Yang Kita Bangun
“Yang kita kejar seringkali bukan masa depan, melainkan bayangan diri yang kita takut kehilangan. Berhentilah berlari sebentar; dengarkan apa yang diam katakan.”
.
Langit Jakarta sore itu seperti dironce dari sisa-sisa oranye yang enggan padam. Dari atas flyover Kuningan, laju kendaraan berdesakan seperti pikiran manusia yang tak kunjung usai. Jangrana menepikan mobilnya di sisi jalan yang jarang dipakai, menonaktifkan mesin, lalu membuka jendela. Udara lembap dan aroma aspal yang baru dipanaskan matahari menampar pipinya, mengingatkan bahwa hidup, setegas apa pun jadwal dan rencana, tetap punya napasnya sendiri.
Jangrana, empat puluh, pendiri studio arsitektur yang beralih menjadi konsultan tata ruang dan hospitality. Lahir di Malang, besar di Surabaya, menua di Jakarta. Di telapak tangannya pernah ada peta-peta besar: hotel butik di Ubud, kafe buku di Bandung, ruang kreatif di pinggir Brantas. Semuanya dikerjakan cermat, diperindah oleh obsesi akan detail: tekstur dinding, jarak antar kursi, suhu lampu. Ia percaya ruang yang baik bisa menyembuhkan sesuatu yang tak kita mengerti.
Teleponnya bergetar. Pesan muncul dari Adaninggar.
Aku sudah di lobi. Kau di mana?
Jangrana menatap senja lagi seakan meminta ijinnya. Ia menuliskan balasan singkat: Lima menit.
.
Adaninggar menunggu di lobi sebuah hotel di Rasuna. Perempuan itu mengenakan blus putih dengan kerah yang jatuh seperti air. Ia seorang private educator dan perancang kurikulum mandiri yang kian laris di kalangan keluarga urban: kelas-kelas literasi rasa, proyek kewargaan kecil, sampai pelatihan para pengasuh rumah tangga untuk komunikasi yang ramah. Di wajahnya ada lelah yang tidak bernama, semacam sisa dari percakapan yang menunda keputusan.
Beberapa hari lalu, Adaninggar menerima kabar bahwa ibunya didiagnosis demensia tahap awal. Ibunya tinggal di Malang, sendirian sejak ayah mereka meninggal puluhan tahun lalu. Ada Umar Maya, kakak tertua yang sibuk mengembangkan klinik gigi estetik di Surabaya; ada Umar Madi, adik bungsu yang sedang mengepak usaha kopi retail di Bandung; ada Kelaswara, sepupu mereka yang bagai titik temu keluarga—perencana keuangan yang fasih bicara angka sekaligus lunak bicara rasa. Di tengah-tengah mereka, Adaninggar adalah magnit yang diam-diam memegang keluarga agar tetap segaris.
Jangrana masuk lobi. Mereka saling pandang dan saling paham. Tidak ada pelukan. Di antara mereka dulu pernah ada sebuah “iya” yang disampaikan pelan, lalu diresmikan oleh sepasang mata, sebelum akhirnya dibatalkan oleh sesuatu yang tak bisa ditangkap definisi: waktu, ambisi, takut kehilangan diri.
“Kita makan di rooftop?” tanya Jangrana.
“Boleh. Aku ingin melihat kota dari ketinggian. Biar tahu mana yang harus ditinggikan dan mana yang harus direndahkan,” ujar Adaninggar, separuh bercanda, separuh benar.
.
Rooftop hotel itu memamerkan kota seperti kaleidoskop—gedung kaca menukar warna sesuai menit, lampu-lampu kantor yang menyala terlalu lama, dan helikopter lelah yang lewat sekali-sekali. Mereka duduk berhadapan. Pelayan datang menawarkan menu. Jangrana menunjuk sup jamur dan teh panas. Adaninggar memesan salad dan air dingin.
“Aku akan bolak-balik Malang,” kata Adaninggar, menatap piring kosong. “Ibu butuh ditemani. Dokter bilang, yang harus dirawat bukan hanya memorinya, tapi juga rutinitasnya. Ia perlu jam tidur, musik, wangi dapur.”
“Kau akan menghentikan kelas-kelasmu di Jakarta?” tanya Jangrana.
“Tidak. Aku tak ingin memutus murid-muridku. Aku akan sistemkan; sebagian karya tugas bisa dikurasi jarak jauh. Ada maya yang baik, ada maya yang buruk. Kita harus memilih maya yang menyelamatkan.”
