Jejak Kebohongan

“Kejujuran tidak selalu berteriak lantang; kadang ia berbisik lewat jeda napas, mata yang menghindar, atau kata ganti yang enggan menyebut ‘aku’.”

.

Malam di Jakarta seperti halaman buku yang dilipat di sudutnya—terburu, penuh catatan kecil, dan bekas gelas kopi.
Panji berdiri di balik kaca ruang rapat lantai dua puluh, memandangi neon yang berpendar di antara gedung-gedung tinggi. Di balik kaca itu, kota tampak hidup, tapi terlalu terburu untuk menyadari bahwa sebagian dari denyutnya digerakkan oleh kebohongan kecil yang rapi—jejak kebohongan yang mengalir di antara kesibukan, seperti arus listrik yang tak pernah tidur.

Di belakangnya, layar proyektor menampilkan grafik pertumbuhan yang menanjak indah. Terlalu indah.
Angka-angka itu seperti lukisan yang disemir berlebihan—memantulkan keberhasilan, tetapi menyembunyikan rasa takut di baliknya.

“Bagus, kan?” kata Rara, rekan satu timnya, sambil memandang layar dengan senyum yang tidak sampai ke matanya.
Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu yang menahan di ujung kalimatnya—sesuatu yang seperti debu di udara: tak terlihat, tapi mengganggu napas.

Panji mengangguk perlahan. “Bagus. Mungkin… terlalu bagus.”

Rara tersenyum lagi. Tapi kali ini senyumnya datang terlambat, seperti seseorang yang baru ingat harus bahagia setelah melihat kamera.

.

Setelah rapat, kantor kembali hening.
Cahaya putih lampu LED memantulkan bayangan Panji di dinding kaca. Ia membuka laptop, menatap ulang grafik yang tadi dipresentasikan. Semua tampak rapi, konsisten, bersih dari kesalahan. Justru di situlah masalahnya.
Kerapihan yang terlalu sempurna sering menyembunyikan luka yang tak terlihat.

Ia mengirim pesan ke Sekar, istrinya:
“Pulang agak malam. Ada yang harus aku periksa.”
Sekar membalas singkat: “Teh melati sudah menunggu. Hati-hati.”

Kalimat sederhana itu, bagi Panji, seperti jangkar. Menjaga kewarasannya dari dunia yang sering mengaburkan batas antara benar dan berguna.

.

Sekar adalah wajah rumah yang selalu hangat.
Mereka tinggal di apartemen kecil di bilangan Kuningan, dengan satu anak perempuan, Galuh, yang sedang belajar menulis kalimat jujur di sekolah dasar.
Di dinding dapur, Sekar sering menulis kalimat motivasi dengan spidol kapur:
“Pelan itu juga kecepatan.”
“Yang kita bangun bukan sekadar karier, tapi keberanian menatap cermin.”

Panji mencintai kalimat-kalimat itu. Ia tahu, Sekar menulisnya bukan untuk pamer kebijaksanaan, tapi agar rumah mereka tidak kehilangan arah ketika dunia di luar mulai berputar terlalu cepat.

Malam itu, Sekar sudah menyiapkan teh. Ia menatap Panji dengan pandangan yang tak butuh penjelasan.
“Rapatnya?” tanya Sekar lembut.
“Bagus,” jawab Panji. “Atau… dibuat bagus.”

Sekar mengangkat alis. “Rapi yang kamu percaya, atau rapi yang kamu curigai?”

Panji menarik napas panjang. “Rapi yang aku ingin percaya.”

Ia membuka laptop di meja makan. Sekar duduk di sampingnya. Bersama, mereka memeriksa ulang file yang dikirim Rara: laporan keuangan, rekap kampanye digital, daftar biaya promosi. Semua tampak nyaris steril dari kesalahan.

Tapi Sekar lebih jeli. “Ini aneh,” katanya sambil menunjuk satu baris data. “Pengeluaran promosi tercatat konsisten, padahal biasanya naik-turun. Dan ini… kenapa detailnya sampai nomor nota katering?”

Panji menatap layar. “Terlalu detail untuk sesuatu yang kecil. Terlalu mulus untuk sesuatu yang rumit.”

