Bahasa yang Diam-diam Bersuara

Perilaku adalah bahasa paling lantang. Kata-kata bisa berputar, tetapi laku tidak pernah berbohong.

.

Malam turun pelan di Jakarta, seperti tirai beludru yang ditarik dari langit. Di balkon apartemen lantai dua puluh satu, Panji berdiri memandang kota yang menyala—lampu-lampu gedung, kemacetan yang masih memerah, dan suara jauh kereta yang lewat seperti desahan panjang.

Ponselnya terus bergetar: notifikasi WhatsApp group investor, e-mail klien, dan satu pesan yang ia tunda untuk dibuka. Dari Ragil.

“Mas, tolong baca proposal beasiswa yang kubuat. Aku butuh masukanmu, bukan sekadar kata ‘OK’.”

Panji menghela napas. Ia tahu Ragil benar. Sejak platform edukasi yang ia bangun bersama Gunungsari dan Sewandana mulai dilirik investor, hidupnya berubah jadi rangkaian presentasi, pitch deck, dan janji-janji yang diulang dalam berbagai bentuk kalimat: “Kita akan memperbaiki sistem pendidikan,” “Kita akan memberi akses yang lebih adil,” “Kita komit pada integritas.”

Kata-kata yang indah, kata-kata yang membuat banyak orang mengangguk.
Tetapi hari itu, ia baru saja membaca draf perjanjian yang diam-diam diubah Sewandana: ada klausul yang menggeser porsi kepemilikan, menyingkirkan para guru yang semula dijanjikan saham kecil sebagai penghargaan.

Panji menyandarkan punggung ke kaca dingin, memejam. Di kepalanya, suara bapaknya muncul seperti rekaman lama.

“Ajining diri ana ing lathi, Ning. Tapi luwih jero maneh, ana ing tindak tandukmu. Omonganmu iso digorèng, lakumu ora.”

Waktu kecil, Panji sering mendengar itu.
Bapaknya, Amil, bukan orang kaya. Ia hanya pegawai negeri di kota kecil di Jawa Timur. Tapi bagi Panji, Bapak adalah definisi dari kata “tegak”. Tidak banyak bicara, tidak pandai berpidato seperti para pejabat; tapi ketika ia mengucap sesuatu, biasanya sudah didahului tindakan.

Panji mengerjap, ingatan melompat ke satu sore dua puluh tahun lalu.

.

Sore yang Tak Lupa

Hujan baru berhenti. Jalan depan rumah masih basah ketika Panji kecil duduk di tangga, meremas amplop cokelat berisi formulir lomba karya tulis. Ia baru tahu, uang pendaftarannya naik dua kali lipat.

“Bapak nggak perlu maksa. Panji bisa batal ikut,” katanya lirih.

Amil menatapnya dari balik kacamata minus, lalu tertawa pelan.
“Ngono wae wis putus asa. Kowe iki lho, Panji, ora kaya jenengmu. Panji kuwi lambang prajurit sing ora mundur sadurunge perang.”

“Ya tapi… uangnya dari mana, Pak?”

Amil tak menjawab. Dia hanya mengenakan sandal jepit, mengambil payung, dan pergi naik sepeda tuanya. Panji mengira Bapaknya ke warung. Tapi lelaki itu baru pulang larut, kemeja basah oleh gerimis baru.

Di meja makan, ia meletakkan beberapa lembar uang lusuh.
“Ini uang lemburan Bapak di percetakan. Tadi Bapak langsung ke kantor setelah jam kerja. Daftarlah. Tapi janji sama Bapak: kalau kamu sudah besar, jangan suka ngomong besar kalau lakumu kecil.”

Itu pertama kali Panji merasakan bahwa perilaku bisa membuat dada sesakit dan sehangat itu sekaligus. Bapaknya tidak mengirim chat panjang, tidak membuat unggahan penuh motivasi. Ia hanya pergi, bekerja, lalu pulang membawa bukti.

Dan di kota besar, bertahun kemudian, Panji mulai bertanya-tanya: kapan terakhir kali ia sendiri berperilaku seperti itu?

.

Kota, Karier, dan Janji

“Kita bikin kampus digital untuk kelas menengah ke atas yang ingin upgrade diri,” kata Gunungsari, suatu malam di co-working space di daerah Sudirman. “Mereka bisa ikut kelas finansial, leadership, sampai mindfulness. Bayarannya lumayan, tapi sebagian keuntungan kita sisihkan buat beasiswa siswa daerah. Win-win.”

