Pulang Tanpa Peta
“Yang kau cari ke luar ternyata tinggal di dalam. Karena terlalu dekat, ia bersembunyi seperti kunci di saku sendiri—terasa, tapi tak tersadari.”
.
Hujan yang turun sore itu bukan hujan deras. Ia datang seperti kalimat pendek yang sengaja dipelankan untuk memberi jeda pada pikiran. Di bawah naungan kanopi Halte CSW, Umar berdiri memeluk ransel lusuhnya, menunggu bus ke Dukuh Atas. Lampu-lampu kendaraan menarik garis tipis di aspal; wangi tanah basah naik pelan, tercampur bau minyak goreng dari gerobak tahu yang mengembun.
Umar menatap ponsel. Notifikasi beruntun: “Mas, revisi tagline ya: less drama, more data.”; “Bang, bisa update naskah jam 9 malam?”; “Reminder token listrik.” Pesan-pesan itu seperti suara kota yang tak pernah berhenti memanggil nama orang, tanpa benar-benar mengingat wajahnya. Ia menggeser semuanya ke “Nanti.” Ada rasa pegal di tengkuk. Di aplikasi kalender, blok-blok warna menutupi hari-harinya: rapat daring, deadline copy, pengiriman invoice, janji temu di warung kopi.
Bus datang. Umar naik. Udara di dalam dingin dan mengandung aroma plastik baru. Ia berdiri di sisi jendela, memandangi bayangannya sendiri yang ditempelkan pantulan kota: raut lelah, mata cekung, dua helai uban di pelipis. “Aku masih muda,” pikirnya, “tapi ternyata usia bekerja lebih cepat daripada usia tubuh.”
Bus melaju. Di kursi depan, sepasang muda bertengkar tanpa suara—hanya gerak bibir cepat, tatapan yang saling mengiris. Umar mengingat dirinya beberapa tahun lalu: masih bising seperti mereka, merasa setiap mis-komunikasi harus diselesaikan saat itu juga, di ruang publik, sekeras mungkin. Sekarang ia memilih diam, memalingkan pandang, memberi ruang. Ruang di antara orang-orang. Ruang di antara kita.
Di Dukuh Atas, ia turun ke trotoar baru yang rapi, menyeberang lewat jembatan penyambung ke stasiun. Dari kejauhan, kereta KRL melaju seperti anak panah yang tak sabar sampai. Angin dari rel mengibaskan sisa rintik hujan ke wajahnya. Dalam dentang pengumuman otomatis yang terlalu formal, Umar teringat sebuah kalimat dari buku catatannya:
“Intuisi tidak berbunyi seperti pikiran. Ia tidak menjelaskan, ia menunjuk. Ia berkata: di sini.”
.
Hasan, Jalanan, dan Jam-Jam Senyap
Di ujung peron, seorang pria melambai kecil. Hasan. Wajahnya yang dulu selalu tampak siap tertawa, kini berkerut halus seperti peta jalan. Mereka berjabat tangan pendek; pelukan tak jadi, hujan terlalu basah untuk memulai hal yang hangat.
“Mar,” kata Hasan, “malam ini narik sampai subuh. Anterin order bandara. Kau ke mana?”
“Pulang,” jawab Umar. “Kalau kamu sempat, mampir kontrakan. Ada kopi hitam dan biskuit murah.”
Hasan mengangguk. “Kau masih nulis?”
“Masih.” Umar tersenyum hambar. “Masih jadi tukang jahit kata-kata orang.”
Mereka menyeberang bersama. Hasan bercerita tentang istrinya, Siti, yang baru saja pulang ke Pamekasan bersama dua anak mereka. “Jakarta bikin Siti sesak,” katanya. “Bukan hanya karena uang. Karena kita seperti tidur dengan mata terbuka—lelah, tapi tak bisa memejam.” Hasan memilih tetap di kota: ada cicilan motor, harapan, dan entah apa lagi yang tak mau ia sebut agar tidak terdengar konyol.
