagih: berapa lama kebaikan bertahan di kota yang menekan?

Di lift, ia bulan-bulanan cermin: rambut diikat rapi, wajah sedikit pucat, mata yang selalu memotret kemungkinan. Pagi ini, ia akan menghadapi Jingga—direktur pemasaran grup properti yang menguasai sebagian langit kota. Jingga tersenyum dengan gigi sempurna, kata-katanya meluncur seperti iklan yang baik. Tapi di antara slide PowerPoint, Panji sering mendengar desis: efisiensi, margin, penetrasi pasar. Hotelnya hendak diremajakan, kata Jingga. Tapi remaja seperti apa yang dikehendaki pasar yang tua?

.

Di ruang rapat, lampu neon meruncingkan bayangan. Jingga tiba dengan rombongan, sepatu tanpa bunyi. “Good morning,” katanya, merapikan blazer biru tua. “Kita bahas aktivasi brand Q4. Saya lihat engagement meningkat 48% saat program dapur umum. Congrats. Tapi kita perlu ROI yang lebih terukur.”

Panji tersenyum kecil. “Kami mencatat, Mbak. Dari tiga aktivasi sosial, occupancy naik rata-rata 7% dalam dua minggu pascakejadian. Rata-rata sentimen positif di media sosial 82%.”

“Bagus.” Jingga menyilangkan kaki. “Tapi hati-hati, Panji. Jangan sampai brand kita dianggap memanfaatkan bencana.”

Panji menelan. “Kalau bencana datang, pilihan kita bukan memanfaatkan atau mengabaikan. Pilihannya: hadir atau absen.”

Jingga menatapnya datar, lalu bergeser ke layar. “Program promosi menyambut tahun baru. Saya ingin kampanye besar: city of lights.” Ia jeda. “Namun saya dengar Anda ingin pakai anggaran promosi untuk program UMKM kuliner banjir?”

“Sekar dan teman-teman butuh kompor baru. Dua kompor. Sederhana.”

“Anggaran kecil tak berarti tanpa narasi besar,” potong Jingga. “Kota ini butuh harapan, bukan duka berkepanjangan.”

“Harapan yang tidak menyentuh tanah cuma lampu di billboard,” gumam Panji, terlalu pelan untuk jadi debat resmi, terlalu jujur untuk tidak tercatat di dirinya.

Rapat selesai seperti biasa: kesepakatan setengah matang, sisa ketegangan yang dibungkus senyum. Saat orang-orang pulang membawa map dan tekad masing-masing, Panji berjalan ke lobi. Di sana, Adaninggar—resepsionis yang cekatan dan selalu memakai pita rambut merah—menyodorkan amplop coklat. “Mas, titipan dari komunitas. Data dapur umum minggu lalu.”

Panji mengangguk. “Terima kasih, Ninggar.”

“Sekar tunggu di luar,” tambahnya, hampir berbisik, seperti memaklumi bahwa di kota ini, kebaikan lebih aman jika tidak terlalu keras menyebut namanya.

.

Sekar berdiri di bawah pohon ketapang tua, helm tergantung di siku. “Masih mau ketemu saya?” katanya, senyum tipis.

“Selalu,” jawab Panji.

Mereka berjalan menyusuri trotoar yang patah-patah menuju warung kopi. Di sana, dindingnya ditempeli poster konser lama. Dari pengeras, lagu 90-an yang menolak padam mengisi sela-sela percakapan meja lain. Sekar membuka catatan: daftar bahan habis, data keluarga yang masih belum pulih, kebutuhan obat.

“Aku tidak minta hotelmu jadi malaikat,” katanya ringan. “Cukup jadi manusia yang tidak menutup pintu.”

“Kita akan pinjamkan ballroom lagi minggu ini,” kata Panji. “Tapi 200 porsi siang ini—izinkan saya bantu dari kantong sendiri dulu.”

Sekar menatapnya lama-lama. “Mas, kota ini sering mengajari kita dua hal: bersyukur dan waspada. Yang satu bikin kita bertahan, yang lain bikin kita kesepian. Jangan sampai kebaikanmu bikin kamu sendiri.”

