Sebelum Senja Memendam Kota

“Dalam hidup, kita tak selalu disukai, tak selalu dibenci.
Yang penting, kita tetap berarti—meski tak selalu dihargai.”

.

Di langit Jakarta, helikopter kecil berputar pelan—merekam kota yang tak pernah selesai. Di bawahnya, arteri jalan layang penuh mobil gelap, papan iklan digital berganti gambar tiap delapan detik, dan restoran baru di pojok Senopati memajang antrean seolah kebahagiaan bisa dipesan lewat aplikasi.

Di jendela kaca kantor 27 lantai, Rengganis menempelkan telapak tangan pada dingin permukaan. Ia baru saja menutup presentasi pendanaan seri B untuk rintisan teknologi pendidikan yang ia bangun dua tahun terakhir. Penat di belakang mata terasa seperti pasir. Sebentar lagi dewan komisaris akan memutuskan: lanjut dengan valuasi naik, atau menutup buku rapat dengan kalimat, “kita kaji ulang kuartal depan.”

Rengga, begitu orang memanggilnya, lahir dari keluarga perantau Madura yang lama menetap di Surabaya, lalu pindah ke Jakarta saat ia kuliah. Ibunya mengajar biologi di sekolah swasta; ayahnya, Sena, membuka bengkel mesin kapal kecil di Kenjeran, kemudian merambah usaha logistik laut. Hidup mereka menanjak bertahap: dari rumah petak ke klaster, dari mobil bekas ke sedan perusahaan, dari menabung koin receh di guci tanah ke rapat bank untuk skema pembiayaan.

Ia tumbuh dengan cerita-cerita keluarga tentang kebanggaan para menak: Cakra Ningrat, Joko Tole, Roro Rengganis. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai pengingat: setinggi apa pun engkau, nyalakan lampu di dalam, bukan hanya lampu di halaman.

.

Panggilan dari Timur

Telepon berdering dengan nama Tole Ningrat—teman masa SMA yang kini menjadi pengusaha properti di Surabaya, wajahnya sering muncul di halaman korporasi, tangannya gesit membagi portofolio: residensial, co-working, micro warehouse, hingga boutique hotel.

“Reng, kau di Jakarta terus? Pulanglah sebentar. Ada proyek yang butuh sentuhan edutech-mu. Kita mau bikin kampus mini keterampilan—coding, desain produk, hospitality. Bukan sekadar sertifikat, tapi jembatan kerja.”

Rengga mendengar antusiasme itu seperti mendengar gemerincing masa kecil di pasar tumpah hari Minggu. Namun ia tahu, di balik kata “proyek”, ada benang kusut yang jarang orang mau mengurai: tanah, perizinan, reputasi, stakeholder yang bicara lirih di balik layar.

“Besok aku ke Surabaya,” ujarnya akhirnya. Kalimat itu meluncur tanpa janji, tapi mengantarkan takdir melaju seperti kereta cepat.

.

Kota dengan Dua Lajur

Di pesawat, Rengga membuka deck presentasinya: angka burn rate, customer acquisition, lifetime value. Lalu ia membuka aplikasi catatan, menulis kalimat yang lebih sederhana:

“Pendidikan yang baik bukan hanya membuka jalan, tetapi membuka jendela—agar orang tahu kenapa ia berjalan.”

Ia menatap awan yang berlapis-lapis seperti tumpukan masalah di berkas kantor. Di bawah sana, ada kota lain dengan lajur berbeda: Surabaya yang lebar, lalu-mengalun; jembatan Suramadu yang seperti garis lurus memanggil pulang ke seberang.

Sesampainya di bandara, Rengga dijemput mobil hitam mengkilap. Tole duduk di belakang, kemeja tanpa dasi, wajahnya seperti orang yang telah belajar tersenyum di bawah tekanan.

“Kau kurusan,” komentar Tole.
“Kalau tim growth dikejar target, pipi ikut menyusut,” jawab Rengga, tertawa.

