Menanam Nafas
“Kita tidak selalu perlu membangun sesuatu yang baru untuk disebut maju.
Kadang, cukup menanam nafas di tempat yang lupa kita hirup bersama.”
.
Hujan baru saja selesai membaca ayat-ayatnya di langit Jakarta ketika Jayengrana tiba di lobi apartemen. Jam dinding serba minimalis menunjuk pukul 19.40, detik menjilat kilau marmer seperti pantulan lampu kendaraan di jalan tol. Ia menatap dirinya di kaca lift: kemeja abu, dasi longgar, wajah lelah tapi masih berusaha terlihat tegak. Di balik bayangannya sendiri, ia tahu, ada sesuatu yang sudah lama ia sembunyikan—letih yang tidak bisa disembuhkan oleh liburan singkat, promosi jabatan, atau bonus akhir tahun.
Di lantai tiga puluh satu, Sekartaji sudah menunggunya. Perempuan itu duduk di meja makan, masih dengan laptop menyala, rambut disanggul rapi, dan aroma sup jahe yang menenangkan. Di balik piring dan sendok, rumah mereka terasa seperti ruang rehat yang terus menegur.
“Bagaimana rapat dengan Sewandana?” tanya Sekartaji tanpa menoleh.
Jayengrana menaruh map tebal di kursi, menatap jendela yang memantulkan cahaya kota. “Mereka minta percepatan peluncuran. Brochure sudah siap, video promosi viral, investor menekan target ROI. Tapi ada masalah di lapangan. Kampung di belakang lahan itu belum tuntas urusannya.”
Sekartaji menutup laptop. “Orang-orang yang rumahnya dihitung sebagai angka, padahal di sana ada nama, ada doa, ada singkong rebus yang disiapkan pukul empat sore.”
Jayengrana mengangguk. Ia teringat meja rapat siang tadi: kopi yang terlalu pahit, senyum Sewandana yang selalu terlihat seperti janji, dan satu kalimat yang berulang—“Kota harus bergerak.”
“Masalah sosial bisa ditambal CSR, Jayeng. Pelatihan UMKM, beasiswa, relokasi. Yang penting kita cepat buka proyek.”
Jayengrana tahu kalimat itu benar di laporan keuangan, tapi palsu di hati. Ia menarik kursi, duduk di hadapan istrinya. “Aku lelah, Sekar. Lelah jadi jembatan yang tidak tahu sedang menghubungkan dua tepi, atau justru memutus aliran.”
Sekartaji menuangkan sup ke mangkuknya. “Makan dulu. Perut kosong membuat idealisme mudah lapar.”
Dari kamar, terdengar langkah kecil Muninggar. Putri mereka muncul dengan piyama biru dan kertas gambar di tangan. “Ayah, besok aku presentasi tentang kota ramah anak. Bu guru bilang, kota yang baik itu punya perpustakaan di tiap kelurahan dan trotoar untuk semua.”
Jayengrana tersenyum, mengusap rambut anaknya. “Trotoar untuk semua, ya?” katanya pelan. Lalu menatap keluar jendela. Lampu-lampu gedung terasa seperti bintang yang tak punya arah.
Malam itu, setelah Muninggar tidur, Sekartaji membuka percakapan yang selama ini mereka hindari.
“Kamu masih ingat Umarmaya? Pemilik warung kopi di dekat kampus dulu?”
“Yang suka bilang, jangan jadi arsitek bangunan, jadilah arsitek hati orang-orang yang akan tinggal di dalamnya?” Jayengrana tertawa kecil. “Tentu ingat.”
“Aku bertemu dia kemarin,” lanjut Sekartaji. “Warungnya pindah ke Tebet. Dia masih menyeduh kopi yang jujur. Dia bilang: kota selalu menawar, tapi jangan jual yang tidak ternilai.”
Jayengrana diam. Di layar ponsel, notifikasi berdenting—investor, tim desain, tim marketing. Semuanya penting, tapi ada suara yang lebih pelan dan lebih benar, seperti embun di ujung daun. “Kalau kita tunda peluncuran?” tanyanya.
