Belajar Menjadi Obat Meski Pernah Jadi Luka
“Dalam hidup, kita bergantian menjadi luka dan obat. Ketika giliranmu menjadi luka, belajarlah. Ketika giliranmu menjadi obat, jangan sombong—sembuhkanlah.”
.
Hujan sore itu seperti tipis kain organza yang ditarik angin dari atap-atap rumah mewah di bilangan Dharmawangsa. Lampu-lampu taman di halaman rumah Hamzah baru saja menyala ketika mobil listrik berwarna grafit itu berhenti. Pintu terbuka pelan, menyingkap wajah Retna yang pucat. Ia menatap pagar besi dengan lambang huruf “H” yang diguratkan minimalis, simbol yang mereka rancang tujuh tahun lalu—ketika cinta masih seperti sabun cuci piring yang tanpa henti menghapus lemak masalah.
Hamzah tak langsung menyadari kedatangannya. Di ruang kerja, ia menatap layar berisi rapat daring dengan tim konsultan strateginya: Jayeng, Anjas, dan Laksmi. Di pojok layar, grafik naik-turun dari startup healthtech yang sedang mereka exit ke grup rumah sakit nasional berkedip seirama notifikasi. “Kita harus pilih: valuasi turun sedikit tapi aman, atau naik namun ada earn-out dua tahun,” kata Jayeng. Suaranya datar, tajam, seperti pisau koki Jepang.
“Ambil yang aman,” jawab Hamzah. “Aku tak lagi percaya pada janji yang butuh dua musim untuk ditepati.”
Ia menutup rapat dengan click yang dingin. Di luar, suara sepatu Retna menapaki batu koral halaman, rapih dan berhitung: satu, dua, tiga—seperti ritme napas meditasi. Ia memeluk tas kerja, folder presentasi kampanye literasi finansial yang barusan ia bawakan di sebuah universitas swasta. Sejak setahun terakhir, Retna melatih mahasiswa-mahasiswi tentang kelincahan ekonomi rumah tangga, tentang biaya darurat, tentang bedanya utang produktif dan utang untuk mengejar hidup orang lain.
Ketika pintu dibuka, wangi kayu manis dari diffuser menyapa. Wangi yang dulu mereka pilih bersama saat Retna berkata, “Aku ingin rumah yang menenangkan, bukan yang membuat kita berlomba menjadi orang lain.”
Hamzah muncul di ambang tangga. Mereka saling tatap, sebentar seperti pukulan kecil pada dada. Retna meletakkan tasnya, menyibak rambut yang menempel di pelipis. “Kita perlu bicara,” katanya. Kalimat yang selalu berarti bencana.
.
Mereka bertemu tujuh tahun lalu di sebuah pameran desain sosial. Hamzah, anak pasangan pengusaha kos-kosan elite di Surabaya, baru saja menutup seri pendanaan pertamanya untuk aplikasi konsultasi psikologi berbasis pesan. Retna, putri seorang guru Biologi di Sumenep dan pedagang kain di Pamekasan, sedang menyelesaikan S2 komunikasi strategis, sambil merintis program pemberdayaan perempuan rantau. Di stand Jayeng Creative Lab itu, Hamzah berdiri di depan poster bertuliskan: “Kesehatan mental bukan gaya hidup—ini fondasi.”
Retna mendekat, mengamati. “Fondasi rumah tidak selalu terlihat, tapi kalau retak, semua dinding akan bercerita,” katanya.
Kalimat itu menancap di kepala Hamzah seperti paku beton. Besoknya, ia mengajak Retna minum kopi. Seminggu kemudian, mereka mulai menandai peta Jakarta: titik-titik kecil tempat mereka menitipkan kebaikan—beasiswa anak perawat, kelas seni untuk sopir ojek, perpustakaan mini di gang-gang padat.