Ia mengerti sekarang: kebohongan tidak selalu terlihat seperti kesalahan besar. Kadang ia bersembunyi di antara kerapihan yang menenangkan.

.

Keesokan paginya, Panji mengajak Rara bertemu di sebuah kafe di Senopati. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur kopi.

“Kita bicara sebentar,” katanya tanpa nada tuduhan.
Rara datang dengan jas hujan setengah kering. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap terlatih tersenyum.

“Rara, aku cuma ingin tahu,” Panji memulai, “kenapa laporan itu bisa sebersih itu?”

“Karena aku pastikan semuanya sesuai,” jawabnya cepat. Terlalu cepat.
Panji tidak memotong. Ia tahu, kebohongan tidak bisa dibongkar dengan bentakan, melainkan dengan ruang.

Rara melanjutkan, “Aku cuma ingin tim kita terlihat baik di depan komisaris. Kalau datanya jelek, mereka akan potong anggaran. Kamu tahu sendiri.”

“Jadi kamu ubah?”
“Bukan ubah. Aku hanya… menyesuaikan.”

Panji menatapnya lama. “Menyesuaikan atau menyembunyikan?”

Rara menggigit bibir bawah. “Kadang orang harus menipu sedikit agar yang besar tetap berjalan.”

“Dan siapa yang menentukan ukuran ‘sedikit’ itu?” suara Panji nyaris berbisik.
Rara terdiam.

Ia menunduk. “Aku cuma takut. Takut dianggap gagal. Takut kehilangan tempat.”

Panji terdiam lama sebelum berkata, “Aku paham. Tapi kamu tahu apa yang lebih menakutkan dari kegagalan? Hidup dengan kebenaran yang tertinggal di belakang.”

Air mata Rara jatuh diam-diam. “Aku tidak bermaksud jahat.”
“Aku tahu. Orang yang berbohong tidak selalu licik. Kadang mereka hanya takut menghadapi kebenaran,” ujar Panji pelan. “Tapi kebohongan, sekecil apa pun, selalu meninggalkan jejak. Dan aku tidak mau jejak itu menuntun kita ke jurang.”

.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti film yang kehilangan musik latar.
Panji menulis laporan baru berdasarkan data mentah, mempersiapkan presentasi ulang untuk dewan komisaris. Ia menolak menambahkan “hiasan optimisme”.
Ia tahu langkah itu berisiko, tapi risiko kebenaran selalu lebih ringan daripada beban kebohongan.

Sekar menemaninya setiap malam, dengan teh, dengan diam, dengan kehadiran yang tak perlu dijelaskan.
“Kalau kamu harus jujur dan kehilangan sesuatu,” kata Sekar suatu malam, “mungkin itu bukan kehilangan, tapi pembersihan.”

Panji tersenyum. “Kamu selalu punya cara menata luka jadi kalimat.”

Sekar menjawab lembut, “Dan kamu punya cara membuat kalimat jadi tindakan.”

.

Hari presentasi tiba.
Ruang rapat berpendingin udara yang berlebihan terasa seperti ruang interogasi yang dingin. Panji berdiri di depan layar besar, dengan Rara di sampingnya. Dewan komisaris duduk berjejer, termasuk Wirantara—direktur operasional yang paling keras dan paling khawatir kehilangan reputasi.

“Selamat pagi,” ujar Panji membuka presentasi. “Hari ini, kami tidak membawa kabar yang indah, tapi kami membawa kebenaran.”

Grafik muncul di layar. Tidak lagi menanjak sempurna. Ada lekuk turun, tanda kehilangan momentum kampanye digital, tanda krisis kecil yang selama ini disembunyikan.

“Kami melakukan koreksi data. Ada ketidaksesuaian antara realisasi dan proyeksi. Tapi kami juga sudah siapkan langkah perbaikan. Kami tidak mau menipu angka demi ketenangan semu,” jelas Panji tenang.

Ruang itu hening.
Lalu Wirantara bersuara, “Kalian sadar apa akibatnya? Investor bisa panik!”

“Investor lebih takut pada kebohongan yang terbongkar daripada kebenaran yang diakui,” jawab Panji mantap.

Rara, dengan suara bergetar tapi jujur, menambahkan, “Saya bertanggung jawab atas laporan sebelumnya. Saya belajar bahwa rasa takut bisa membuat kita kehilangan arah. Tapi saya memilih belajar dari sini.”