Panji langsung jatuh hati pada ide itu.
Sebagai konsultan branding yang sudah kenyang menangani hotel, restoran, dan berbagai brand gaya hidup, ia sering melihat ironi: orang-orang kota membeli kelas motivasi mahal, sementara di kampung, adik-adik Ragil harus menjual gorengan tambahan untuk bayar SPP.

Bersama Sewandana, seorang serial entrepreneur yang terampil berbicara, mereka bertiga membangun platform bernama BahasaLaku. Slogan mereka sederhana: “Karena perilaku lebih lantang daripada kata-kata.”

Sewandana-lah yang merancang segala pidato peluncuran.

“Bayangkan,” ujarnya di awal, “anak-anak muda Jakarta yang gajinya dua digit, ikut kelas di sini bukan cuma buat karier, tapi juga buat memberi peluang pada mereka yang jauh di pelosok. Kita jual mimpi yang berakar pada laku nyata. Storytelling yang kuat.”

Panji mengangguk, Gunungsari menepuk bahunya.
Waktu itu, ia belum tahu bahwa storytelling bisa berubah menjadi topeng, ketika angka-angka di neraca mulai menggoda.

.

Lahirnya Bahasa yang Lain

Tiga tahun setelah berdiri, BahasaLaku menjelma ekosistem:

  • kelas di hotel bintang lima setiap akhir pekan,

  • kelas daring untuk pekerja kantoran,

  • bootcamp singkat bagi pemilik UMKM

  • dan program beasiswa yang dijalankan Ragil di kota kecil mereka.

Ragil, adiknya, memilih pulang kampung setelah lulus S2. Ia mendirikan rumah belajar di bekas rumah kakek; dindingnya dicat kuning terang, rak bukunya penuh. Setiap bulan, Panji mengirimkan dana dari pos CSR internal BahasaLaku.

“Kak, anak-anak di sini punya mimpi yang nggak kalah tinggi,” kata Ragil suatu kali saat video call. “Mereka cuma butuh orang dewasa yang bukan cuma pintar ngomong, tapi juga mau jadi contoh.”

Kalimat itu menempel di kepala Panji.
Ia merasa sedang melakukannya: bekerja keras, memastikan kelas berjalan, memegang teguh janji pada Ragil.

Sampai laporan keuangan mulai menunjukkan sesuatu yang ganjil.

.

Klausul yang Berubah

“Ini wajar, Panj,” kata Sewandana di ruang rapat kaca yang menghadap ke jalan HR Rasuna Said. “Investor butuh jaminan. Kalau kita kasih saham ke guru-guru itu, mereka nanti bisa pergi seenaknya. Lagi pula, beasiswa tetap jalan, kan?”

Panji menatap layar. Draf perjanjian baru itu menyebut dengan rapi: porsi saham untuk para pengajar dihapus, diganti skema bonus yang ditentukan manajemen. Di lampiran lain, dana beasiswa yang tadinya 20 persen laba bersih menjadi “maksimal 10 persen” tergantung pencapaian target keuntungan.

“Lho, tapi dulu kita yang mengusulkan model kepemilikan bersama itu,” ujar Panji pelan. “Itu kan core value kita. Supaya guru juga merasa punya. Kita bilang ke publik, ini platform yang adil buat pekerja pengetahuan.”

Sewandana tersenyum, senyumnya yang selalu berhasil mempengaruhi ruangan.
“Omongan kita bisa kita perbaiki, Panji. Ingat pitutur Jawa: urip iku sawang-sinawang. Yang penting dari luar tetap tampak baik. Bahkan Bapakmu pun akan bangga lihat kamu jadi CEO besar nanti.”

Nama Bapak membuat Panji meringis.
“Bapak justru selalu bilang, ‘Ojo dumeh, ojo mung pinter ngucap’.”

“Ah, kamu ini.” Sewandana menepuk bahunya. “Realistis sedikit. Kalau bisnis mau tumbuh, kita kadang perlu kompromi. Kata-kata itu fleksibel. Yang penting, perception is reality.”

Kalimat itu menusuk. Perception is reality.
Panji pulang dengan kepala berat. Di balkon apartemennya, lampu kota seperti sorot mata raksasa yang menuntut jawaban.

.