Namun hidup, seperti yang ditulis di buku pegangan retorika leluhur Madura, tidak pernah berjalan lurus. Ada gelombang yang memaksa perahu keluar jalur. Ada angin yang terlihat seperti restu, padahal ujian.
.
“Retna,” kata Hamzah sore itu, “aku menerima penawaran Kelaswara Capital. Exit cepat. Kita bisa fokus ke yayasan yang sempat kita tunda.”
Retna mengangguk, setengah hati. “Selamat,” katanya, meski suaranya tidak berselamat. “Tapi… ada yang lebih penting.”
Hamzah menunggu, dengan insting problem solver yang siap mengeluarkan solusi, angka, skema. Retna menatap lantai, mengambil napas. “Aku bertemu dengan Saka.”
Nama yang meledak di dada Hamzah seperti petasan di gang sempit. Saka: sahabat Retna sejak SMA, arsitek lanskap yang sekarang menangani proyek CSR besar di Bromo. “Kita—aku dan dia—pernah meluangkan ruang terlalu lama.” Retna memilih kata-kata itu dengan hati-hati, seperti memilih jarum halus untuk menambal baju batik kesayangan.
Hening. Hujan di luar merapat seperti tirai. Hamzah menarik napas dalam-dalam, merasakan ketusuk pada lapisan harga diri yang selama ini ia jaga dengan logika.
“Sejauh apa?” tanyanya, lurus.
Retna mengatupkan bibir. “Sejauh seseorang yang lupa bahwa di kepalanya ada kompas. Sejauh seseorang yang mengira kesepian dapat disembuhkan dengan cermin baru.”
“Mencium?” tanya Hamzah, dingin.
“Tidak,” jawab Retna, cepat. “Tapi cukup untuk merusak arah.”
Hamzah berjalan ke jendela, memandangi pohon pule. “Aku salah di mana?”
Pertanyaan yang terdengar heroik, padahal mengandung racun. Karena ketika orang bertanya “Aku salah di mana?”, ia sedang siap menulis daftar kesalahan orang lain.
Retna mengerti. “Kita berdua,” katanya. “Kau terlalu percaya pada formula, aku terlalu percaya pada rasa. Kau mengira bisa mengatur hidup seperti term sheet; aku mengira bisa menyelamatkan orang lain tanpa menyelamatkan diriku. Kadang kita melukai, kadang kita terluka.”
Hamzah menutup mata. Di kepalanya, potongan masa lalu berkelebat: malam-malam Rabu yang ia tinggalkan Retna demi pitching; acara keluarga Retna yang ia lupa datang; chat Retna yang dijawab dengan “nanti” terlalu sering. Ia selalu merasa membangun sesuatu untuk mereka berdua, tetapi lupa bahwa yang paling dibutuhkan Retna adalah kehadiran, bukan presentasi.
“Lantas?” suara Hamzah serak.
“Aku minta kita berhenti jadi orang lain,” kata Retna. “Belajar, memaafkan, tumbuh. Aku siap memulai terapi pasangan. Tapi kalau kau memilih marah, aku mengerti.”
Hamzah tertawa pendek, pahit. “Marah itu gampang,” katanya. “Sulitnya adalah menyiapkan rumah untuk kedatangan kesadaran.”
.
Terapi pasangan dimulai minggu berikutnya. Konselor mereka, Laksmi—yang dulu sering menjadi fasilitator untuk program-program advokasi—menyusun sesi dengan disiplin. Sesi perdana dimulai dengan tugas sederhana: masing-masing menulis timeline luka dan tumbuh.
Hamzah menulis rapi, seperti daftar tugas harian:
-
2018: Ayah jatuh sakit, aku memikul usaha keluarga sambil merintis startup. Belajar menjadi dua orang.
-
2019: Menikah dengan Retna. Bahagia, tetapi di kepala sudah menyalakan empat proyek baru.
-
2020: Pandemi. Usaha keluarga nyaris kolaps. Aku bekerja 16 jam/hari. Retna membuka kelas daring gratis untuk ibu-ibu; aku jarang hadir.
