Di Ujung Usia Di Awal Mimpi

“Berhentilah menjadikan usia sebagai dalih berhenti.
Yang menua hanyalah kalender; keberanian bisa lahir kembali setiap pagi.”

.

Hujan baru saja usai di Senopati. Air mengilat di aspal seperti pita perak yang berkibar pelan. Lampu-lampu kafe memantul di kaca, dan dari meja pojok, dunia tampak tak begitu bising. Di sana duduk Samid—mantan bankir yang bertahun-tahun hidup menghafal angka, memelihara target, menandatangani rapat. Pensiun datang seperti pintu otomatis di mal: terbuka, menutup, lalu sunyi yang mengembang.

Di gelasnya tinggal setengah cappuccino. Di ponselnya, undangan reuni, tautan webinar properti, dan pesan anak-anaknya yang sibuk memindahkan kasih sayang ke emotikon. Di dadanya, ada sesuatu yang pernah berkobar, lalu padam perlahan, lalu ia lupa menamai apa.

Pintu kafe berbunyi. Wirawangsa masuk—mantan konglomerat rokok yang belakangan menamai dirinya “investor sosial”. Rambutnya mulai seputih asap, senyumnya hangat, langkahnya pasti. Ia menepuk bahu Samid seperti menepuk debu dari lembar foto lama.

“Kau masih suka duduk di pojok,” begitu sapa pertama. “Orang-orang yang pernah memimpin biasanya memilih sudut. Mereka tak suka kehilangan pandangan.”

Samid terkekeh. “Mantan pemimpin sepertiku lebih sering kehilangan arah.”

Wirawangsa duduk, memesan kopi hitam. “Mid, aku bawa kabar. Aku sedang mendanai kelas-kelas literasi bisnis. Targetku: pekerja kreatif yang gajinya lumayan tapi arus kas pribadinya bocor. Bagian kedua: pekerja purna, seperti kita, agar kembali berguna. Bagian ketiga: ibu-ibu komunitas apartemen—kelas menengah atas yang diam-diam ingin mandiri tanpa berkelahi dengan label.”

“Kau butuh siapa?”

“Kau.”

Samid menatap keluar. Hujan tak lagi turun, tapi bau tanah yang segar memanggil-manggil di ujung ingatan. “Aku sudah usang, Wangsa. Dunia ini punya lari cepat. Aku tertinggal.”

Wirawangsa mencondongkan badan. “Yang tertinggal bukan kaki, Mid. Yang tertinggal rencana. Usia kita bukan rem, hanya spion. Kita tetap maju.”

.

Dua bulan kemudian, sebuah ruangan co-working di Kuningan diubah menjadi kelas. Dindingnya panel kayu terang. Meja-meja berjajar rapi dengan stopkontak yang tak pelit. Di luar, gedung kaca menatap mereka seperti penonton sinetron; di dalam, orang-orang duduk dengan buku catatan, laptop, dan dada yang pori-porinya terbuka.

Ratnasari memulai perkenalan. Ia dosen ekonomi terapan sekaligus pengelola inkubator kampus. Namanya diambil Samid dari tokoh wayang Menak: seorang perempuan yang tak kalah dalam perundingan, teguh dan bertata krama. Rambutnya dikuncir, kemejanya sederhana, suaranya jernih.

“Kelas ini bukan pengajian laba. Ini cerita hidup,” ucapnya. “Yang punya ide, tolong tinggalkan di depan. Yang belum punya ide, tolong bawa pulang konsep. Yang punya rasa takut, tinggalkan di tempatnya. Kita tukar dengan rencana.”

Samid berdiri setelahnya, menatap peserta: manajer pemasaran yang kelelahan, pengacara korporasi yang memimpikan studio fotografi, pasangan suami-istri pemilik salon, ibu apartemen yang ingin membuat brand nutribar, influencer yang ingin berhenti menjadi komoditas algoritma. Kelas menengah ke atas Indonesia—rapi, sibuk, dan rentan terhadap sunyi.

