Ketika Tulus Itu Pergi
“Orang yang tulus kalau sudah sering kecewa, ia berhenti marah, berhenti berdebat—ia hanya menutup pintu. Dan sunyi di balik pintu itu lebih nyaring daripada teriakan apa pun.”
.
Hujan sore di Jakarta selalu datang dengan cara yang sama: cepat, sekilas, lalu meninggalkan lengas yang lama hilangnya. Lampu-lampu trotoar memantul di aspal yang menjadi cermin; di cermin itu, Mahadi melihat dirinya melintas seperti bayangan yang tak lagi punya tujuan. Di dalam genggaman, ponsel menyala-padam—notif dari dunia yang penuh suara—namun sunyi benar-benar punya alamat, yaitu dada Mahadi.
Kota, seperti biasa, tak peduli. KRL melintas dengan desis besi, ojek-ojek berlindung di bawah jembatan layang, wangi kopi sachet bercampur bau tanah basah. Mahadi menunggu di halte Transjakarta Cikini, menatap deret iklan LED seolah di sanalah nasib orang-orang dijanjikan—kulit yang mulus, hidup yang lebih ringan, pasangan ideal yang tersenyum. Di tempat itulah dulu Nuraini pernah berlari kecil, memayungi kepala mereka berdua dengan tasnya, tertawa sampai matanya menyipit.
Nuraini. Nama itu anggota kata yang tak pernah ia hapus dari kamus hidupnya. Dulu.
.
Mereka bertemu tiga tahun lalu, pada sebuah padam listrik di kafe kecil di Gondangdia. Lampu putus, AC mati, para pekerja kantoran mengeluh; Nuraini, dengan kemeja abu dan jilbab senada, mengetuk-ngetuk meja sambil menatap layar yang padam. “Deadline jam lima,” gumamnya.
Mahadi yang duduk di meja seberang menawarkan powerbank dan tatapan yang tidak menghakimi. “Pakai aja. Nanti gantian, saya juga nyicil.” Nuraini menoleh, mata beningnya seperti jendela yang baru saja diseka.
Percakapan mereka mengalir: tentang kontrak iklan yang mepet, tentang berjejalan di KRL, tentang pulang malam dan menemukan dapur kos berbau minyak goreng bekas. Mahadi bercerita seperlunya; Nuraini bertanya secukupnya. Kadang-kadang, cara seseorang bertanya lebih indah daripada jawaban; dan malam itu, di tengah padam, ada lampu menyala di hati Mahadi.
Lalu hari-hari berikutnya membawa kebiasaan baru: pesan “udah makan?”; foto-foto langit sore dari jendela kantor; perdebatan kecil tentang mana sate kulit paling renyah di Pasar Baru. Mereka menamai diri seperti tokoh lama yang dikagumi Mahadi—nama-nama yang ia temukan di kisah-kisah Menak Madura yang sering dibacakan kakeknya: Mahadi menyebut Nuraini sebagai Rengganis—yang ayu namun teguh; dan Nuraini menggoda balik, “kalau begitu kamu Jokotole—keras kepala tapi setia mengawal.”
Di satu Lebaran, Nuraini mempertemukan Mahadi dengan ibunya, Bu Musdalifah, yang tinggal di rumah petak di Rawamangun. Ibu itu menyuguhkan sayur asam yang manis dan tatapan yang menelisik. Seusai makan, Bu Musdalifah berbisik pada Mahadi di dapur, “Anak saya orangnya pejal. Kalau dia diam, itu karena dia menahan banyak hal.” Mahadi mengangguk. Ia sendiri tumbuh dari ayah pelaut dan ibu penjahit; ia paham betul bahasa diam.
Kebahagiaan, seperti semangkuk es cendol, tampak sederhana. Kau tak pernah menghitung berapa banyak serutan es, kau hanya tahu tenggorokanmu dingin dan manis menyebar pelan. Begitulah cinta di awal: ringan, gurih, tak membutuhkan rakit untuk menyeberang. Lalu waktu—yang pejal seperti beton—mulai menambahkan syarat-syaratnya.
.