“Umar Maya akan senang mendengar kalimat itu,” Jangrana tersenyum tipis. “Ia menyukai kenyataan yang bisa ditata.”
Adaninggar ikut tersenyum, tapi matanya memantulkan sesuatu yang dalam. “Mereka semua baik. Hanya… kita seperti menata kota di atas bukit pasir. Angin satu saja cukup membuatnya berubah bentuk.”
Jangrana mengangguk. “Kota memang tak pernah selesai. Begitu pula kita.”
Malam naik perlahan. Di bawah, lalu lintas menari mengikuti lampu-lampu. Di rooftop, musik jazz mengalun seperti bujukan. Adaninggar merogoh ponsel, memperlihatkan foto tua: ibunya berdiri di depan kios kain di Pasar Besar Malang, senyumnya lebar, jemarinya menyentuh motif batik dengan takzim.
“Ibu bilang, motif adalah cara kain mengingat sejarah,” kata Adaninggar. “Kalau kita lupa motifnya, kain bisa jadi kain apa saja. Dan itu menyedihkan.”
“Aku mengerti,” kata Jangrana. “Kita lupa motif, lalu hidup menjadi serangkaian tugas.”
“Kau sendiri bagaimana? Studio-mu baru menang tender renovasi gedung tua di Menteng itu, kan?”
Jangrana menghela napas. “Ya. Pemiliknya ingin jadikan butik hotel. Aku suka ide melestarikan fasad kolonialnya, tapi budget minta setengah. Aku tidak ingin mengkhianati ingatan bangunan.” Ia berhenti sebentar. “Dan aku capek bernegosiasi dengan diriku sendiri.”
“Capeklah,” kata Adaninggar pelan. “Capek itu juga cara tubuh berkata jujur.”
.
Di Surabaya, malam yang sama, Umar Maya menutup pintu ruang praktek, melepaskan masker, lalu bersandar pada dinding. Kliniknya baru saja meluncurkan program beasiswa untuk calon perawat gigi dari keluarga prasejahtera. Ia percaya kecantikan yang baik lahir dari hati yang punya kesempatan.
Teleponnya berbunyi. Kelaswara mengirim pesan: Besok pagi video call keluarga, jam delapan. Terkait ibu.
Ia menjawab: Baik. Aku akan di klinik.
Ia memandangi kaca yang memantulkan wajahnya: rapi, terukur, semua pada tempatnya. Namun ada garis halus di dahi yang menandai tahun-tahun berkejaran. Ia ingat ayah mereka menasihati: “Jika kamu bisa memilih, jadilah jembatan. Karena jalan setapak masih membutuhkan jembatan ketika sungai tiba-tiba membesar.”
Umar Maya meninggalkan klinik, berjalan menembus koridor yang wangi antiseptik. Di parkiran, ia melihat pedagang lumpia basah yang biasa mangkal. Ia membeli dua porsi, satu dibawa pulang, satu ia makan sambil duduk di atas jok motor. Makanan sederhana mengikat manusia pada tanah. Dalam suapan pertama, ia tiba-tiba teringat Adaninggar kecil yang memelintir rambut ibunya di kios kain, lalu menyusun cerita tentang motif parang sebagai sungai-sungai kecil yang berkelok.
Ia tersenyum. Keluarga ini punya motifnya sendiri, pikirnya. Dan ia, entah suka atau tidak, adalah salah satu garis yang menjaga motif itu tetap berulang.
.
Bandung, dini hari. Umar Madi menutup laptop. Gudang kecil di belakang toko kopinya beraroma biji panggang. Di dinding, ada peta Indonesia dengan pin di tempat-tempat petani yang bermitra dengannya: Gayo, Toraja, Kerinci, Ijen. Ia menamai brand-nya “Semprani,” diambil dari kuda terbang dalam kisah lama yang sering mereka dengar dari kakek. Katanya, menamai usaha dengan mitos adalah cara menyalakan doa.
Bisnisnya tumbuh, tapi pelan. Ia baru saja menutup pembicaraan dengan distributor yang meminta margin terlalu besar. Di sisi lain, ia tidak ingin mengecewakan petani dengan menekan harga. Ia menatap ponsel, membaca pesan Kelaswara tentang video call. Ia mengetik: Siap. Aku bawa angka dan opsi.
Umar Madi percaya solusi selalu harus hadir bersama angka. Tanpa angka, niat baik mudah terseret deras ke sungai paling ribut: opini.
