Sampai Jumpa di Tikungan Waktu

“Tidak semua yang kita genggam adalah milik kita; beberapa hanya menitip hikmah untuk kemudian kita kembalikan dengan doa yang baik.”

.

Uap dari cangkir espresso naik pelan-pelan, serupa roh yang mencari jalan pulang. Pagi itu Senopati belum benar-benar bangun; daun ketapang masih menyimpan titik-titik air sisa gerimis, dan taksi listrik melintas tanpa suara seperti bayangan yang sedang terburu waktu. Di sudut kafe berlangit-langit tinggi dengan lampu gantung berbentuk lonceng, Narpati menunggu sambil membaca ulang surel dari klien: revisi tahap ketujuh, tenggat mundur ke malam ini, dan janji “bonus” yang terdengar seperti ancaman if-else dalam bahasa manusia.

Ia menutup laptop. Hening sebentar. Di balik jendela, langit Jakarta seperti spidol pastel yang diusapkan ke kaca: samar, tapi gelisah. Ia menyesap espresso—tajam, tegas, dingin di ujung—lalu meletakkan cangkir di atas alas kayu. Jam tangannya bergetar: nama “Kenongo” muncul, tertulis di layar seperti kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi.

“Gue di depan, Pat.”

“Masuk. Mejaku di pojok, dekat rak majalah.”

Kenongo datang dengan ransel kanvas pudar, rambut sedikit gondrong, mata yang menyimpan lebih banyak jalan daripada peta Google. Mereka berpelukan singkat. Aroma hujan dan asap rokok menempel pada jaketnya.

“Dua tahun, ya?” kata Kenongo. “Terakhir kita ketemu waktu lo launching kantor baru di SCBD.”

“Benar. Dua tahun, dan ternyata hidup bisa berubah sebanyak itu.”

Mereka duduk. Narpati memesan cappuccino untuk Kenongo, dua croissant almond, dan set botol air mineral kecil. Percakapan awal dimulai canggung: soal cuaca, harga parkir, kerjaan yang “lagi-lagi-lagi padat”, dan berita teman lama yang mendadak menikah atau mendadak cerai. Lalu, seperti juga uap espresso yang menyatu dengan udara, canggung itu larut.

“Gue bangkrut.” Kenongo tersenyum, ringan, seolah baru menutup pintu yang gemeretak di belakangnya. “Studio gue… ya, lo tahu lah, proyek pemerintah batal, investor minta short-cut soal material, gue nolak. Habis itu satu-satu mundur. Ada yang marah. Ada yang bilang gue idealis kebangetan. Gue cek saldo—tinggal angka yang bikin kita ingin tertawa padahal sebenarnya ingin pingsan.”

Narpati menahan napas. “Lo di Jogja?”

“Belum. Masih bolak-balik. Ada beberapa anak magang yang gue kasihanin, jadi gue bantu cari tempat baru. Sementara ini numpang di kosan adik sepupu di Tebet. Naik KRL pagi-pagi biar ingat rasanya jadi manusia.”

Mereka tertawa pelan. Tawa yang menolak jadi air mata.

“Lo sendiri, Pat?”

Narpati mengerling ke luar. Pada saat-saat seperti itu, gerimis tampak seperti sandiwara. “Gue lulus pitch besar untuk brand telekom paling punya uang di negeri ini. Rasa menangnya ada, tapi nggak lama. Tahu-tahu hubungan gue sama Raras selesai tanpa pembicaraan panjang. Kita duduk, pesan teh, lalu kalimatnya keluar dari mulutnya seperti kwitansi: terima kasih, mohon maaf, semoga baik-baik, jangan hubungi dulu. Itu saja. Sejak itu gue belajar tidur tanpa notifikasi.”

“Raras—yang kurator seni itu?”

“Iya.”