Nuraini naik jabatan. Setiap pagi ia berangkat lebih awal, pulang lebih malam. Pesan “udah makan?” berubah jadi centang biru tanpa balasan. Selasa yang biasanya milik mereka di Kineforum berganti rapat-rapat daring, Jumat yang biasanya milik sate kulit jadi pitching deck sampai dini hari. Mahadi menunggu; orang tulus memang piawai menunggu. Ia menjemput Nuraini di lobi kantor hampir setiap akhir bulan, berdiri di bawah pendingin ruangan, menatap lift yang naik-turun seperti jantung kota. Kadang Nuraini muncul membawa wajah rapuh dan berkata, “Maaf ya, hari ini nggak bisa. Klien ngamuk. Minggu depan beneran.” Mahadi mendengar kata “minggu depan” seperti orang menelan pil pahit tanpa air.
Tanda-tanda kecil berbaris seperti barisan semut: ulang tahunnya dilupakan; panggilan tengah malam dibiarkan senyap; pesan panjang ia balas pendek. Pada mulanya Mahadi memberi seribu alasan untuk Nuraini: ia capek, timnya berantakan, bosnya sewenang-wenang, dunia kerja memang begitu. Tapi kekecewaan, seperti karat, tak pernah memilih pintu. Ia menyusup, menggerogoti lambat-lambat.
Puncaknya suatu malam di bulan November. Hujan turun di atas jembatan penyeberangan Kuningan. Mahadi menunggu dua jam di kursi halte, jaketnya basah, punggungnya pegal. Mereka janji makan malam, merayakan promosi Nuraini. Pukul delapan lewat tiga puluh, pesan masuk: “Aku nggak bisa datang, Mah. Ada follow-up meeting. Maaf.” Lalu tak ada apa-apa lagi.
Mahadi pulang dengan Transjakarta terakhir. Di jendela, kota memantul seperti film lama yang berbutir. Di rumah kos, ia duduk di lantai, menatap ponsel yang sunyi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang patah. Bukan karena batal makan malam, melainkan karena merasa tak lagi dianggap bagian dari hidup seseorang yang selama ini ia jaga seperti relik.
Keesokan paginya, Mahadi tetap berangkat kerja, menyusun spreadsheet, memperbaiki bug di aplikasi klien, memberi code review pada junior—semuanya ia lakukan dengan ketelitian yang nyaris mekanis. Teman-temannya mengatakan ia kelihatan tenang. Padahal di dalam, sebuah pintu baru saja menutup dengan klik yang ia sendiri takut mendengarnya.
.
Suatu siang, Wira—rekan kantornya yang cerewet seperti radio—mengajaknya makan pecel Madiun di Gondangdia. “Lo lagi kenapa? Ditinggalin, ya?” candanya setengah serius. Mahadi menggeleng. “Cuma capek.” Wira mendesah. “Capek itu beda sama selesai, Di.”
Mahadi tersenyum tanpa gigi. “Mungkin aku sudah selesai menjadi orang yang memaklumi.”
Di sore yang sama, Nuraini mengirim pesan: “Kamu di mana? Kita ketemu?” Mahadi membaca, menutup layar, memasukkan ponsel ke saku. Ia membiarkan pesan itu berenang dalam diam. Untuk pertama kali dalam ratusan hari, Mahadi tidak berebut membalas. Ia menunggu rasionalitas lebih dulu duduk. Baru malamnya ia menjawab, “Besok, jam empat, di kafe yang biasa.”
Nuraini datang dengan tatapan yang lama. Mahadi memesan dua kopi hitam; Nuraini, seperti biasa, gula cair sedikit. “Aku minta maaf,” katanya cepat. “Aku kerjaku berantakan, kepalaku berantakan. Rasanya semua orang minta sesuatu dari aku.”
Mahadi mengangguk. “Aku ngerti.” Dan kata itu—yang selama ini memberi pelukan—kali ini seperti selimut basah.