Panji tertawa kecil. “Saya punya teman.”

“Teman?” Sekar mengangkat alis, menggoda.

“Adaninggar, Anggraeni di kitchen, Hamzah di security. Satu perusahaan, banyak hati yang kadang mau—kadang takut.”

“Kalau begitu, mari kita uji nyali bersama,” kata Sekar. Ia menutup buku catatan. “Banjir akan datang lagi. Kota kita, seperti jam rusak, tetap menunjukkan waktu—kadang tepat, tapi sering diulang.”

Mereka berpisah di tikungan, di mana mural warna-warni menunjukkan tangan-tangan yang saling mengangkat. Panji berdiri sebentar, membaca tulisan kecil di bawah mural itu: “Apa pun yang kita berikan, kita simpan dalam orang lain.”

.

Hujan datang seperti kabar yang malas. Dari langit rendah, butirnya tidak menghantam—melainkan merayap, sabar, menembus genteng, menyesap pelan ke dalam pori kota. Dalam tiga jam, selokan penuh. Dalam lima jam, air menutup ban motor. Dalam delapan jam, listrik padam di tiga kelurahan. Di layar ponsel, grup-grup warga meledak: anak kecil terjebak, ibu hamil minta antar, nasi bungkus habis.

Panji menjemput dirinya di cermin kantor: mata bengkak tak sempat tidur, tapi langkah pasti. Ia menyalakan genset lobi, memindahkan kursi, membentang tikar yang biasa dipakai acara ulang tahun. Hamzah membuka pintu: “Mas, warga sudah nunggu di gerbang.”

“Buka saja, Bang.” Panji mengangguk. “Ini rumah sementara mereka.”

Orang-orang masuk, basah dan lelah, menenteng baju di kantong kresek. Ada yang meminta charger, ada yang memeluk anak sambil menyanyikan sesuatu yang tak jadi lagu. Anggraeni dan tim dapur mengangkut panci, aroma bawang tumis menyelinap di antara rasa cemas. Adaninggar membagikan selimut, suaranya seperti lampu kecil: “Pelan-pelan, Bapak Ibu. Semua kebagian.”

Sekar tiba dengan motor yang ban belakangnya basah lumpur. “Panci dua sudah sampai,” katanya. “Gas juga.”

Panji menatapnya—seperti menatap jawaban yang tidak bisa ditemukan di buku manual.

“Kamu pasti ditanya atasan soal ini,” Sekar berujar, sembari merapikan rambut yang menempel di pipi.

“Sudah,” kata Panji. “Dan nanti akan ditanya lagi.”

“Tak apa. Beberapa pertanyaan memang perlu dijawab berulang-ulang supaya kita tidak lupa kenapa kita ada.”

Malam datang lebih cepat saat jaringan listrik terputus. Lobi hotel berubah jadi ruang tamu panjang: anak-anak menonton film dari proyektor kecil, orang tua duduk melingkar berbagi cerita, liar kecil menggantung di sudut-sudut. Panji berjalan di antara tikar, berhenti ketika melihat seorang lelaki tua—Rengga—mengusap- usap lututnya. Rengga dulu tukang becak yang kini hidup dari memperbaiki payung dan sepeda.

“Mas Panji,” sapa Rengga. “Masih ingat saya?”

“Bagaimana kabar, Pak?”

“Air sampai pinggang. Tapi lihatlah—” ia menunjuk sekeliling, “—kota ini masih punya tempat bernafas. Terima kasih.”

“Bapak jangan terima kasih pada saya,” kata Panji. “Terima kasih pada semua yang memilih hadir.”

Rengga mengangguk, kemudian tiba-tiba berkata, “Dulu saya masih kuat mengantar anak sekolah. Sekarang… saya minta antar untuk diri sendiri. Malu itu berat, Mas.”