Ia berbaring di sofa kecil. Di langit-langit ada bekas tambalan atap—ia menolak menggantinya agar selalu ingat bahwa hujan pernah menguji. Dalam setengah tidur, ia mendengar suara adzan dari masjid kecil. Kota masih lembut. Ia memejamkan mata, membiarkan kantuknya dituntun oleh aroma kopi yang sabar.
.
Pagi itu, tepat pukul delapan, mereka bertemu di layar: Adaninggar di apartemennya di Jakarta, Umar Maya di kliniknya, Umar Madi di gudang kecil, Jangrana di studio yang temaram oleh lampu gantung, dan Kelaswara dari kantornya di Sudirman, dikelilingi tumpukan folder dan sticky notes berwarna.
Kelaswara membuka percakapan, suaranya hangat tapi tegas. “Aku ringkas dulu: Ibu demensia tahap awal. Dokter menyarankan pendampingan rutinitas, latihan memori, dan menghindari perubahan lingkungan besar. Malang tetap terbaik. Kita perlu jadwal giliran, sumber dana tetap, dan target-target kecil.”
“Dana dari mana?” tanya Umar Madi.
“Dari tiga sumber,” jawab Kelaswara. “Pertama, kontribusi kita masing-masing dengan persentase proporsional dari penghasilan bersih. Kedua, endowment keluarga yang kecil tapi bisa dijadikan dana likuid. Ketiga, potensi kerja sama CSR beberapa klien pendidikan Adaninggar untuk program keluarga dengan demensia—itu kalau bisa.”
Adaninggar mengangguk. “Aku bisa merancang modul komunitas kecil di lingkungan rumah ibu. Bukan pelatihan formal—lebih seperti bermain motif batik sambil bercerita. Biar ibu bahagia, tetangga pun punya kegiatan.”
“Bagus,” kata Kelaswara. “Umar Maya, jadwal kunjunganmu?”
“Aku bisa ke Malang dua akhir pekan dalam sebulan,” kata Umar Maya. “Aku juga punya rekan neurolog yang bersedia telekonsultasi kalau ada hal-hal mendesak.”
“Umar Madi?”
“Aku bisa alokasikan profit toko untuk dana rutin, dan karena Bandung ke Malang tidak dekat, aku akan stay lebih lama tiap kunjungan, misalnya lima hari tiap dua bulan, agar rutinitas ibu tetap punya wajah keluarga.”
Semua menatap Jangrana, yang sejak tadi mencatat sesuatu.
“Aku sedang pegang proyek Menteng itu,” katanya. “Tapi aku juga baru menutup satu proyek di Bali; ada cashflow masuk. Aku bisa kontribusi lebih besar tiga bulan pertama untuk menstabilkan, kemudian menyesuaikan. Dan… aku bersedia merombak rumah ibu jadi homey tanpa mengubah ingatannya. Pencahayaan, jalur jalan, kamar mandi, signage kecil yang tidak menggurui.”
“Jadi arsitektur yang menyembuhkan?” tanya Adaninggar.
“Jika ruang adalah doa, kita akan menata doa yang pelan,” jawab Jangrana.
“Jadwalnya siapa yang atur?” tanya Umar Madi.
“Kita buat shared calendar,” kata Kelaswara. “Dan satu lagi: siapa yang mengelola komunikasi keluarga? Grup WhatsApp sering berubah jadi pasar.”
Mereka terdiam sejenak. Adaninggar mengangkat tangan. “Biarkan aku. Aku akan menulis ringkasan mingguan yang tenang dan jernih. Di tengah krisis, kata-kata harus selihai dokter bedah.”
“Kalau begitu, kita sepakat,” tutup Kelaswara. “Ingat: tujuan utama bukan menyembuhkan apa yang tak bisa sembuh. Tujuan kita adalah menjaga martabat ibu.”
Di layar, mata mereka bertemu. Selama bertahun-tahun, mereka menilai diri masing-masing lewat pencapaian—omzet, penghargaan, jumlah cabang, jumlah murid. Pagi itu, mereka belajar menghitung dengan satuan yang lain: kehadiran.
.
Minggu berikutnya, Jangrana pulang ke Malang. Rumah ibu berdiri di gang yang diapit pohon kamboja tua. Fasadnya sederhana, catnya tak lagi baru, namun bersih. Sepasang sandal jepit kecil terletak rapi di dekat pintu—sandal yang dulu disediakan untuk cucu tetangga yang gemar mampir. Di ruang tamu, radio kecil menyala lirih, memutar tembang-tembang lawas. Ibu duduk menghadap pintu, bibirnya bergerak pelan seperti membaca mantra.
