Jauh Sudah Aku Berlayar

 

Saatnya telah tiba
Dermagamu letih menambatkan tali cinta—
Yang sekian lama mengombang-ambing jangkar relung sukmamu.
Itu yang aku tahu.
Itu yang aku rasakan… bahkan sebelum kamu sadar.

Awalnya kamu mencoba
Melabuhkan sebuah hati
Yang berlayar perlahan menuju tepian asmaramu.
Namun arus kenyataan terlalu deras,
Dan gelombang perbedaan menghantam
Lambung harapanku yang rapuh.

Tiba saatnya,
Kamu letih menahan guncangan perbedaan di ikatan.
Semakin berat.
Semakin dalam retakan itu.
Hingga kamu tak sanggup lagi…
Selain melepasku untuk kembali berlayar
Menuju cakrawala di lembayung senja.

Marilah, kita tutup semua kisah kita.
Aku yang tidak sempurna,
Kamu yang tidak cinta.
Aku yang memilihmu sepenuh jiwa,
Kamu yang mendustai hatimu sendiri.

Jauh sudah aku mengarungi lautan kebebasanku,
Berlayar bersama mambang dan elang,
Juga bersama mentari, bulan, dan bintang.
Melupakan waktu,
Mengendapkan sepi-sepi di dasar jiwa,
Membasuh perih dalam air mata senyap,
Menggulung layar rindu yang robek,
Menangkup ombak asa
Yang menggenangi sekoci kejujuranku.

Dan kelak…
Ketika angin menerpa dermagamu,
Membawa kabar tentangku,
Mohon… merenunglah sejenak.
Jujurkanlah hatimu,
Tilik kembali pelabuhanmu yang tetap sepi.
Sebab aku tak akan kembali.

.

.

.

“Kadang, berpisah bukan tentang kalah… tapi tentang siapa yang lebih jujur pada luka.”

.

.

.

Bali, 20 April 2015

Jeffrey Wibisono V.

Leave a Reply