“Aku Samid.” Nafasnya berat tapi mantap. “Kalian melihat bekas bankir. Aku melihat seorang manusia yang menunda hidup dengan alasan bekerja. Mari kita balik: bekerja untuk hidup.”

Ia tak menyangka kalimat itu memulanginya sendiri.

.

Rutinitas baru Samid berdenyut: pagi jogging ringan di taman kota, siang menyiapkan materi, sore bertemu klien-kecil-yang-ingin-besar, malam mengajar. Ratnasari memintanya menjadi mentor inti. “Pak—eh, Mid,” ia membetulkan, karena di kelas mereka sepakat tanpa gelar. “Aku butuh kau di sesi ‘angka yang bisa diajak bicara’. Banyak yang trauma dengan Excel. Kita buat angka menjadi kisah. At any age, orang bisa berdamai dengan angka.”

Bahasa kelas mereka filmis: “arus kas” disebut “sungai”; “margin kotor” disebut “nafas produk”; “biaya tetap” disebut “kursi yang tak boleh kosong”; “biaya variabel” disebut “bumbu yang jangan kebanyakan”. Mereka mengajari cara membaca nota, memetakan pelanggan, menulis kontrak sederhana, dan menolak diskon yang mengaburkan harga diri.

Sementara Wirawangsa mengurus sponsor: perusahaan teknologi, bank digital, komunitas apartemen elit di SCBD. Di salah satu pertemuan, ia mengenalkan Jayengrana—eksekutif perusahaan modal ventura yang elegan. “Aku ingin melihat kelas ini menghasilkan bukan hanya wacana,” kata Jayengrana. “Kami siapkan seed funding, tapi bukan belas kasihan. Pitch deck kalian harus tajam.”

Kelas mendadak seperti kompetisi. Rencana-rencana melonjak di papan: aplikasi konsultasi gizi untuk pekerja kantoran, kafe buku yang menjual keanggotaan bulanan, butik busana kerja modest yang mempekerjakan penjahit rumahan, travel kecil yang fokus pada geo-wisata premium. Di akhir sesi, Ratnasari mengajak mereka berdiri melingkar.

“Kita ini generasi yang diajari mengejar sunrise economy,” ucapnya pelan. “Ternyata kita lebih sering dikejar deadline. Mari usulkan rejeki, bukan menunggu.”

Wajah Samid hangat oleh rasa bangga yang aneh. Pada jam-jam tertentu, matanya bertemu mata Ratnasari. Ada jeda yang terlalu lama untuk disebut kebetulan, terlalu singkat untuk diberi nama.

.

Di rumah, protes datang dari anak-anak Samid yang tinggal di apartemen lain, tak jauh dari Bundaran HI.

“Ayah,” kata anak sulungnya via panggilan video, latar belakangnya dinding bata ekspos. “Kenapa jam segitu Ayah masih mengajar? Kenapa tak ambil saja proyek konsultan yang bayarannya bulanan? Ayah bisa tenang. Kami pun tenang.”

“Tenang itu yang mana?” tanya Samid.

“Yang tak merepotkan.”

Samid terkunci bibir. Setiap mereka menyebut kata “tenang”, ia terasa disuruh meringkuk di lemari. “Ayah tak mencari repot. Ayah mencari alasan bangun pagi.”

Anak bungsunya yang baru menikah menimpali, lembut tapi tajam—seperti ujung sendok. “Aku hanya takut Ayah terlalu berharap dari hal-hal yang tak sepadan. Ayah pernah tinggi. Jangan turun begini. Di usia Ayah, orang tinggal memilih hubungan premium di rumah sakit, bukan halaman presensi di kelas.”

“Aku memilih presensi,” jawab Samid. “Supaya di rumah sakit nanti, aku masih punya nama.”

Mereka diam. Samid mematikan video call, menatap sudut-sudut ruang. Ternyata menopang pendapat anak sendiri kadang lebih berat daripada menopang neraca triwulan.

.