Ragil dan Laku Sunyi

“Mas, beberapa bulan ini transferan dana agak telat ya?” suara Ragil di telepon terdengar hati-hati. “Bukan nuntut, cuma mau memastikan. Soalnya aku sudah janji ke anak-anak, beasiswa semester depan tetap jalan.”

Panji mengusap kening.
“Maaf, Gil. Aku lagi cek. Ada perubahan skema di pusat.”

“Perubahan seperti apa?”

“Dana beasiswa dibuat lebih fleksibel… tergantung laba.”

Hening sejenak. Di ujung sana, Panji mendengar suara anak-anak tertawa, suara sandal menyeret di lantai semen.

“Mas,” ujar Ragil akhirnya, pelan tapi tegas, “kamu ingat nggak dulu kita sering diejek teman-teman karena nggak bisa ikut les bahasa Inggris? Bapak cuma diam, nggak janji apa-apa. Tapi beliau ambil kerjaan tambahan biar kita bisa bayar kelas. Itu lho, bedanya janji dan laku.”

“Aku ingat.”

“Kalau kamu tidak bisa menjamin, bilang saja jujur. Tapi jangan jual cerita seakan-akan kita sedang menyelamatkan dunia. Ojo ngapusi awake dhewe, Mas.

Telepon terputus.
Kalimat Ragil menggantung di udara kamar Panji lebih lama daripada musik lo-fi yang terus berputar di laptopnya.

.

Pertemuan di Rooftop

Beberapa hari kemudian, Panji meminta bertemu Gunungsari di rooftop sebuah hotel butik di Kemang. Udara malam bercampur aroma kopi dan asap rokok tipis dari meja sebelah.

“Jadi, kamu setuju dengan perubahan yang Sewandana ajukan?” tanya Panji, tanpa basa-basi.

Gunungsari menatap kota yang bergemerlap. “Aku… bingung, Panj. Dari sisi business logic, usulan Sewandana masuk akal. Investor merasa lebih aman. Kita juga bisa ekspansi lebih cepat.”

“Dan guru-guru itu?”

“Ya… mereka masih dibayar, kok.” Gunungsari tersenyum kecut. “Kadang aku merasa, mungkin kita terlalu idealis di awal.”

Panji menatap sahabatnya itu lama-lama. Ia ingat pertama kali mereka bertemu di kelas personal branding for hospitality, beberapa tahun lalu. Gunungsari waktu itu masih data analyst, datang dengan mata lelah tapi menyimak dengan saksama.

“Gunung,” kata Panji lirih, “kamu yang dulu bilang ke aku, ‘Mas, kita bikin sesuatu yang Bapak dan Ibu kita nggak perlu malu kalau ditanya tetangga.’ Kamu lupa?”

Angin malam menyapu rambut mereka.
Gunungsari menutup mata sejenak.

“Kita hidup di Jakarta, Panj. Kota ini tidak selalu memberi ruang untuk utopia.”

“Ini bukan tentang utopia,” potong Panji, suaranya naik setengah oktaf. “Ini tentang pitutur Jawa paling sederhana: becik ketitik, olo ketoro. Laku itu akan kelihatan. Secepat atau selambat apa pun, orang akan tahu.”

Mereka terdiam.
Di bawah sana, jalanan dipenuhi mobil yang merayap, lampu merah-hijau berkedip seperti metronom raksasa. Kota berjalan dengan ritme kepentingannya sendiri.

.

Undangan ke Sekolah Lama

Di tengah kekisruhan itu, Panji menerima e-mail dari kepala sekolah SMA-nya di kota kecil.

“Mas Panji, kami mengundang Anda menjadi pembicara dalam acara ‘Pulang Kampung Alumni’. Kami melihat perjalanan karier Mas di media dan merasa anak-anak akan terinspirasi. Apakah berkenan?”

Panji menatap layar e-mail itu lama.
Selama ini, ia selalu menunda undangan semacam ini. Jadwalnya padat: webinar, konferensi, peluncuran produk klien. Tapi kali ini berbeda. Ia merasa seperti ditarik kembali ke akar—ke jalan kampung yang dulu ia lewati sambil membawa kertas lomba karya tulis yang dibelikan dari uang lembur Bapak.

Tanpa terlalu banyak pertimbangan, ia membalas:

“Dengan senang hati, Pak. Saya akan pulang akhir bulan ini.”

Keputusan kecil itu pelan-pelan menggeser jalannya cerita.

.

