Romantisme Kota Malang: Kota Tempat Mencari Validasi

“Di usia muda, kita sering mengira yang perlu kita kejar adalah kecepatan—padahal yang paling sulit adalah menemukan arah.”

.

Baca sebelumnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-studio-kopi-yang-hampir-tutup/

.

Kota yang Terlihat Pelan, Tapi Tidak Pernah Benar-Benar Diam

Nama lengkapnya Jayengrana, tapi Ajeng dan Panji memanggilnya Jayeng.
Ia berusia 27 ketika merasa hidupnya mulai berjalan terlalu cepat bahkan untuk dirinya sendiri.

Malang tampak pelan dari luar: kabut pagi, hujan rintik, lajur motor mahasiswa, tukang bakso yang setia lewat pukul empat. Tapi bagi Jayeng, kota ini sedang bergerak di kecepatan yang berbeda—dan ia tertinggal.

Ia bekerja sebagai creative strategist untuk RupaRasa, mengurus kampanye branding, skrip video, riset audiens, hingga presentasi klien. Umurnya masih muda, tapi tuntutannya sudah sebesar startup Jakarta.

Pagi itu, ia duduk di kamar kosnya yang sederhana di kawasan Soekarno-Hatta, menatap jam dinding yang terus bergerak, seolah mencibir.

“Deadline jam dua belas, revisi jam empat, presentasi besok pagi…,” gumamnya.

Kepalanya berat. Ia sering bertanya-tanya:
Apakah ini benar hidup yang ia pilih, atau hidup yang ia biarkan menelan dirinya?

.

Presentasi yang Tidak Pernah Cukup Baik

Ruang meeting itu berada di kafe coworking baru yang penuh tanaman hias, lampu gantung industrial, dan meja panjang tempat start-up senang pamer budaya kerja mereka.

Jayeng menyiapkan slide presentasi untuk klien pariwisata.
Ajeng duduk di sampingnya, menunggu.

“Tenang, Jayeng,” kata Ajeng. “Kamu sudah risetnya matang banget.”

Jayeng mengangguk, tapi napasnya pendek.

Klien datang: pria paruh baya, manajer pemasaran hotel besar di Batu. Cara duduknya menunjukkan bahwa ia tidak punya waktu untuk hal-hal yang dianggap tidak penting.

Jayeng memulai presentasi.
Suara dan gesture-nya rapi, semua data akurat, storytelling kuat.
Tapi ketika tayangan selesai, sang klien berkata:

“Bagus… tapi gimana kalau konsepnya dibuat yang lebih mirip konten viral TikTok? Yang cepat. Sekarang orang nggak punya waktu nonton panjang-panjang.”

Jayeng tersenyum sopan, padahal dadanya merosot.

“Baik, Pak. Kami bisa revisi.”

Klien menambahkan,
“Dan warnanya tolong dibuat lebih cerah. Yang sekarang terlalu kalem. Anak muda sukanya yang ngejreng.”

Setelah klien pergi, Jayeng menutup laptopnya pelan.
Ajeng menepuk pundaknya.

“Kamu oke?”

Jayeng tertawa pendek.
“Aku cuma lupa kapan terakhir kali hasil kerjaanku dianggap cukup baik di iterasi pertama.”

.

Tekanan Usia 30 yang Tidak Pernah Tertulis Tapi Selalu Terasa

Malam itu, Jayeng makan sendirian di warung steak murah dekat kosnya.
Di sekelilingnya, suara mahasiswa memenuhi udara.

Ia membuka Instagram, melihat teman seangkatan:

  • yang satu sudah jadi manajer marketing,

  • yang lain buka usaha kafe,

  • yang satu lagi menikah,

  • yang lain punya mobil baru.

Sementara ia?

Ia makan steak lima belas ribu sambil mengerjakan revisi di ponsel.

Ada rasa getir yang susah dijelaskan.
Rasa bahwa ia punya kapasitas, tapi belum mendapat panggung yang tepat.

Rasa bahwa waktu berjalan lebih cepat dari pencapaiannya.

Rasa bahwa ia harus “jadi seseorang” sebelum ulang tahun ke-30, meski ia tidak tahu siapa yang menetapkan aturan itu.

Ia menutup Instagram, tapi pikiran itu tidak ikut tertutup.

.

Ajeng: Mentor, Teman, Penjaga Arah

Jayeng pulang ke studio Fokus & Fika untuk berdiskusi revisi dengan Ajeng. Panji sedang merapikan meja bar setelah kelas workshop.

“Jay, duduk sini,” Ajeng menarik kursi. “Ceritakan apa yang benar-benar kamu rasakan.”

Jayeng baru sadar ia butuh seseorang menanyakan itu.

“Aku capek, Jeng,” katanya pelan. “Bukan capek fisik. Capek jadi orang yang harus terus belajar, terus cepat, terus relevan. Kayak… kalau aku berhenti lima menit aja, aku ketinggalan satu tahun.”

Ajeng menatapnya lama.
Bahunya rileks. Suaranya lembut namun tegas.

“Jayeng, dengar. Kamu bukan lomba lari. Kamu manusia. Kamu bukan cuma isi slide dan strategi. Kamu punya kapasitas, tapi kamu sedang berperang dengan ekspektasi yang bukan ekspektasimu.”

Jayeng menunduk.

“Aku takut umurku habis sebelum aku benar-benar berhasil.”

Ajeng tersenyum tipis, penuh makna.

“Umurmu tidak ke mana-mana. Kamu yang sering lari terlalu jauh dari hidupmu sendiri.”

Kalimat itu membuat Jayeng hening.
Ada bagian dirinya yang terasa disentuh, bukan dijelaskan.

.