Nuraini bercerita panjang: bosnya, target, klien yang tak masuk akal, teman kerja yang menusuk dari belakang. Di sela-sela itu Mahadi melihat kilasan Nuraini yang dulu: Rengganis yang tertawa pada hal receh, yang menaruh kepala di bahu ketika film terlalu sunyi. “Maaf, ya,” ucapnya lagi. “Kamu jangan berubah.”
Mahadi menatap cangkirnya. “Aku tidak berubah. Aku hanya belajar menutup pintu yang terus kamu dobrak dari luar tapi tak pernah kamu masuki.”
Nuraini terdiam. “Jadi kamu… marah?”
Mahadi menggeleng. “Orang marah masih berharap. Aku tidak marah. Aku selesai.”
Sunyi menetes seperti air dari atap bocor. Di kafe itu, musik city pop mengalir, barista tertawa, mesin espresso mendesah. Dunia melanjutkan urusan—seolah percakapan tentang selesai bukan apa-apa.
.
Setelah hari itu, Mahadi berubah menjadi versi yang jarang ia kenal. Bukan dingin; lebih tepatnya, hemat. Ia hemat membagi perhatiannya, hemat bertanya “udah makan?”, hemat mengingat detail kecil yang dulu ia simpan rapih. Ia tetap menolong orang, tapi dengan pagar yang jelas; ia tetap hadir, tapi tak mengulurkan tangan sampai bahunya sendiri sakit.
Waktu luang yang dulu ia simpan untuk Nuraini ia gantikan dengan hal-hal yang selalu tertunda: memotret kota subuh dari jembatan flyover Taman Anggrek, menulis esai pendek di Medium tentang arsitektur trotoar, berlatih fingerstyle gitar dengan lagu-lagu Ebiet. Ia mengunjungi kakeknya di Pamekasan, Pulau Madura, tempat ia mendengar kisah-kisah lama sewaktu kecil. Dalam perjalanan itulah Mahadi menemukan semacam keteguhan baru—keteguhan yang bukan dari marah, melainkan dari paham.
Kakeknya, Saka, menyalakan lampu minyak di serambi rumah. “Hidup itu, Mah, seperti perahu lesung. Kalau muatanmu terlalu banyak, kamu akan oleng. Kalau kamu memuat yang bukan milikmu, kamu karam. Kadang, membuang sebagian muatan bukan berarti menyerah—itu caramu bertahan.” Mahadi mengangguk, memandang halaman yang bercahaya kuning. Malam Madura penuh suara jangkrik dan wangi kayu bakar; di udara, ada doa-doa yang sederhana.
Saka bercerita tentang Jokotole—prajurit yang setia mengawal, yang tahu kapan menebas, kapan menengadah. “Kau mirip dia,” kata Saka sambil tertawa kecil, “keras kepala soal apa yang kau anggap benar. Tapi kau harus ingat, setia itu bukan kepada orang yang membuatmu menjadi tidak dirimu.”
Kalimat itu menancap seperti patok di tanah liat.
.
Kembali ke Jakarta, Mahadi menata ulang hidupnya. Ia mengajukan remote work dua hari seminggu; ia memulai kebiasaan lari pagi di Gelora Bung Karno, menyapa pedagang bubur yang hafal pesanan “tanpa kacang, tambah cakwe”. Ia membeli tanaman sirih gading, meletakkannya di pojok kamar kos yang dipenuhi buku-buku. Bukannya ia tidak memikirkan Nuraini—nama itu masih mengapung seperti balon di langit—tapi ia belajar membiarkannya hanyut ke arah yang bukan dirinya.
Nuraini beberapa kali menghubungi, kadang via telepon, kadang lewat pesan panjang yang seperti curhat di majalah lama: tentang keletihan, tentang mimpi yang disangga orang tua, tentang takut menjadi perempuan yang “terlalu ambisius”. Sekali dua kali Mahadi membalas pendek, menyerahkan dukungan yang tak lebih dari kata-kata netral. Pada suatu malam ketika Nuraini mengetik, “Aku rindu kamu yang dulu,” Mahadi berhenti lama. Ia hampir menulis: aku masih di sini. Tapi akhirnya ia hanya mengirim satu kalimat: “Yang dulu sudah belajar.”
.