Panji menahan diri untuk tidak memeluk lelaki itu. Ia memilih duduk, menatap senyum Rengga yang tumbuh di bawah cahaya lampu darurat. “Tidak ada rasa malu di tengah bencana, Pak. Malu itu kalau kita pura-pura tidak melihat.”

.

Keesokan pagi, media datang. Kamera-kamera menyapu ruangan, mewawancarai Panji, memotret Sekar yang membagikan bubur. Di satu sisi, suara komentar di internet mulai bising: “Kenapa hotel jadi pengungsian? Mana pemerintah?” Di sisi lain, donasi mengalir. Kebaikan selalu menjadi peta yang rumit: ada jalan pintas, ada jalan teduh, ada tikungan yang membuat orang kehilangan arah.

Jingga muncul di siang hari, membawa jas hujan yang tetap kering. Ia berdiri di tepi lobi, memandang ramai orang. “Panji,” katanya, “kamu melewati prosedur.”

“Saya melampaui,” jawab Panji tenang. “Dan kita merekam semua hal. Ada data, ada daftar, ada tanda tangan.”

“Kamu tahu, reputasi rentan.” Jingga menoleh ke kamera yang mengintip. “Sekali salah menyebut niat, kita ditelan.”

Panji menarik napas. “Kalau niat itu kita jaga hanya sebagai kata, ia memang mudah ditelan. Tapi kalau niat berubah jadi nasi 500 bungkus, jadi tikar kering, jadi obat buat anak, siapa yang menelannya?”

Jingga diam. Di wajahnya, Panji melihat pertempuran kecil: angka-angka yang tumbuh seperti rumput liar melawan sesuatu yang lebih tua—mungkin kenangan masa kecil, mungkin potret ayah yang mengantar pulang saat hujan deres. Jingga akhirnya berkata, pelan, “Kamu tetap harus hadir di rapat dewan malam ini. Mereka ingin jawaban.”

“Saya akan datang. Tapi izinkan saya menghabiskan siang sebagai manusia dulu.”

Jingga menunduk singkat, lalu pergi. Panji menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu kaca, seperti menatap musim yang sebentar lagi berubah.

.

Rapat dewan berlangsung di ruangan yang terlalu dingin. Dindingnya kaca bening, lantainya memantulkan sepatu mahal. Di tengah ruangan, layar menampilkan angka-angka: biaya logistik, overtime karyawan, potensi potongan pajak. Panji presentasi singkat—ia tidak ingin menumpuk kata di depan orang-orang yang lebih percaya grafik.

Seorang anggota dewan, Kertolo, mengetuk meja ringan. “Kita bukan lembaga sosial,” katanya. “Kita bisnis. Saya tidak menentang bantuan, tapi mohon jangan menjadikannya program utama.”

Panji menahan diri. “Kita tetap bisnis, Pak. Tapi di kota ini, bisnis yang memilih membantu akan diingat—bukan hanya oleh pelanggan, melainkan oleh karyawan kita sendiri. Mereka yang memberi malam ini akan memberi lebih baik besok. Dan tamu-tamu tahu mereka menginap di tempat yang memihak hidup.”

“Berapa ROI?” tanya yang lain, wajahnya dingin.

“Dalam dua hari, engagement media sosial naik 63%. Ada 17 liputan media. Donasi pihak ketiga menutup 43% biaya. Occupancy untuk minggu depan naik 11%. Tapi izinkan saya jujur: angka-angka itu bukan alasan utama. Alasan utama: kita ingin pulang tiap malam dengan rasa menjadi manusia lengkap.”

Hening turun seperti selimut. Akhirnya, Jingga bersuara—nada suaranya berbeda dari di ruang rapat pagi. “Saya usul kita tetapkan SOP untuk respons bencana. Ada batasan biaya, ada koordinasi dengan BNPB dan komunitas, ada transparansi. Kita tetap membantu; kita juga menjaga perusahaan.”

Kertolo menghela napas. “Baik. Sementara, lanjutkan. Tapi jangan jadikan kebiasaan berlebihan.”