Semester pertama usai, mereka menggelar pameran hasil. Co-working disulap menjadi pasar mini. Booth terisi label-label yang baru lahir: Arunika Granola, Setapak Geo, Kain Sembagi, Sisir Data. Musik akustik mengalun, diffuser melepaskan aroma citrus, dan kamera-kamera ponsel menclok di mana-mana. Kelas menengah atas suka dokumentasi; mereka diajari menjadikan dokumentasi sebagai alat ukur, bukan jaring pujian.

Seorang ibu apartemen mendekati Samid. “Saya Laili. Dulu saya hanya sibuk arisan dan tahlilan. Kini saya punya lima reseller nutribar. Terima kasih, Mid.” Ia menunduk—bukan merendah, melainkan mengukur syukur.

Samid mengangguk. “Terima kasih kembali. Yang bekerja itu bukan jari saya. Jari panjenengan sendiri.”

Ratnasari tersenyum melihatnya. Ia mendekat, menyodorkan gelas air. “Kau hebat, Mid.”

Samid hendak menampik, tapi lembutnya ucapan itu jatuh di tempat paling lengang di dadanya. “Kau tahu,” katanya pelan, “aku takut mati tanpa bekas.”

“Bekas bukan tato,” jawab Ratnasari. “Bekas adalah kebiasaan yang kau titip di hidup orang lain. Itu tak mudah hilang.”

Malam itu, setelah acara beres, mereka berdua naik ke rooftop, memandang Jakarta yang berkilau. “Apa mimpimu?” tanya Ratnasari tiba-tiba.

Samid terdiam lama. “Dulu aku memimpikan rekening tebal. Sekarang aku memimpikan hari panjang. Semakin penat, semakin aku tahu aku masih hidup.”

Ratnasari menatap langit. “Aku memimpikan suami yang tidak panik terhadap waktunya sendiri. Yang menerima bahwa usia bukan dinding.”

Samid tersenyum samar. Ada kalimat yang ingin keluar namun ia tahan di bibir. Mereka menunggu angin. Di bawah, jalan protokol berdenyut seperti nadi kota yang tak mau istirahat.

.

Keberhasilan kelas menimbulkan riak yang tak semua menyenangkan. Di grup keluarga, kakak ipar Samid mengirim tautan berita tentang “kegiatan eks mantan pengusaha rokok” seolah itu peringatan moral. Di kampus, kolega Ratnasari menyindir: “Programmu mirip jualan harapan. Kelas menengah atas itu butuh kepastian, bukan motivasi.”

Ratnasari tersenyum. “Yang kami jual bukan harapan. Yang kami latih ketahanan.”

“Lha hasil nyatanya?”

“Lihat catatan pajak peserta tahun depan.”

Samid menyaksikan perubahan itu dalam hal-hal kecil: di notes para peserta, angka margin dari -8% menjadi +12%; di wajah mereka, lingkar mata berkurang; di rumah mereka, kulkas tak lagi penuh sisa takeaway karena kini mereka menata makan siang; di kartu kredit mereka, transaksi cicilan makin ramping. Ia meyakini peradaban kecil mereka bergeser ke arah yang lebih sehat. Filmnya biasa saja, endingnya bukan pesta; tapi musik latarnya menguat.

Wirawangsa mengajak ekspansi ke Surabaya dan Bandung. Mereka menandatangani kerja sama dengan asosiasi pengembang apartemen. Jayengrana menambah slot pendanaan; syaratnya satu: setiap yang mendapatkan seed funding wajib melatih satu tim baru secara pro bono. “Lingkaran yang menyehatkan harus dipaksakan dulu,” kata Jayengrana.

Di Surabaya, mereka bertemu Adaninggar—arsitek interior yang bosan membuat lobi hotel tampak “instagramable”. Ia ingin membangun studio desain yang memperhitungkan kelelahan pengguna, bukan hanya spot selfie. “Aku tak mau lagi membuat kursi yang cantik tapi tulang punggungnya meratap,” katanya. Samid merekomendasikan metode riset sederhana: mengamati punggung orang, bukan wajahnya. Proyek pertama Adaninggar menang tender ruang baca di apartemen mewah di Graha Family; dindingnya tenang, kursinya tidak memerintah, cahaya jatuh seperti pelukan. Ia menyisihkan 2% pendapatan untuk beasiswa kursus tukang kayu; wiraniaga furniturnya kini hafal anatomi punggung.