Tumbuh artinya memisah. Itu Mahadi pahami saat Wira mengajaknya ikut acara komunitas fotografi. Mereka menyusuri jalur MRT dari Lebak Bulus sampai Bundaran HI, memotret orang-orang yang tersenyum pada kaca gerbong karena melihat diri sendiri. Di layar kamera, Mahadi menangkap hal-hal kecil: tangan pasangan lansia saling mengait, anak kecil menempelkan pipi di jendela, petugas kebersihan merapikan kursi tunggu dengan ritme yang nyaris musikal. Dunia penuh rajutan—kita sering lupa bahwa rajutan itu tidak selalu perlu diikat di leher kita sendiri.
Suatu sore, Mahadi menerima pesan dari nomor tak dikenal. “Mahadi, ini Praba.” Praba adalah mantan rekan magang yang dulu ia bimbing—di grup mereka, orang-orang memanggilnya Raden Pragalba karena kecerdasannya yang kasar. Pesan itu mengundang Mahadi ke diskusi literasi di sebuah perpustakaan komunitas di Tebet. “Kami bahas cerpen-cerpen urban. Lo cocok.”
Di sana, Mahadi bertemu Lela, kurator yang matanya selembut kertas. Lela memperkenalkan Mahadi pada kumpulan cerpen, dari yang sepopuler Kompas Minggu sampai yang getir di zine kampus. “Cerita kota,” kata Lela, “selalu tentang kehilangan. Entah kehilangan waktu, kehilangan arah, atau kehilangan diri sendiri.” Mahadi tersenyum. “Atau kehilangan seseorang yang kita kira akan jadi jalan pulang.” Lela memandangnya lama, tapi tak bertanya.
Minggu-minggu setelahnya, perpustakaan itu menjadi tempat Mahadi pulang. Ia membaca diam-diam, menulis diam-diam, dan menahan diri untuk tidak membicarakan Nuraini pada dunia. Orang tulus tidak suka menjadikan orang lain tokoh antagonis di panggungnya; mereka lebih suka membereskan panggungnya sendiri.
.
Pada suatu pagi yang cerah, Nuraini tiba-tiba menunggu di depan kantor Mahadi. Rambut yang biasa tersembunyi di balik kerudung kini rapi di balik bergo krem. Mata itu masih sama, hanya ada garis-garis baru di bawahnya. “Kita bisa bicara?” tanyanya.
Mereka duduk di bangku taman kecil samping gedung, di bawah pohon tabebuya yang tak sedang berbunga. “Aku tahu aku salah,” Nuraini membuka. “Aku minta kesempatan. Bukan untuk mengulang, tapi untuk memperbaiki.”
Mahadi menatap orang-orang yang lalu-lalang. “Aku percaya orang bisa berubah,” ujarnya pelan. “Tapi aku juga belajar bahwa perubahan yang meminta orang lain kembali ke luka lamanya bukan perubahan—itu permintaan maaf yang egois.”
“Jadi kamu nggak mau?” suara Nuraini nyaris berbisik.
“Bukan nggak mau.” Mahadi mencari kata. “Aku memilih sehat.”
Nuraini menunduk, menitikkan air mata yang cepat diusap. “Kamu berubah, Mah.”
Mahadi tersenyum. “Bukan. Aku kembali jadi diriku sebelum aku terlalu ingin dimengerti oleh orang lain.”
Mereka diam. Angin membawa suara kendaraan, dan sehelai daun kering jatuh di antara sepatu mereka. “Terima kasih,” kata Nuraini akhirnya, “untuk semua yang pernah kamu lakukan. Aku akan berhenti mengganggu.”
Mahadi mengangguk. “Jaga dirimu, Rengganis.” Ia masih memanggil nama itu—bukan sebagai janji, melainkan sebagai salam perpisahan.
.
