Romantisme Kota Malang: Jeda yang Tak Pernah Kita Pelajari
“Kadang kita sibuk mengejar masa depan sampai lupa mencari tempat untuk beristirahat dari diri sendiri.”
.
Baca sebelumnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-pertaruhan-seorang-perencana-kota/
.
Kota yang Bergerak Pelan di Luar, Tapi Bergejolak di Dalam Dada
Namanya Laksmana Adinata—dipanggil Laks oleh teman dekatnya, dan dipanggil “Mas” oleh mahasiswa baru yang sering meminta arahan gedung kuliah. Ia berkuliah di Malang, kota yang penuh seperangkat mitos romantis: hawa dingin yang katarsis, mahasiswa kreatif, hidup hemat, dan seluruh mimpi anak rantau yang katanya mudah tumbuh.
Nyatanya?
Tidak seromantis itu.
Dalam perjalanan pagi dari kosnya di daerah Sigura-gura menuju kampus, Laks sering melihat mahasiswa berkumpul di halte sambil bercanda. Mereka tertawa lebar. Namun di balik setiap tawa, ia tahu ada yang menyembunyikan banyak hal:
tagihan kos yang naik tiba-tiba, uang kiriman yang belum turun, nilai tugas yang mepet, pekerjaan part time yang melelahkan, serta pertanyaan eksistensial yang setia mengikuti:
“Setelah lulus, aku jadi apa?”
Laks bukan pengecualian.
Ia adalah salah satu dari banyak mahasiswa kelas menengah yang tidak kekurangan, tetapi tidak berlimpah.
Keluarganya tinggal di Blitar; ayahnya pegawai negeri golongan kecil, ibunya membuka usaha kue secara daring. Penghasilan keluarga cukup stabil, namun tidak cukup untuk kenyamanan. Laks harus bekerja sambil kuliah untuk menutup biaya makan dan keperluan kampus.
Mahasiswa lain bisa nongkrong di kafe instagrammable; Laks memilih warung pecel tenda di belakang kampus.
Mahasiswa lain bisa beli iPad untuk mencatat; Laks masih memakai buku catatan hadiah lomba osis SMA.
Mahasiswa lain bisa lembur proyek tugas; Laks harus lembur kerja untuk bertahan hidup.
Kadang ia merasa hidupnya tidak berjalan, tapi menyeret.
.
Tugas Kuliah yang Tampak Mudah Bagi Orang Lain, Tapi Berat Baginya
Mata kuliah favorit Laks adalah Analisis Media dan Komunikasi yang diajar oleh Anggraini—dosen muda cerdas yang punya bakat ajaib membuat materi sulit menjadi obrolan manusiawi.
Suatu hari, di kelas yang penuh suasana mendung, Anggraini berkata:
“Analisis media bukan cuma soal teori. Ia melatih kalian membaca realitas. Melihat apa yang orang lain tidak lihat.”
Laks mencatat cepat, meski pandangannya agak berputar.
Ia belum makan karena uangnya tinggal lima belas ribu.
Ia harus menunggu jam kerja paruh waktu malam nanti di minimarket.
Setelah kelas selesai, Anggraini memanggilnya.
“Kamu kelihatan lelah, Laks. Ada yang bisa saya bantu?”
Laks tersenyum, seperti biasa menutupi badai.
“Mungkin kurang tidur, Bu.”
“Jangan paksa diri. Dunia luar kampus lebih keras dari yang kalian bayangkan. Kalau tidak belajar istirahat sekarang, nanti kalian tumbang.”
Ucapan itu terasa masuk telinga, tapi tidak bisa ia jalankan.
Karena bagi mahasiswa seperti Laks, istirahat adalah kemewahan.
.
Kos Mungil yang Menyimpan Sunyi Yang Tidak Diucapkan
Kamar kos Laks hanya berukuran 3×3 meter.
Ada kasur tipis, meja kayu lapuk, kipas angin yang sudah bunyi berdecit, dan sebuah laptop tua yang sering mati tiba-tiba.
Di dinding, Laks menempel sticky notes berisi jadwal kuliah, target hidup, dan motivasi.
Tapi satu kalimat yang ia tempelkan dengan spidol merah paling besar adalah:
“Jangan buat Ibu kecewa.”
Itu satu-satunya kalimat yang cukup kuat untuk menahan dirinya tetap bangun setiap hari.
Keluarganya terlalu banyak berkorban untuk menyekolahkannya.
Ia harus menjadi anak yang berhasil. Anak yang tidak sia-sia.
Namun tekanan yang ia bangun sendiri itu perlahan menjadi jerat.
.
Kehidupan Paruh Waktu: Antara Harga Diri dan Kelelahan
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Laks mengerjakan apa saja:
-
menjaga kasir minimarket,
-
menerima order desain poster,
-
mengedit video dosen,
-
memotret acara kampus,
-
hingga jadi admin media sosial organisasi tertentu.
