Kata yang Tak Sempat Diucap
“Luka terdalam seringkali bukan karena tak ada yang bersedia mendengar,
melainkan karena kita sendiri tak sanggup menemukan kata yang jujur
untuk menceritakannya.”
.
Hujan baru selesai mengguyur Jakarta ketika Jayengrana mematikan mesin mobilnya di basement sebuah mal mewah di kawasan Senayan. Uap tipis naik dari aspal, memantulkan lampu-lampu kuning pucat yang berjajar seperti bintang palsu. Di kursi penumpang, tergeletak dus souvenir dari acara peluncuran produk perusahaannya—kotak hitam berlogo silver, mahal, dingin, dan sama sekali tidak menggambarkan betapa lelahnya dada seorang kepala divisi pemasaran berusia pertengahan tiga puluhan itu.
Ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup kantor, foto-foto mereka di atas panggung, tawa yang dibekukan dalam resolusi tinggi. Di antara riuh itu, muncul satu unggahan dari Ragilkuning—anak kreatif paling muda di timnya—di story Instagram.
Tulisan putih di atas latar abu-abu lembap, dengan siluet payung di sudut:
Kadang-kadang, kamu tidak bisa menceritakan perasaanmu yang sebenarnya kepada siapa pun. Bukan karena kamu tidak tahu alasannya. Bukan karena kamu tidak tahu tujuanmu. Bukan karena kamu tidak percaya pada mereka. Tapi karena kamu tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat mereka mengerti.
Jayengrana menatap kalimat itu lama sekali, seperti menatap cermin yang tiba-tiba bisa membaca pikirannya. Ia merasakan sesuatu mengganjal naik dari perut ke tenggorokan—semacam sesak yang tidak jadi batuk, tidak jadi air mata, hanya terhenti di tengah-tengah, menggantung.
Ia mengetik balasan, hanya berupa ikon api dan jempol, lalu menghapusnya lagi. Akhirnya ia tidak menulis apa-apa. Story itu dibiarkannya lewat begitu saja di antara ratusan cerita lain yang akan menghilang dalam dua puluh empat jam, sama seperti banyak hal penting dalam hidupnya yang ia biarkan menguap tanpa pernah diucapkan.
.
Di rumah cluster-nya di Bintaro, lampu-lampu taman sudah menyala ketika ia sampai. Gerimis kembali turun, menimpa kanopi kaca seperti jari-jari kecil yang mengetuk-ngetuk cemas. Dari jendela ruang keluarga, Jayengrana bisa melihat Sekartaji—istrinya—duduk di sofa abu-abu, laptop terbuka, kacamata membaca bertengger di ujung hidung. Di meja kopi, berserak buku-buku tebal dengan sticky note warna-warni. Sekar adalah dosen manajemen di kampus swasta bergengsi, sedang memeriksa tugas mahasiswa yang kian tahun kian merasa lebih pintar daripada dosennya.
Jayengrana mengusap rambut yang sudah mulai menipis di depan, merapikan kerah kemejanya yang sedikit basah, lalu membuka pintu.
“Aku pulang,” katanya singkat.
Sekar menoleh sebentar. “Udah selesai acaranya? Capek banget kelihatannya.”
“Nggak juga,” jawab Jayeng, melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. “Cuma… rame.”
Sekar tersenyum sekilas, senyum yang sopan, bukan hangat. “Mau makan? Mbokde sudah masak sop buntut. Kirana sudah makan di kos, katanya ada rapat BEM.”
“Belum lapar,” kata Jayeng. “Kamu belum tidur?”
“Masih ada dua kelas lagi yang belum masuk nilai. Besok sistem ditutup.” Sekar menatap layar lagi. “Oh ya, tadi Bapak telepon, tapi kamu lagi di panggung. Katanya besok mau ke dokter lagi soalnya tangannya makin sering gemetar.”
Jayengrana mengangguk pelan. “Aku telepon Bapak nanti.”