Di Bandung, mereka bertemu Umar Madi (dipanggil Umar)—mantan drummer kafe yang membuka coffee roastery kecil. Umar pernah gagal tiga kali; ia selalu berjongkok di depan mesin roasting seperti anak yang dihukum. Samid memintanya menulis prosedur; Ratnasari menghubungkannya dengan komunitas maraton. “Buka kedai jam lima subuh. Sasar pelari. Sediakan loker kecil dan shower sederhana; jual langganan bulanan,” saran Ratnasari. Umar memeluk ide itu. Tahun berikutnya ia membuka cabang kedua; di kasir, tangan-tangan bertulang muncul dengan gelang race.

.

Hubungan Samid dan Ratnasari tumbuh pelan, seperti tanaman yang setia mengikuti matahari. Mereka tak memberi label—di usia begini label sering membuat gaduh. Pada suatu pesta kecil untuk merayakan kelulusan batch ketiga, Ratnasari mengundang Samid menari. Musiknya bukan dangdut, bukan EDM, bukan pula waltz. Hanya gitar akustik dengan tiga chord yang diulang. Mereka bergerak sederhana. Tempatkan tangan di tempat yang aman. Tertawa secukupnya. Melihat secukupnya. Merasakan tak usah diukur.

“Usia membuat tarian jadi rangkuman,” kata Ratnasari sambil duduk lagi. “Tak perlu detil, hanya nuansa.”

Samid memandangnya lama. “Kau mengajariku mengampuni waktu,” ucapnya.

Ratnasari menatap balik. “Kau mengajariku tak bersembunyi di balik gelar.”

.

Suatu pagi yang cerah, Samid mengantar cucunya ke sekolah internasional di bilangan Kemang. Ia menunggu di kafe depan gerbang—dispenser air, aroma croissant, dan orang tua bersepatu putih. Di meja sebelah, dua ibu muda membahas dana pendidikan. “Aku investasi di reksa dana campuran, return lumayan,” ujar satu. “Aku ikut properti fractional, dapat pemasukan sewa,” balas lainnya. Samid tersenyum. Dunia bergerak; kelas menengah ke atas tak lagi sekadar belanja label, mereka menghitung.

Ponselnya bergetar. Pesan dari dokter: hasil laboratorium bagus, kolesterol terkendali. Ia menghela lega. Di usia enam puluh, kabar baik medis seperti festival kecil. Ia mengirimkan hasil itu ke grup kecil: Wirawangsa, Ratnasari, Jayengrana, Umar, Adaninggar. Reaksi mereka bukan stiker “mantap!”, melainkan ajakan makan siang sehat. “Perayaan yang benar adalah rencana makan yang benar,” tulis Ratnasari.

Di restoran salad di Pacific Place, mereka duduk memutar, membahas sirkulasi dana komunitas, rencana kelas kolaboratif dengan inkubator kampus swasta, sampai ide membangun platform edutech sederhana: modul video, template kontrak, kalkulator arus kas, dan kanal mentoring. “Bukan unicorn,” kata Jayengrana, “tapi kuda pekerja. Yang menarik gerobak sampai desa.”

Wirawangsa menatap Samid. “Siap jadi wajahnya?”

“Wajah yang sudah berlipat?”

“Justru itu. Kita butuh lipatan untuk menceritakan peta.”

Samid menunduk, merasa dadanya direguk udara bersih.

.

Konflik datang dari arah yang tak disangka: salah satu peserta kelas, Rengganis—wirausaha kosmetik yang rajin memotret packaging di penthouse—diterpa isu pemutihan kandungan. Produk impor yang ia label ulang tidak sesuai standar. Media sosial bergejolak. “Itu lulusan kelas Samid,” komentar akun anonim. “Mentor mereka mengajar akal-akalan.”