Sekartaji menatap. “Bisa?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku ingin bisa memandang Muninggar tanpa merasa sedang menjual trotoarnya.”
.
Keesokan harinya, mereka pergi ke kampung di balik pagar seng proyek. Langit Jakarta cerah seperti baru dicuci. Gang sempit penuh jemuran, aroma bawang goreng, dan suara anak-anak mengejar bola plastik. Di pos ronda, duduk beberapa warga: Candrakirana, guru les yang membuka perpustakaan kecil dari kardus; Ragil Kuning, influencer yang kini melatih ibu-ibu berjualan daring; dan Gunungsari, ketua RT yang menjaga tawa agar tidak punah.
“Terima kasih sudah datang,” sapa Candrakirana. “Biasanya orang proyek datang dengan kertas dan penggaris. Kalian datang dengan telinga.”
Jayengrana memperkenalkan diri, menjelaskan proyeknya tanpa jargon. “Saya datang membawa kebingungan. Saya ingin bangun gedung yang tidak merobohkan kehidupan lain. Saya butuh diajari.”
Kalimat itu membuat ruang hening. Umarmaya muncul dari sudut, membawa termos kopi. “Kalau semua rapat besar dimulai dengan pengakuan kecil semacam itu, kota akan lebih mudah bernapas.”
Diskusi mengalir. Candrakirana ingin perpustakaannya punya rak yang layak. Ragil Kuning mengusulkan Ruang Retna—tempat belajar lintas usia: coding untuk remaja, literasi finansial untuk ibu-ibu, klinik CV untuk bapak-bapak. Gunungsari ingin audit trotoar agar anak-anak bisa berjalan aman ke sekolah.
“Dan soal relokasi,” kata Umarmaya, “jangan dulu bicara pindah. Bicara dulu tentang tetap. Apa yang bisa tetap dari hidup mereka ketika tanah tak lagi tetap?”
Jayengrana mencatat semuanya. Dalam benaknya, angka-angka investasi menurun, tapi wajah-wajah di depannya naik nilainya.
.
Rapat darurat digelar dua hari kemudian. Sewandana menatap layar presentasi. “Tunda launching satu bulan? Kamu gila?”
Jayengrana menatap balik tanpa gemetar. “Kami butuh waktu untuk membangun tiga hal: audit trotoar, Ruang Retna, dan skema sewa-beli bagi 30 keluarga terdampak. Ini bukan hambatan, ini investasi sosial.”
Sewandana menyandarkan tubuhnya. “Ini memperlambat ROI.”
“Mungkin,” jawab Jayengrana. “Tapi mempercepat penerimaan publik. Produk yang baik tidak hanya dibeli, tapi diizinkan hadir.”
Investor asing yang bergabung lewat video konferensi berkata pelan, “Kita menanam modal untuk keuntungan, tapi juga nama. Kalau kota membenci kita, angka tak ada artinya.”
Hening menetes. Sewandana tersenyum—senyum yang kali ini tidak sepenuhnya peran. “Satu bulan. Jalankan. Tapi kamu pimpin narasinya.”
.
Satu bulan kemudian, “Ruang Retna” berdiri di ruko bekas fotokopi. Sekartaji mendesain interiornya dengan meja lipat dan papan tulis yang bisa jadi cermin—agar anak-anak belajar mengenali enam huruf paling penting: diri. Candrakirana menata jadwal baca. Ragil Kuning menggerakkan jejaring relawan, membawa pengajar coding, HR, dan pengusaha rumahan.
Jayengrana bersama dinas dan warga menandai jalur trotoar yang bolong. Setiap garis spidol di peta seperti garis hidup baru. Di pikirannya, langkah kecil Muninggar bergema.
Di malam-malam sepi, Umarmaya menutup warungnya lebih larut. Ia berkata pada Jayengrana, “Kalau kota adalah panggung, kamera paling jujur adalah mata tetangga.”
