Bayangan di Balik Senyum
“Kebaikan yang tak dipagari nurani mudah menjelma strategi; dan strategi tanpa nurani, cepat atau lambat, akan menukar kemenanganmu dengan wajahmu sendiri.” —Namaku Brandku
.
Kota sebagai Cermin
Jakarta, jam 06.11, lampu-lampu apartemen padam satu per satu seperti kelopak mata kelelahan yang memaksa melek. Trotoar sempit diseka hujan dini hari; bau tanah bercampur solar. Orang-orang berbaris di halte layaknya kalimat-kalimat yang menunggu tanda baca. Dari MRT yang baru tiba, turun seorang lelaki berkemeja biru langit, lengan digulung rapi, rambut disisir ke samping—Jaka.
Di lift gedung berlapis kaca, Jaka menunduk sekilas pada cermin baja yang memantulkan wajahnya: ramah, teratur, tanpa riak. Senyum itu—kata orang kantor—menenangkan gempa. Sering, hanya dengan dua kalimat yang diucapkan tenang, rapat yang memanas kembali ke suhu ruang. Sering pula, setelah rapat selesai, ide yang mula-mula berantakan tiba-tiba rapi seperti kasur hotel—ujung sprei terselip sempurna, bantal berbaris pas.
Namun kota adalah cermin berlapis. Di balik pantulan yang mengkilap ada siluet lain: dingin, telaten, dan tahu persis kapan harus memberi dorongan kecil agar orang tersandung oleh kakinya sendiri.
“Pernah ketemu orang yang kelihatan baik… tapi diam-diam menjatuhkan lawannya tanpa dicurigai? Dia bukan beruntung. Dia paham strategi.”
Kalimat itu pernah ditulis Jaka di kertas nota kecil, diselipkan di dompetnya. Ia menyukai bunyinya—seperti pedang tipis yang disarungkan dalam beludru.
.
Madura: Asal-usul Luka yang Disetrika Rapi
Sebelum Jakarta mengajarinya berjalan cepat, Madura mengajarinya menahan tawa. Di SD dekat Pamekasan, Jaka kecil maju lomba pidato bertema kepahlawanan. Kata-kata membeku di lidahnya. Kawan-kawan ramai; guru tersenyum maklum. Sabrang—ketua kelas dengan rambut belah pinggir—menepuk bahunya: “Santai, Ka, yang penting berani.” Tapi Jaka justru belajar hal sebaliknya: jangan pernah terlihat lemah di hadapan orang yang mengingat namamu.
Sejak itu ia menekuni seni menyetrika luka: melapisi kikis hati dengan sopan santun, menyelipkan trauma di balik kerapian. Ia belajar mendengar lebih lama daripada bicara; menunda marah sampai semua orang pulang; mencatat, mencatat, mencatat—tetapi di kepala, bukan di buku.
Ketika kuliah membawanya ke Surabaya lalu magang ke Jakarta, ia datang seperti imigran yang tahu satu-satunya harta ialah cara membaca kebiasaan orang. Jakarta, dengan segala kebisingannya, memberikan hadiah terbesar: anonimitas. Di tempat asing, ia bisa menjadi siapa saja tanpa dibayang-bayangi tawa masa kecil.
.
Kantor: Lingkar Informasi
Konsultan tempatnya bekerja bercita rasa hotel bintang lima: lantai marmer, kopi kapsul, coworking lounge dengan sofa yang terlalu nyaman untuk rapat singkat. Di sini, Jaka membangun lingkar informasi yang tak terlihat. Ia menghafal ulang tahun satpam, jadwal piket barista, kebiasaan Samba yang memeriksa dashboard vendor pukul 04.00, kecemasan Rengganis tentang ibunya yang cuci darah tiap Jumat. Ia menamai tiap potongan kabar bukan dengan nama orang, melainkan dengan motif: takut, ingin diakui, butuh uang sekolah, trauma bos lama.
Pelajaran paling penting yang ia petik: manusia bergerak bukan oleh logika murni, melainkan oleh laci-laci kecil yang terbuka di hari rawan. Ia mengumpulkan kunci untuk laci itu. Bukan untuk merampok isi, melainkan untuk membuka hanya selebar jari saat butuh.