Pulang yang Menguji

Kereta melaju meninggalkan Jakarta, mengiris hamparan sawah yang menguning. Di kursi, Panji memandang keluar jendela sambil menahan perasaan campur aduk. Ia membawa laptop—karena Sewandana tetap menjadwalkan zoom meeting dengan calon investor Singapura di tengah kepulangannya.

Di stasiun kecil yang sudah direnovasi, Ragil menunggunya dengan motor matic.
“Mas Panji!” serunya, memeluk kakaknya erat. “Token kelas daring harus kamu bawa sendiri, ya. Anak-anak sudah siap menyimak.”

Panji tertawa, mencoba rileks. “Siap, Bu Guru.”

Di rumah, foto Bapak masih tergantung di ruang tamu: pria berkacamata dengan senyum tipis, meninggal beberapa tahun lalu karena komplikasi jantung. Panji menyentuh bingkai itu, seperti menyapa.

Hatnya bergetar ketika melihat di pojok rumah, amplop cokelat bekas lomba yang pernah ia ikuti masih tersimpan rapi di lemari. Ragil sengaja menyimpannya.

“Supaya kita nggak lupa, Mas,” katanya. “Bahwa dulu Bapak nggak pernah janji kita bakal jadi orang kaya. Beliau cuma janji satu: akan berusaha biar kita bisa sekolah. Itu pun jarang diucapkan—lebih sering diwujudkan.”

Malam sebelum acara di sekolah, Panji duduk di depan beranda, laptop terbuka. Ia mencoba menulis materi presentasi.

Judul yang semula terpampang di slide pertama—“Meraih Sukses dalam Dunia Digital”—tiba-tiba terasa hambar. Ia menghapusnya, mengganti dengan kalimat lain:

“Saat Janji Tak Lagi Cukup: Menjadikan Perilaku sebagai Bahasa”

Ia menulis sampai larut, sementara di belakangnya Ragil menidurkan beberapa anak asrama kecil yang tinggal di rumah belajar.

.

Ketika Kata dan Laku Bertabrakan

Besoknya, aula SMA itu ramai. Spanduk dengan wajah Panji yang sedang tersenyum terpampang besar di depan, di samping logo BahasaLaku.

Kepala sekolah memperkenalkannya dengan kebanggaan yang tidak disembunyikan.
“Ini Panji, alumni yang menjadi inspirasi nasional di bidang edukasi dan bisnis digital. Perusahaan beliau telah membantu ratusan pelajar lewat program beasiswa.”

Panji tersenyum kaku. Kata “ratusan” terasa mengganjal. Ia tahu laporan terbaru menunjukkan angka itu menurun sejak dana dialihkan untuk ekspansi.

Ppt-nya terbuka. Ia bisa saja mengulang materi biasa: pentingnya mindset growth, pentingnya networking, pentingnya personal branding. Tapi ketika menatap mata para siswa—beberapa di antaranya memakai seragam yang kebesaran, sepatu yang mulai sobek—ia mendengar tepian suara Bapaknya di kepala.

Panji menarik napas.

“Adik-adik,” katanya, suaranya sedikit bergetar, “hari ini saya sebenarnya diundang untuk bicara tentang kesuksesan. Tentang bagaimana saya bisa berdiri di sini, punya bisnis, punya klien. Tapi saya ingin jujur. Saya datang bukan sebagai orang yang sudah berhasil, melainkan sebagai orang yang sedang diingatkan.”

Aula mendadak senyap.

“Perusahaan yang saya bangun bersama teman-teman memiliki slogan, ‘Perilaku lebih lantang daripada kata-kata’. Indah, ya? Tapi beberapa bulan ini, kami justru hampir mengkhianati slogan itu sendiri. Kami tergoda menurunkan porsi beasiswa, mengurangi hak para pengajar, demi angka pertumbuhan.”

Ia merasakan Gunungsari, yang duduk di deretan tamu undangan, menegakkan badan. Sewandana tidak hadir; katanya ada pertemuan penting di Jakarta.

“Sejak kecil, Bapak saya selalu bilang: ‘Ajining diri ana ing lathi, nanging luwih jero ana ing laku.’ Harga diri ada di ucapan, tetapi lebih dalam lagi ada di tindakan. Dan beberapa waktu ini, jujur saja, tindakan kami mulai melenceng dari apa yang mulut kami katakan ke publik.”

Seseorang di barisan guru tampak terkejut.
Panji melanjutkan.