Di bawah jembatan, air menetes dari sambungan beton, seperti jam tetes-tetes yang menghitung lambat. Hasan pamit. “Kau tahu, Mar,” katanya, “jalan malam itu seperti menulis doa di kaca yang berkabut. Kau tahu apa yang ingin kau sampaikan, tapi selalu kabur sebelum selesai.”
Umar tertawa kecil. “Kau masih puitik, San.”
“Puitik karena capek,” balas Hasan. “Kalau tidak puitik, nanti marah.”
Mereka berpisah. Umar menuju KRL yang baru tiba; Hasan menyelinap ke arah parkiran motor ojek daring. Hujan yang tinggal sisa meletakkan kilau neon pada jalan seperti benang perak yang dipintal.
.
Kos-Kosan, Dinding Tipis, dan Suara-Suara yang Memanggil
Kontrakan Umar berada di gang sempit yang dijaga dua pot kaktus dan satu kursi plastik pecah. Di kanan-kiri, dinding-dinding tipis memelihara rahasia para penghuninya: suara ibu menyusui yang menidurkan bayi; denting sendok dari dapur bersama; tawa yang sengaja dipelankan agar tidak memanggil seisi gang.
Di kamar 3×4 meter, Umar menaruh ranselnya, mengganti kaus, dan menyeduh kopi. Meja kerjanya hanya papan yang disangga dua peti kayu. Di atasnya, ada buku catatan, laptop tua yang kipasnya bising, dan lampu meja yang kepalanya sering merunduk sendiri seperti menolak kenyataan.
Ia membuka dokumen: “Brand Campaign Q4—City Without Drama.” Klien meminta tagline yang “dewasa, urban, punya pacing film, tapi gampang diingat.” Umar mengetik: “Move with meaning.” Ia menghapus. Mengetik lagi: “Less noise. More notes.” Menghapus lagi. “Kedewasaan bukanlah sunyi; ia musik yang tak lagi butuh pengeras.” Terlalu puitik untuk iklan.
Pukul sebelas malam, rapat daring dimulai. Kotak-kotak wajah menyala: manajer pemasaran dengan sofa mahal di belakang; desainer dengan headphone besar; pemilik usaha dengan nada suara yang sabar tapi tajam. Umar mempresentasikan tiga opsi. Mereka mengangguk. Mereka bilang “ya, interesting.” Mereka bilang “bisa tolong lebih konkret.”
Ketika rapat usai, Umar menutup laptop. Sunyi di kamar terasa seperti seseorang yang duduk menghadap kita tanpa bicara, tapi kita tahu ia tidak akan pergi. Ia melihat ke jendela kecil yang menghadap tembok rumah sebelah: basah, dingin, tapi jujur.
Ia teringat Laila.
.
Laila, Rumah Sakit, dan Waktu yang Membuat Kita Jujur
Laila—mata yang teduh dan langkah yang selalu sedikit cepat, seakan mengejar jam yang lebih tua satu langkah darinya. Umar bertemu Laila kembali seminggu lalu, di halte yang sama, saat hujan juga turun seperti jeda. Mereka dulu pernah hendak membangun rumah bersama. Bukan rumah fisik, melainkan rumah yang ada di antara dua dada yang saling percaya.
“Aku pergi,” kata Laila waktu itu, “bukan karena tak cinta. Aku pergi karena aku takut kau mencintai mimpimu lebih tinggi daripada manusia yang memelukmu.”
Itu kalimat yang masih menendang malam-malam Umar sampai kini. Laila bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Giliran jaga malam membuatnya tahu betul: tubuh manusia bisa rapuh, tapi niat baik selalu punya napas cadangan.
Umar mengunjungi Laila dua hari setelah pertemuan itu. Rumah sakit meruapkan campuran bau antiseptik, sabun, dan cemas yang tak pernah dinamai. “Aku di IGD,” pesan Laila. “Kalau mau, tunggu di kantin.”
Ia menunggu. Di meja sebelah, seorang ibu memeluk map BPJS dan tas kain berisi baju ganti. Di televisi, berita menayangkan macet, banjir, bursa saham, selebritas. Dunia di layar terasa seperti planet lain yang menerjemahkan kesedihan menjadi angka.