“Kamu pasti capek, mandi dulu sana,” ujar Sekar, seolah menutup percakapan. Ada jeda kecil; lalu ia menambahkan, “Selamat ya, peluncurannya. Story orang-orang rame banget.”
“Thanks,” katanya datar.
Ia melangkah ke kamar, meninggalkan Sekar bersama lampu putih layar laptop. Ada puluhan kalimat yang ingin ia ucapkan malam itu: tentang Bapaknya yang menua sendirian di Malang, tentang keinginannya berhenti dari pekerjaan glamor yang menguras jiwa, tentang kekosongan yang mengintip setiap kali lampu-lampu acara mati. Tapi semua itu berhenti di ujung lidah, layu, tak berubah menjadi suara.
.
Jayengrana lahir di Malang, di sebuah gang sempit dekat pasar bunga. Ibunya dulu penjahit kebaya, Bapaknya guru olahraga di sekolah negeri. Nama “Jayengrana” diberikan ibunya karena terinspirasi tokoh wayang Menak—pahlawan gagah yang melanglang buana. “Supaya kamu berani merantau, berani mengejar apa pun,” kata Ibunya, suatu kali.
Dan doa itu terkabul. Setelah kuliah di Surabaya, ia bekerja di Jakarta, meniti karier dari staf promosi menjadi kepala divisi. Gajinya jauh melampaui gaji Bapaknya sebagai pensiunan guru. Ia bisa membeli rumah cluster, mobil Eropa, mengirim anak semata wayangnya, Galuhkirana, ke sekolah internasional dengan program Cambridge. Dari luar, hidup mereka tampak rapi dan berhasil, persis brosur perumahan yang dulu ia pandangi di kantor agen properti: keluarga tersenyum, rumput hijau, anjing golden retriever berlari-lari.
Tapi seperti kebanyakan brosur, tidak pernah diceritakan bagaimana rasanya ketika semua itu sudah dimiliki dan ternyata hati masih terasa kosong.
Lewat tengah malam, ketika Sekar sudah tertidur miring membelakangi, Jayengrana duduk di meja kerja kecil di sudut kamar. Ia membuka laptop, namun bukannya menyusun rencana kampanye digital untuk kuartal berikutnya, ia membuka lembar kosong Word dan mulai menulis surat.
“Untuk Sekar,” tulisnya.
Jari-jarinya mengetik ragu-ragu.
Aku lelah, Sekar. Bukan hanya lelah fisik, tapi lelah menjadi diri sendiri yang seharusnya selalu kuat. Aku takut suatu hari aku tiba-tiba jatuh seperti berita-berita di timeline: pria sehat, usia produktif, kolaps di treadmill. Bukan karena aku kurang olahraga, tapi karena terlalu banyak menahan yang tak pernah kuceritakan…
Ia berhenti. Menghapus paragraf itu. Menulis lagi.
Kadang aku iri pada mahasiswa-mahasiswamu yang bisa menulis esai panjang tentang teori motivasi. Kenapa aku, yang setiap hari menjual mimpi lewat iklan, justru bingung menjelaskan apa yang kuinginkan pada istri sendiri?
Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu. Terasa cengeng. Terlalu dramatis. Tidak efektif, pikirnya—bahasa pemasaran yang terbawa sampai ke dapur rumah tangga.
Di luar, suara hujan semakin pelan. Detik jam dinding terdengar jelas, seperti meniupkan desakan: katakan sekarang, atau tidak pernah. Jayengrana menutup laptop tanpa menyimpan dokumen. Layar menjadi gelap, memantulkan wajahnya sendiri: mata lelah, garis tipis di kening, bibir yang sulit sekali jujur.
.
Pagi hari, Jakarta kembali sesak. Di meja makan, Sekar menggulir ponsel sambil menyeruput kopi hitam. Rambutnya disanggul terburu-buru. Ada kabar di grup keluarga: sepupu mereka, Radenpanji, pengusaha travel yang dulu selalu heboh memamerkan pencapaian di media sosial, terserang stroke ringan.