“Karena itu, di depan kalian hari ini, saya ingin berjanji—bukan dengan kata-kata kosong, tetapi dengan keputusan: mulai bulan depan, kami akan mengembalikan porsi beasiswa seperti semula, dan saya akan memastikan semua pengajar menerima saham sebagaimana pernah kami janjikan. Kalau tidak, saya sendiri yang akan keluar dari perusahaan itu.”

Kali ini, keributan pelan terdengar dari bangku undangan. Gunungsari menatapnya, antara cemas dan haru. Ragil, yang duduk di sayap aula, mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca.

Panji mengangkat kepala.

“Jadi, kalau adik-adik pulang dari acara ini, saya tidak ingin kalian mengingat saya sebagai ‘alumni sukses yang pandai berbicara’. Saya hanya ingin kalian mengingat satu hal: urip iku urup. Hidup itu menyala. Menyala bukan karena poster motivasi, tapi karena tindakan kecil yang berulang. Menepati janji, tidak mengambil yang bukan hak, hadir saat dibutuhkan. Itu bahasa paling kuat yang bisa kalian pakai.”

Tepuk tangan mengisi ruangan; sebagian karena kagum, sebagian karena kaget.
Di tengah hiruk itu, Panji tahu hidupnya tidak akan sama lagi.

.

Konfrontasi

Malamnya, di rumah orang tua yang kini dihuni Ragil, laptop Panji berbunyi: incoming call – Sewandana. Ia menatap layar sejenak sebelum mengangkat.

“Panjiiii,” suara Sewandana terdengar datar, tidak lagi hangat. “Aku dengar presentasimu di SMA disiarkan langsung di YouTube sekolah. Investor kita juga menonton, tahu?”

“Bagus kalau mereka tahu,” jawab Panji tenang. “Minimal mereka mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”

“Ini bukan soal idealisme lagi,” balas Sewandana tajam. “Kamu baru saja mengumumkan perubahan kebijakan perusahaan di depan publik tanpa diskusi board. Itu tindakan tidak profesional.”

“Yang tidak profesional adalah mengubah klausul perjanjian diam-diam,” sahut Panji. “Kamu mereduksi janji kita terhadap guru dan penerima beasiswa menjadi angka-angka di spreadsheet.”

“Semua perusahaan besar melakukan itu, Panj. Kamu pikir raksasa teknologi yang sering kamu puji-puji itu tidak mengubah kebijakan demi laba?”

“Bedanya, kita dibesarkan dengan pitutur yang lain,” ujar Panji pelan. “Ojo dumeh, ojo ngapusi, becik ketitik olo ketoro. Kalau kita bilang kita peduli pendidikan, ya tunjukkan lewat alokasi dana, bukan sekadar kampanye.”

Di ujung sana, Panji mendengar Sewandana tertawa pendek.
“Kamu ini masih anak desa ternyata.”

“Mungkin,” jawab Panji. “Tapi justru ‘anak desa’ itu yang membuatku belum bisa tidur nyenyak kalau tahu ada ketidakadilan.”

Hening panjang.

“Kalau kamu mau mundur, silakan,” kata Sewandana akhirnya, suaranya dingin. “Tapi ingat, sahammu akan terdilusi. Nama kamu akan hilang dari materi promosi. Kamu siap?”

Panji memandang foto Bapak di dinding kamar.
“Nama itu hanya kata,” katanya mantap. “Bapak saya mengajarkan, yang lebih penting adalah laku. Kalau saya kehilangan nama di poster tapi bisa menjaga laku, saya rasa beliau tidak akan malu di alam sana.”

Tanpa menunggu jawaban, Panji menutup panggilan. Tangannya gemetar, tapi dadanya terasa lapang.

.

Bahasa Sunyi yang Menular

Beberapa minggu kemudian, badai kecil melanda media sosial. Sebuah thread di Twitter dari salah satu pengajar BahasaLaku menyebar:

“Hari ini, manajemen mengumumkan bahwa porsi saham untuk guru dikembalikan. Katanya ada satu pendiri yang memperjuangkan itu, meski artinya ia harus berhadapan dengan investor. Saya tidak tahu detailnya, tapi saya percaya: masih ada orang dewasa yang memilih laku daripada kata-kata.”

Tagar #PerilakuAdalahBahasa sempat masuk trending topic kecil di lingkup edukasi.
Nama Panji jarang disebut; ia sendiri memilih diam, sibuk menyusun rencana baru bersama Gunungsari dan Ragil.