Ketika Gagal Itu Nyata — dan Menyakitkan

Tiga minggu kemudian, sebuah kabar buruk datang.
Proposal kampanye besar yang ia susun selama dua minggu penuh ditolak klien secara menyeluruh.

Komentarnya hanya satu kalimat:

“Kurang menggugah.”

Dalam dunia branding, kalimat itu seperti pisau tumpul yang tidak mematikan langsung, tapi meninggalkan sayatan panjang.

Jayeng pulang ke kos pukul sebelas malam.
Hujan turun pelan.
Ia melempar tas ke lantai, lalu duduk di tepi ranjang tanpa menyalakan lampu.

Pikirannya penuh suara:

“Kalau kamu gagal, itu berarti kamu tidak cukup hebat.”
“Kamu harusnya sudah setingkat creative lead sekarang.”
“Lihat teman-temanmu.”
“Waktu habis.”

Ia memejamkan mata.
Dadanya sesak.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia bertanya:
Apakah aku benar-benar berbakat, atau selama ini aku cuma pekerja keras yang kebetulan beruntung?

Air matanya jatuh.

Ia tidak tahu bahwa dari bawah ruko, Panji yang sedang menutup studio mendengar langkah Jayeng naik dengan berat, dan merasa ada yang salah.

.

Krisis Identitas Seorang Kreator

Esoknya, Jayeng tidak masuk.
Ajeng datang mengetuk pintu.

“Jayeng… buka, ini aku.”

Pintu terbuka pelan.
Jayeng tampak tidak rapi—rambut acak, mata merah, kaos kusut.

“Maaf. Aku… nggak tahu harus gimana.”

Ajeng masuk, duduk di kursi.
Ia tidak memberi nasihat panjang.
Tidak memarahinya.
Tidak menggurui.

Ia hanya berkata:

“Kamu bukan gagal. Kamu sedang mencari ulang alasan kenapa kamu membuat sesuatu.”

Jayeng akhirnya bicara.

“Aku takut, Jeng… kalau dunia berubah terlalu cepat, dan apa yang aku pelajari tidak lagi cukup.”

Ajeng menggeleng.

“Dunia memang cepat. Tapi hati manusia tidak pernah berubah secepat itu. Kita tetap butuh cerita, tetap butuh makna, tetap butuh seseorang yang mengerti cara menyampaikan pesan dengan benar. Kamu punya itu.”

Jayeng terdiam.
Dan di momen itu, ia merasa: mungkin ia belum selesai.

.

Reorientasi: Malang Adalah Guru Pelan Tapi Tegas

Ajeng mengajak Jayeng keluar sore itu.
Mereka berjalan menyusuri koridor Kayutangan Heritage, melihat mural, pedagang, lampu-lampu kuning yang mulai menyala.

Di sebuah sudut, sign neon bertuliskan “Slow down to know your path.”

Jayeng menatapnya lama.

“Kayak kota ini ngomong sama aku,” katanya.

“Memang,” jawab Ajeng. “Malang itu kota yang tidak memaksa kamu jadi besar. Malang mengajak kamu mendewasa pelan-pelan.”

Ajeng lalu menyodorkan ide.

“Bagaimana kalau kamu pimpin proyek riset untuk kampanye branding kota? Kita bikin serial konten, bukan untuk viral, tapi untuk membangun identitas yang sebenarnya.”

Jayeng mengangkat kepala.

“Kamu percaya aku bisa?”

Ajeng tersenyum.

“Kalau kamu sendiri belum percaya, pinjam dulu keyakinanku.”

Kata-kata itu seperti pintu lain yang terbuka.

.

Jayeng yang Baru: Pelan, Tapi Arah Mulai Muncul

Dalam beberapa minggu berikutnya, Jayeng:

  • mewawancarai pedagang kaki lima, mahasiswa, petugas kebersihan, tukang becak, pemilik homestay;

  • memotret kota bersama Panji;

  • berdiskusi dengan Anggraini tentang pola komunikasi generasi muda;

  • dan belajar kembali menulis dengan hati, bukan untuk menang persaingan.

Ia menemukan pola yang selama ini tidak ia lihat:
Bahwa kota bergerak bukan karena konten viral atau strategi cepat, tetapi karena orang-orang kecil yang bertahan dalam ritme hidupnya.

Dari hasil riset itu, Jayeng merumuskan sebuah konsep kampanye:

“Malang: Kota Pelan Untuk Hidup yang Lebih Dalam.”

Konsep itu ia presentasikan pada Ajeng, Panji, dan Anggraini.

Mereka semua diam setelah slide berakhir.

Lalu Panji berkata,
“Ini… Jayeng banget.”

Ajeng menambahkan dengan suara bergetar bangga,

“Ini adalah karya yang bukan hanya baik—tapi benar.”

.

Tidak Semua Orang Harus Berlari

Suatu malam, Jayeng duduk di atas motor di jembatan dekat kampus, menatap lampu kota.

Ia menulis catatan kecil di ponsel:

“Mungkin aku tidak akan sukses di usia 30 seperti yang dunia harapkan.
Tapi aku sedang belajar mengenali langkahku.
Dan itu, ternyata, lebih penting daripada cepat.”

Ia menatap langit Malang yang berawan.
Hatinya pelan.
Tapi arahnya jelas.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jayengrana tidak merasa harus mengejar siapa pun.

Ia hanya perlu menjalani ritmenya sendiri—pelan, tapi penuh.

.

Baca sesudahnya: https://jeffreywibisono.com/romantisme-kota-malang-pertaruhan-seorang-perencana-kota/

.

.

Malang, 8 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #CerpenKompasMinggu #GenerasiMilenial #Anxiety30 #MalangStory #CreativeLife #BrandingKota #KehidupanKreator #RupaRasaUniverse

Leave a Reply