“Panji kena stroke,” kata Sekar tanpa menatap Jayengrana. “Padahal baru empat puluh. Katanya karena stres, perusahaan travel-nya limbung setelah pandemi dan belum bangkit juga.”
Jayeng meletakkan sendok pelan. “Aku sempat lihat fotonya di LinkedIn kemarin. Masih sempat jadi pembicara di seminar investasi pariwisata.”
“Ya, tapi itu kan tampilan luar. Dalamnya siapa yang tahu?” Sekar mendesah. “Kadang aku mikir, kita ini sama saja. Hidup dikejar target. Mahasiswa, akreditasi, penelitian. Kamu dengan angka penjualan dan share of voice. Lama-lama, kayak boneka yang diputar kuncinya setiap pagi.”
Jayeng ingin menanggapi, ingin berkata bahwa ia pun takut bernasib seperti Panji, bahwa setiap kali ponsel bergetar di malam hari ia selalu mengira itu kabar buruk dari Bapaknya di Malang—atau dari jantungnya sendiri yang tiba-tiba menyerah. Tetapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Iya, ya. Makanya kita jaga kesehatan.”
Sekar mengangguk, seolah percakapan itu sudah cukup. “Oh ya, minggu depan aku harus ke Bandung, ada konferensi. Tiga hari saja. Kamu bisa, kan, kalau Kirana butuh apa-apa?”
“Bisa,” jawab Jayeng. Padahal dalam kalendernya, minggu depan ia seharusnya ke Singapura untuk pitch campaign dengan klien regional. Ia belum berani bilang bahwa ia merasa ingin membatalkan semua itu.
Ada lagi sesuatu yang mengganjal di dadanya—keinginan untuk berkata, Bagaimana kalau kita berhenti sebentar? Bagaimana kalau kita pindah ke Malang, dekat Bapak, hidup lebih pelan?, tapi kata-kata itu seperti macet di simpang susun dalam otaknya, tidak menemukan jalan keluar.
.
Sore hari, di kantor yang menempati lantai tiga puluh sebuah gedung kaca, Jayengrana menatap skyline Jakarta yang mulai berwarna jingga. Di ruang meeting, timnya sedang membahas strategi kampanye Ramadhan: paket bundling, kolaborasi dengan selebgram, ide web series. Ragilkuning mempresentasikan storyboard dengan mata berbinar, suaranya penuh antusiasme. Anak-anak muda itu seperti dirancang untuk selalu punya energi; seakan-akan kelelahan bukan fitur dalam hidup mereka.
“Bagus, Gil,” kata Jayeng ketika presentasi selesai. “Tapi coba kamu cari angle yang lebih manusiawi, bukan sekadar lucu. Aku mau penonton merasa ‘terlihat’. Bukan cuma beli produk.”
Ragil mengangguk-angguk, mencatat di iPad. “Siap, Mas. Kayak postingan yang tadi pagi aku share, ya? Tentang orang yang nggak bisa cerita perasaannya?”
Jayeng tersenyum tipis. “Kurang lebih begitu.”
“Mas suka?” tanya Ragil. “Itu aku tulis waktu nungguin Bunda terapi. Dia suka bilang ke aku, ‘Kak, kadang Bunda nggak tahu harus cerita mulai dari mana.’ Jadi aku bikin kata-kata itu.”
Jayengrana terdiam sesaat. “Ibumu… sakit?”
“Depresi, Mas,” jawab Ragil pelan. Ruangan yang tadi riuh tiba-tiba senyap. “Udah dua tahun. Katanya, dia capek jadi orang kuat terus di kantor. Jadi, ya, belakangan banyak diem. Dokter bilang, salah satunya karena dulu Bunda nggak pernah diajarin buat cerita.”
Jayeng menelan ludah. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba sangat akrab. “Kamu kuat banget, Gil.”