Kelelahan itu ia simpan rapat-rapat.
Ia tidak ingin teman-temannya tahu betapa keras ia berjuang.
Ia ingin dianggap “normal”—mahasiswa biasa yang kuat dan tidak bermasalah.
Suatu malam, setelah shift kerja selesai, ia pulang dengan badan gemetar karena lapar. Ia membeli roti tawar diskonan.
Dalam perjalanan, hujan turun. Ia berteduh di bawah ruko sambil menggigit roti dengan air menetes dari rambutnya.
Di situlah ia menangis pelan—bukan karena sedih, tapi karena tidak tahu harus berbicara kepada siapa.
.
Pertemuan yang Mengubah Arah Hidupnya
Suatu sore, wifi kampus mati. Laks butuh koneksi untuk mengerjakan tugas video.
Ia memutuskan ke sebuah ruang belajar yang baru ia dengar dari teman: Fokus & Fika.
Ruangan itu hangat. Banyak mahasiswa mengetik, membaca, berdiskusi serius. Ada aroma kopi dan kayu manis.
Ia merasa masuk ke tempat di mana orang saling memanusiakan.
Panji, salah satu pemiliknya, menyapa ramah:
“Mampir saja, Mas. Mau duduk mana?”
Laks mengangguk kikuk dan memilih meja pojok.
Setelah beberapa menit, Ajeng lewat dan melirik layar laptopnya.
“Footage kamu bagus. Kamu ambil sendiri?”
Laks mengangguk malu.
“Saya hobi rekam-rekam, Mbak.”
Ajeng menatapnya penuh minat.
“Pernah terpikir gabung project RupaRasa? Kamu punya sensitivitas visual yang langka.”
Laks tersentak.
RupaRasa adalah studio kreatif yang sedang naik daun.
Bagaimana mungkin ia—yang laptopnya saja sering mati—bisa bergabung?
Ajeng melihat keraguan itu.
“Kapasitas itu tidak menunggu peralatan canggih. Ia muncul dari mata yang tahu apa yang ingin dilihat.”
Kata-kata itu masuk seperti cahaya ke dalam ruangan gelap di dalam dirinya.
.
Titik Jatuh: Laptop Rusak, Dan Dunia Ikut Runtuh
Hidup jarang memberikan kabar baik tanpa sisipan tragedi.
Malam sebelum tenggat tugas besar Anggraini, laptop Laks mati total.
Semua file hilang.
Ia mencoba membongkar, tetapi hanya bisa menatap debu yang menempel di motherboard.
Ia duduk di lantai kos dengan lutut ditekuk, memeluk kepalanya.
Tangis yang ia tahan selama berbulan-bulan pecah begitu saja.
Ia merasa gagal.
Gagal sebagai mahasiswa.
Gagal sebagai anak.
Esoknya, dengan wajah sembab, ia menemui Anggraini.
“Bu… saya tidak bisa kumpulkan tugas. Laptop saya rusak total.”
Anggraini menatapnya dalam-dalam.
“Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?”
“Saya… tidak ingin menjadi beban.”
Anggraini tersenyum pelan.
“Laks, kamu bukan beban di kelas saya. Kamu bagian dari perjalanan itu. Saya beri kamu waktu dua minggu. Fokus pulihkan dirimu dulu.”
Dan Laks, untuk pertama kalinya, merasa ada orang yang mengerti tanpa membuatnya rendah.
.
Ketika Kebaikan Mencari Jalan untuk Menemukan yang Membutuhkan
Mendengar cerita itu, Ajeng tidak tinggal diam.
Ia menghubungi Panji dan Jayengrana.
“Laptopnya Laks rusak. Kita bisa bantu apa?”
Panji berkata,
“Aku punya laptop lama, masih kuat buat editing ringan. Kasih ke dia saja.”
Jayengrana menambahkan,
“Sekalian ajak dia ikut project dokumentasi ruang publik. Dia punya potensi instingtif. Kita arahkan.”
Ajeng mengangguk.
“Kita tidak sedang membantu satu mahasiswa. Kita sedang membangun satu masa depan.”
.
Kesempatan Pertama: Proyek yang Mengubah Cara Pandangnya pada Dunia
Ketika Laks datang ke Fokus & Fika, Panji menyerahkan laptop itu.
“Nih. Pakai saja. Tidak usah kembalikan cepat-cepat. Yang penting kamu bisa terus berkarya.”
Laks hampir menangis.
Ia menunduk lama sebelum berkata,
“Terima kasih, Mas… saya nggak tahu harus bilang apa.”
Jayengrana lalu berkata,
“Besok ikut aku observasi lapangan. Kita dokumentasi pergerakan pedestrian di Alun-Alun Tugu. Kamu punya mata yang kami butuhkan.”