-
2021: Kau menangis di dapur, aku memilih presentasi.
-
2022: Exit pertama gagal. Aku keras kepada tim. Kau menyebutku “Hamzah yang tak mengenal hujan”.
-
2023: Kita mulai tidur di kamar terpisah.
-
2024: Aku mendengar kabar Saka. Aku lelah marah pada dunia.
Retna menulis dengan kalimat-kalimat yang bernafas:
-
Aku rindu ibu, tapi malu mengatakan.
-
Aku menyemai bunga di balkon sendirian, berharap kau pulang sebelum mekar.
-
Aku menjadi pembicara tentang keuangan keluarga, sementara keuanganku denganmu malah sunyi dari percakapan.
-
Aku mengira kesepian itu bisa dihibur dengan perhatian orang lain. Ternyata kesepian adalah cermin yang memantulkan wajahku sendiri.
Dalam sesi kedua, Laksmi meminta mereka membaca tulisan masing-masing dan hanya menanggapi dengan satu kalimat: “Aku mendengarmu.” Tanpa memberikan solusi. Tanpa menawar. Di situ, Hamzah menyadari betapa jarangnya ia memberi ruang tanpa tagihan hasil. Ia terbiasa dengan angka, rencana aksi, milestone. Ia lupa bahwa fragmen paling manusiawi justru tidak bisa ditawar seperti valuasi.
Setelah sesi itu, kebiasaan-kebiasaan kecil lahir kembali. Mereka sarapan tanpa gawai, membaca koran Minggu: halaman ekonomi untuk Hamzah, halaman kebudayaan untuk Retna. Setiap Selasa sore, mereka berkunjung ke perpustakaan mini yang dulu mereka inisiasi di Cipete. Anak-anak menyambut, beberapa memanggil Retna “Bu Ret”, meski tanpa gelar. Hamzah mengajar coding sederhana. Retna mengajar mencatat pengeluaran harian. Jayeng sesekali datang membawa proyektor, memutar film pendek buatan komunitas.
Mereka berteman kembali dengan keseharian. Tetapi luka adalah kertas yang dihapus. Bekasnya tetap ada. Lalu datanglah sebuah malam yang membuat semua garis samar tampak lagi.
.
Hamzah sedang memeriksa cap table ketika pesan dari Kelaswara Capital masuk: “Ada perubahan minor dalam pasal non-compete, mohon cek.” Minor—kata yang sering menyembunyikan mayor. Hamzah mendongak, memanggil Anjas lewat telepon. Mereka diskusi panjang; ada pasal yang membuat Hamzah tak bisa membangun platform sosial selama empat tahun. “Ini membunuh impian kita,” katanya pada Retna. “Yayasan akan lemah.”
Retna memegang tangannya. “Kau selalu punya jalan lain. Tapi jangan lupa, jalan keluar tidak selalu berada di layar.”
Ketika diskusi memanas, bel rumah berbunyi. Retna membuka pintu. Saka berdiri di ambang, basah kuyup, membawa sebuah tabung blueprint. Di belakangnya, hujan seperti tirai panggung yang menurunkan adegan baru. “Maaf,” katanya, gugup. “Aku baru dari bandara. Ada proyek konservasi yang perlu kalian lihat. Kurasa ini bisa jadi bagian yayasan. Aku… aku harus mengembalikan kepercayaan.”
Hamzah menghitung jeda satu, dua, tiga. “Masuklah,” katanya akhirnya. Retna menatapnya, terkejut. “Aku tidak ingin hidup di rumah yang menolak kesempatan baik karena takut pada masa lalu,” Hamzah melanjutkan. “Silakan tunjukkan.”