Wira adalah kawan terdekatnya—atau setidaknya demikian orang lain melihatnya. Wira bak kembang api: ide-idenya naik cepat, meletup indah, lalu padam oleh angin operasional. Jaka menyediakan angin yang berbeda: angin yang mengarahkan letupan ke langit yang tepat. “Biar aku yang menjelaskan,” sering katanya dengan nada ringan. Wira mengangguk, tulus percaya.
Di ruang rapat, Jaka membungkus istilah Wira yang teknis menjadi kisah yang dimengerti direktur: “Bayangkan pelanggan kita seperti penumpang bus malam yang ingin berhenti sebelum terminal. Kita sediakan bel pada tiap kursi. Itu saja.” Ruangan tertawa, mengangguk, mengingat. Nama yang tinggal di telinga: Jaka.
.
Kafe: Persaudaraan yang Pincang
Suatu siang, di kafe kaca bawah gedung, Wira mengaku lelah. “Kayaknya aku butuh libur, Ka. Kepala penuh.”
Jaka menyeruput kopi pelan, mengulur waktu. “Libur boleh. Tapi besok kita ada presentasi. Kalau kamu nggak siap, biar aku yang jelaskan garis besarnya.”
“Seperti biasa, ya?” Wira menepuk bahunya. Senyum polos.
Kalimat seperti biasa menetes ke hati Jaka—hangat tapi perih. Seperti biasa: artinya skema ini bukan kecelakaan, melainkan rutinitas. Dan rutinitaslah yang paling pandai menyamarkan pengkhianatan sebagai tolong-menolong.
.
Mutasi: Surat yang Tak Ditulis
Seminggu kemudian, HR memanggil Wira. “Penataan struktur,” kata mereka. “Peluang bagus di Surabaya.” Di grup tim, Jaka menuliskan, Semangat, Wir!; di chat pribadi, Wira menulis: Hati-hati, Ka. Orang bisa manis sambil menyiapkan lubang untuk kakimu. Jaka menatap layar lama. Ia tahu pisau yang dimaksud bukan di tangan orang lain. Pisau itu ada di kalimat pasif yang ia kirim dua minggu lalu: risiko eksekusi karena ide sering berubah. Ia tidak menyebut nama. Tetapi semua orang tahu hanya Wira yang berganti skema di detik terakhir.
Ia menulis maaf lalu menghapus. Mengulang, menghapus lagi. Pada akhirnya ia memilih diam—strategi tertua mempertahankan mitos orang baik.
.
Promosi: Cermin yang Mengeras
Pesta kecil di pantry. Kue tart dengan tulisan cokelat putih: SELAMAT, JAKA—MANAJER TERMUDA. Orang-orang menyalami, Sabrang—kini Kepala Divisi—mengangkat cangkir kertas, “Untuk ketenangan yang tak pernah gagal.”
Malamnya, Jaka memandangi dirinya di cermin kamar mandi. Senyum itu masih sama bentuknya, tetapi ada lapisan baru: licin. Seperti lantai lobi setelah dipel; cantik, tapi mengundang jatuh. “Apakah aku sedang menang,” tanyanya pada bayangan, “atau aku sedang kehilangan wajah?”
Tidak ada jawaban selain gemericik kran.
.
Siti: Jalan yang Mengiris
Di sebuah seminar CSR, Jaka bertemu Siti, sahabat SMA yang kini mengelola community kitchen di Tanah Tinggi. Rambutnya dikuncir, matanya teduh seperti halaman mushaf.
“Kau berubah,” katanya setelah pelukan canggung. “Senyummu tetap lembut, tapi matamu… seperti jendela yang kacanya diganti baja.”
“Di kota ini orang harus bertahan,” jawab Jaka.
“Bertahan tidak sama dengan menjatuhkan,” Siti menatapnya. “Di dapur umum, kalau aku merebut sayur dari tangan teman, kami sama-sama lapar.”
“Dunia korporat bukan dapur umum.”
“Betul. Di dapur umum, reputasi tak bisa memanaskan kuah.”
Kalimat itu berjalan bersama Jaka pulang, duduk di sampingnya di atas motor sewaan, meminjamkan helm, lalu menghilang di lorong apartemen—tinggal gaung yang panjang.
.