Samid menahan diri. Ia tahu ruang daring tak membutuhkan bukti, hanya kecepatan. Ratnasari menghubungi Rengganis, menuntun audit. Wirawangsa mengerahkan tim advokasi konsumen. Jayengrana memutus akses pendanaan sementara.

Beberapa hari kemudian, konferensi pers kecil digelar. Rengganis menangis, mengakui kelalaian, memaparkan rencana redesign rantai pasok, memanggil ahli keamanan produk. “Aku salah,” katanya. “Aku ingin cepat. Aku lupa aman.” Kalimatnya ringkas—bukan skenario. Samid berdiri di samping, tak memeluk, tak memarahi. Ia hanya menatap seperti menatap anak yang belajar jatuh.

Kelas mereka menghadapi badai reputasi. Dalam rapat komunitas, seseorang berkata: “Mungkin benar, program ini terlalu memberi kepercayaan pada orang yang salah.”

Samid menjawab datar, “Kita tidak memberi kepercayaan. Kita meminjamkannya. Bila rusak, kita perbaiki. Bila gagal, kita belajar. Bila jahat, kita hentikan.”

Sepekan bertahan, dua pekan merapikan, sebulan kemudian Rengganis kembali berjualan—dengan label halal yang valid, pabrik mitra lokal, dan SOP yang ditempel di dinding. Ia menyumbang 10% hasil untuk program edukasi keamanan produk. Komentar pedas berkurang perlahan; bukan karena massa menjadi baik, melainkan karena cerita lain yang lebih keras memanggil. Kota selalu punya gemuruh baru.

Di rapat penutup kasus, Ratnasari menatap Samid panjang. “Kau tidak ingin menyerah, ya?”

“Pada siapa?”

“Pada waktu.”

Samid tertawa kecil. “Waktu cuma air. Kita yang belajar berenang.”

.

Akhir tahun, mereka gelar Festival Ulang di sebuah ballroom hotel di Sudirman—pameran, talkshow, kelas kilat, booth periksa kesehatan, pojok konsultasi pajak, dan panggung pengumuman pendanaan. Dresscode: “nyaman yang sopan”. Musiknya kawan-kawan Umar, aransemen pop yang tidak mengganggu percakapan. Di layar LED, slide bergantian memperlihatkan data: 63 usaha lahir, 41 bertahan, 22 naik kelas. Rata-rata margin membaik, rata-rata jam tidur juga.

Samid memberikan pidato: “Kita sering salah mengira bahwa hidup membesar di awal, mengecil di akhir. Nyatanya, hidup bisa mengembang kapan saja. At any age, kau bisa mengangkat besi, menulis buku, jatuh cinta, membuka usaha, mendaki gunung, dan mencipta dirimu yang baru. Kau tak mati sampai kau benar-benar mati. Jadi, mari bersikap hidup.”

Lampu-lampu panggung memercik lembut. Tepuk tangan merekah. Di barisan depan, anak-anak Samid berdiri. Wajah mereka canggung tapi hangat, seperti orang yang baru menyadari ayahnya bukan legenda yang menolak pensiun, melainkan manusia yang tak berhenti jadi baru. Seusai acara, mereka memeluk Samid.

“Ayah,” ucap anak sulung, “maaf. Kami takut kehilangan, ternyata yang kami hampir kehilangan adalah cara memandang Ayah.”

Anak bungsu menyambung, mata berkaca. “Kalau Ayah perlu investor untuk kelas berikutnya, aku masuk.”

Samid tersenyum, merengkuh keduanya. “Kalian hanya perlu hadir. Sisanya, kita kerjakan.”

Ratnasari mendekat, membawa dua botol air mineral. “Untuk keluarga yang baru saja belajar ulang.”

“Kau bagian dari keluarga ini?” canda Samid.

Ratnasari menatapnya, tidak menepis. “Kalau kau mengizinkan.”

“Usia kita….”

“Bukan dinding,” potong Ratnasari. “Hanya spion.”

Mereka tertawa kecil. Di panggung, Umar menyanyikan lagu penutup. Kata-katanya sederhana, melodinya bersahaja. Orang-orang mengangkat ponsel. Sebagian merekam, sebagian menari pelan, sebagian memilih duduk dan menutup mata—mendengar.