Ragil tersenyum, tipis tapi tulus. “Kuat karena udah pernah lihat orang yang lebih rapuh dari aku, Mas.”
Percakapan itu menempel di kepala Jayengrana bahkan setelah meeting bubar. Dalam perjalanan pulang, ia memutar lagu-lagu lama di Spotify, tapi suaranya hanya menjadi latar bagi pikiran yang berputar-putar: berapa banyak orang di kota ini yang hidup seperti ibunya Ragil, seperti sepupunya Panji, seperti dirinya sendiri—terlihat kuat, tapi diam-diam kehabisan kata?
.
Malam itu, telepon dari Malang akhirnya datang.
Suara Bapaknya di ujung sana terdengar lebih serak dari biasanya. “Jeng, Bapak besok harus MRI. Katanya dokter curiga ada yang salah di otak kecil. Bapak ketawa aja tadi, bilang otak besar Bapak saja kurang dipakai, kok sekarang otak kecilnya rewel,” ujarnya sambil tertawa pendek, mencoba ringan.
Tapi Jayengrana bisa merasakan ketakutan yang disembunyikan di sela-sela tawa itu. “Aku pulang, Pak,” katanya spontan. “Besok aku cari tiket.”
“Lho, nggak usah repot. Kamu kan sibuk kerja. Bapak masih bisa sendiri.”
“Justru itu, Pak. Aku mau ikut. Sudah terlalu sering nggak ada setiap Bapak butuh.”
Bapak terdiam. Hanya suara kipas angin yang terdengar samar melalui sambungan telepon. “Ya sudah. Kalau kamu memang mau, Bapak seneng. Tapi jangan sampai ganggu kerjaanmu.”
Setelah panggilan berakhir, Jayengrana duduk di tepi tempat tidur. Sekar yang sedang mengoleskan krim malam menatapnya lewat cermin.
“Bapak?” tanyanya.
“Besok MRI. Aku mau pulang.”
Sekar ragu sejenak. “Kapan? Kamu bukannya minggu depan ada pitch di Singapura?”
“Aku bisa delegasikan ke Umar,” jawab Jayeng. “Lagipula, kalau pun pitch itu gagal, masih bisa cari klien lain. Tapi Bapak cuma satu.”
Sekar menatapnya lebih lama, seolah baru pertama kali melihat laki-laki yang dinikahinya dua belas tahun lalu itu benar-benar serius. “Aku ikut,” katanya akhirnya.
“Konferensi di Bandung?”
“Bisa kudelegasikan ke Asisten Dekan. Mahasiswa bisa nunggu.” Sekar menutup jar krim malammnya. “Selama ini kita terlalu sering bilang ‘bisa nunggu’ ke keluarga, padahal yang kita kejar belum tentu penting.”
Jayeng menelan ludah. Ada haru yang mengalir pelan. “Terima kasih,” katanya, dan kali ini kata-katanya terasa tepat, meski sangat sederhana.
.
Kereta pagi membawa mereka ke Malang. Di bangku seberang, seorang anak kecil tertidur di pangkuan ibunya, napasnya teratur. Jayengrana memandang wajah Sekar yang tertimpa cahaya lembut dari jendela, menonjolkan garis lelah di sekitar mata. Mereka sudah lama sekali tidak bepergian berdua seperti ini tanpa agenda pekerjaan.
“Sekar,” kata Jayeng pelan, ketika kereta melewati sawah-sawah hijau di daerah Cikampek. “Aku… ada banyak hal yang belum pernah kuceritakan.”
Sekar menoleh, menutup novel yang sejak tadi hanya dibukanya tanpa benar-benar dibaca. “Aku juga,” ujarnya. “Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Jayengrana tertawa kecil, getir. “Persis seperti kutipan di story Ragil.”
“Yang tentang nggak bisa menemukan kata-kata yang tepat?” Sekar mengangguk pelan. “Aku baca itu juga.”