Panji mengangguk. Kebiasaan berlebihan, pikirnya, adalah definisi lain dari cinta yang tak muat di laci-laci anggaran.

.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti pawai: ada tawa, ada letih. Dapur umum mengajar Panji satu hal yang tak diajarkan kampus: detik juga punya rasa. Detik ketika seorang ibu menyuapi anaknya sambil terisak; detik ketika seorang pemuda yang biasa mencuri wifi kini mencuci panci tanpa diminta; detik ketika tangan-tangan asing menjadi akrab.

Sekar menulis papan tulis besar di lobi: “Jadwal Jaga”. Nama-nama bergeser setiap hari: Anggraeni masak pagi, Hamzah koordinasi pintu, Adaninggar data penerima. Di sisi papan, ia menulis kutipan kecil: “Yang kita tanam di hati orang lain, akan tumbuh di tanah yang tidak kita miliki.”

Suatu sore, ketika hujan tinggal gerimis dan langit menyisir kapuk di ujung barat, seorang remaja—Hamzah kecil, tetangga Rengga—mengembalikan jaket yang dipinjamnya. “Mas Panji,” katanya malu-malu, “boleh saya bantu dokumentasi? Saya punya kamera pinjaman.”

“Boleh?” Panji tertawa. “Kamu yang harus pimpin.”

Hamzah kecil memotret tidak seperti jurnalis kota; ia memotret seperti anak yang takut lupa. Potret-potret itu memenuhi akun media sosial hotel, tapi Panji menolak menambahkan musik sedih. Ia mengunggah dengan caption realis: stok beras, kebutuhan balita, rekening donasi. Orang-orang menyebutnya dingin; Panji menyebutnya jujur.

Di sela hari-hari itu, ia sesekali duduk di tangga darurat dengan Sekar, membiarkan diam lelah berkuasa. “Kamu tahu,” kata Sekar sekali waktu, “dulu aku percaya altruisme itu murni seperti air sumur. Sekarang aku tahu ia juga butuh pipa, butuh meteran, butuh tagihan yang dibayar.”

“Dan butuh orang yang tak takut dianggap munafik saat memasang pipa,” jawab Panji.

Sekar tertawa, suara yang membuat lampu-lampu terlihat lebih hangat. “Kamu mengeraskan kepala dengan cara yang saya suka.”

.

Banjir surut dua minggu kemudian. Lobi kembali menjadi lobi: marmer diseka, aroma pewangi ruangan kembali mengajar hidung untuk lupa. Tikar dilipat dan disumbangkan. Papan tulis dibersihkan, menyisakan bekas huruf yang samar—seperti kenangan yang menolak hilang cepat-cepat.

Hotel mengadakan makan siang sederhana untuk menutup dapur umum. Rengga datang dengan baju batik paling bagus yang ia punya—kerahnya sedikit robek, tapi disetrika rapi. Ia membawa bingkisan: payung yang diperbaiki. “Jangan ditaruh di gudang,” katanya pada Panji. “Payung baru berguna kalau dipakai. Payung disimpan hanya mengingatkan kita pada hujan yang kita takutkan.”

Panji menerimanya. “Saya akan memakainya bahkan saat matahari.”

Jingga juga hadir. Ia berdiri di pojok, memerhatikan orang-orang yang tertawa. Setelah beberapa saat, ia menghampiri Panji. “Saya punya ide,” katanya pelan. “Apa kalau program ini kita beri nama? ‘Urip Iku Urup.’ Biar terang bahwa kita ini hotel yang memilih menjadi api kecil, bukan cermin besar.”

Panji menatapnya, hati yang tadinya bertahan kini bergerak. “Nama yang indah.”

“Kita buat SOP yang proper. Transparan. Mengajak hotel tetangga. Mungkin kita bisa jadi hub saat bencana.”

“Dan saat hari biasa?” tanya Panji.

Jingga berpikir sejenak. “Hari biasa adalah latihan untuk hari luar biasa. Kita bisa jalankan program UMKM, pelatihan kerja untuk warga. Saya sudah hubungi beberapa brand; mereka tertarik kolaborasi.”