Batu Kecil Menggelinding
Perubahan jarang berteriak. Ia datang sebagai kebiasaan kecil: Jaka menutup group chat jam 23.00. Jaka membiarkan Rengganis mempresentasi risiko legal tanpa “penerjemahannya”. Jaka belajar mengatakan aku tidak tahu pada hal-hal yang memang tidak ia ketahui—kalimat yang selama ini ia anggap musuh.
Samba menggodanya, “Biasanya kamu mata air ide. Kok sekarang hemat?”
“Sedang belajar minum dari gelas orang lain,” jawab Jaka. Samba tertawa, tidak paham.
Di saku dompet, kertas nota dengan kalimat paham strategi mulai kusam oleh keringat. Suatu malam Jaka menambah satu baris di bawahnya: “Strategi yang terlalu dicintai lama-lama memakan tuannya pelan-pelan.”
.
Sabrang: Jam 03.07 dan Daftar Rahasia
Pukul 03.07, pesan dari Sabrang masuk: PDF Change Management Initiative. “Tolong poles narasi. Kau paling bisa membuat ini terdengar seperti keselamatan,” tulisnya. Jaka menyeduh kopi, membaca. Kata-kata yang rapi menutupi isi yang tajam: efisiensi, relokasi, streamlining. Di lampiran, daftar nama “sementara terdampak”. Rengganis ada di sana; Samba juga.
Jaka paham yang diinginkan Sabrang: ganti kata “pemutusan” menjadi “penataan”, “pengurangan” menjadi “pemekaran tanggung jawab”, “pencadangan” menjadi “penjajaran”. Ia bisa. Seluruh kariernya berdiri di atas kecakapannya mengubah pisau jadi pengupas.
Tapi dini hari itu ia menutup laptop. Alih-alih mengetik, ia menulis di kertas: Jika aku pandai menamai luka, apakah lukanya mengecil? Pagi hari kertas itu masuk saku jas—berat seberat batu kecil.
.
Rapat Besar: Keheningan yang Menghukum
Boardroom lantai 30 serupa akuarium yang menampung lumba-lumba lapar angka. Di luar kaca, kota seperti peta; di dalam, suara klik pointer mengiris tenang. Sabrang memaparkan rencana, lalu menyerahkan panggung ke Jaka. Semua orang siap mendengar “narasi penyelamatan”.
Jaka berdiri. Mikrofon di tangannya bergetar halus—bukan ketakutan, melainkan kesadaran bahwa sebentar lagi ia menyeberangi jembatan yang ia bangun sendiri.
“Slide ini,” katanya pelan, “menjadi cermin. Di lampiran, ada nama-nama yang hendak dipindah atau dilepas. Saya ingin menyebut dua—Rengganis, Samba. Data menyarankan mereka ‘terdampak’, tetapi saya membawa data lain: jam lembur Samba minggu lalu 34 jam; Rengganis satu-satunya yang menguasai izin lingkungan proyek timur. Ibunya cuci darah dua kali seminggu.”
Ruangan membeku. Sabrang menggeser kursi. “Jaka, kita bicara organisasi, bukan biografi.”
“Organisasi tanpa biografi adalah Excel tanpa listrik,” jawab Jaka. “Saya usulkan revisi: pangkas biaya di kontrak yang boros, bukan di tulang punggung.”
Pertanyaan datang bertubi: mitigasi apa? dampaknya ke cash flow? preseden? Jaka menjawab satu per satu dengan data yang ia kumpulkan selama ini—ironisnya, data yang dulu ia pakai untuk memperindah pengorbanan.
Setelah rapat, Sabrang menariknya ke ruang kerja. “Kau pikir kau pahlawan?”
“Aku ingin bisa tidur.”
“Kalau semua orang seperti kamu, perusahaan ini lembek.”
“Kalau semua orang seperti aku kemarin, perusahaan ini cemerlang di laporan dan busuk di manusia.”
Sabrang tertawa pendek. “Di cerita Menak, orang seperti kamu hidup tidak nyaman.”
“Di cerita n-Jawa-ni, orang seperti aku bisa menatap cermin.”
Tak ada jabat tangan. Hanya pintu yang menutup agak keras.
.
Hujan: Telepon dari Surabaya
Sore itu hujan seperti tirai tipis. Di bawah pohon ketapan, ponsel Jaka berdering. Nomor tak dikenal. “Mas Jaka? Aku Wira.” Suaranya ragu, seperti seseorang yang mengetuk pintu lama.