Mereka melaju melewati deretan pohon peneduh dan baliho. Tole bercerita tentang proyek Kampus Ketrampilan Ningrat—sebidang lahan bekas gudang yang hendak diubah menjadi ruang belajar modern: maker space, dapur latihan culinary, studio desain, kelas customer experience. Model bisnisnya memadukan beasiswa industri, uang kuliah terjangkau, dan komitmen penempatan kerja. Di sebelahnya, Tole ingin membangun co-living untuk siswa luar kota—murah, aman, dengan ruang ibadah dan perpustakaan kecil.

“Aku ingin yang belajar di sini bisa dipekerjakan di hotel, startup, pabrik, design house, bahkan restoran keluarga. Yang penting bukan gelar, tapi keterampilan.”

Rengga mengangguk. Itu sejalan dengan edutech yang ia bangun di Jakarta: platform mentor yang menghubungkan profesional aktif dengan siswa—bukan sekadar video rekaman, tapi pengalaman proyek nyata.

Namun ia juga tahu, ide mulia tak selalu bebas dari kepentingan.

.

Rengganis dan Ibu-ibu yang Tahan Lama

Malam hari, Rengga menumpang tidur di rumah ibunya di Wiyung. Rumah itu tak pernah mewah, tapi selalu rapi. Di meja makan, ibu menyajikan sayur asem, ikan bakar, sambal terasi, dan irisan mangga muda. Aroma rumah sungguh kuno, mengusir penat presentasi.

“Rengga,” kata ibunya, “aku membaca berita tentang proyek Tole. Banyak yang duduk di meja, sedikit yang berdiri di lapangan. Kau hati-hati. Ingat, kaca yang bening dilap pakai kain bersih.”

Rengga tersenyum. Ibu-ibu memang punya bahasa yang bertahan lama karena ia bicara tidak untuk pamer pintar, melainkan untuk menyelamatkan.

“Ayah bagaimana?”
“Masih bolak-balik Kenjeran. Kapal nelayan sedang peremajaan mesin.”

Sena masuk, membawa bau oli dan garam. “Anak kota, kapan terakhir lihat matahari terbit dari selat?”
“Besok pagi, Yah,” jawab Rengga.

Mereka tertawa. Di meja makan, dunia kembali berlaju pelan, seperti sepeda ontel yang tak terburu-buru tiba.

.

Tanah yang Bicara

Esoknya, Rengga dan Tole meninjau lahan proyek: bekas gudang yang dikelilingi rumah toko. Beberapa tokoh warga hadir: Puger, ketua RT yang punya usaha katering; Laras, pemilik laundry berlangganan siswa kos; Ningrum, pengajar PAUD yang bermimpi punya perpustakaan kampung.

Tole mempresentasikan rencana: bangunan tiga lantai, ruang terbuka di tengah, green roof untuk kebun hidroponik, panel surya untuk listrik sebagian. Program: bootcamp tiga bulan, kelas intensif enam bulan, serta apprenticeship di jaringan usaha Tole dan partner industri.

Puger mengangguk—menghitung peluang katering harian. Laras tersenyum—membayangkan cucian seragam. Ningrum bertanya, “Apakah murid dari keluarga sempit bisa sekolah di sini?”

Rengga menatap Tole. Tole menatap Rengga balik.

“Kita siapkan minimal tiga puluh persen kursi beasiswa,” jawab Rengga lantang. “Seleksi berbasis motivasi dan rekomendasi perangkat warga. Sisanya income-sharing agreement—bayar setelah bekerja.”

Tole mengangguk, menambahkan poin soal governance: dana beasiswa disalurkan melalui yayasan, audit tahunan oleh firma independen, rapat terbuka warga tiap semester. Rencana itu tampak rapi, seakan semua sudah diatur untuk berjalan.

Namun sore itu, kabar menyusul: sebagian lahan ternyata berstatus sengketa lama. Ada ahli waris di Madura yang tiba-tiba muncul, memegang selembar fotokopi peta tanah berstempel kabur.

Tole menatap Rengga. “Inilah bagian yang selalu tidak masuk pitch deck,” katanya getir.

.