Sekar yang berdiri tak jauh mendekat. “Kalau begitu, saya pinjam dua telingamu tiap pekan untuk mendengar keluhan warga,” katanya kepada Jingga.

Jingga tersenyum—kali ini tanpa garis pertahanan. “Deal.”

.

Namun tidak semua orang berdamai. Kertolo, di balik tirai email, mengirim surat: biaya harus ditekan; program sosial tidak boleh mengganggu target penjualan; event akhir tahun tetap “city of lights”. Panji membaca surat itu seperti membaca ramalan cuaca: penting, tapi tidak menentukan apakah ia akan membawa payung.

Malam-malam kembali normal: lampu-lampu kota menyalakan wajah-wajah terburu, kendaraan mendesah seperti binatang urban yang jinak. Panji mulai berjalan pulang tanpa menoleh setiap beberapa langkah. Di rumah, ia menyeduh teh, membuka jendela, memberi ruang untuk hening. Ponselnya bergetar—pesan dari Adaninggar. Foto: anak-anak kampung yang dulu menginap di lobi kini berdiri di depan kelas komputer kecil di balai RW. “Kelas coding perdana—sponsor: ‘Urip Iku Urup’.”

Panji menatap layar sampai mata perih. Ia teringat kalimat yang sering Sekar ucapkan saat malam paling dingin: “Kebaikan itu seperti menabur garam di laut; tidak mengubah warna, tapi menahan busuk.”

.

Suatu hari, kota mendapat ujian lain—bukan banjir, melainkan gelombang panas yang membuat aspal meleleh halus, membuat orang mudah marah. Tempat pemakaman kota penuh lebih cepat dari biasa; bukan karena wabah, melainkan karena letih yang menahun. Di lobi hotel, tamu-tamu mengeluh AC tidak sejuk; di luar, sopir ojek memijat tengkuk sambil mendengar berita bahwa listrik akan dipadamkan bergilir.

“Apakah kebaikan masih perlu ketika bukan bencana yang datang, melainkan keseharian yang kejam?” tanya Sekar suatu sore, menatap langit yang putih.

“Justru saat itu,” jawab Panji. “Bencana yang kita tahu datang seperti drum band. Keseharian yang kejam datang seperti semut: diam-diam, menggerogoti meja.”

Mereka sepakat memperluas program: air minum gratis untuk pekerja jalanan di depan hotel; ruang istirahat siang untuk kurir; kelas-kelas keterampilan malam untuk warga yang shiftnya berantakan. Hamzah kecil menjadi koordinator relawan—ia memotret semua kegiatan, mengunggah dengan caption yang sependek doa.

Di tengah kesibukan itu, Panji menerima kabar: ibu yang tinggal di kampung nelayan—yang jarang ia telepon selama ini—jatuh sakit ringan. Ketika ia datang, ibunya mengeluh tentang lutut yang sering minta duduk, tapi mata perempuan itu terang. “Aku lihat kau di TV,” katanya, bangga yang disembunyikan. “Kau meminjamkan rumahmu.”

“Bukan rumahku, Bu.”

“Semua rumah tempatmu menaruh manusia adalah rumahmu,” kata ibunya.

Panji pulang dengan langkah yang lebih ringan. Di bus kota yang dinginnya berlebihan, ia menulis catatan di ponsel: “Tugas kita bukan membuat kota tanpa luka, melainkan membuat luka-luka itu punya tempat untuk sembuh.”

.

Akhir tahun tiba. “City of Lights” berjalan juga, tapi di tangan Panji dan tim, lampu bukan hanya milik malam pesta. Lampu-lampu kecil dibagikan ke rumah-rumah yang kehilangan alat belajar; di halaman hotel, seribu lilin dinyalakan untuk mengenang mereka yang tenggelam dalam bencana dan kelalaian. Tidak ada kembang api besar; hanya lagu yang dinyanyikan pelan-pelan, suara yang saling menyapu.