Mereka diam. Dalam diam, ada sejarah: kelas desain dan arsitektur yang mereka tinggalkan satu demi satu demi lomba, magang, kemudian tawaran kontrak, kemudian status. Ada utang KPR apartemen di Kuningan yang dibayar tepat waktu, iuran gym yang dipakai seminggu lalu berhenti tiga bulan, dan meeting yang ditutup di rooftop bar dengan lampu-lampu kota seperti gliter di tangan anak kecil. Mereka berdua pernah sepakat: dewasa adalah perkara mengatur jarak antara yang dimau dan yang mampu. Ternyata, dewasa juga perkara merapikan reruntuhan yang lahir dari keinginan itu sendiri.

.

Kenongo pernah punya mimpi sederhana: membangun studio yang memadukan arsitektur bambu dengan kecerdasan iklim tropis. Ia menamainya “Studio Nalar Kayu”. Di tahun-tahun awal, ia memenangkan penghargaan di Bandung dan Singapura; foto-foto bangunan hijau itu beredar di majalah. Tetapi pesanan yang datang berikutnya meminta fasad kaca penuh, pendingin yang kuat, dan atrium raksasa demi pamer. “Nama gue ada di plakat, tapi nurani gue ada di tong sampah,” katanya suatu kali, saat ia dan Narpati duduk di teras kos kenangan, memakan mi gelas semalam yang terlalu asin.

Sebaliknya, Narpati yang lulus cumlaude dari desain komunikasi visual memilih masuk ke agensi digital. Dalam lima tahun, ia membangun spin-off dengan kawan-kawan: strategi merek, analitik kampanye, kerja sama dengan platform belanja. Ia fasih berkata “CPI,” “CAC,” “AI asset library,” juga “engagement funnel” seperti orang lain mengucapkan doa. Dua puluh lima karyawan. Pantry dengan mesin kopi Italia. Ruang rapat bernama “Selatan”, “Utara”, “Barat”. Buku keuangan yang sehat. Namun setiap kali layar laptop memantulkan wajahnya tengah malam, ia merasa seperti aktor yang tidak selesai membaca naskah.

“Apa lo bahagia?” tanya Kenongo.

“Bahagia itu definisinya apa?” balik Narpati.

“Lo,” kata Kenongo, “yang dulu kalau ngomong mimpi, retinanya menyala. Sekarang yang menyala cuma LED keyboard.”

Narpati tertawa, tetapi lelahnya tidak ikut tertawa.

.

Durian bolu datang di piring kecil. Kafe mulai penuh; pekerja dengan laptop duduk seperti pion yang siap bergerak. Ada kelompok ibu-ibu yang baru selesai morning run, tertawa tanpa beban, memesan roti gandum dan jus seledri. Ada pasangan muda yang berbicara tentang sekolah anak dengan nada seperti membicarakan saham.

“Gue kepikiran pindah,” kata Kenongo.

“Ke mana?”

“Ke Jogja dulu. Buka studio bambu kecil. Nggak gede. Biar lebih banyak mengajar anak-anak kampung bikin struktur yang kuat dan murah. Bukan buat instagram, tapi buat teduh.”

“Uang?” tanya Narpati, seperti menanyakan alamat.

“Gue punya tabungan sisa-sisa. Masih bisa hidup sederhana. Kalau kurang, gue ngajak orang-orang patungan, tapi bukan investor yang masuk ke decision desain. Gue lebih pengin barengan sama yang mau belajar. Lo tahu, Pat… ada jenis rezeki yang hanya datang kalau kita berhenti bernegosiasi dengan hati.”

Narpati menatap croissant yang tidak disentuh. Ia ingat Raras. Malam terakhir mereka di Cipete: Raras menyalakan pemutar piringan, Autumn Leaves. Ia menatap jendela yang berkabut lembap. “Aku ingin percaya,” kata Raras, “bahwa hubungan bukan proyek. Bukan juga tender. Ia tidak selesai saat dinyatakan menang, atau ulang lagi saat kalah. Ia tumbuh, bukan dipaksakan menjadi bentuk yang kita inginkan.”

“Lalu kenapa kamu pergi?” tanya Narpati.

Raras mengangkat bahu. “Karena aku terus-menurus kesepian di dekatmu. Kita serumah, tapi tak lagi sejiwa. Kamu mencintaiku seperti mencintai target: penuh strategi, kurang pelukan.”