Mereka terdiam lagi. Ada ruang kosong di antara mereka yang selama ini diisi dengan kesibukan, notifikasi, dan rencana-rencana ke depan, tapi tidak pernah diisi dengan kejujuran tentang rasa takut dan lelah. Ruang itu kini terbuka, siap diisi, tapi keduanya masih ragu.
“Aku takut, Sekar,” kata Jayeng akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Takut kalau aku berhenti dari pekerjaanku, kita nggak bisa mempertahankan rumah, sekolah Kirana, semua yang sudah kita bangun. Tapi aku juga takut kalau aku terus seperti ini, suatu hari aku jatuh dan kamu hanya mengenangku lewat foto-foto peluncuran produk di internet.”
Sekar menghela napas panjang, menatap keluar jendela. “Aku juga takut, Jeng. Takut kalau suatu hari aku berhenti sayang sama diriku sendiri, karena terlalu sibuk membuktikan bahwa aku ini ‘berprestasi’. Aku takut Kirana tumbuh melihat kita sebagai orang tua yang sukses, tapi dingin. Tapi aku… aku nggak tahu bagaimana mengatakannya. Kita selalu keburu tidur, keburu meeting, keburu deadline.”
Jayeng menggenggam tangan Sekar di atas meja kecil di kereta. “Mungkin kita nggak perlu kata-kata yang sempurna,” katanya pelan. “Cukup kalimat yang jujur, meski berantakan.”
Sekar menatap genggaman itu, lalu mengangguk. Ada kilau air di matanya, tapi ia tidak mengusapnya. Dibiarkannya saja menggantung, seperti semua perasaan yang selama ini tak sempat diucap.
.
Hari MRI Bapak berjalan tegang. Rumah sakit di pusat kota Malang itu dingin dan berbau antiseptik. Di ruang tunggu, Jayengrana duduk di samping Bapaknya yang mengenakan kemeja batik lusuh.
“Bapak takut nggak?” tanya Jayeng.
“Takut itu wajar,” jawab Bapak, tertawa kecil. “Dulu waktu kamu pertama kali merantau ke Surabaya, Bapak juga takut. Tapi Bapak diam saja. Kalau Bapak bilang takut, kamu bisa batal berangkat. Padahal merantau itu penting buat masa depanmu.”
“Kenapa Bapak nggak pernah bilang?” Jayeng menahan haru.
“Karena dulu Bapak kira, tugas orang tua itu jadi orang paling kuat di rumah.” Bapak menatap layar televisi di ruang tunggu yang menayangkan iklan vitamin. “Sekarang Bapak sadar, mungkin justru sebaliknya. Anak perlu tahu bahwa orang tuanya juga manusia. Supaya dia nggak merasa harus selalu tangguh sendirian.”
Kata-kata itu menembus Jayengrana seperti hujan yang tiba-tiba menembus atap bocor. Ia teringat semua momen ketika ia memilih diam, menahan cemas dan lelah sendirian karena merasa harus selalu tampil mampu—di kantor, di rumah, di hadapan anak.
“Mungkin itu yang membuat kita sakit, Pak,” katanya. “Kita terlalu sering memalsukan kekuatan.”
Bapak menoleh, memegang lengan Jayeng. “Jangan ulangi kesalahan Bapak. Kalau kamu takut, bilang. Kalau kamu lelah, bilang. Jangan tunggu sampai tubuhmu yang bicara lewat penyakit.”
MRI berakhir dengan hasil yang melegakan: tidak ada tumor, hanya penurunan fungsi saraf yang bisa ditangani dengan obat dan terapi. Malam itu, di rumah kecil masa kecilnya, Jayengrana membantu Bapaknya membetulkan genteng bocor di dapur. Sekar di bawah, menyapu air yang menetes. Mereka tertawa ketika air menimpa wajah Jayeng, membuatnya tampak seperti pemain film India yang baru keluar dari adegan hujan buatan.