Di meja makan, Saka membentangkan gambar: rancangan taman kota di pesisir utara Jakarta yang memadukan area resapan air, kebun pangan, dan ruang membaca publik. Ia bercerita tentang komunitas pesisir yang kehilangan mata pencaharian karena reklamasi dan banjir rob. “Aku ingin proyek ini tidak hanya jadi ruang indah, tetapi juga kurikulum hidup: anak-anak belajar menanam, orang dewasa belajar mencatat keuangan, semuanya belajar saling menguatkan,” katanya. “Aku butuh mitra yang mengerti narasi dan data. Kalian.”
Hamzah menatap garis-garis pada kertas itu. Di sana, ia melihat hal yang dulu membuatnya jatuh cinta pada Retna: kerja yang bukan sekadar amal, melainkan sistem yang memuliakan. Tanpa sadar, ia mengangguk. “Kita bisa menyusun model bisnis sosialnya,” katanya. “Dengan carbon credit dari vegetasi mangrove, plus program literasi finansial. Yayasan kita menjadi ruang transisi.”
Malam itu, mereka bertiga menyusun rencana. Ada peta pemangku kepentingan, daftar sponsor, jadwal pelatihan. Hujan mereda. Dalam diri Hamzah, amarah pun. Bukan karena Saka sempurna, melainkan karena ia memilih menjadi bagian dari penyembuhan, bukan perpanjangan luka.
.
Tiga bulan berlalu. Dunia berjalan pelan dan tegas. Negosiasi dengan Kelaswara Capital berakhir dengan kompromi: pasal non-compete disederhanakan; Hamzah boleh mengelola yayasan dengan fokus pada pendidikan dan lingkungan, selama tidak membangun platform komersial serupa. Exit terjadi, angka masuk ke rekening, lalu sebagian dialihkan ke trust fund yayasan. Jayeng yang tajam menyiapkan pelaporan yang transparan; Anjas memetakan kanal komunikasi; Laksmi—konselor yang kini juga sahabat—membuat modul empathy in leadership untuk relawan muda.
Proyek pesisir mereka diluncurkan di aula kecamatan yang dipinjam cuma-cuma. Para ibu membawa kue apem; bapak-bapak membawa cerita tentang masa kecil yang berenang di air sungai yang dulu masih jernih. Retna membuka acara dengan suara yang bergetar namun pasti. “Hidup adalah perjalanan belajar tanpa akhir,” katanya, mengutip catatan kecil yang dulu ia tempel di kulkas rumah. “Kadang kita melukai, kadang kita terluka. Tapi hidup bukan tentang sempurna; melainkan tentang belajar, memaafkan, dan tumbuh.”
Hamzah berdiri di belakang panggung, menatap. Di barisan kursi depan, Saka menunduk. Dalam dirinya, rasa bersalah bukan lagi batu yang mengikat, melainkan telaga tempat ia bercermin. Seusai acara, ia menghampiri Hamzah. “Terima kasih,” katanya lirih. “Kau memilih ruang yang luas untuk kita semua.”
Hamzah menepuk bahunya. “Jangan berterima kasih. Bekerjalah baik-baik. Karena maaf tanpa kerja hanyalah udara yang lewat.”
Mereka tertawa kecil. Di luar, anak-anak menanam bibit mangrove, tangan-tangan kecil menekan tanah berlumpur. Retna mengajar mencatat pemasukan warung dengan cara sederhana: empat kotak di buku tulis—modal, belanja, penjualan, sisa. Jayeng memotret, Anjas mengunggah, Laksmi memfasilitasi diskusi tentang harapan. Di sudut aula, poster besar terpampang: “Teruslah rendah hati, jadilah pemaaf, dan jangan berhenti memperbaiki diri.”
.
Namun setiap perbaikan akan diuji. Ujian datang ketika media nasional menyorot proyek mereka dan, seperti kita tahu, sorotan adalah senter yang juga bisa mencari-cari gosip. Sebuah akun anonim di X menulis: “Proyek ini hanya cara Haluan Group—perusahaan Kelaswara—mencuci nama. Hamzah, sang mantan founder yang exit, kini menjadi boneka CSR.” Kata-kata liar menyambar seperti petasan di halaman. Trending satu malam. Inbox penuh. Sponsor ragu.