Kata-kata itu seperti paku kecil. Tidak membuatnya mati, namun membuatnya sulit berdiri.

.

Senja menggeliat. Di gedung kaca kantor Narpati, cahaya memantul seperti kolam. Ia menyalakan lampu kerja, memeriksa timeline, menyusun ulang tim. Pekerjaannya selalu tampak seperti membangun jembatan dari data ke emosi, dari produk ke manusia. Ia ahli. Dalam focus group discussion, ia bisa menebak kata “mudah” apa yang penonton butuhkan untuk membeli. Ia mengatur creative direction seperti komposer mengatur simfoni.

Tetapi malam itu, di sela-sela rapat daring, ia membuka folder lama: “Riset Studio Nalar Kayu.” Ini pernah ia kerjakan secara sukarela untuk Kenongo. Ada gambar-gambar rumah bambu yang diolah dengan algoritma ventilasi. Ada note: “Pintu kecil agar orang menunduk saat masuk—supaya ingat rendah hati.” Ada catatan lain: “Sekolah alam di bantaran sungai; jembatan kecil dari bambu yang bisa diganti bersama warga tiap lima tahun—agar ada alasan berkumpul.” Ia tersenyum; folder itu seperti surat dari dirinya sepuluh tahun lalu.

Jam satu malam, semua file kampanye selesai. Ia mencoba tidur di sofa kantor. AC terlalu dingin; ia kedinginan meski menyelimuti diri dengan hoodie hadiah vendor. Dalam kantuk antara sadar dan tidak, Narpati bermimpi berdiri di pinggir jalan layang. Di bawahnya, ribuan mobil melaju tanpa suara, lampu menetes seperti hujan neon. Raras berdiri di seberang, menatapnya, lalu tersenyum. “Kamu tidak perlu berlari ke sini,” katanya. “Belajarlah berjalan pelan. Kalau takdir memang menghendaki, kita akan bertemu di tikungan.”

Ia terbangun dengan mata basah.

.

Seminggu kemudian, Narpati menerima undangan sebuah pameran amal kecil untuk membangun perpustakaan di Desa Wringinpitu—daerah yang pernah dihancurkan banjir lahar dingin, kini bangun pelan-pelan. Penggagasnya: komunitas seni yang jadi tempat Raras sering terlibat. Kenongo mengajaknya datang. “Biar lo lihat manusia yang menata hidup bukan cuma dengan slide deck,” katanya.

Gedung pameran berada di gudang tua yang direnovasi—semacam white cube tanpa ambisi berlebihan. Ada instalasi dari kain bekas bekas bencana, ada potret wajah petani yang tersenyum malu, ada rak buku dari peti kemas yang diwarnai anak-anak. Musik akustik mengalun. Di counter donasi, perempuan berambut pendek sibuk mencatat. Raras.

Waktu menempelkan stiker nama di dadanya, Narpati merasakan sesuatu mengerut dalam dirinya. Kenongo menepuk bahu, memberi keberanian yang tidak diminta. Raras menoleh, menyipit, lalu tersenyum. “Hai.”

“Hai,” jawab Narpati. “Aku datang sebagai pengunjung biasa.”

“Kami selalu senang dengan pengunjung yang mau membuka dompet dan hati,” canda Raras.

Mereka tertawa. Tidak ada adegan pelukan. Tidak ada air mata. Ada jarak tipis, seperti selaput pada mata yang sedang sembuh. Di tengah ruangan, kolektor seni dan direktur bank berdiri berdampingan, membahas pajak dan kurasi. Raras memandu tur kecil, menjelaskan karya-karya seperti seseorang yang menyebut nama anaknya satu per satu.

Pada satu sudut, ada instalasi dari bambu. Bentuknya seperti peta. Ujung-ujungnya diikat dengan rotan, dan di tengahnya digantungkan kartu-kartu berisi kalimat pengunjung: harapan apa yang ingin kamu wariskan? Narpati menulis: “Ruang teduh untuk orang-orang yang kelelahan.” Kenongo menulis: “Sekolah yang membuat anak percaya pada dirinya.” Raras menulis: “Bahasa yang memeluk.”