Peluncuran proyek pun berbeda. Video promosi bukan lagi drone menyorot beton, tapi film pendek wajah warga. Narasi Ragil Kuning di media sosial berbunyi: Kita tidak sedang membangun gedung baru, kita sedang menjaga yang lama agar tetap bernapas.
Saat konferensi pers, Jayengrana berkata, “Kami mungkin terlambat menemukan kalimat ini, tapi kami ingin mengucapkannya: tidak ada kemajuan yang pantas jika menginjak yang paling pelan.”
Di rumah, Muninggar memeluk ayahnya. “Bu guru bilang, kota bukan cuma tempat tinggal, tapi cara kita tinggal bersama.” Jayengrana mengangguk. “Bu gurumu puitis,” katanya.
.
Tak semua orang setuju. Media sosial gaduh. Ada yang menuduh pencitraan, ada yang menyindir program CSR musiman. Tapi di kampung, Ruang Retna hidup. Kelas coding menghasilkan aplikasi peta trotoar aman. Klinik CV membantu tiga bapak diterima kerja. Perpustakaan mencatat buku dengan sistem “bayar pakai cerita”—setiap buku yang dipinjam ditukar dengan kisah yang ditulis tangan.
Sekartaji menempel cerita-cerita itu di dinding: huruf-huruf keliru, tanda baca bandel, tapi penuh jiwa. “Ini kota favoritku,” katanya. “Kota yang mau belajar.”
Beberapa minggu kemudian, Sewandana datang sendiri ke Ruang Retna. Ia berdiri di depan rak buku, menyentuh sampul yang sudah usang. “Dulu saya kira membangun berarti meninggikan,” ujarnya. “Sekarang saya tahu, membangun juga berarti merendahkan—lantai—agar semua bisa melangkah.”
Jayengrana menatapnya. “Kadang laba yang benar adalah napas.” Mereka tersenyum, tanpa kontrak, tanpa tanda tangan.
.
Musim berganti. Ruang Retna kekurangan listrik. Ragil Kuning membuka donasi daring, menulis dengan jujur: Kami tidak menolong, kami bertetangga. Umarmaya menutup kampanye dengan kalimat: Mari melambat bersama, supaya cepat sampai sebagai manusia.
Ketika target tercapai, Jayengrana menatap layar. Bukan angka yang membuatnya bergetar, tapi nama-nama penyumbang kecil: karyawan yang di-PHK, mahasiswa yang menulis pesan, “Saya dulu menumpang di perpustakaan seperti ini.”
Malam itu, mereka makan sederhana. Muninggar membaca tugas menulisnya tentang rumah.
“Rumah adalah tempat kita menanam napas. Di luar kita berlari, di dalam kita belajar berhenti. Rumah bukan untuk bersembunyi, tapi untuk ingat bagaimana mencintai.”
Sekartaji menatap Jayengrana. Ia tahu, kalimat itu adalah jawaban dari semua kegelisahan mereka.
Beberapa bulan kemudian, proyek selesai. Di bawah gedung yang kini berdiri, trotoar tak lagi terputus. Di sampingnya, Ruang Retna bertahan, sederhana tapi hidup.
Pada hari peresmian, Jayengrana menolak gunting pita. Ia meminta Candrakirana membuka pintu. Muninggar naik ke mimbar kecil, membaca satu kalimat:
“Kota terbaik adalah kota yang mengajari warganya menanam napas sebelum menanam bangunan.”
Tepuk tangan mengalun, pelan tapi hangat. Sewandana menatap langit, Ragil Kuning mematikan kameranya, Sekartaji menautkan tangan pada Jayengrana. Di kejauhan, Umarmaya mengangkat cangkir kopi. “Terbanglah jika waktunya, tapi jangan lupa kembali menanam.”
Dan di tengah hiruk pikuk beton dan ambisi, kota itu akhirnya belajar sesuatu yang paling sederhana—cara bernapas bersama.
.
.
.
Malang, 14 November 2025
.
.
#MenanamNafas #KotaRamahManusia #CerpenKompasMinggu #UrbanStorytelling #RuangRetna