Kelas di Pasar Malam

Sementara tim hukum mengurai masalah, Rengga memutuskan tetap menjalankan “kelas pembuka” tanpa gedung: meminjam balai RW, teras masjid saat tidak dipakai, bahkan sudut pasar malam setelah pedagang gulung tikar. Ia mengumpulkan mentor—teman-teman yang sibuk tetapi bersedia menyumbang waktu: Ratri manajer hotel yang pulang pukul sebelas tapi mau mengajar front office etiquette; Abim product manager yang menjelaskan customer journey dengan diagram di papan tulis yang mudah dihapus; Ken Aji juru masak yang mengajari teknik potong bawang tanpa menangis.

Kelas-kelas itu seperti lampu-lampu kecil di gubuk; tak terang, tetapi mengusir gelap. Siswa-siswa datang dengan sepeda motor cicilan, dengan seragam pabrik, dengan tas selempang yang nyaris putus. Ada yang lulusan SMA, ada yang putus kuliah, ada ibu muda yang ingin kerja paruh waktu.

Pada suatu malam, Rengga menutup kelas dengan sebuah kalimat yang membuat hening lebih lama dari biasanya:

“Kalian tidak menjadi berharga karena diterima perusahaan. Kalian diterima perusahaan karena sudah berharga.”

Seusai kelas, seorang pemuda bernama Wirya mendekatinya. Ia bekerja sebagai bellman hotel bintang empat, jam kerja bergeser, gaji pas-pasan. “Mbak, apakah benar saya bisa pindah ke guest relations kalau belajar cukup?”
“Bisa. Kita latih bahasa, problem solving, dan soft skills. Tapi lebih dulu kamu belajar sabar—karena yang sabar tahu kapan harus menunggu dan kapan harus melompat.”

Wirya tertawa—mata berkaca—seakan kata-kata itu membukakan pintu yang selama ini hanya ia intip dari celah.

.

Arisan Rasa Bersalah

Seiring kelas berjalan, rumor juga berjalan: ada pejabat yang meminta “biaya koordinasi”, ada broker tanah yang menawarkan “jalan cepat”. Tole, yang terbiasa bernegosiasi di perbatasan abu-abu bisnis properti, mengajak Rengga bicara di kafe, suara musik menutupi kegelisahan.

“Reng, kalau kita menunggu hasil putusan, bisa dua tahun. Kalau kita ‘bantu percepat’, tiga bulan sudah ada serah terima.”
“Kau tahu jawabanku,” ujar Rengga.
“Ya, aku tahu. Tapi aku juga tahu seribu anak yang menunggu tiga bulan itu.”

Hening menetes seperti kopi hitam di gelas.

“Baiklah,” kata Rengga. “Kita pilih jalan yang membuat kita bisa tidur. Kalau lama, kita cari sementara tempat sewa. Pernah kau dengar istilah minimum viable campus? Kita bisa mulai tanpa gedung milik sendiri, asal kurikulum hidup.”

Tole memandangi Rengga lama-lama. “Kau benar-benar orang yang sulit diajak kompromi dengan kesalahan.”
“Bukan sulit kompromi,” jawab Rengga, “tapi takut menjadi ahli beralasan.”

.

Jembatan yang Menyala

Tole mengajak Rengga menyeberang ke Madura malam hari. Dari jembatan, lampu-lampu kota memantul di air, seperti kalung yang tak habis-habis. Mereka mengunjungi rumah tua keluarga ahli waris tanah: tembok kapur, lantai ubin motif bunga, aroma kayu jati yang lembap. Seorang lelaki paruh baya, Satria Puger, menyambut dengan tatapan waspada.

Tole mempresentasikan rencana: bukan hanya gedung, tetapi beasiswa bagi anak-anak Madura, program pelatihan untuk frontliner pariwisata Bangkalan–Sumenep, dan akses kerja di jaringan hotel kawannya. Ia tidak menyentuh soal harga tanah. Ia menyentuh soal nilai.

“Anak-anak kami mencari kerja ke kota,” jawab Puger. “Pulang, bawa gaji, tapi tak bawa ilmu. Kalau proyek kalian bisa pulangkan ilmu, bukan sekadar uang, aku akan ikut menyiapkan jalan.”