Selepas acara, mereka bertiga duduk di tangga beton di belakang gedung. Lampu bohlam menyala samar. Hujan berhenti; udara mengandung kemungkinan.

“Aku ikut senang kalian berdua ketemu lagi,” kata Raras.

“Kalau kita bertiga membangun sesuatu, kira-kira bentuknya apa?” tanya Kenongo.

“Lagu,” jawab Raras. “Yang dinyanyikan bersama.”

“Jembatan,” kata Kenongo.

“Jadwal,” canda Narpati. Mereka tertawa.

Tetapi sesudah tawa itu, ada sepi yang manis.

“Aku ingin minta maaf,” kata Narpati, menatap Raras. “Bukan untuk kembali. Kita sudah memilih jalan masing-masing. Hanya saja, ada janin kata-kata yang dulu tidak sempat lahir. Terima kasih sudah jujur waktu itu. Itu menyelamatkanku dari menjadi manusia yang lambat mati.”

Raras mengangguk. “Terima kasih sudah bertumbuh.”

Ia menoleh ke Kenongo. “Kamu benar soal jembatan. Tapi jembatan yang paling berat adalah jembatan dalam diri.”

Kenongo tersenyum, menatap kedua sahabatnya. “Kalau begitu mari kita bangun jembatan dalam diri masing-masing dulu, baru kemudian mengajar anak-anak kampung menyeberang dengan aman.”

Malam itu berakhir dengan janji sederhana: bertemu sebulan lagi. Tidak ada rencana besar, tidak ada target. Hanya komitmen untuk hadir.

.

Waktu adalah kolase dari rutinitas dan kejutan. Di kantor, Narpati mulai memberi wewenang lebih kepada tim kedua. Ia memetakan ulang layanan agensinya: bukan hanya menambah click through rate, tetapi juga merancang brand act untuk komunitas. “Kita bukan pabrik konten. Kita pengelola makna,” katanya pada tim. Orang-orang di ruangan menatap, beberapa paham, beberapa bingung, tapi setidaknya terlihat ada peta baru di dinding.

Ia menutup satu klien yang terus-menerus meminta kampanye yang menyesatkan. Keputusan itu membuat laba kuartal turun lima persen, membuat dewan penasihat mengernyit, membuat ia pulang lebih cepat dengan kepala ringan. Di lift, saat menatap pantulan dirinya, ia memikirkan ini: Ada harga untuk menjadi jujur pada diri sendiri, dan harga itu sering berupa kehilangan. Tapi apakah kehilangan selalu rugi?

Sementara itu, Kenongo benar-benar berangkat ke Yogyakarta. Ia menyewa rumah kecil di pinggir sawah, bersuara jangkrik, bertetangga dengan penjual nasi gudeg. Ia mengirim foto pertama: meja kerja dari kayu jati bekas, beberapa gambar rancangan kerangka bambu, anak-anak desa yang tertawa di bawah matahari. “Studio Nalar Kayu versi mini,” tulisnya. “Tapi semangatnya lebih besar dari gedung pencakar langit.”

Raras mengabarkan pameran lain, kali ini menggandeng sekolah kejuruan membuat karya dari limbah pabrik. Ia mengundang Narpati untuk memberi lokakarya storytelling kepada anak-anak. “Bahasa yang memeluk,” ingatnya.

Lokakarya itu berlangsung pada Sabtu siang. Anak-anak duduk di kursi plastik, sebagian menenteng earphone, sebagian menatap layar ponsel. Narpati memulai dengan satu kalimat: “Cerita terbaik selalu berangkat dari luka yang kita rawat dengan baik.” Di akhir sesi, seorang anak perempuan mendekat sambil memegang botol air mineral yang dilubangi menjadi vas. “Mas, aku baru ditinggal bapak. Aku pengin bikin sesuatu yang bikin ibu nggak kepikiran tiap malam. Mungkin nggak sih cerita bisa jadi obat?”

“Bisa,” jawab Narpati. “Caranya: tulis obrolanmu dengan bapak. Ucapkan yang belum sempat. Lalu tempelkan tulisannya pada vas ini. Beri nama, bukan angka. Obatnya mungkin tidak mujarab seketika, tapi ia menolak berkhianat.”