Di tengah keriuhan sederhana itu, Jayengrana merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: pulang. Bukan sekadar kembali ke kota asal, tapi pulang ke dirinya sendiri, ke versi yang tidak perlu selalu menyembunyikan letih.
.
Beberapa minggu kemudian, di sebuah kafe kecil di Bandung, Jayengrana duduk berhadapan dengan Umar, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Umar baru saja datang dari Jakarta membawa kabar hasil pitch di Singapura.
“Kita dapat, Jeng!” katanya antusias. “Klien suka banget konsep kamu. Mereka malah minta kamu yang jadi wajah tim regional.”
Jayengrana tersenyum. “Selamat. Berarti kamu dapat banyak kerjaan tambahan.”
“Lho, kamu juga dong. Ini kesempatan buat kariermu naik lagi. Bonus, saham, segala macam.” Umar menatapnya lekat. “Kecuali kalau… kamu mau bilang sesuatu yang berbeda.”
Jayeng memutar cangkir kopinya. “Aku mau mundur, Mar.”
Umar terdiam. Hening menggantung. Di luar jendela, lalu lintas Bandung yang padat terlihat seperti aliran semut berwarna merah dan hitam.
“Kamu serius?” tanya Umar akhirnya.
“Serius. Aku mau jadi konsultan lepas saja. Kerja jarak jauh dari Malang atau Jakarta, aku belum tahu. Yang jelas, aku butuh ritme hidup yang lebih pelan. Bapak butuh ditemani. Sekar juga. Dan aku… aku butuh belajar mendengarkan diriku sendiri.”
Umar menghela napas panjang, mengusap wajahnya. “Aku sudah curiga kamu akan ke arah sana sejak kamu mendadak nitip pitch ke aku. Tapi aku nggak menyangka kamu benar-benar berani.”
“Aku nggak berani, Mar,” kata Jayeng lirih. “Aku cuma lebih takut kalau nggak mengubah apa-apa.”
Umar tertawa pendek, suaranya bercampur haru. “Kamu tahu, lihat kamu ngomong gini, aku iri. Bukan iri karena kamu resign, tapi karena kamu akhirnya bisa jujur sama dirimu sendiri. Aku belum sampai situ.”
“Kamu akan sampai, ketika waktunya tiba,” sahut Jayeng. “Nggak ada timeline baku. Yang penting, jangan menunggu sampai tubuhmu yang memaksa.”
Mereka bersulang dengan cangkir kopi masing-masing. Di kepala Jayengrana, kalimat-kalimat yang dulu hanya berputar menjadi angan kini mulai menemukan bentuknya. Ia tidak lagi terlalu sibuk mencari kata yang sempurna; yang ia cari adalah kejujuran.
.
Setahun kemudian, sebuah kafe kecil di pinggir kota Malang ramai oleh suara anak muda yang berdiskusi. Di sudut ruangan, ada rak buku berisi literatur bisnis, psikologi, dan cerpen-cerpen sastra. Di dinding, terpajang beberapa kutipan dalam pigura sederhana. Salah satunya berbunyi:
“Kadang-kadang, kamu tidak bisa menceritakan perasaanmu yang sebenarnya kepada siapa pun. Bukan karena kamu tidak tahu alasannya. Bukan karena kamu tidak tahu tujuanmu. Bukan karena kamu tidak percaya pada mereka. Tapi karena kamu tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat mereka mengerti.”
Di bawah kutipan itu, tertulis kecil: Ragilkuning, 2025.
Kafe itu bernama Rumah Menak, tempat Jayengrana dan Sekartaji menggabungkan mimpi lama dan baru: ruang belajar, tempat diskusi, dan klinik konseling ringan bekerja sama dengan beberapa psikolog muda. Sekar mengajar kelas-kelas literasi emosional untuk mahasiswa dan profesional. Jayeng mendampingi pengusaha UMKM yang ingin belajar pemasaran tanpa kehilangan kemanusiaan.
