Orang-Orang yang Kita Tinggalkan untuk Tetap Waras
“Kadang, bentuk sayang paling dewasa adalah menjauh—bukan karena benci, tapi karena hidupmu tidak boleh jadi tempat sampah bagi racun orang lain.”
.
Inu selalu percaya kota besar itu seperti hotel bintang lima yang tak pernah tidur: lampunya menyala, senyumnya rapi, tapi di balik pintu—ada banyak orang menyimpan lelah, ambisi, dan rahasia.
Pagi itu, Jakarta baru saja selesai hujan. Langitnya masih menggantung kelabu, jalanan memantulkan lampu merah seperti luka yang belum kering. Di kaca mobilnya, Inu melihat wajahnya sendiri: bukan wajah orang yang kekurangan, bukan wajah orang yang kalah, tapi wajah seseorang yang terlalu sering menahan.
Ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk dari Wulan.
“Mas, meetingnya jadi jam sepuluh. Tapi… ada gosip baru. Aku takut kamu kaget.”
Inu membaca pelan, seolah huruf-huruf itu bisa menampar kalau dibaca terlalu cepat. Ia menepi sebentar di depan coffee shop yang sudah ramai, tempat para pekerja rapi dengan sepatu mahal—dan mata yang terbiasa menilai.
Ia tidak masuk. Ia memandangi jalan. Ada orang berlari kecil mengejar ojek online, ada orang menenteng laptop seperti menenteng nasib. Ia juga pernah begitu. Pernah berangkat dari kos sempit dengan jas pinjaman, menempelkan mimpi di dada seperti lencana.
Kini ia punya kantor kecil yang tumbuh cepat—studio brand dan strategi yang menangani hotel, restoran fine dining, properti, sampai sekolah internasional yang ingin terlihat “lebih manusiawi” di media sosial.
Banyak klien. Banyak pujian. Banyak foto.
Ternyata, “banyak” juga berarti: banyak mata iri.
Ia menghela napas. Mesin mobil berdengung seperti doa yang dipaksa pelan.
Nama itu muncul lagi di pikirannya—Jingga.
Dulu Jingga bukan siapa-siapa dalam hidup Inu selain sahabat. Mereka bertemu di sebuah acara alumni di hotel kawasan Sudirman. Jingga datang dengan sepatu licin dan cerita panjang: investasi, proyek properti pinggiran kota, rencana membuka jaringan restoran yang “konsepnya Jepang tapi rasa Nusantara”.
Jingga pintar bicara. Terlalu pintar.
Ia bisa membuat rencana yang bahkan belum ada tanahnya terdengar seperti bangunan jadi. Ia bisa membuat kegagalan terdengar seperti strategi. Dan ia bisa membuat orang merasa “kurang” hanya dengan kalimat yang halus.
Saat Inu masih merintis, Jingga yang pertama menepuk bahunya.
“Kamu punya bakat. Aku suka orang yang lapar.”
Inu mengira itu pujian.
Belakangan, ia paham: beberapa orang menyukai kita bukan karena kita berkembang, tapi karena mereka ingin menjadi pemilik dari perkembangan itu.
Lalu Sekar hadir di hidup Inu seperti musik kamar hotel yang tenang: tidak mengganggu, tidak memaksa, tapi membuat ruangan terasa layak dihuni.
Sekar mengelola lembaga pendidikan—kelas-kelas parenting untuk kalangan menengah atas, pelatihan public speaking untuk anak-anak SMA internasional, hingga program “career diversification” untuk para profesional yang ingin punya usaha sampingan tanpa jatuh miskin karena salah strategi.
Sekar bukan sekadar “pintar”. Sekar rapi dalam berpikir, tapi lembut dalam memandang manusia.
Ia pernah berkata pelan, malam setelah acara peluncuran program beasiswa di sebuah ballroom:
“Kita ini bukan mesin pencapai target, Nu. Kita manusia. Kalau lelah, bilang lelah. Jangan semua ditahan.”
Inu tertawa waktu itu. Ia mengira lelah itu hanya fase.
Ternyata lelah bisa berubah jadi karakter.
Hari itu, rapat jam sepuluh berlangsung di lantai dua sebuah hotel butik. Ruangan meetingnya wangi, dingin, dan terlalu rapi—seperti dunia yang ingin tampak baik-baik saja.
Di depan Inu, duduk tiga orang klien dari grup properti. Di samping mereka, Jingga duduk dengan gaya santai, seolah ia pemilik ruang itu.
Wulan menatap Inu dari ujung meja. Matanya meminta maaf sebelum kata-kata keluar.
Klien membuka laptop. Menampilkan slide.
Slide pertama: judul strategi brand yang Inu buat.
Slide kedua: angka-angka performa.
Slide ketiga… potongan chat.
Chat yang dipelintir.
Kalimat Inu yang dipotong setengah, dipasang seperti bukti “arogan”. Ada tangkapan layar email yang sengaja diambil tanpa konteks. Ada “rumor” bahwa Inu memanipulasi biaya vendor, bahwa ia memanfaatkan klien, bahwa ia memonopoli proyek.