Anak itu mengangguk. Raras berdiri tak jauh, matanya basah.

.

Sebulan kemudian, mereka bertiga bertemu di Yogyakarta seperti janji. Kereta meninggalkan Gambir pada pagi yang hampir panas; Narpati duduk di dekat jendela, memandangi sawah yang menari cepat. Di stasiun Tugu, Kenongo sudah menunggu dengan sepeda motor bebek. Mereka menembus lalu-lalang, melewati kampung, sungai, dan kebun bambu seperti lukisan yang tidak ingin berhenti.

Studio Nalar Kayu memang kecil: dinding bambu, atap ijuk, lantai semen yang halus. Di pojok, ada rak kayu berisi buku-buku: arsitektur tradisional, fisika sederhana, kumpulan cerpen, juga buku catatan dengan halaman yang ditulis anak-anak: ide jembatan, ide rumah panggung, catatan angin. Sore itu mereka berkumpul di halaman, duduk di tikar. Teh poci dan pisang goreng. Hujan datang tipis-tipis.

“Ada proyek?” tanya Raras.

“Ada beberapa. Yang paling gue suka justru bukan proyek,” jawab Kenongo. “Kita bikin kelas kecil hari Minggu untuk bapak-bapak yang ingin memperbaiki lumbungnya. Gue baru tahu, di sini cara belajar paling ampuh bukan presentasi, tapi bareng-bareng ngerjain. Tangan kotor itu bahasa yang adil.”

Malam turun. Di kejauhan, gamelan latihan dari balai desa mengapung seperti doa. Raras mengeluarkan kamera analog dari tasnya. “Boleh aku memotret kalian?” Mereka mengangguk. Klik. Klik. Waktu direkam di atas film, bukan untuk dipamerkan di laman depan majalah, tapi untuk diingat pada hari-hari yang terlalu sunyi.

“Pat,” kata Kenongo, setelah hening yang panjang. “Lo tahu nggak, saat gue bangkrut itu, gue belajar bahwa yang paling menyakitkan bukan angka nol di rekening, tapi rasa malu pada diri sendiri karena pernah meyakini bahwa angka adalah ukuran tunggal. Setelah melepas itu, gue seperti bisa bernapas lagi.”

Narpati menatap api kecil di tungku. “Gue sejak itu belajar memaafkan diri. Dulu gue pikir semua hubungan yang gagal adalah kegagalan pribadi. Ternyata beberapa hal memang diciptakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk dimiliki seumur hidup.”

Raras menambahkan, “Dan beberapa orang hadir bukan untuk tinggal, melainkan untuk menunjukkan pintu.”

Mereka tertawa kecil. Malam menebal. Hujan berhenti. Bintang muncul satu-satu, bukan meriah, tapi cukup.

.

Kabar tentang studio bambu kecil itu menyebar cepat. Wartawan datang, memotret, menulis. Perusahaan furniture menawarkan kolaborasi. Beberapa orang kaya menawari proyek villa dengan syarat-syarat yang membuat Kenongo teringat alasan ia jatuh. Ia menolak dengan sopan dan sedikit bercanda, “Maaf, studio kami sedang belajar mengenali wangi kayu, bukan wangi uang.” Menolak pun ada seninya.

Di Jakarta, Narpati memotong jam kerja agar mampu mengajar seminggu sekali di kampus. Ia mendaftar sebagai mentor beasiswa untuk adik-adik kota kecil yang ingin belajar desain. Di kantor, ia kerap meminta rekan-rekan kreatifnya menutup laptop, keluar ke teras untuk melihat langit. “Jangan percaya data yang Anda tidak cium aromanya,” katanya. Mereka tertawa, tapi beberapa mulai mengerti sesudah merasakan embusan angin sore dan bau tanah setelah hujan.