Ya, Gunungsari.
Setelah malam panjang diskusi, sahabatnya itu akhirnya berkata:

“Mas, aku ikut kamu. Kalau perusahaan ini sudah terlalu jauh dari niat awal, mungkin sudah waktunya kita merintis sesuatu yang lain, lebih kecil tapi jujur.”

Mereka pun memulai lagi, pelan-pelan: kelas kecil di rumah belajar Ragil, konsultasi untuk sekolah swasta yang ingin memperbaiki manajemen dengan sentuhan n-Jawa-ni, modul pelatihan yang menggabungkan filosofi lokal dengan ilmu modern.

Mereka mengajarkan prinsip sederhana:

  • Tirakati: berlatih tekun, bukan hanya berencana.

  • Titeni: peka mengamati, bukan hanya menghafal teori.

  • Enteni: sabar menunggu proses matang, bukan tergesa mengejar sorotan.

  • Pateni: mematikan ego yang membuat kita mengkhianati janji.

Setiap sesi, Panji mengajak peserta mengingat:
“Di dunia digital, kalian bisa menulis kata-kata seindah apa pun. Tapi suatu hari, anak-anak kalian tidak akan mencari caption kalian. Mereka akan mengingat bagaimana kalian memperlakukan orang lain ketika tidak ada kamera yang menyala.”

.

Penutup yang Tetap Terbuka

Suatu senja, bertahun kemudian, Panji berdiri lagi di balkon—kali ini bukan di apartemen mewah, melainkan di sebuah rumah bertingkat dua yang ia beli di pinggiran kota. Kota tetap bising, tapi jaraknya dari gedung-gedung gemerlap membuat suara itu terdengar seperti bisik-bisik yang jauh.

Di ruang tamu, layar televisi menampilkan berita singkat tentang BahasaLaku yang kini telah bekerja sama dengan konglomerat besar. Sewandana tampil berjas rapi, pidatonya mulus seperti biasa.

“Apakah kamu menyesal?” tanya Ragil yang duduk di sofa, sambil memeriksa tugas daring siswanya.

Panji menggeleng.
“Tidak. Sewandana memilih bahasanya sendiri. Aku juga. Bedanya, bahasaku mungkin lebih pelan, tapi semoga tetap bisa dimengerti.”

Dari halaman belakang, terdengar suara anak-anak peserta kelas akhir pekan tertawa. Gunungsari sedang mengajarkan mereka membuat project kecil: platform cerita digital yang menampilkan tokoh-tokoh wayang Panji dan Menak dalam konteks kekinian—sebagai barista, perawat, programmer, guru, dan petani urban. Mereka menulis dialog yang mempertemukan pitutur Jawa dengan slang kota.

Panji tersenyum tipis.
Di sisi meja, tergeletak amplop cokelat tua—yang dulu ia bawa untuk lomba karya tulis, kini ia simpan sebagai pengingat.

Ia tahu, hidupnya masih penuh kekurangan. Masih ada hari-hari ketika ia tergoda memilih jalan pintas, ketika kata-kata manis lebih mudah diucapkan daripada tindakan yang melelahkan. Tapi setiap kali ia hampir tergelincir, ia mengingat wajah Bapak dan kalimat sederhana yang terus bergaung:

“Urip iku pilihan, Ning. Kowe arep dadi wong sing ngomong apik wae, opo sing lakune apik?”

Panji menarik napas dalam-dalam, menatap langit yang mulai temaram.

Mungkin betul, dunia ini akan selalu penuh kata-kata: caption, pidato, janji kampanye, visi-misi perusahaan. Tapi di sela semua itu, selalu ada ruang kecil untuk bahasa lain—bahasa sunyi yang hanya bisa dibaca oleh orang yang mau memperhatikan: cara kita menatap, cara kita menepati janji, cara kita mengakui salah dan memperbaiki.

Bahasa itu tidak viral dalam semalam.
Bahasa itu berjalan pelan, tapi ia punya satu keunggulan yang tak tergantikan: ia menetap.

Dan pada akhirnya, ketika semua kata sudah pudar, ketika pidato dan caption tenggelam di arsip dunia maya, Panji percaya hanya satu bahasa yang akan tetap terdengar:

Perilaku.

.

.

.

Malang, 3 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PerilakuAdalahBahasa #nJawaNi #PituturJawa #CerpenKota #Integritas #BehaviourIsTheGreatestLanguage #JeffreyWibisonoStyle #StorytellingEdukasi

Leave a Reply