Ketika jeda jaga datang, Laila duduk di depannya. Rambutnya diikat rapi, ada bekas garis masker di pipi. “Kau terlihat lelah,” kata Umar.
“Aku baik,” jawab Laila, lapis senyum. “Lelah dan baik bukan musuh.”
Mereka bicara soal hal-hal remeh: harga martabak yang naik, sup favorit di kantin, jam istirahat yang selalu kurang. Lalu, seolah pintu lama menggerak sendiri, Laila bertanya, “Kau masih menulis untuk dirimu sendiri?”
Umar ragu sepersekian detik. “Lebih sering untuk orang lain,” akhirnya ia mengaku. “Uang datang dari sana.”
“Dan pulang?” Laila menatapnya dalam. “Pulang datang dari mana?”
Pertanyaan itu menggantung seperti tanda baca yang menolak dipilih. Titik terlalu putus. Koma terlalu berharap.
.
Amir, Proyek, dan Cermin yang Dibalik
Keesokan harinya, Umar menerima pesan dari Amir—teman lama satu komunitas menulis yang kini menjadi editor konten di sebuah media digital. “Bro, tertarik bikin seri esai soal kota? Bukan soal destinasi, tapi soal perasaan orang-orang yang tinggal di sini.”
Umar menjawab cepat: “Tertarik. Honor?”
Amir mengirim angka yang tidak besar, tapi jujur. Umar menerima. Ia berjalan ke jendela, membuka sedikit, membiarkan udara panas Jakarta masuk. Dari gang, suara pedagang bakso berkeliling mengantar wangi kaldu. Seorang anak kecil belajar naik sepeda dengan roda bantu; ayahnya berlari di belakang, tertawa—tawa yang menolak tua.
Umar menyalakan laptop. Ia menulis: “Kota adalah cermin yang dibalik. Yang tampak di permukaan adalah siapa yang ingin kita tunjukkan; yang tak tampak adalah siapa yang kita sembunyikan.” Ia menulis tentang Hasan yang setia mengemudi di jam-jam senyap; tentang Laila yang menukar lelahnya dengan napas orang lain; tentang dirinya yang selalu menjejak di aspal tapi bercita-cita pulang ke tempat yang belum ia gambar.
Satu paragraf, dua, tiga. Kalimat-kalimat itu terasa seperti bulu-bulu halus yang tahu di mana harus mendarat. Ia tak lagi mencari “cantik” atau “canggih”; ia mencari “jujur”. Di tengah menulis, ia berhenti, membuka buku catatan, dan menyalin satu kalimat:
“Keberanian tertinggi adalah berdiam saat dunia menjerit, lalu memilih mendengar suara paling pelan: batinmu sendiri.”
.
Malam Panjang, Ambulans, dan Yang Tak Tertulis
Malam itu, hujan kembali merekat ke kaca. Umar baru saja menekan “Kirim” untuk esai pertamanya saat suara sirene ambulans menembus gang. Orang-orang keluar, membuka jalan. Di ujung, Hasan terlihat mengangkat tubuh seorang pria tua ke atas tandu bersama dua petugas. Wajah Hasan tegang.
Umar menghampiri. “San?” tanyanya. Hasan menoleh, matanya basah. “Pak Kos. Serangan jantung.” Pak Kos—laki-laki dengan langkah pelan yang sering menanyai Umar tentang tagihan kontrakan sambil menawar harga seperti main wayang: dramatik, tapi selalu berakhir dengan tawa.
Umar ikut ke rumah sakit. Di IGD, pintu bergeser secepat nafas tertahan. Laila muncul dari balik tirai dengan langkah gesit. “Keluarganya?” tanya Laila. Hasan mengerjap. “Anaknya di Bekasi, lagi di jalan.”
Waktu meleleh seperti lilin. Jarum jam berpindah tanpa bunyi. Umar duduk di kursi besi, memperhatikan botol infus yang menetes seperti hitungan rahasia. Di ruang yang selalu terang, ia mendengar dua anak kecil di pojok bermain tebak gambar pada katalog obat. Di layar ponselnya, notifikasi dari klien menyala: “Mas, besok jam 9 ya meeting konsep.” Ia matikan layar. Malam ini, konsep yang terpenting adalah napas seorang tua yang sedang dinegosiasikan lewat lintasan listrik dan obat.