Pembicaraan panjang. Kopi berganti teh, pisang goreng berganti rengginang. Di ujung malam, mereka sepakat: keluarga Puger bersedia berdamai dengan keluarga lain; lahan akan dijual lalu dialihkan sebagian untuk endowment beasiswa. Penandatanganan menunggu notaris. Tapi setidaknya, malam itu jembatan tidak hanya menghubungkan pulau, melainkan niat.

Di mobil, Tole menoleh pada Rengga. “Mengapa tadi kau tidak bicara banyak?”
“Karena ada kata yang hanya nyampe kalau diucapkan oleh yang rightful. Kau punya akar di properti, aku punya akar di pendidikan. Dua akar nggak bertengkar; mereka saling menahan tanah agar tidak longsor.”

Tole tertawa kecil. “Kau masih Rengga yang dulu, ya: bening tapi tidak dingin.”
“Dan kau masih Tole yang dulu: gerak cepat, tapi kali ini, setirnya lebih halus.”

.

Di Balik Panggung

Kabar kolaborasi tersebar cepat, seperti kabar diskon midnight sale. Media lokal menulis, influencer memuji, dan ada juga yang sinis: “Proyek pencitraan”; “Sekolah kilat pencetak buruh hotel.” Rengga memilih diam. Dalam hati, ia mengulang kalimat yang sudah menemaninya sejak lama:

“Kita tidak dikendalikan oleh komentar orang lain, kecuali kita memberi setirnya.”

Yang membuatnya justru gentar adalah pesan dari Aruna—mantan mitra kerjanya di Jakarta, yang dulu memilih jalan lain.
“Dengar-dengar kau buat kampus keterampilan? Selamat. Kalau butuh sponsor dari korporasi besarku, hubungi aku.”

Kalimat itu terdengar baik, namun di telinga Rengga ia bagai pintu raksasa yang tiba-tiba dibuka lagi. Pernah, ia meninggalkan Aruna karena merasa dikerdilkan, suaranya kecil di ruang rapat yang seharusnya adil. Memori itu belum selesai.

Tole mengamati gurat di kening Rengga. “Kalau terasa tidak sehat, jangan diambil. Kita tahu rasa makanan bahkan sebelum mencicipi kuah.”

Rengga menghela napas. “Kau benar. Tapi aku juga belajar: tidak semua masa lalu perlu dihindari. Kadang, ia cuma minta disapa tanpa harus diajak duduk.”

Ia mengirim balasan singkat ke Aruna: “Terima kasih untuk tawaranmu. Kalau kelak ada kelas executive mentorship, kuhubungi. Untuk saat ini, izinkan kami membuktikan diri dari tanah.”

Aruna membalas dengan emoji jempol. Kadang, tepatnya di usia-usia yang makin matang, closure tidak berbentuk pelukan. Ia berbentuk kalimat ringkas yang tidak menggandeng lelah.

.

Hari Pertama yang Tidak Sempurna

Enam bulan kemudian, Kampus Ningrat dibuka di gedung sewaan: tiga lantai bekas gedung kursus bahasa yang hampir bangkrut. Cat dinding diperbarui, meja kursi dipinjam dari yayasan, router internet dipasang di setiap sudut. Ada spanduk sederhana: “Belajar bukan untuk pamer lulus, melainkan untuk pantas dipercaya.”

Hari pertama, listrik padam dua kali, proyektor mendadak hang, dan guru tamu terlambat karena ban mobil pecah. Rengga memimpin kelas darurat di selasar: ia mengajak siswa berdiri, menutup mata, membayangkan pelanggan pertama yang akan mereka layani tiga bulan lagi—tamu hotel yang kelelahan, pembeli e-commerce yang bingung, pasien klinik kecantikan yang gelisah.

“Kalian akan menjadi wajah pertama yang mereka lihat. Mereka tidak ingat semua kata kalian, tapi mengingat rasa ketika kalian menyambut.”