Hamzah menahan napas. Di masa lalu, ia akan menulis thread panjang membantah. Kini, ia memilih diam, lalu bekerja lebih keras. “Kita jawab dengan transparansi,” katanya pada tim. Mereka mengunggah laporan keuangan yayasan, mengundang jurnalis lokal untuk kunjungan lapangan, mewawancarai ibu-ibu yang kini punya tabungan kelompok, menampilkan data rob yang menurun di RT tertentu karena vegetasi. Mereka mengadakan kelas literasi media untuk remaja pesisir, mengajak mereka memeriksa fakta sebelum membagi kabar.
Dan karena hidup adil dengan caranya sendiri, seminggu kemudian sebuah artikel panjang di harian nasional terbit: “Dari Luka ke Telaga: Bagaimana Sebuah Yayasan Mengajari Kota untuk Menyembuhkan.” Tulisan itu tak menyebut gosip. Ia bercerita tentang cara tim kecil merawat ruang bersama, menyusun modul, mengukur dampak.
Malamnya, di beranda rumah, Retna membawa dua cangkir teh. Hujan sudah tidak lagi turun. Pohon pule bergeming, dedaunannya seperti payung yang tak capek melindungi. “Kau hebat,” kata Retna.
“Tidak,” Hamzah menggeleng. “Kita sedang belajar mengurangi kebutuhan untuk selalu benar.”
Retna menatapnya lama. “Aku minta maaf,” katanya, pelan. “Atas nama aku yang dulu mencari cermin baru, bukan cahaya.”
Hamzah menarik napas, menahan banjir yang naik dari dada. “Aku juga minta maaf,” jawabnya. “Atas nama aku yang dulu mengira cinta bisa didelegasikan.”
Mereka saling mendekat, bukan sebagai pemenang, bukan pula sebagai pihak bersalah, melainkan sebagai dua manusia yang pulang dengan cara mereka sendiri.
.
Pada upacara kecil ulang tahun kelima yayasan, mereka memutar video dokumenter: kapal-kapal nelayan yang kembali menemukan jalur; sekolah-sekolah yang tidak lagi kebanjiran; anak-anak yang menyebut perpustakaan pesisir sebagai “rumah kedua.” Di akhir video, muncul teks yang Retna tulis, diambil dari catatan gula-gula di buku hariannya:
“Kita tidak selalu benar. Kita tidak selalu salah. Tetapi kita selalu bisa memilih untuk memperbaiki.”
Tepuk tangan pun muncul, rapat, hangat. Saka naik ke panggung, menawarkan program magang bagi mahasiswa arsitektur lanskap untuk merancang taman-taman kota yang memanen air hujan. Jayeng mengumumkan kolaborasi dengan komunitas fotografi untuk mengabadikan perubahan garis pantai. Laksmi mengajak semua orang menuliskan satu kalimat maaf yang ingin mereka berikan pada diri sendiri. Anjas menutup dengan rencana open data sederhana agar siapa pun bisa meneruskan model ini di tempat lain.
Setelah acara bubar, seorang ibu-ibu mendekati Retna. Tangannya pecah-pecah oleh air, tetapi matanya cerah. “Dulu saya kira memaafkan itu seperti memberi diskon pada kesalahan,” katanya. “Sekarang saya mengerti: memaafkan adalah berhenti menagih diri sendiri supaya kita bisa bekerja lagi.”
Retna memeluknya. “Terima kasih telah mengajari kami hal yang sama.”
Ketika malam turun, Hamzah dan Retna berjalan menyusuri trotoar baru yang dibangun sepanjang kanal. Lampu-lampu kuning memantul di air yang lebih tenang. Di kejauhan, anak-anak tertawa. Mereka berhenti di bangku kayu, duduk diam, seperti dua daun yang akhirnya memilih diam di dahan yang sama.