Galuhkirana, yang kini kuliah di fakultas psikologi, kadang membantu menjadi relawan. Bapak, dengan tangan yang masih sedikit gemetar, duduk di teras sambil mengobrol dengan para tamu tentang sepak bola dan sejarah kota.
Suatu sore, ketika hujan turun dan orang-orang berlarian masuk ke kafe, seorang perempuan muda berhijab duduk sendirian di pojok, menatap pigura kutipan tersebut. Jayeng mendekat, menawarkan secangkir teh hangat.
“Suka kutipannya?” tanyanya.
Perempuan itu mengangguk pelan. “Banget, Mas. Rasanya… kayak kalimat itu ngomong langsung ke aku.”
Jayeng tersenyum. Ada bayangan Ragil dan ibunya di benaknya. “Aku dulu juga merasa begitu,” katanya. “Tapi sekarang aku percaya, kata-kata itu sebenarnya bukan tanda bahwa kita gagal menjelaskan. Kadang, itu hanya tanda bahwa kita butuh belajar mendengarkan diri sendiri dulu, sebelum orang lain.”
Perempuan itu menatapnya, mata berkaca-kaca. “Tapi gimana kalau tetap nggak ketemu kata yang tepat, Mas?”
“Mulailah dengan kalimat yang paling jujur, meski pendek,” jawab Jayeng. “Misalnya: ‘Aku takut.’ Atau ‘Aku sedih.’ Atau ‘Aku capek.’ Dari situ, pelan-pelan, kata-kata lain akan datang.”
Perempuan itu menghela napas, lalu berbisik, seolah sedang mencoba kunci baru pada gembok yang lama: “Aku… capek.”
Jayeng mengangguk. “Nah. Itu awal yang bagus.”
Di balik konter, Sekar memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Ia teringat percakapan di kereta setahun lalu, ketika untuk pertama kali ia dan Jayeng saling mengakui ketakutan masing-masing. Sejak hari itu, mereka membuat satu kebiasaan kecil: setiap malam sebelum tidur, mereka saling bertanya, “Hari ini kamu merasa apa?” Pertanyaan sederhana yang membuka banyak pintu.
Hidup mereka tidak menjadi sempurna. Tagihan tetap datang setiap bulan. Kafe kadang sepi, kadang ramai. Ada hari ketika mereka bertengkar soal hal-hal remeh: jadwal kelas, pilihan warna cat, tingkah laku Kirana yang terlalu idealis. Tapi di antara semua itu, mereka belajar satu hal penting: diam tidak selalu berarti tegar; dan berbicara tidak harus menunggu kata-kata indah.
Di luar, hujan mengguyur genteng rumah lama yang kini menjadi kafe itu. Beberapa titik bocor masih ada, tapi kali ini mereka tidak buru-buru panik. Jayengrana menatap Sekar yang sedang mengelap meja, Bapaknya yang tertawa bersama pengunjung, dan perempuan muda di pojok yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya.
Ada rasa syukur yang hangat mengisi dadanya. Ia teringat nama yang diberikan ibunya dulu—Jayengrana, sang perantau. Ternyata, ia tidak hanya merantau ke kota dan karier, tapi juga pernah tersesat jauh dari dirinya sendiri. Dan perjalanan pulang yang paling berat justru adalah perjalanan untuk berani berkata jujur.
Di bawah pigura kutipan Ragilkuning, Jayengrana menempelkan satu kalimat baru, tulisan tangan Sekar dengan spidol hitam:
“Keberanian terbesar bukanlah berbicara sempurna di depan dunia,
melainkan berani mengucap satu kalimat jujur kepada orang yang kita sayangi.”
Dan kali ini, kata-kata itu terasa cukup.
.
.
.
Malang, 5 Desember 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KomunikasiHati #PerasaanTakTerucap #KesehatanMental #KelasMenengahKota #RumahDanKarier #SastraUrban #RefleksiHidup #HubunganKeluarga