Laila keluar. “Stabil,” katanya. “Untuk sekarang.” Hasan menutupi wajahnya sebentar, mengusap mata, lalu berdiri tegak kembali. Umar menatap Laila—ada sesuatu yang tak berubah pada dirinya: cara ia menyampaikan kabar buruk dengan kalimat yang tidak membunuh harap.
“Terima kasih,” kata Umar pelan.
Laila mengangguk. “Kadang yang bisa kita lakukan hanya menunda kehilangan. Itu pun sudah seperti keajaiban.”
Umar menghela napas. Menunda kehilangan. Kata-kata itu menempel di dinding dadanya.
.
Banjir Kecil, Dapur Bersama, dan Nasi Hangat
Pagi menyisakan langit kelabu. Di gang kontrakan, air menggenang setinggi mata kaki. Bukan banjir besar—banjir kecil yang datang seperti kata sambung, menyebalkan tapi tak memutuskan apa-apa. Penghuni kontrakan gotong-royong mengangkat barang. Laila datang membawa termos teh manis. Hasan mengatur letak batu pijakan.
Di dapur bersama, perempuan-perempuan memasak nasi, telur dadar, dan sambal bawang. Wangi bawang tumis menyusup ke jendela-jendela, menjadi doa paling sederhana. Umar membantu mengupas bawang. Tangannya pedih tapi hatinya hangat. “Ini kota atau desa?” gurau seseorang. Mereka tertawa. Mungkin kota adalah desa yang memutuskan untuk belajar berlari, tanpa sempat melepas sandal.
Saat nasi matang, semua berkumpul. Tak ada piring cantik, hanya kertas bungkus. Tak ada jamuan, hanya syukur yang bergeser-geser agar semua kebagian. Umar makan sebelah Laila, Hasan di depan mereka. Suara hujan berubah jadi ritme latar.
“Mar,” kata Hasan, setelah suapan ketiga, “aku akan ke Madura besok. Jemput Siti dan anak-anak. Aku tidak mau lagi menunggu kota memutuskan untuk sayang padaku. Aku yang harus memutuskan.” Wajahnya tegas seperti garis tangan.
Umar menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kau pulang?”
“Aku pulang,” jawab Hasan. “Tapi aku juga kembali. Mungkin bukan ke sini, mungkin ke kota lain, atau ke desa yang kupaksa menjadi kota kecil. Aku hanya tidak mau lagi menunda pulang.”
Umar mengerti. Pulang tidak selalu berarti tinggal. Pulang adalah keputusan untuk mengakui arah.
.
Walkway, Rembulan, dan Percakapan yang Tuntas
Malam terakhir sebelum Hasan berangkat, tiga orang itu berjalan menyusuri trotoar yang baru dibangun di sekitaran Dukuh Atas. Lampu-lampu kota memantulkan rembulan pucat di genangan kecil. Kereta terakhir lewat, membawa pulang wajah-wajah yang menahan kantuk.
“Laila,” kata Umar, “kau benar. Aku mencintai mimpiku terlalu tinggi. Tapi sekarang aku ingin belajar mencintai yang pulang ke harian: memasak telur, menjemur handuk, menulis catatan kecil, mengantar seseorang ke halte.”
Laila menatapnya, lama. “Cinta butuh ritme,” katanya. “Bukan kembang api. Butuh langkah kecil yang diulang.”
“Bisakah kita mulai ulang?” tanya Umar, suara kecil.
Laila tidak menjawab cepat. Ia menatap rembulan yang dililit awan. “Bisa,” katanya akhirnya, “kalau kita sepakat bahwa memulai ulang bukan memutar waktu, tapi memilih ulang. Dan kita harus berjanji: tidak heroik. Cukup jujur.”
Hasan berdehem dramatis, seperti dalang yang hendak ganti adegan. “Kalau kalian butuh saksi,” katanya, “saksinya malam ini. Kota sudah terlalu sering melihat perpisahan. Biar ia sekali-sekali melihat keputusan.”