“Ibu,” sapa Jangrana, merunduk mencium tangan itu. “Aku Jang.”
Ibu tersenyum. “Jang yang suka menggambar langit-langit rumah. Kau yang bikin aku pusing saat catnya habis?”
Mereka tertawa. Di balik tawa, hati Jangrana terasa seperti kertas yang dilipat-lipat kemudian dibuka kembali, memperlihatkan bekas lipatan yang tak akan hilang. Ia ingin membawa ibunya ke banyak tempat, tapi dokter bilang rumah adalah obat.
Siang itu, ia memeriksa kamar mandi, mengganti bohlam kuning menjadi putih hangat, menempelkan stiker kecil bergambar bunga di pintu lemari piring agar ibu mudah mengingat isi. Ia menata kursi, menurunkan letak jam dinding, memasang lampu sensor gerak di koridor. Sesekali, ia bertanya pada ibu, “Bu, bagaimana kalau arah kursi begini?” Ibu mengangguk, kadang protes kecil. Mereka sepakat pada banyak hal kecil; itulah cara cinta bekerja: bergesekan tanpa luka.
Sore hari, Adaninggar datang. Ia membawa kertas-kertas bergambar motif batik. Mereka duduk bertiga. Adaninggar bercerita, “Ini parang. Ini kawung. Ini sekar jagad. Ibu ingat?”
Ibu memandang penuh konsentrasi. “Parang itu seperti air terjun panjang. Kawung itu buah yang kalau matang aromanya masuk ke ruang. Sekar jagad… ah, itu peta dunia yang jatuh ke saku baju.”
Jangrana menahan napas. Adaninggar menatapnya, matanya basah.
“Bu,” kata Adaninggar, “Mari kita buat motif rumah.”
Ibu tertawa kecil, “Rumah juga perlu motif?”
“Ya,” jawab Adaninggar. “Motif rumah adalah cara rumah mengingat kita.”
.
Waktu bergerak dengan ritmenya sendiri. Ada hari-hari baik, ketika ibu mengenali suara pedagang sayur dan memanggil namanya dari teras. Ada hari-hari sukar, ketika ibu menolak mandi, mengira air adalah sesuatu yang hendak mencuri memorinya. Ada malam-malam tenang, ketika ibadah berjalan, doa ditutup amin tanpa terselip lupa; ada malam-malam di mana ibu bertanya, “Ayahmu pulang jam berapa?” lalu menunggu di ambang pintu yang tak lagi didatangi siapa pun.
Di sela-sela hari itu, hidup mereka tetap berlangsung. Umar Maya meluncurkan program edukasi perawatan mulut untuk lansia; pasien-pasien yang datang bukan hanya mencari rapih, tapi juga cara tersenyum tanpa takut. Umar Madi berhasil menutup kontrak kecil dengan toko roti rumahan yang bersedia memberi label asal kopi di tiap loyang kue. Adaninggar memulai kelas membaca motif di pos ronda, menghadirkan tetangga-tetangga yang selama ini saling menyapa tanpa tahu nama. Kelaswara menata dana keluarga dengan ketat, mengajari semua mencatat pengeluaran kecil: ongkos taksi, beli pisang, beli kertas gambar.
Dan di Jakarta, proyek Menteng berjalan. Jangrana bersikeras mempertahankan kisi-kisi kayu jati yang lapuk. Ia membawanya ke bengkel restorasi. “Kisi-kisi ini cara bangunan mengingat angin,” katanya pada pemilik proyek. “Jika diganti alumunium, angin akan lewat tanpa memberi salam.”
Pemilik proyek tertawa, mengingat pada angka-angka yang ia pegang. “Baiklah, sekali ini aku ikut puisi.”
Keduanya sepakat pada satu hal: tamu yang menginap tidak hanya membeli kemewahan, tapi juga cerita. Dan cerita yang baik harus tulus pada asalnya.
.
Pada suatu malam, Jangrana kembali ke Malang. Hujan turun pelan. Ibu tidur. Jangrana duduk di teras, ditemani desis daun kamboja. Adaninggar duduk di sampingnya. Mereka lama diam. Di keheningan, ada frasa-frasa yang tak sempat mereka katakan bertahun-tahun lalu. Waktu itu, mereka memilih masing-masing mengejar mimpi yang letaknya berlawanan arah. Yang tertinggal adalah pesan yang tidak pernah sampai: kita tidak harus memilih antara cinta dan diri. Kita bisa menata ruang agar keduanya betah tinggal.