Sore itu, Wirya—si bellman—menjadi ketua kelas. Ia mengatur jadwal piket, memimpin refleksi harian. Pada satu sesi, ia berkata: “Saya dulu merasa pekerjaan saya cuma mengangkat koper. Sekarang saya mengerti, saya sebenarnya mengangkat beban orang; ketika koper mereka sampai di kamar dengan selamat, sedikit beban di hati mereka ikut diletakkan.”

Tepuk tangan. Beberapa menunduk, menyeka mata—mengharubiru yang datang bukan dari melodrama, melainkan dari kalimat jujur yang bertemu pengalaman.

.

Rupa-rupa Jalan Menjadi Baik

Di semester kedua, Kampus Ningrat meluncurkan program dual-track. Pagi untuk skill-based learning, malam untuk entrepreneurship. Kelas memasak memproduksi frozen food sehat; kelas desain produk bekerja sama dengan UMKM pengrajin kulit dari Tanggulangin; kelas hospitality magang di hotel-hotel jaringan Surabaya–Malang.

Tole, yang tak pernah bisa diam, membuka co-working di lantai dasar dan menawarkan equity kecil bagi siswa yang berani mencoba usaha. Rengga bermitra dengan platform edutech miliknya di Jakarta untuk menyediakan mentor jarak jauh setiap Rabu malam.

Tiap akhir bulan, mereka mengadakan Open House: orang tua boleh datang, calon employer boleh mengintip, tetangga boleh mencoba produk frozen food dan menimbang kain goodie bag desain siswa. Di Open House ketiga, ibu Rengga datang membawa kue cucur. Ia berdiri di samping meja pendaftaran sambil membagikan kue kepada siapa pun yang tampak gugup.

“Rasa manis selalu membantu membuka obrolan,” katanya. Rengga pikir, mungkin sebagian metode customer experience paling efektif tercipta di meja makan keluarga, bukan di ruang rapat korporasi.

.

Ujian Terbesar

Ketika semua seolah membaik, badai selalu punya cara mendarat. Audit yayasan menunjukkan selisih kecil pada laporan beasiswa—bukan angka besar, tetapi cukup untuk menjatuhkan reputasi. Seorang volunteer keuangan ternyata memindahkan sebagian dana untuk menutupi hutang pribadinya, berjanji mengembalikan, namun ketahuan telat. Berita bocor ke media, komentar meluncur seperti peluru karet: tidak mematikan, tapi memar.

Rengga mengumpulkan tim. “Kita tidak menutupi. Kita umumkan. Kita minta maaf, kita hitung ulang, kita kembalikan tepat waktu. Dan kita perketat sistem.”
Tole menambahkan, “Biarkan saya menutup kekurangan secara pribadi. Bukan untuk jadi pahlawan, tapi agar anak-anak tidak menanggung malu orang dewasa.”

Mereka menggelar konferensi pers kecil di aula. Rengga bicara jernih—bukan membela, bukan menyalahkan, tapi menjelaskan. Media mencatat; sebagian netizen tetap sinis; sebagian lain—terutama orang tua siswa—datang membawa makanan, menepuk punggung, berkata: “Terlalu banyak lembaga sembunyi. Kalian berani terang.”

Malam itu, di balkon kantor, Rengga menatap kota. Napasnya berat, tapi ada juga lega liar. Ia menulis:

“Kepercayaan lahir bukan dari bebas salah, melainkan dari cara kita berdiri setelah salah.”

.

Surat untuk Diri Sendiri di Usia Tiga Puluh Lima

Pada ulang tahunnya yang ke-35, Rengga memberi hadiah untuk diri sendiri: satu jam di tepi pantai Kenjeran saat subuh. Ombak datar, warna langit beralih dari nila ke jeruk. Ia menulis surat—bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan:

“Rengga, jika kau nanti letih, ingatlah bahwa menjadi berarti bukan soal ramai dipuji, melainkan tetap mampu berbuat baik saat tak ada yang memotret.

Jika kau kembali diabaikan, ingatlah bahwa kau pernah tahu rasanya—dan tetap memilih melangkah, bukan membalas.