Hubungan mereka bertiga tidak menjadi sinetron. Tidak ada dramatisasi berlebihan. Sesekali Narpati masih merasa kosong saat memandangi kota dari balkon apartemennya; sesekali Kenongo panik memikirkan gaji asisten; sesekali Raras lelah memikul idealisme di punggung yang manusiawi. Namun mereka saling mengirim pesan: foto sarapan sederhana, lembar kerja anak-anak, penggalan paragraf dari buku, atau sekadar tautan lagu Love is Not a Victory March.

Pada suatu Minggu pagi, Studio Nalar Kayu kedatangan rombongan alumni SMA yang hendak menyumbang buku. Salah satu dari mereka menyalami Narpati dengan ragu. “Mas, saya pernah jadi admin di salah satu merek yang mas urus kampanyenya. Terima kasih ya, dulu saya belajar banyak. Tapi saya keluar. Capek dengan komentar julid. Sekarang saya kerja di perpustakaan desa. Gajinya kecil, tapi saya pulang tiap sore dengan perasaan lengkap.”

Narpati tersenyum. “Selamat menemukan pulangmu.”

Ia menuliskan kalimat itu di buku tamu. Di bawahnya, Raras menulis: “Seni tertinggi dalam hidup adalah memilih dengan sabar.” Kenongo menutup dengan: “Yang kuat bukan yang tidak jatuh, tapi yang tahu kapan harus berdiri.”

.

Suatu malam, Narpati menerima pesan dari ibunya: foto rumah masa kecil di Malang yang akhirnya selesai direnovasi. Ia teringat masa-masa kecil: ayahnya pegawai PJKA, ibunya guru TK. Mereka hidup cukup, tidak lebih, tetapi selalu ada roti kasur hangat tiap Minggu dan cerita sebelum tidur. Ia menutup mata, mendengarkan bunyi AC. Lalu memutuskan sesuatu.

Keesokan paginya, ia mengirim surel kepada klien telekom yang paling besar: meminta jeda satu kuartal untuk menata ulang format kolaborasi. “Kami tidak ingin lagi menjual kecemasan sebagai strategi penjualan,” tulisnya. “Kami ingin menjual ketenangan, keterhubungan yang menyelamatkan.” Balasan datang satu jam kemudian: pengurangan retainer. Oke. Namun ada kalimat di ujung: “Mari coba.”

Ia mengirim pesan ke Kenongo dan Raras: Gue ingin bikin program literasi digital di desa tempat lo kerja; modulnya tentang memfilter berita palsu, mengelola waktu layar, dan memotret untuk bercerita. Lo dua mau? Balasan datang seperti kembang api. “Mau.”

Program itu berlangsung tiga bulan. Mereka mengundang mahasiswa untuk mengajar, mengajak para ibu membuat klub baca resep, mengajari bapak-bapak memotret hasil panen dengan ponsel jadul tapi komposisi jernih. Di hari penutupan, anak kecil yang dulu membawa vas dari botol air mineral datang membawa ibunya. Di vas itu tertempel tulisan tangan: Bapak, ini bunga yang tumbuh dari kesedihanku. Terima kasih sudah menanam cuaca di pundakku. Ibunya memeluk sang anak. Mata semua orang basah.

Narpati berdiri di pinggir panggung bambu. Angin sore membawa bau tanah dan wangi nasi yang dimasak di dapur umum. Kenongo mengatur microfon; Raras memotret momen ketika remaja laki-laki bersorak untuk puisi temannya. Dalam kepala Narpati, sebuah kalimat muncul, sederhana tapi menumbuhkan: Bahagia ternyata tidak keras suaranya; ia datang sebagai selimut tipis yang menolak kita demam.

.

Tahun berganti. Pagi Jakarta tetap menggigil oleh jam kerja, sore Yogyakarta tetap merangkul dengan cemara. Studio Nalar Kayu membuka kelas membangun mainan edukatif dari bambu; agensi Narpati menandatangani kesepakatan baru dengan syarat yang lebih manusiawi; Raras menerbitkan buku foto tentang tangan-tangan yang bekerja. Saat mereka bertiga berkumpul lagi di kafe Senopati itu—kafe yang dulu jadi saksi persinggungan ulang—ada cahaya lain di mata mereka: bukan cahaya yang memekik “lihat aku!”, melainkan cahaya kompor kecil yang menghangatkan sup di malam hujan.