Jingga berdiri di panggung, mikrofon tanpa gema. “Kota ini mengajar kita bahwa kompetisi bisa membuat kita ahli, tetapi empati membuat kita berguna,” katanya. “Terima kasih kepada semua yang telah meminjamkan tangannya.” Panji berdiri di samping, menatap wajah-wajah yang bercahaya oleh lilin—wajah-wajah yang pernah basah, kini hangat.

Di sudut halaman, Kertolo datang juga, diam-diam. Ia mendekati Panji setelah acara usai. “Saya tidak paham musik lembut ini,” katanya, “tapi saya mengerti angka. Ternyata, acara yang sederhana ini mendatangkan pemasukan cukup untuk menutup dua bulan operasional komunitas. Saya…” ia ragu, “saya akan bantu SOP-mu.”

Panji mengangguk, menyadari bahwa kemenangan kadang terdengar seperti kalimat yang patah—tapi tulus.

.

Satu tahun setelah banjir, mural di tikungan dekat hotel dicat ulang. Hamzah kecil—yang kini lebih tinggi dari Panji—melukis tangan-tangan yang saling mengangkat, menambahkan gambar payung terbuka di tengah. Di bawahnya, Sekar menulis kalimat yang mereka perebutkan selama seminggu: “Kota ini bukan milik yang paling kuat, melainkan milik yang mau saling menguatkan.”

Orang-orang berhenti sejenak untuk membaca. Ada yang mengangguk, ada yang memotret, ada yang lewat begitu saja—kebaikan tidak memaksa orang untuk berhenti. Panji duduk di tepi trotoar, minum es teh, merasakan angin yang lebih ramah. Jingga datang terlambat, membawa es krim, duduk tanpa pretensi.

“Kau tahu,” katanya, “aku dulu mengira kebaikan adalah biaya.”

“Sekarang?” tanya Panji.

“Sekarang aku tahu: ia adalah investasi yang membuat kita sanggup tidur.”

Sekar menyikut lengan Panji. “Jangan lupa, rapat warga jam tujuh. Topik hari ini: taman kecil di bawah jembatan tol.”

Panji berdiri. “Mari kita mulai lagi.”

Mereka berjalan bersama, bertiga, melewati deret lampu toko yang mulai menyala satu-satu. Kota menganga, memperlihatkan giginya yang berantakan tetapi juga tawa yang tidak mau mati. Di kepalanya, Panji mendengar ulang kutipan yang mengawali cerita ini, tetapi ia ingin mengubahnya sedikit, membuatnya lebih dekat: “Yang kita simpan untuk diri sendiri akan menyusut. Yang kita simpan di orang lain, akan tumbuh menjadi kita.”

Dan malam itu, di ruang pertemuan sederhana yang dindingnya diselimuti cat yang mengelupas, mereka menyaksikan keajaiban paling sehari-hari: orang-orang asing duduk melingkar, berbicara tentang tempat sampah, lampu taman, jadwal ronda, dan tentang cara membuat anak-anak tertawa lebih sering. Altruisme, pikir Panji, tidak selalu heroik; ia adalah agenda kecil yang diulang sampai menjadi kebiasaan. Ia adalah kesanggupan untuk percaya bahwa yang rapuh bisa dirawat, bahwa kota ini—sekalipun bising, sekalipun kasar—masih punya paru-paru.

Di luar, hujan tipis kembali datang, kali ini tidak sebagai ancaman, melainkan sebagai bunyi latar yang membuat percakapan terdengar lebih dalam. Panji mengangkat wajahnya ke langit, menutup mata sebentar, lalu kembali ke lingkaran. “Mari ditulis notulen,” katanya. “Esok, kita realisasikan.”

Dan seperti itu, kota pun bergerak—tidak cepat, tidak lambat—tetapi nyata.

.

.

.

Jember 23 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Altruisme #HospitalityAsHealing #PariwisataBerkelanjutan #GotongRoyong #KotaIndonesia #CSR #UMKM #Empati #CommunityFirst

Leave a Reply