“Jang,” kata Adaninggar, “Aku takut.”
“Apa?”
“Takut suatu hari lupa caraku menafsirkan dunia. Lupa motifku sendiri.”
“Kita punya yang lain untuk mengingatkan,” jawab Jangrana.
“Termasuk kau?”
“Termasuk aku, kalau kau izinkan.”
Hujan berhenti. Aroma tanah basah naik seperti doa. Dari kamar, terdengar suara ibu mengigau pelan, menyebut nama ayah mereka. Adaninggar berdiri, masuk, menepuk pelan punggung ibu, menyanyikan tembang lama. Jangrana memandang ke dalam, merasa bahwa malam itu, di rumah kecil ini, sesuatu yang retak belajar menerima perannya sebagai bagian dari pola yang lebih besar.
.
Beberapa bulan kemudian, atap butik hotel di Menteng itu memantulkan matahari seperti koin yang baru keluar dari dompet. Pembukaan berlangsung sederhana. Tidak ada pita mewah. Yang ada adalah angin bergerak di sela kisi-kisi yang diselamatkan. Di lobi, ada foto kecil fasad lama—bukan glamourisasi sejarah, melainkan ucapan terima kasih. Jangrana berdiri agak jauh, menatap orang-orang masuk. Ia tersenyum pelan.
Teleponnya bergetar. Pesan dari Kelaswara: Ibu sedang memandangi kain. Katanya, ia ingin membuat motif “Semprani” untuk rumah. Kau kapan pulang?
Jangrana membalas: Besok. Bawa angin dari Jakarta untuk masuk lewat kisi-kisi Malang.
Malamnya ia duduk sendiri di studio. Di meja, ada sketsa-sketsa ruang; di dinding, foto-foto progres; di lantai, secangkir kopi “Semprani” dari kiriman Umar Madi. Ia menulis kalimat di selembar kertas kecil, lalu menyelipkannya ke saku: “Yang kita bangun bukan selalu gedung. Seringkali, kita sedang membangun cara mencintai.”
.
Di Malang, kelas motif di pos ronda makin ramai. Tetangga-tetangga berkumpul membawa kain perca, anak-anak menempel stiker bunga di kertas, ibu-ibu mengingat cerita-cerita lama. Ibu duduk di kursi rotan; Adaninggar duduk di lantai, bersandar pada kaki ibu. Di dinding pos ronda, Umar Madi menempel papan jadwal yang ia rancang sendiri: ada jam minum, jam melihat langit, jam menyiram pot, jam menonton hujan. Umar Maya mendonasikan timer digital yang besar, mudah dibaca. Kelaswara, yang jarang menangis, diam-diam mengusap mata ketika melihat ibu menepuk-nepuk kain perca sambil berkata, “Ini seharusnya di sini.”
Sore itu, mereka mengadakan ritual kecil: menamai motif rumah. Ibu menatap semua, lalu menyebut, pelan, jelas: “Motif kita: Parang Semprani Sekar Jagad.”
“Kenapa?” tanya Adaninggar, menahan isak.
“Karena hidup kita seperti sungai panjang yang menyeberang kota-kota,” jawab ibu. “Di atasnya ada kuda-kuda yang belajar terbang. Dan semuanya, meskipun berpencar, tetap satu peta yang luas.”
Mereka tersenyum. Di langit, awan bergerak pelan. Di gang, anak-anak bersepeda. Dalam hati mereka, sesuatu yang selama ini mereka kira pecah ternyata hanyalah pola yang berubah.
.
Waktu berlalu. Ada hari ketika ibu memanggil Jangrana dengan nama ayah. Ada malam ketika ia menanyai Adaninggar apakah sekolah besok sudah siap. Ada pagi ketika Umar Maya datang dan diingat sebagai tukang tambal ban, bukan dokter. Ada minggu ketika Umar Madi menyiapkan kopi dan ibu berkata, “Kopi wangi, siapa yang datang?”—seolah aroma itu adalah kode kedatangan kawan lama.
Namun di sela itu semua, mereka belajar. Mereka belajar bahwa martabat bisa dijaga dengan tindakan kecil: mendengar tanpa memotong, menjelaskan tanpa menggurui, menertawakan tanpa mengecilkan. Mereka belajar bahwa kota—Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang—bukan sekadar tempat berlari mengejar; kota adalah ruang untuk berhenti dan menata ulang motif.