Jika suatu hari Kampus Ningrat berdiri di tanah milik sendiri, jangan lupa menyisakan satu bangku kosong di setiap kelas—untuk orang yang hari itu tidak sempat mendaftar karena sedang menolong ibunya berjualan.”

Surat itu ia lipat, dimasukkan ke botol kecil, lalu ia kubur di halaman rumah ibunya, di bawah pohon belimbing. Ia ingin suatu hari menemukannya kembali—bukan kebetulan, tapi karena ia sengaja menanam.

.

Bahagia yang Tidak Tiba-tiba

Dua tahun kemudian, gedung permanen akhirnya diresmikan. Panel surya memantulkan matahari, kebun hidroponik berwarna emerald, dan perpustakaan kecil Ningrum berdiri di lantai dua, jendela kaca menghadap halaman. Di aula, spanduk bertuliskan: “Wisuda Pertama: Pulang Bawa Keterampilan.”

Wirya, si bellman, kini berdiri di podium sebagai Guest Relations Supervisor hotel bintang lima. Ia menyampaikan pidato, suaranya bergetar pelan: “Saya dulu belajar mengangkat koper. Di sini saya belajar meletakkan ego. Ketika seorang tamu marah-marah, saya mengingat kelas Mbak Rengga: ‘Orang marah karena keinginannya tidak ketemu kenyataan. Tugas kita bukan melawan, tetapi menemani mereka menyebrang dari ingin ke mungkin.’”

Rengga menatap barisan kursi: orang tua dengan kebaya sederhana, ayah yang mengenakan batik lama, wajah-wajah muda yang memegang ijazah sambil menahan air mata. Tole berdiri di sampingnya, berbisik: “Kau pernah bertanya apakah kebahagiaan datang dengan cepat. Ternyata jawabannya tidak. Ia berjalan kaki, mampir, dan menengok, sebelum duduk lama-lama.”

Di akhir acara, mereka menyalakan lampu-lampu kecil di halaman—satu lampu untuk satu nama donatur, satu lampu untuk satu guru, satu lampu untuk satu siswa. Kota ikut senja. Di langit, helikopter kecil berputar pelan.

.

Jati Diri yang Tidak Disewakan

Malam itu, Rengga menerima pesan dari Aruna lagi.
“Aku hadir diam-diam di wisudamu. Maaf tidak menyapa. Aku belajar banyak hari ini.”

Rengga mengetik, menghapus, mengetik lagi. Lalu memilih kalimat pendek:
“Terima kasih sudah datang. Kita semua murid dari hari ini.”

Ia menutup ponsel, berjalan menyusuri koridor yang masih bau cat. Di dinding, ada tulisan tangan siswa yang ditandatangani bersama:

“Kami ingin menjadi orang yang membuat orang lain tidak menyerah.”

Rengga tersenyum. Dalam hidup, ia tahu, kita kadang dibenci, kadang disukai; kadang dicari, kadang diabaikan; kadang diperlukan, kadang dilupakan. Semua itu wajar. Yang tidak wajar adalah kehilangan jati diri hanya karena ingin disukai lebih cepat.

Di halaman, lampu-lampu masih menyala. Ia berdiri di tengah, menengadah. Angin malam membawa suara jauh dari selat—sebuah doa tanpa bahasa, tetapi ia mengerti.

.

.

.

Malang, 10 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #CeritaUrban #Rengganis #ToleNingrat #Edutech #Hospitality #Integritas #SelfLeadership #Surabaya #Jakarta

.

Kutipan Pilihan  dalam naskah

  1. “Kalian tidak menjadi berharga karena diterima perusahaan. Kalian diterima perusahaan karena sudah berharga.”

  2. “Kepercayaan lahir bukan dari bebas salah, melainkan dari cara kita berdiri setelah salah.”

  3. “Tidak semua masa lalu perlu diajak duduk. Kadang, ia cukup disapa lalu dilepas.”

  4. “Bahagia tidak datang cepat; ia berjalan kaki, mampir, dan menengok, sebelum duduk lama-lama.”

Leave a Reply