Laks tertegun.
Observasi? Dokumentasi? Real project?
Ia merasa hidupnya yang semula sempit mulai membuka jendela kecil ke arah dunia yang lebih luas.
Dan ia ingin masuk.
.
Malang dari Lensa Baru: Bukan Kota, Tapi Manusia di Dalamnya
Beberapa minggu berikutnya, Laks ikut proyek dokumentasi bersama Jayengrana dan Panji.
Ia memotret:
-
tukang parkir yang tetap tersenyum meski hujan,
-
anak-anak berlari di taman,
-
pedagang kaki lima yang terpaksa bergeser karena razia,
-
mahasiswa yang duduk sendirian dengan headphone menutupi rasa lelahnya.
Setiap visual terasa jujur.
Setiap adegan terasa dekat.
Jayengrana menepuk bahunya setelah melihat hasilnya.
“Kamu bukan cuma punya bakat. Kamu punya kepekaan. Banyak orang tahu cara menekan tombol kamera, tapi hanya sedikit yang tahu apa yang harus dilihat.”
Itu pujian pertama yang benar-benar masuk ke hati Laks tanpa disertai rasa tidak layak.
.
Presentasi Besar: Ketika Ketakutan Menjadi Sayap
Proyek dokumentasi itu dipresentasikan dalam acara kolaborasi kampus bersama Anggraini dan RupaRasa.
Laks ditunjuk untuk berbicara.
Ia hampir menolak.
Ia takut suaranya bergetar.
Takut salah bicara.
Takut diejek.
Namun Ajeng berkata,
“Kamu menceritakan apa yang kamu lihat. Itu lebih kuat daripada teori mana pun.”
Dan Panji menambahkan,
“Kamu tidak berdiri sendirian di panggung itu.”
Maka Laks berdiri dengan kaki yang sedikit gemetar.
Tetapi suaranya keluar—serak tapi jujur.
“Kita sering melihat kota dari gedung tinggi, tapi jarang melihat bagaimana kota dilihat oleh orang-orang yang berjalan kaki. Video ini… adalah cara saya belajar melihat manusia lewat kota.”
Ketika presentasi selesai, ruangan hening lalu tepuk tangan bergema.
Tidak berlebihan, tidak basa-basi—tapi autentik.
Beberapa dosen memanggilnya.
Seorang jurnalis lokal meminta izin menggunakan klip dokumentasinya.
Mahasiswa lain memujinya.
Dan Laks, dalam diam, berkata pada dirinya sendiri:
“Aku… ternyata bisa.”
.
Setelah Presentasi: Jeda yang Akhirnya Ia Temukan
Malam itu, setelah acara selesai, ia duduk di teras Fokus & Fika.
Hujan tipis turun, menetes di daun monstera yang digantung Panji.
Lampu-lampu kota memantul di aspal basah seperti serpihan cahaya.
Ajeng duduk di sampingnya.
“Kamu sudah jauh dari titik pertama kali datang ke sini.”
“Dulu saya takut, Mbak…”
“Sampai sekarang pun masih takut. Tapi saya belajar jalan terus.”
Ajeng tersenyum.
“Keberanian bukan tanpa takut, Laks. Keberanian itu berjalan sambil takut.”
Laks mengangguk perlahan.
Ia belum menjadi siapa-siapa.
Ia belum mencapai puncak apa pun.
Ia bahkan belum lulus.
Namun untuk pertama kalinya sejak ia pindah ke kota ini, ia merasa—
dirinya punya arah.
Dan arah itu bukan hanya tentang nilai, ijazah, atau pekerjaan.
Arah itu adalah sebuah jalan yang bertumbuh perlahan, dibangun dari tangan-tangan yang tidak pernah berhenti menolongnya.
.
Kota Yang Mengajari Kita Untuk Tidak Merasa Sendirian
Beberapa hari kemudian, Laks pulang ke Blitar.
Ibunya menyambut di depan rumah dengan mata berbinar.
“Kuliahmu gimana, Nak?”
“Berjalan, Bu… Tapi sekarang lebih ringan.”
Ibunya tidak tahu detailnya.
Tidak tahu bahwa kebaikan dari orang asing telah mengubah jalan hidup anaknya.
Namun Laks tahu.
Ia menatap langit malam di kampung halaman dan berbisik pada dirinya sendiri:
“Segala yang berat itu mungkin tidak hilang. Tapi kini aku punya tempat untuk beristirahat dari beratnya.”
Dan itu cukup.
.
Baca sesudahnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-manusia-manusia-yang-dirajut-hujan/
.
.
Malang, 8 Desember 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #CerpenIndonesia #MahasiswaMalang #KehidupanUrban #MentalHealthMahasiswa #KotaMalang #RupaRasaUniverse #FokusFika #KisahInspiratif #JeffreyStyle