Romantisme Kota Malang: Pertaruhan Seorang Perencana Kota

“Kota dibangun oleh tangan manusia, tapi dihancurkan oleh keputusan yang tidak berpihak pada manusia.”

.

Kota yang Terlihat Indah dari Jauh, Tapi Rapuh dari Dekat

Ranggalawe menatap kota Malang dari jendela lantai empat kantornya: titik-titik lampu, lalu lintas yang merambat, garis pegunungan yang samar di kejauhan. Dari jauh, kota ini selalu terasa rapi, stabil, dan terkendali. Namun semakin lama ia bekerja sebagai urban planner, semakin ia tahu bahwa kota yang indah tidak selalu berarti kota yang adil.

Pagi itu, ia sedang menyiapkan laporan analisis revitalisasi taman kota—proyek yang seharusnya menjadi ruang publik penuh harapan, namun di baliknya terdapat banyak kepentingan yang berdesakan.

Telepon bergetar.
Nama klien muncul: PT Sejahtera Bakti Karya, investor yang sejak awal bercita-cita menjadikan taman sebagai ruang terbuka hijau plus area komersial “kecil”.

Kecil, padahal rencana yang ia lihat sudah seperti embrio mall terbuka.

“Mas Rangga,” suara manajer proyek di seberang terdengar halus namun menusuk.
“Kami tunggu revisi peta zonasi. Titik area komersialnya mohon diperluas sedikit.”

Ranggalawe mengatur napas.
“Pak, kalau luasnya ditambah lagi, area bermain anak tinggal setengahnya. Itu nggak sesuai rekomendasi WHO.”

Tidak apa. Yang penting tetap ada kan? Toh tidak harus besar. Lagipula publik bisa menyesuaikan.”

Kata publik bisa menyesuaikan membuat tengkuk Ranggalawe dingin.
Mengapa selalu masyarakat yang harus menyesuaikan dengan pembangunan?
Mengapa bukan sebaliknya?

Setelah menutup telepon, ia memijit pelipisnya.
Ini bukan proyek pertama yang membuatnya muak, tapi kali ini berbeda: taman kota ini dekat dengan sekolah dasar. Anak-anak setiap hari bermain di sana. Ia tahu ini bukan sekadar soal angka atau zonasi—ini soal masa kecil yang mungkin akan hilang.

.

Awal Mula Rasa Lelah yang Tidak Pernah Ia Ceritakan

Ranggalawe bukan tipe lelaki yang mengeluh. Di antara lingkaran Ajeng–Panji–Anggraini–Jayengrana, dialah yang paling dianggap “tenang”, “dewasa”, “penuh logika”. Tapi ketenangan itu punya harga.

Ia jarang tidur nyenyak.
Setiap malam ia memikirkan dilema-dilema kecil yang bagi banyak orang tidak terlihat:
trotoar yang dipersempit toko, taman yang dipangkas demi lahan parkir, drainase yang sengaja ditunda demi tender berikutnya.

Suatu malam, di rumah kontrakan mungilnya, ia membuka lembar-lembar analisis dampak lingkungan.
Air matanya hampir jatuh ketika melihat satu kalimat dari kolega:

“Untuk bagian ini bisa di-adjust ya, Rang. Kata pimpinan revisi harus disesuaikan hasil rapat internal.”

Disesuaikan.
Kata itu lebih kejam dari “dipalsukan”.

Ia tidak ingin namanya tercatat dalam dokumen yang membenarkan penurunan kualitas ruang publik.

Tetapi ia juga tahu: menolak berarti membahayakan kariernya.

.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Di tengah kebimbangan itu, ia bertemu Ajeng dan Panji di kafe Fokus & Fika. Jayengrana ikut bergabung setelah kelas workshop. Mereka berbicara soal masa depan kota, masa depan mimpi, dan masa depan manusia.

Ajeng bertanya, “Rangga, kamu kelihatan capek. Ada apa?”

Ranggalawe jarang membuka diri. Tapi malam itu, hujan turun pelan, aromanya memecah resistensi dalam dirinya.

“Aku sedang menangani proyek taman kota,” katanya pelan. “Investor mau memperluas area komersial. Dampaknya besar, tapi mereka ingin aku revisi data supaya terlihat aman.”

Panji langsung menatap serius.
“Kalau kamu turuti, anak-anak kehilangan taman. Kalau kamu lawan, kamu kehilangan pekerjaan.”

Anggraini menambahkan,
“Ini bukan cuma soal pekerjaan, tapi soal siapa kamu sebagai perencana kota.”

Ranggalawe mengangguk.
“Aku tahu. Tapi aku takut, Gra. Takut kalau idealisme ini nanti malah bikin aku miskin, dan bikin proyek jatuh ke pihak lain yang lebih buruk.”

Kafe hening. Hanya suara hujan.

Ajeng akhirnya berkata:

“Miskin sesaat bisa dipulihkan. Tapi kehilangan integritas tidak bisa ditarik kembali.”

Jayengrana mengangguk pelan.
“Kota butuh orang seperti kamu. Kalau kamu menyerah, apa yang tersisa untuk kami yang masih belajar?”

Perkataan mereka menampar lembut hatinya.
Dan malam itu, ia mengambil keputusan pertama:
Tidak akan memalsukan data. Apa pun risikonya.

.

Pertempuran Senyap di Ruang Rapat

Ruang rapat kantor developer dingin seperti ruang ICU. Lampunya putih pucat. Air mineral di meja terasa lebih seperti alat interogasi daripada penyegar.