Pada suatu pagi, sebelum mereka kembali ke kota masing-masing, mereka duduk di teras rumah. Matahari baru naik. Kelaswara membagikan laporan keuangan keluarga: sederhana, transparan. “Kita bertahan,” katanya. “Bukan karena kita kaya, tapi karena kita setuju.”
Adaninggar menambahkan, “Dan karena kita memilih untuk mengingat, bukan menuntut untuk diingat.”
Jangrana menatap gang yang mulai ramai. “Aku dulu kira yang membuat kita besar adalah proyek-proyek besar. Sekarang aku kira, kita menjadi besar karena berani mengecil: mengecilkan suara sendiri agar yang lain terdengar, mengecilkan langkah agar yang lemah bisa sejajar.”
Umar Maya mengangguk. “Ayah akan senang melihat ini.”
Umar Madi tersenyum. “Kita sempat pecah—atau merasa pecah. Padahal kita hanya sedang belajar membaca motif baru.”
Mereka diam, tetapi diam kali ini bukan kekosongan. Diam kali ini adalah tempat segala hal menemukan kursinya.
.
Beberapa bulan setelahnya, ibu pergi. Tidak tiba-tiba. Tidak dramatis. Ia pergi seperti angin di kisi-kisi jati yang pelan memudar, setelah cukup mengajarkan cara masuk dan keluar. Di malam duka itu, mereka tidak sibuk dengan bunga dan karangan. Mereka menyalakan radio kecil, memutar tembang yang sama seperti dulu. Tetangga-tetangga datang, membawa kue dan cerita. Di pos ronda, kain-kain perca yang pernah disentuh ibu ditata menjadi selimut. Mereka menyebutnya selimut “Parang Semprani Sekar Jagad.”
Jangrana berdiri di dekat jendela, melihat hujan tipis. Adaninggar meraih tangannya, erat, lalu melepaskannya. “Kita akan baik-baik saja,” katanya. “Karena motifnya sudah kita hafal.”
Keesokan hari, mereka mengantar ibu ke peristirahatan terakhir. Tidak ada pidato panjang. Hanya satu kalimat yang disepakati: “Yang kita jaga bukan yang pergi, melainkan yang ditinggalkan—agar tetap hidup dengan cara yang pantas.”
.
Beberapa tahun kemudian, butik hotel di Menteng itu dikenal bukan karena kemewahannya, melainkan karena angin yang terasa “tepat.” Ketika orang bertanya pada Jangrana bagaimana ia menentukannya, ia hanya menjawab, “Kami mendengar bangunan ini bicara.” Studio-nya berkembang, tetapi ia menolak proyek-proyek yang melawan nurani ruang. Di Surabaya, klinik Umar Maya menjadi rujukan lansia; ia meneliti hubungan kebersihan mulut dan memori. Di Bandung, “Semprani” menjadi house brand di beberapa jaringan roti, tanpa mengorbankan petani. Di Jakarta, kelas-kelas Adaninggar membesar menjadi komunitas yang bukan sekadar mengejar prestasi akademik, melainkan mengajar anak-anak menata emosi. Kelaswara—yang selalu tertib—membuka lembaga kecil yang mengajarkan literasi finansial keluarga untuk pendamping pasien demensia.
Suatu sore, mereka bertemu di Malang, duduk di teras yang kini dinaungi lampu-lampu kecil. Di pangkuan Adaninggar, selimut “Parang Semprani Sekar Jagad” menutupi lututnya. Hujan turun. Jangrana memejamkan mata. Di belakang pelupuk, ia melihat ibunya, kios kain, motif-motif yang bicara dalam bahasa yang tak memerlukan kamus.
Ia membuka mata, menatap tiga orang yang hidup bersamanya dalam pola bertahun-tahun. “Terima kasih,” katanya.
“Untuk apa?” tanya Umar Madi.
“Untuk tidak melupakan motif,” jawab Jangrana. “Dan untuk berani mengganti warna ketika pola meminta.”
Hujan berhenti. Di kisi-kisi jati, angin lewat pelan, seolah mengeja: pulang.
.
“Rumah yang paling kokoh adalah yang kita bangun di dalam diri; dindingnya sabar, pintunya ikhlas, jendelanya selalu terbuka untuk angin yang datang dan pergi.”
.
.
.
Malang, 8 November 2025
.
.
#CerpenIndonesia #YangKitaBangun #UrbanStory #JeffreyWibisonoV #ArsitekturJiwa #MotifKehidupan