Mereka bertiga tertawa. Angin malam lewat, membawa dingin yang tidak menusuk. Di kejauhan, suara musik jalanan menyelinap dari headphone seseorang.
.
Pagi, Surat, dan Kunci di Saku
Pukul lima pagi, Hasan berangkat. Umar mengantar sampai terminal. Mereka berpelukan—pelukan betul, yang hangat dan tidak kaku. “Kau tidak sendirian,” kata Umar. Hasan tersenyum. “Kau juga.”
Sepulangnya, Umar menemukan surat di bawah pintu: dari Pak Kos. Tulisannya miring, tinta agak luntur. “Nak Umar, terima kasih sudah ikut ke rumah sakit. Kalau aku tiada, jangan biarkan kontrakan ini jadi tempat orang saling curiga. Rumah bukan dinding, rumah itu cara kita menaruh wajah orang lain di dalam hati.”
Umar menahan napas. Ia meremas surat itu pelan, bukan marah, tapi agar kata-kata melekat di telapak. Ia menatap ransel lusuh di sudut kamar, membuka saku kecil di depan, dan menemukan sesuatu yang ia kira hilang sejak semalam: kunci loker di warung kopi tempat ia sering bekerja. Ia tertawa pendek. Kunci di saku sendiri. Tiba-tiba semua metafora jadi terlalu literal—dan indah karena itu.
Ia duduk, menyalakan laptop. Membuka dokumen baru: “Esai 2—Pulang Tanpa Peta.” Jari-jarinya mengetik, tapi seperti bukan dia yang memberi perintah. Ada arus yang lebih pelan tapi pasti: bukan ambisi, melainkan intuisi. Ia menulis:
“Kau tahu kau menemukannya bukan karena semuanya masuk akal, tetapi karena rasanya seperti pulang. Dan pulang tidak butuh banyak bicara. Ia hanya menunjuk dan berkata: di sini.”
Umar berhenti. Menatap kalimatnya sendiri lama-lama. Lalu ia menulis lagi, lebih pelan, lebih jernih, seperti orang yang akhirnya minum karena mengingat rasa hausnya sendiri.
.
Pesta Kecil, Tetangga, dan Doa yang Ditiupkan
Seminggu kemudian, air genangan menghilang. Langit yang dulu kelabu menua menjadi biru tipis. Di gang, seseorang mengusulkan syukuran kecil: alas koran, nasi kuning, ayam suwir, tumis tempe, sambal terasi. Laila membawa puding cokelat dalam loyang bening; Umar menyumbang es batu dan kata-kata pembuka yang diminta tetangga tapi ia buat seringan mungkin—karena kebahagiaan tidak suka dibebani.
Mereka duduk melingkar. Anak-anak berlarian, orang dewasa tertawa. Seorang bapak tua memetik gitar dengan tiga senar tersisa. Umar menatap Laila dari seberang; Laila menatap kembali, dan ada sesuatu di sana—bukan kembang api, bukan juga pelangi—melainkan lampu kamar kecil yang tetap menyala saat listrik padam karena ada baterai darurat.
Sesudah makan, mereka membereskan piring, memunguti remah. Laila mendekat. “Aku libur dua hari ke depan,” katanya. “Kalau kau mau, kita bisa memasak sesuatu di dapur bersama.”
“Bisa,” jawab Umar. “Kau mau apa?”
“Yang gampang. Yang rasanya rumah.”
“Telur ceplok dan sambal bawang?”
Laila tertawa. “Kadang surga disamarkan menjadi hal-hal konyol.” Ia menatap Umar lagi. “Kau tahu, Mar, aku tidak butuh kepastian-kepastian besar. Aku butuh laki-laki yang berani mencuci piring.”
“Berani,” jawab Umar, setengah bercanda, setengah bersumpah.
.