“Kami minta revisi data,” kata direktur operasional. “Kecil saja, dua persen. Itu agar proposal kita bisa lolos.”

Ranggalawe menatap layar proyektor.
Di sana tertera angka yang dipintanya untuk “diubah”.
Dua persen berarti kehilangan lebih dari lima ratus meter ruang publik.
Dan itu bukan angka—itu masa kecil ratusan anak.

“Maaf, Pak,” katanya pelan tapi tegas. “Saya tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena itu bertentangan dengan standar teknis dan prinsip keselamatan publik.”

Direktur menatapnya tajam.
“Kalau kamu tidak mau, banyak perencana lain yang mau. Kamu pikir kamu satu-satunya orang yang bisa kerja di kota ini?”

Ancaman itu dingin.
Tepat sasaran.
Tapi Ranggalawe sudah siap.

“Saya tidak keberatan kalau harus mundur dari proyek ini,” jawabnya.

Ruangan senyap.
Keputusan itu terdengar seperti pukulan.

Namun justru di situlah ia merasa utuh.

.

Ketika Kebenaran Justru Menyelamatkan Proyek

Beberapa hari kemudian, keputusan Ranggalawe ternyata memicu rantai reaksi.

Seorang anggota dewan kota—yang kebetulan membaca laporan asli Ranggalawe sebelum revisi—menghubungi kantor developer dan mempertanyakan perbedaan data.

Dan setelah investigasi internal, pihak pemerintah memutuskan:

  • area komersial tidak boleh diperluas,

  • rekomendasi Ranggalawe harus dipertahankan,

  • dan proyek tetap berlanjut dengan pengawasan ketat.

Ranggalawe dipanggil kembali ke rapat.
Direktur yang sebelumnya mengancam berkata dengan wajah datar:

“Mas Ranggalawe… kami putuskan Anda tetap memimpin tim analisis.”

Bukan permintaan maaf. Bukan pengakuan salah.
Tapi itu cukup.

Setelah rapat, Ranggalawe keluar gedung dan menatap langit Malang. Awan menggantung rendah, tapi matahari mencoba menerobos.

Ia tersenyum kecil.
Kadang kebenaran kalah cepat.
Tapi ia tidak pernah benar-benar kalah.

.

Luka yang Tidak Hilang, Tapi Berubah Menjadi Kompas

Malam itu, ia kembali ke Fokus & Fika.
Panji sedang menyapu lantai.
Ajeng sedang memeriksa naskah kampanye kota.
Anggraini sedang mengoreksi tugas mahasiswa.
Jayengrana sedang mengedit video riset lapangan.

Mereka semua menyambutnya.

“Gimana, Rang?” tanya Ajeng.

Ranggalawe menghela napas panjang.
“Proyek lanjut. Data aman. Taman tidak jadi dipotong.”

Panji langsung berseru,
“YES!”

Anggraini menutup buku dan berkata,
“Kamu tahu? Kamu harus cerita ini ke mahasiswa arsitektur dan perencanaan. Mereka butuh teladan seperti ini.”

Jayengrana menatapnya kagum.
“Gila, Bang. Keren banget.”

Ranggalawe tertawa kecil.
Ia jarang merasa bangga pada dirinya sendiri.
Tapi malam itu, ia merasa pantas.

.

Proyek Baru: Membuat Kota Lebih Manusia

Setelah kejadian itu, Ranggalawe diundang kampus untuk mengisi seminar “Etika Perencanaan Kota”.
Ia juga diminta Ajeng memimpin proyek kampanye visual “Ruang Publik untuk Semua” bersama Panji.

Dan ketika ia menatap peta kota, ia tidak lagi melihat garis, blok, dan persentase kavling.
Ia melihat:

  • ruang keluarga yang sedang makan siang di taman,

  • ruang bermain anak yang tertawa,

  • ruang pejalan kaki yang aman,

  • ruang komunitas yang inklusif.

Ia sadar, pekerjaannya bukan merancang bangunan.
Ia merancang masa depan kota.

Dan itu jauh lebih berat, tapi juga jauh lebih berarti.

.

Kota yang Ia Cintai Dalam Diam

Pada suatu sore mendung di Jalan Ijen, ia mengendarai sepeda pelan.
Daun-daun trembesi berjatuhan.
Udara sejuk menampar halus wajahnya.

Ia berhenti di depan taman yang hampir hilang bulan lalu.
Melihat anak-anak berlari, ibu-ibu duduk mengawasi, remaja berfoto selfie, dan seorang bapak tua senam pernapasan.

Airmatanya mengambang.

Bukan karena ia lemah,
tapi karena ia sadar:

“Kadang keputusan paling sunyi yang kita buat justru menyelamatkan banyak orang yang tidak pernah tahu nama kita.”

Itu cukup.

Ia menyusuri jalan pulang dengan hati ringan.
Kota ini, dengan segala cuacanya, telah mengajarinya hal yang tak pernah ia dapatkan dari bangku kuliah:

Bahwa integritas mungkin membuatmu berjalan sendirian,
tapi itu juga yang membuat jalanmu benar.

Dan dalam kesunyian itu, Ranggalawe belajar mencintai kota yang ia bangun—diam, pelan, tapi dalam.

.

.

.

Malang, 8 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #CerpenKompasMinggu #UrbanPlanning #PerencanaKota #Integritas #MalangStory #RuangPublik #EtikaProfesional #RanggalaweUniverse #StorytellingKota

Leave a Reply