“Apa kabar, Wir?”
“Belajar hidup,” tawa kecil. “Ada kabar dari teman: kau membela dua orang di rapat. Kau… berubah?”
“Mungkin.”
“Dulu aku marah, Ka. Sekarang aku sadar, aku pun ikut salah. Aku pikir ide cukup jadi tiket. Ternyata disiplin ialah kondektur.” Hening sejenak. “Aku telepon cuma mau bilang: terima kasih karena memilih jadi manusia hari ini.”
Jaka menelan kata maaf yang terlambat. “Kalau aku ke Surabaya…”
“Aku traktir soto Madura. Tempatnya jelek, rasanya jujur.”
Telepon terputus, meninggalkan denging kecil yang anehnya membuat dada lega.
.
Kebocoran: Ujian Tanpa Naskah
Seminggu setelah rapat, perusahaan mengikuti tender proyek logistik pemerintah daerah. Semua bergerak cepat. Di hari presentasi, rumor menyambar: proposal rahasia bocor ke pesaing. Sabrang mengumpulkan inti tim. Tatapannya dingin, telunjuknya terarah ke Rengganis—alasan: hanya tim legal yang memegang draf final.
Jaka merasakan tusukan yang ia kenal. Dulu, ia mahir membuat orang tersandung dengan kalimat pasif. Kini ia melihat versi lebih kasarnya—tudingan tanpa kartu.
“Jangan buru-buru,” Jaka menahan. “Aku minta akses log server. Dan tolong rekam CCTV ruang cetak.”
Sabrang mengangkat alis. “Kau tidak percaya pada instingku?”
“Insting bagus di dapur rumah. Di kantor kita pakai data.”
Malam itu Jaka duduk bersama anak magang Anggini, menelusuri log. Di baris-baris angka, mereka temukan sesuatu: file dicetak 22.41 dari akun tamu yang masuk via komputer resepsionis. CCTV menunjukkan seorang pria vendor cleaning service memungut kertas dari printer. Identitasnya? Subkontraktor baru, rekanan lama Sabrang ketika masih di divisi lain.
Jaka menghadap direktur operasional—membawa log, rekaman, dan kronologi. Pagi itu juga, vendor dibekukan; panitia tender diberi klarifikasi resmi; Rengganis dibersihkan namanya. Sabrang? Ditarik sementara dari proyek sambil audit kecil dilakukan—hukuman tak tertulis yang terasa seperti musim tanpa hujan.
Ruang kantor menjadi bisik-bisik. Ada yang memusuhi Jaka, ada yang mendekat. Ia tak euforia. Yang ada hanya rasa lega yang tipis, seperti kulit bawang di ujung pisau.
.
Pulang: Dapur, Jeruk Nipis, dan Pelajaran Lama
Ketika jeda panjang membuka, Jaka pulang ke Pamekasan. Dapur rumah kecil hangat oleh uap soto. Ibunya menyuruhnya memeras jeruk nipis. “Bagaimana kerjamu, Nak?”
“Ribet, Bu. Tapi… lebih ringan dari kemarin-kemarin.”
“Bapakmu dulu pernah bilang,” ibu tersenyum, “tidak semua yang kalah itu buruk. Ada yang kalah karena memilih jalan yang benar. Waktu itu Ibu tak paham. Sekarang mungkin paham.”
“Kalau kebaikan kita membuat orang lain terluka, itu tetap kebaikan?”
“Kebaikan tidak melukai. Yang melukai itu kalkulasi. Kebaikan boleh pakai strategi, tapi strateginya jangan memakan hati.” Ibu tertawa kecil. “Soto tanpa jeruk nipis tetap soto, tapi tak segar.”
Di teras, malam menggantung rendah. Di situ Jaka menyadari: selama ini ia mengira dirinya tak punya kampung halaman selain ambisi. Nyatanya ada tempat yang sanggup mengembalikan suku kata lengkap pada namanya.
.
Ruang Kecil: Tiga Garis di Papan Putih
Kembali ke Jakarta, Jaka mengumpulkan tim di ruang kerja yang sederhana. Ia menulis di papan putih: PRINSIP. Lalu tiga garis:
-
Kredit harus mengikuti jejak ide, bukan jejak jabatan.