Inu menatap layar itu seperti menatap cermin yang dipaksa retak.
“Ini benar?” tanya salah satu klien, suaranya datar, tapi matanya tajam.
Inu menoleh pada Jingga. Jingga tersenyum tipis—senyum orang yang merasa sedang menonton pertunjukan yang ia susun sendiri.
Inu bisa membantah. Ia bisa mengamuk. Ia bisa menjelaskan panjang. Ia bisa mengeluarkan seluruh bukti.
Tapi di tengah ruangan yang dingin itu, ia tiba-tiba ingat sesuatu: orang-orang tertentu tidak datang untuk mendengar kebenaran. Mereka datang untuk mengukuhkan narasi yang sudah mereka pilih.
Di kepalanya, seperti lampu darurat yang menyala, muncul kalimat yang pernah Sekar tulis di sticky note dan tempel di meja kerja Inu:
“Kalau kata-kata orang selalu penuh racun, diam kadang adalah ide terbaik.”
Inu menelan ludah.
Ia menatap klien. Lalu ia berkata pelan, rapi, tanpa drama:
“Saya akan kirimkan kronologi dan dokumen lengkap setelah ini. Tapi untuk sekarang, saya memilih tidak adu suara.”
Jingga mengangkat alis, seolah kecewa karena pertunjukan tak sesuai harapan.
Rapat ditutup tanpa kesimpulan. Bukan karena masalah selesai, tapi karena semua orang pura-pura “butuh waktu”.
Di lorong hotel, Wulan mengejar Inu.
“Mas… aku tahu ini kerjaan siapa.”
Inu tidak menjawab.
Wulan menahan napas. “Dia—Jingga. Dia yang sebar. Dari grup WhatsApp investor. Dari lingkaran komunitas bisnis. Aku punya bukti, tapi….”
Inu menatap Wulan. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap tenang.
“Kamu tidak perlu perang untukku,” katanya. “Kamu perlu selamatkan dirimu.”
Wulan menangis. Bukan tangis yang ribut, tapi tangis orang yang baru sadar dunia dewasa sering kali tidak adil, tapi selalu meminta kita tetap sopan.
Malamnya, Inu pulang ke apartemen yang tinggi, dengan jendela menghadap kota. Dari atas, Jakarta tampak seperti papan sirkuit: lampu-lampu kecil, jalan bercabang, kendaraan bergerak—semua orang berputar mencari tempat paling aman.
Sekar sudah menunggu. Ia tidak bertanya berlebihan. Ia hanya menaruh teh hangat di meja dan duduk di samping Inu seperti menambal sunyi.
Inu akhirnya bicara. Pelan. Putus-putus.
Tentang chat yang dipelintir. Tentang klien yang mendadak dingin. Tentang komunitas bisnis yang suka mengundang, tapi juga suka menghakimi. Tentang orang-orang yang memuji keberhasilan, lalu membenci pencapaian.
Sekar mendengarkan. Lama.
Lalu Sekar berkata, suaranya seperti menutup pintu yang berisik:
“Nu, kamu harus punya protokol.”
“Protokol apa?”
“Protokol menjaga jarak.”
Inu tersenyum pahit. “Aku sudah menjaga jarak. Tapi racun mereka tetap sampai.”
Sekar menggeleng pelan. “Berarti jaraknya belum cukup jauh. Atau kamu masih kasih mereka pintu.”
Inu menatap Sekar. “Tapi mereka dulu teman.”
Sekar menatap balik, matanya jernih.
“Teman yang baik tidak hadir untuk merendahkanmu,” katanya. “Teman yang baik hadir untuk menguatkanmu. Yang merendahkan itu bukan teman. Itu penonton.”
Kata “penonton” membuat dada Inu sesak. Karena ia sadar: beberapa orang memang hanya ingin melihat kita jatuh—agar mereka merasa tinggi.
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di kota dengan hujan di dalam dada.
Ada klien yang menunda pembayaran. Ada rekanan vendor yang mendadak “sibuk”. Ada undangan komunitas yang tiba-tiba sepi. Ada orang yang dulu memanggil “bro” kini hanya membaca pesan tanpa membalas.
Dan ada Jingga—yang tetap muncul di Instagram dengan senyum lebar, memposting kutipan tentang “integritas” seperti orang menjual wangi dari botol kosong.
Inu hampir tergoda membalas semua itu dengan unggahan panjang. Ia hampir tergoda membongkar.
Tapi Sekar menahannya.
“Jangan buang waktu pada mereka yang iri melihat kesuksesan dan pencapaianmu,” kata Sekar, mengulang seperti mantra.
Inu ingin protes: “Tapi ini namaku!”
Sekar mengangguk. “Makanya kamu jaga dengan cara dewasa. Bukan dengan cara ramai.”
Mereka menyusun langkah: audit semua proyek, rapikan kontrak, perjelas scope, buat sistem approval yang transparan, pisahkan rekening perusahaan dan personal lebih ketat, susun SOP komunikasi tim. Damar—teman lama yang jadi pengacara korporasi—membantu menyusun surat klarifikasi yang elegan tapi tegas. Tidak menyerang, tapi menutup celah.