“Apakah kau masih takut?” tanya Retna.
“Takut itu tetap ada,” jawab Hamzah. “Tetapi sekarang, aku tidak sendirian menatapnya.”
Hujan tipis tiba-tiba turun. Mereka tidak berlari. Mereka membiarkan gerimis mengaburkan pinggiran, membuat kota tampak seperti lukisan yang sedang dicuci. Hamzah meraih tangan Retna. “Mari kita pulang,” katanya. “Besok kita harus mengajar kelas pagi.”
Di rumah, diffuser kembali menebar wangi kayu manis. Hamzah membuka laptop, bukan untuk mengejar angka, melainkan menulis lembar kurikulum: Emotional Budgeting—Anggaran Rasa. Di atasnya, ia menuliskan kalimat yang kini menjadi sumpah: “Teruslah rendah hati, jadilah pemaaf, dan jangan berhenti memperbaiki diri.”
Di jendela, hujan mereda. Kota tidur pelan. Di dada dua manusia yang pernah menjadi luka dan obat itu, sesuatu berdenyut—bukan kemenangan, bukan kekalahan—melainkan ketenangan karena berani menjadi manusia seutuhnya.
.
Keesokan paginya, sebelum matahari benar-benar naik, mereka berdua berjalan ke balkon kecil di lantai dua. Retna membawa bibit cabai rawit dalam polibag; Hamzah membawa tanah kompos dari sudut halaman. “Kau tahu,” kata Retna sambil menekan tanah, “aku selalu percaya menanam itu cara paling elegan meminta maaf pada bumi.”
Hamzah tersenyum. “Aku mulai percaya bahwa menanam juga cara paling elegan meminta maaf pada diri sendiri.”
Mereka menaruh bibit-bibit itu di rak besi yang menghadap timur. Cahaya pagi mengusap daun-daun kecil, sementara dari gang belakang terdengar radio tetangga memutar dangdut lawas: “Jangan sakiti hati kecilku…” Mereka tertawa, ringan. Di bawah, dunia menyiapkan macet, rapat, laporan, gosip, tagihan. Tetapi di balkon itu, dua manusia menyiapkan yang lain: cara untuk selalu kembali ke pusat, tempat luka dan obat bisa duduk berdampingan tanpa saling meniadakan.
Hamzah mengambil ponselnya, mengetuk catatan yang diberi judul Kompas Kecil Rumah H:
-
Sarapan tanpa gawai.
-
Sesi “apa kabar sungguh-sungguh” tiga kali seminggu.
-
Kelas gratis sabtu pagi untuk remaja pesisir—rotasi mentor.
-
Satu malam dalam sebulan hanya untuk musik dan membaca puisi.
-
Jika marah, tuliskan dulu.
Ia menunjukkannya pada Retna. “Kita mungkin gagal lagi,” katanya. “Tapi setidaknya kita tahu arah pulang.”
Retna mengangguk, memeluknya dari samping. Di bawah sana, seorang kurir menekan bel; paket donor buku datang. Kucing tetangga berjalan dengan sombongnya di atas pagar. Di langit, awan melambai-lambai seperti saputangan di peron.
Hidup, pikir Hamzah, memang perjalanan belajar tanpa akhir. Kadang kita melukai, kadang kita terluka. Namun selama ada kompas yang dinamai kerendahan hati, selama ada peta yang namanya memaafkan, kita akan selalu menemukan jalan untuk tumbuh. Dan di setiap pertumbuhan, ada seseorang yang menunggu di depan rumah, memegang pintu, siap berkata, “Masuklah. Di sini, kita belajar untuk saling sembuh.”
.
.
.
Jember, 4 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #BelajarMemaafkan #TumbuhBersama #LiterasiFinansial #Filantropi #ArsitekturLanskap #KotaYangSembuh #MenakMaduraAdaptasi