-
Kritik tajam pada argumen, lembut pada orang.
-
Strategi boleh licik pada masalah, tidak pada manusia.
“Mulai hari ini, kalau aku lalai menyebut namamu, potong bicaraku,” kata Jaka. “Kalau aku tergoda memoles fakta sampai kehilangan wajah, ingatkan aku.”
Samba mengacungkan tangan. “Kalau akibatnya tender kalah?”
“Kita tanggung bersama. Kemenangan yang membuat kita tidak bisa tidur bukan kemenangan.”
Rengganis menatapnya lama, mata berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya pelan. “Bukan karena namaku bersih, tetapi karena akhirnya ada yang memegang pintu dari sisi dalam.”
Mereka tertawa. Tawa yang tidak keras, tetapi hangat—suara orang-orang yang memutuskan berjalan lebih pelan agar tak saling menginjak.
.
Siti lagi: Seikat Sayur dan Kalimat Penutup
Suatu Minggu, Jaka menyambangi community kitchen Siti. Dapur ramai: panci besar mengepul, pisau beradu talenan, anak-anak berlari sambil menenteng mangkok. Siti memberikan celemek. “Potong kangkung. Yang rapi. Ini dapur umum, bukan ruang presentasi.”
Jaka tertawa, menuruti. Di sela irisan, Siti berbisik, “Kau terlihat lebih ringan.”
“Aku kehilangan jalur cepat.”
“Kadang jalur cepat justru memutar paling jauh. Kau sampai lebih cepat, tapi tidak ke rumahmu.”
Jaka menatap seikat sayur di tangannya. Ia ingat kota, gedung kaca, cermin baja, senyum licin. Ia mengingat Wira, Rengganis, Samba, Sabrang; mengingat dirinya sendiri yang berdiri di persimpangan yang sepi. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak perlu lagi menulis kalimat tajam di kertas nota.
Ia meminjam spidol dari Siti, menulis di dinding papan tulis dapur:
“Jangan menukar tidur yang nyenyak dengan tepuk tangan yang cepat lupa.”
Anak-anak yang melintas mengeja pelan, tertawa. Siti mengangguk kecil, lalu menyuruhnya mencuci panci. “Pahlawan di dapur adalah yang mau bersihkan kerak,” gurau Siti. Jaka mengangkat panci, merasa lucu pada dirinya sendiri—betapa lama ia mengejar kehormatan yang tak bisa memanaskan kuah.
.
Trotoar, Lampu, dan Kertas Lipat
Sore itu Jaka berdiri di jembatan Semanggi. Kota menyalakan lampu satu per satu, seperti doa yang menyala pelan. Ia mengeluarkan kertas nota kusam dari dompet—yang memuat kalimat lama tentang strategi. Ia membacanya sekali lagi, lalu menambahkan baris penutup:
“Strategi terpandai adalah menjaga ruang di dalam dirimu yang tidak bisa dibeli oleh pujian, tidak bisa diperas oleh ketakutan.”
Kertas itu tidak ia buang. Ia melipatnya lebih kecil, menyimpannya bukan sebagai pedang, melainkan sebagai pengingat. Di bawah, arus kendaraan mengalir. Jaka menyilangkan tas, melanjutkan langkah.
Permainan tentu belum selesai—mungkin tak pernah. Tapi kini, setiap kali ia melewati cermin baja di lift, yang memandang balik bukan sosok dengan senyum licin, melainkan seseorang yang—akhirnya—mirip dengannya sendiri.
“Kadang, strategi paling bijak bukan menjatuhkan lawan, tetapi menyelamatkan dirimu agar tidak menjadi lawan bagi dirimu sendiri.”
.
.
.
Jember, 27 September 2025
.
.
#CerpenKompas #KisahUrban #StrategiHidup #EtikaKorporat #MenakMadura #CerpenIndonesia #CerpenEmosional #nJawaNi
.
Kutipan Pilihan
-
“Kemenangan yang mewajibkanmu berbohong pada cermin bukan kemenangan, melainkan penundaan hukuman.”
-
“Bertahan tidak sama dengan menjatuhkan; yang pertama membangun pijakan, yang kedua mengikis lantai.”
-
“Di kota yang terang benderang, kebaikan paling berbahaya adalah kebaikan yang kehilangan alamat nurani.”