“Gue nggak tahu masa depan, Pat,” kata Kenongo, menggulung lengan bajunya, memperlihatkan bekas luka kecil karena pisau pahat. “Gue cuma tahu jalan ini membuat gue sanggup tidur.”

Raras menambahkan, “Dan bangun tanpa takut.”

Narpati memandang dua sahabatnya, memikirkan Raras yang kini menggenggam tangan seseorang yang baik—berita itu ia terima tanpa cemburu, hanya ada doa singkat; memikirkan Kenongo yang sedang ditawari mengajar tetap di kampus namun ia menolak agar studio tetap dekat tanah. Ia sendiri belum menikah, belum juga memastikan sejumlah hal yang orang lain anggap wajib. Tapi satu hal ia pastikan: ia tidak lagi mengejar dengan napas terengah. Ia berjalan.

“Gue dulu mengira, yang paling penting adalah menemukan orang yang mau menggenggam tangan gue,” katanya. “Sekarang gue sadar, yang lebih penting adalah belajar menggenggam hati sendiri. Supaya ketika tangan itu harus melepaskan, gue tidak kehilangan rumah.”

Di luar jendela, jalanan bergerak seperti sungai. Di dalam kafe, uap espresso tetap mencari jalan pulang. Dunia tidak berubah banyak, namun hati mereka tidak lagi sama.

.

Beberapa bulan setelah pertemuan itu, banjir besar melanda sebagian Jakarta. Tim Narpati bukan relawan ahli, tetapi mereka punya hal lain: kemampuan bercerita. Mereka membuat kanal informasi dan visual cepat untuk menenangkan warga, menghubungkan donatur dengan dapur umum, memastikan data rekening tidak palsu. Raras bergerak mengumpulkan selimut hangat, memotret dengan hati-hati—tanpa mengeksploitasi kesedihan. Kenongo mengirimkan gambar rancangan tangga darurat dari bambu yang bisa dipasang dalam sehari dengan alat sederhana. Orang-orang kampung menirunya. Dalam satu minggu, jembatan kecil muncul di gang-gang, membantu anak-anak menyeberang air keruh untuk mengambil buku.

Di tengah semua itu, Narpati menerima surel singkat dari seorang perempuan yang tak dikenalnya: Mas, saya ibu dari anak yang membawa vas dulu. Ia sekarang mengajar anak-anak kecil menulis di musala setiap sore. Katanya ia ingin membayar utang pada bunga. Terima kasih. Ia membaca surel itu di kursi plastik dapur umum, di antara aroma minyak goreng dan daun bawang. Ia menutup mata, menatap langit-langit yang menguapkan embun, lalu mengirim balik satu kalimat: Terima kasih sudah menjaga kebun di dalam rumah.

.

Pada hari ulang tahunnya, Narpati pulang ke Malang. Rumah kecil itu kini berteras lebar. Ia duduk di tangga, menatap daun mangga yang berdesis ditiup angin. Ibunya menjerang air. Ayahnya—yang kini tangannya berkerut seperti peta—membuka album tua. Ada foto Narpati kecil memegang layang-layang, ada foto Kenongo sedang tidur di karpet depan televisi, ada foto Raras meminjam payung saat semua pulang dari lomba desain di Surabaya dan hujan turun sejadi-jadinya.

“Aku kira dulu semua harus kumiliki agar tidak hilang,” kata Narpati pelan kepada ayahnya. “Nyatanya, bahkan waktu pun tidak mau tinggal.”

Ayahnya tertawa. “Kalau waktu mau tinggal, manusia tidak akan berjalan. Dan tanpa berjalan, kamu tidak akan sampai.”

Malam itu, sebelum tidur, Narpati menulis kartu kecil untuk dirinya sendiri—kebiasaan lama yang ia hidupkan lagi: Jangan sibuk memegang: sibuklah menjadi tempat yang layak untuk kembali. Yang tidak mampu digenggam, lepaskan dengan terima kasih. Yang tidak bisa diperbaiki, akhiri dengan doa. Yang sejalan, rangkul tanpa takut kehilangan.