Di saat yang sama, Sekar mengajak Inu kembali ke satu hal yang sempat hilang: belajar. Bukan belajar untuk terlihat pintar, tapi belajar untuk bertahan.
Mereka ikut kelas manajemen krisis reputasi. Mereka berdiskusi tentang psikologi kelompok sosial. Mereka membaca ulang kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulu dianggap remeh: siapa yang suka mengeluh tapi tidak mau berubah; siapa yang hadir hanya saat butuh; siapa yang memutarbalikkan cerita; siapa yang bermuka dua.
Di sebuah sore, saat matahari tenggelam di balik gedung-gedung, Inu berdiri di balkon apartemen. Ia melihat kota menyala lagi.
Sekar berdiri di sampingnya.
Inu berkata pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri:
“Aku baru sadar… yang paling menyakitkan bukan fitnahnya. Tapi kenyataan bahwa aku pernah percaya.”
Sekar menatapnya.
“Percaya itu bukan salah,” katanya. “Yang salah adalah tetap memberi akses kepada orang yang berkali-kali membuktikan dirinya beracun.”
Inu menelan napas. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak: bukan dendam, tapi kesadaran.
Beberapa minggu kemudian, Inu menerima undangan rapat lagi dari grup properti itu. Kali ini, hanya mereka bertiga dan Damar, tanpa Jingga.
Inu datang dengan dokumen lengkap. Kontrak. Email utuh. Chat utuh. Invoice. Approval. Semua rapi, tidak bisa dipelintir.
Klien membaca lama. Wajah mereka berubah, pelan, seperti orang yang baru sadar telah menelan informasi mentah.
“Kami minta maaf,” kata salah satu dari mereka. “Kami terlalu cepat percaya.”
Inu mengangguk. Tidak sombong. Tidak meledak. Ia hanya berkata:
“Saya paham. Tapi saya tidak bisa bekerja di tempat yang memelihara rumor.”
Klien terdiam.
Inu menatap mereka, suaranya tenang:
“Saya bersedia lanjut. Tapi dengan satu syarat: akses komunikasi hanya lewat jalur resmi. Tidak ada grup investor yang mengomentari kerja tim tanpa data. Tidak ada pihak ketiga yang ‘mengatur’ narasi.”
Klien setuju.
Mereka menandatangani addendum. Dan untuk pertama kalinya, Inu merasa—namanya kembali seperti rumah, bukan seperti arena.
Malam itu, di lift hotel, Inu melihat pantulan dirinya. Ia masih orang yang sama, tapi ada sesuatu yang lebih dewasa di matanya.
Ia ingat satu kalimat lagi, yang kini terasa seperti hukum hidup:
“Kebenaran tidak butuh suara mereka.”
Di luar hotel, hujan turun lagi. Jakarta basah, tapi tidak sedingin dulu.
Di mobil, Inu membuka ponsel. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Nu, kita ketemu. Salah paham kemarin.”
Inu membaca. Ia tahu siapa.
Jingga.
Dulu, pesan seperti itu akan membuat Inu gelisah, ingin menyelesaikan, ingin “baik-baik saja” lagi.
Kini, Inu menaruh ponsel itu tanpa membalas.
Sekar pernah bilang: beberapa orang hanya datang saat butuh, lalu pergi saat kamu jatuh. Dan beberapa orang datang hanya untuk memastikan kamu jatuh.
Inu menatap jalan.
Ia tidak benci Jingga. Ia tidak ingin membalas. Ia hanya tidak ingin mengulang kesalahan: memberi ruang pada orang yang membuat hidupnya sempit.
Di rumah, Sekar menunggu dengan lampu redup dan makanan sederhana.
Inu duduk. Lelahnya masih ada, tapi tidak lagi mematikan.
Ia berkata pelan, seperti orang mengucap sumpah pada dirinya sendiri:
“Aku akan memilih lingkaran kecil. Yang sedikit tapi waras.”
Sekar tersenyum. “Akhirnya.”
Mereka makan dalam diam yang hangat—diam yang bukan kalah, tapi pulih.
Dan di luar sana, kota tetap bising: orang memuji, orang menghakimi, orang mengeluh, orang memutar cerita. Tapi Inu sudah punya protokol.
Tidak semua orang harus dihadapi.
Tidak semua suara harus dijawab.
Tidak semua pertemanan harus diselamatkan.
Karena pada akhirnya, karier, bisnis, dan hidup yang panjang hanya bisa ditanggung oleh hati yang tidak terus-menerus diracuni.
Dan kadang, cara paling elegan untuk menang… adalah menutup pintu.
.
.
.
Malang, 17 Desember 2025
.
.
#Cerpen #CerpenKompasMinggu #DramaUrban #PsikologiSosial #Karier #Bisnis #Reputasi #ToxicPeople #SelfRespect #Reflektif #NamakuBrandku