.

Beberapa bulan berselang, kelas-kelas Samid menyebar ke kota-kota lain. Di Makassar, seorang nelayan modern belajar menata kas; di Yogyakarta, seorang kurator seni membuat paket langganan tur galeri; di Medan, seorang chef yang jenuh shift malam membuka dapur pagi untuk pekerja kantor. Platform edutech mereka berjalan dengan server yang tak selalu mulus, modul video dibuat tanpa gaya sinema, tapi isinya jujur dan berguna. “Kuda pekerja,” kata Jayengrana bangga. “Seretan pelan, daya tahan panjang.”

Samid mulai menulis buku—bukan manual bisnis, melainkan cerita tentang orang-orang yang bangun lagi. Ratnasari mengedit; ia menolak kata-kata yang terlalu mewah. “Sastra itu bukan hiasan; ia pisau untuk mengupas alasan,” katanya. Mereka berdebat manis tentang titik koma, menyatukan bab dengan sabar. Wirawangsa mendanai penerbitan tanpa menuntut ROI—“Sudah terlalu banyak yang kusuruh memutihkan gigi,” ujarnya, “kini biarkan aku memutihkan halaman.”

Peluncuran buku dilakukan di perpustakaan kota. Samid membaca sepenggal:

“Aku pernah menyangka hidupmu selesai ketika kalendermu penuh. Ternyata hidupmu selesai ketika kau tak lagi mau membuka kalender.
Jangan berhenti mengukur harimu.”

Orang-orang menyalakan kembali nyala kecil di dada mereka. Bukan letupan kembang api; lebih seperti lampu meja—hangat, dekat, membuat tulisan terlihat.

.

Di suatu senja, Samid dan Ratnasari duduk di taman atap apartemen, memandang Jakarta yang memulas langit dengan oranye. Dari jauh, suara azan menyusup, sirine ambulans lewat, helikopter melintas. Kota ini tak membiarkan satu pun momen menjadi sunyi sepenuhnya.

“Mid,” Ratnasari bergumam, “kalau suatu hari tubuhmu meminta istirahat, apa yang kau takutkan?”

“Lupa.”

“Lupa apa?”

“Lupa bagaimana rasanya memulai.”

Ratnasari menangkup tangannya. “Kalau begitu, ingat ini: kita selalu bisa memulai, bahkan dari kursi.”

Samid menatapnya lama-lama, merasa ada sesuatu yang lebih dalam daripada pernyataan itu—semacam janji. Ia menutup mata, mengucapkan terima kasih dalam hati kepada segala yang pernah jatuh dan bangun di hidupnya. Lalu ia berkata pelan, seperti doa:

“Terima kasih, karena aku masih bisa belajar.”

Matahari tenggelam. Lampu-lampu kembali menyala. Pita perak hujan di Senopati malam itu seakan datang lagi, kali ini tanpa hujan, tanpa kafe, hanya pantulan kota yang memantulkan mereka. Hidup, rupanya, memang tidak mati sampai benar-benar mati. Dan di antara dua titik itu, manusia diberi hak—yang kadang terlambat dipahami—untuk berganti kulit sebanyak yang diperlukan.

.

.

.

Jember, 2 Oktober 2025 (Hari Batik Nasional)

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #UsiaBukanAlasan #KompasMingguStyle #KelasMenengah #BisnisKreatif #Edukasi #MotivasiHidup #UrbanStory #RestartAtAnyAge

.

Kutipan-kutipan dari Cerita

  • “Bekas bukan tato; bekas adalah kebiasaan yang kau titip di hidup orang lain.”

  • “Tenang itu yang mana? Yang tak merepotkan, atau yang membuat kita bangun pagi?”

  • “Usia bukan dinding, hanya spion.”

  • “Kita tidak memberi kepercayaan; kita meminjamkannya. Bila rusak, kita perbaiki.”

  • “At any age, kau tidak mati sampai kau benar-benar mati.”

Leave a Reply