Ia meletakkan kartu itu di dompet, di samping foto orang tuanya muda-muda—foto yang selalu mengingatkan bahwa semua yang indah pun pada suatu hari harus dilepas agar tetap indah.

.

Di Yogyakarta, anak-anak desa membuat pentas akhir tahun di halaman Studio Nalar Kayu. Panggung bambu sederhana, lampu bohlam ditarik dari pohon sawo ke pohon jambu, kain batik jadi latar. Narpati duduk di kursi baris kedua; Raras di sampingnya mengatur kamera. Kenongo berdiri di belakang panggung, memberi aba-aba. Ada tetabuhan kecil, ada paduan suara, ada teater pendek tentang air dan batu—tentang bagaimana keduanya tidak pernah bertengkar, hanya bernegosiasi sepanjang waktu.

Di akhir pentas, anak yang membawa vas itu maju membawa selembar kertas. Ia membaca puisi:

Kita pernah menggenggam banjir
dan menamai takut dengan nama pahlawan.
Kita pernah menggenggam matahari
dan menamai panas dengan nama libur.
Lalu aku belajar, nyatanya tangan punya batas.
Maka kubangun rumah di dada,
tempat yang bersih untuk menaruh yang datang dan pergi.

Terima kasih, waktu.
Silakan lewat, aku akan melambaikan tangan.
Kalau nanti kau kembali,
datanglah dengan kabar—
bahwa yang kucari sudah menjadi aku sendiri.

Semua orang bertepuk tangan. Raras menghapus air mata. Narpati juga. Kenongo menatap langit. “Lihat,” katanya pelan, “bintang jatuh.” Raras menoleh. “Atau kita yang bergerak.”

Narpati memejam, memeluk sepi yang hangat. Dalam gelap matanya, ia melihat kota Jakarta dengan lampu-lampu seperti sungai kecil; ia melihat studio bambu yang berdiri tidak melawan angin tapi bersahabat dengannya; ia melihat kafe Senopati, cangkir espresso, uap yang tidak ingin ditangkap. Ia melihat Raras mengangkat kamera; ia melihat Kenongo mengikat simpul rotan; ia melihat dirinya sendiri, berdiri di depan cermin, tidak lagi menanyakan “siapa yang pergi?”, melainkan “siapa yang ingin aku jadi?”.

Ia membuka mata. Di panggung bambu, anak-anak menutup acara dengan lagu daerah. Para ibu menyuguhkan teh panas. Para bapak menepuk bahu satu sama lain. Angin mengajak semua daun berdoa. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Narpati merasa lengkap tanpa harus penuh.

.

Keesokan harinya, ketika mereka bertiga berpisah di stasiun, tidak ada drama. Ada pelukan yang benar ukurannya: tidak terlalu erat, tidak terlalu cepat. Raras berpesan, “Hati-hati di jalan.” Kenongo menambah, “Kalau berat, turunkan yang tidak perlu.” Narpati tertawa. “Kalau ringan, bagilah.”

Kereta bergerak. Di jendela, wajah-wajah melintas seperti potongan film. Narpati menyalakan ponsel, menulis pesan ke grup kecil mereka: Terima kasih sudah jadi rumah singgah. Sampai jumpa di tikungan yang ditunjukkan waktu. Lalu ia menutup layar, bersandar, memejam.

Di kepalanya, kalimat pembuka itu kembali, tetapi bukan lagi sebagai peringatan, melainkan sebagai kunci yang membuka pintu ke halaman belakang tempat angin berlari bebas:

Tidak semua yang kita genggam adalah milik kita; beberapa hanya menitip hikmah untuk kemudian kita kembalikan dengan doa yang baik.

Dan ia tersenyum, pada dirinya sendiri, pada kota yang menanti, pada hari yang belum bernama.

.

.

.

Malang, 12 oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompas #KehidupanUrban #Melepaskan #Persahabatan #ArsitekturBambu #Storytelling #JeffreyWibisonoV #NamakuBrandku #EmotionalWriting #LettingGo

Leave a Reply