Semua mata tertuju pada mereka berdua.
Jayeng, komisaris tertua yang dikenal tegas, akhirnya berbicara, “Kejujuran tidak selalu menguntungkan jangka pendek. Tapi ia membangun fondasi jangka panjang. Saya mendukung langkah kalian.”

Wirantara terdiam lama. Lalu berkata lirih, “Baik. Perbaiki semua sistem audit. Dan Panji… pastikan ini tidak terjadi lagi.”

Panji mengangguk. “Tidak akan, selama kita memberi ruang bagi orang untuk berkata jujur tanpa takut dihukum.”

.

Malam itu, di rumah, Sekar menulis di dinding dapur:
“Jangan menabur duri di jalan kebenaran, siapa tahu besok kamu melewatinya tanpa alas.”

Panji memeluk Sekar dari belakang. “Kamu tahu? Hari ini aku belajar bahwa yang paling sulit bukan membaca kebohongan orang lain, tapi menghadapi sisa kebohongan di diri sendiri.”

Sekar tersenyum kecil. “Dan kamu sudah melakukannya.”

Galuh yang duduk di meja belajar tiba-tiba bertanya, “Ayah, kenapa orang berbohong?”

Panji tertegun. Lalu menjawab pelan, “Karena mereka takut kehilangan sesuatu. Tapi kebohongan itu seperti bayangan, Nak. Ia akan selalu mengikuti, sampai kita menyalakan cahaya.”

Galuh berpikir sejenak. “Berarti, lebih baik hidup di bawah cahaya, ya?”

Sekar mencium kening anaknya. “Ya, meski kadang silau.”

.

Beberapa bulan berlalu. Perusahaan Panji mulai dikenal dengan budaya transparansi barunya. Mereka membuka forum bulanan bernama “Ruang Dengar” — tempat semua karyawan bisa menyampaikan kesalahan tanpa takut dihakimi.

Panji mengawali setiap sesi dengan satu kalimat sederhana:
“Kita tidak mencari siapa yang salah, tapi apa yang bisa diperbaiki.”

Dan perlahan, kebiasaan itu menular. Orang-orang mulai berani berkata “aku lupa”, “aku salah hitung”, “aku panik waktu itu”.
Tidak ada yang dipecat karena jujur. Justru tim makin kompak, target kembali naik, dan kepercayaan investor tumbuh dari fondasi yang bersih.

Rara kini menjadi manajer audit internal. Ia menamai program mentoring-nya “Membaca Jejak” — sebuah cara lembut mengajarkan orang mengenali kebohongan, dimulai dari diri sendiri.

Suatu sore, Rara mengirim pesan kepada Panji:
“Terima kasih sudah tidak menyerah padaku waktu itu. Kalau tidak, aku mungkin masih menulis angka yang cantik tapi hampa.”

Panji membalas:
“Kebenaran tidak akan menolak siapa pun yang mau pulang.”

.

Di rumah, kehidupan berjalan biasa tapi lebih ringan.
Sekar menulis kutipan baru di dinding:
“Kejujuran tidak tumbuh di ladang curiga, tapi di taman kepekaan.”
Panji menatap tulisan itu lama.
“Sek, boleh aku tulis kalimatku sendiri di bawahnya?”
“Tentu,” jawab Sekar.

Panji mengambil spidol dan menulis pelan:
“Jejak kebohongan tidak selalu kotor; kadang ia adalah peta yang menuntun kita pulang pada kebenaran.”

Hujan turun malam itu, membasahi kaca jendela apartemen.
Cahaya dari luar memantul di permukaan air, seperti wajah-wajah yang akhirnya berani jujur pada diri sendiri.
Dan di sela gemericik hujan, Panji sadar:
Kebenaran tidak pernah hilang. Ia hanya menunggu orang-orang cukup berani menelusuri jejak kebohongan sampai ujungnya—tempat di mana hati berhenti bersembunyi.

.

.

.

Malang, 19 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JejakKebohongan #Kejujuran #EtikaKerja #PsikologiSosial #BahasaTubuh #Microexpression #Leadership #KelasMenengah #Transparansi #Storytelling

Leave a Reply