Jalan Panjang yang Menjadi Pendek
Kota tidak berubah banyak. Macet tetap macet. Harga tetap naik, walau perlahan. Peron tetap penuh, walau teratur. Tapi di dalam Umar, sesuatu bergeser: ia tidak lagi merasa dikejar semua hal. Ia memilih hal-hal yang ia kejar. Ia menolak proyek yang memintanya menulis kebohongan yang licin; ia menerima proyek yang kecil tapi memungkinkan kata-katanya menyentuh, bukan hanya menggaung.
Esai-esai Umar di media Amir mulai menemukan pembaca yang tidak pandai berkomentar tapi pandai merasakan. Seseorang menulis di surel: “Tulisanmu membuatku menyalakan lampu kamar lebih pelan.” Yang lain: “Aku hidup di kota yang sama, tapi aku takjub ternyata ada yang melihat ini.” Honor tidak membuat kaya, tapi cukup untuk menambah satu lemari plastik dan membeli kipas yang lebih pelan suaranya.
Hasan mengirim foto dari Madura: Siti dan anak-anak tersenyum di serambi rumah. Ada kursi bambu, ada sisa daun kering di tanah, ada langit yang tidak punya polusi selain awan. “Aku narik di kota kabupaten,” tulis Hasan. “Jalan lebih pendek, tapi sapaan lebih panjang.”
Umar menatap foto itu lama-lama. Ia tidak iri. Ia tidak heroik. Ia hanya bersyukur karena seseorang yang ia sayang memilih ulang arah dan pulang.
.
Adegan Terakhir: Datang, Duduk, Dengar
Suatu malam, Laila pulang jaga lebih cepat. Mereka duduk di balkon sempit kontrakan Umar, kaki menggantung, punggung mereka menyandar pada dinding hangat yang menyimpan panas siang.
“Mar,” kata Laila, “aku ingin minta sesuatu yang sulit.”
“Apa?”
“Kalau suatu hari kita lupa jalan pulang, jangan saling menyeret. Duduk saja. Dengar. Biar yang paling pelan bicara.”
Umar mengangguk. “Kau tahu,” katanya, “dulu aku merasa harus selalu menjelaskan. Sekarang aku belajar menujuk.”
“Kau belajar dari siapa?”
“Dari suara yang paling pelan. Dari yang menunjuk dan bilang: di sini.”
Laila tersenyum. “Kita simpan itu, ya?”
“Kita simpan,” jawab Umar.
Angin menyinggung gorden tipis. Di bawah, gang mengecilkan suara motor, membesarkan suara cuci piring. Lampu-lampu apartemen jauh seperti kumpulan titik pada peta yang disusun anak kecil: tak rapi, tapi jujur.
Umar mengangkat cangkir. “Untuk pulang,” katanya.
Laila mengangkat cangkirnya. “Untuk pulang yang tidak tergesa.”
Mereka saling mengangguk. Lalu diam. Lalu tertawa kecil tanpa alasan besar. Dan kota, untuk sesaat, ikut pelan—bukan karena berhenti, melainkan karena ada dua manusia yang akhirnya belajar ritme yang tepat untuk saling percaya.
.
“Kau akan tahu kau menemukannya bukan karena semuanya logis, tapi karena rasanya seperti pulang. Suara itu tidak menjelaskan; ia menunjuk dan berkata: ‘di sini.’ Tugasmu hanya satu—percaya.”
.
.
.
Jember, 26 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KisahUrban #PulangKeDiri #Intuisi #KompasMingguVibes #RefleksiHidup #CerpenIndonesia
.
Kutipan-Kutipan Disisipkan dari Naskah Umar
-
“Yang kita kejar di luar sering kali sedang menunggu di dalam; tapi karena terlalu dekat, kita tak tahu harus mulai memeluk dari sisi mana.”
-
“Intuisi tidak perlu penjelasan; ia hanya menunjuk arah. Yang perlu penjelasan adalah keberanian kita untuk percaya.”
-
“Pulang bukan alamat. Pulang adalah keputusan.”
-
“Kota adalah desa yang belajar berlari; jangan lupa menoleh agar tidak kehilangan napas.”
-
“Kejujuran adalah musik tanpa pengeras: ia terdengar paling jelas saat kita berani mengecilkan volume dunia.”