Waktu bergerak. Tidak ada klimaks dramatis, tidak ada kata-kata yang menyerupai pengusiran malaikat dari surga. Ada keseharian: Mahadi menyelesaikan sebuah proyek besar, memotret pawai budaya di Kemayoran, menulis esai yang diunggah di blog kantor dan mendapat pujian. Ia mengunjungi Bu Musdalifah, yang membuatkan pepes tahu dan menyelipkan kalimat, “Kadang kita nggak dapat yang kita mau karena Tuhan lagi selamatkan kita dari yang tidak kita perlu.” Mahadi tertawa kecil. “Ibu bisa jadi influencer.”
“Influencer mah kamu,” jawab ibu itu sambil menepuk punggungnya. “Pengaruhmu ada di cara kamu nggak dendam.”
Kalimat itu mengejutkan Mahadi. Ia baru sadar bahwa ketulusan bukan soal selalu mau; kadang ketulusan justru soal mampu tidak mengambil kesempatan membalas. Karena orang tulus setelah sering kecewa tak lagi menghukum; ia hanya melanjutkan hidup dengan tenang. Dan ketenangan itu menular.
Di perpustakaan, Lela meminta Mahadi membacakan esainya tentang trotoar. Selesai pembacaan, beberapa orang berdiskusi; ada yang menanyakan struktur, ada yang memuji pilihan kata. Lela mendekat, berkata, “Tulisanmu menyentuh bukan karena sedihnya, tapi karena kamu menaruh tanganmu di tanah ketika bercerita. Nyata.” Mahadi mengucap terima kasih tanpa menjanjikan apa-apa. Pelan-pelan ia belajar menikmati hal-hal yang tak perlu diikat.
Malam Minggu itu, ia berjalan kaki menyusuri Sudirman yang ditutup untuk car free night menjelang perayaan kota. Lampu-lampu gedung berkilau seperti galaxinya sendiri; sepasang anak muda berlatih rollerblade, penjual minuman memanggil pelanggan dengan nada naik. Di tengah keramaian, Mahadi merasakan kehadiran yang kuat: dirinya sendiri, utuh, tidak lagi dicari-cari dalam tatapan orang lain.
Ia membuka ponsel, memotret bayangannya di genangan. Di layar, ada notifikasi WhatsApp dari nomor yang dulu sangat dikenal—sebuah broadcast ucapan selamat hari raya dari kantor Nuraini. Mahadi membaca, lalu menutup layar tanpa rasa apa-apa. Bukan karena benci; karena ada ruang yang sudah selesai dibereskan.
.
Beberapa bulan kemudian, Mahadi diundang menjadi pembicara kecil di komunitas literasi. Temanya “Kota, Kecewa, dan Ketulusan.” Ia berdiri di depan dua puluh orang, memulai dengan cerita tentang jalan berlubang yang selalu diadukan warga namun tak kunjung diperbaiki; suatu hari seorang pemilik warung memperlebar lubang itu, menjadikannya kolam ikan kecil, dan pembeli justru betah berlama-lama. “Kadang,” kata Mahadi, “kita tidak bisa menghapus lubang. Tetapi kita bisa berhenti terjatuh di lubang yang sama. Bahkan kalau sanggup, kita jadikan tempat itu tidak menyakiti lagi.”
Seseorang bertanya, “Apakah itu artinya memaafkan?” Mahadi berpikir. “Mungkin. Tapi lebih dulu dari memaafkan, ada hal yang namanya memulangkan: memulangkan ekspektasi, memulangkan kebiasaan menyalahkan diri, memulangkan seseorang yang tidak lagi memilih kita.”
Usai acara, Lela menawari makan malam. Mereka berjalan kaki ke warung Mandailing di belakang stasiun, memesan ayam kampung goreng yang gurih. “Kamu bahagia?” tanya Lela tiba-tiba. Mahadi tidak tergesa menjawab. “Aku damai,” katanya akhirnya. “Dan damai memberi ruang untuk bahagia.”
Lela mengangguk. “Bagus. Karena bahagia itu sering terlambat datang, tapi damai bisa dipilih lebih dulu.”
Malam itu mereka pulang masing-masing. Mahadi menyalakan radio kecil, lagu lama Ebiet mengalun tentang perjalanan dan teluk. Ia tak merasa sedang memulai kisah baru, tak juga menutup rapat yang lama. Ia hanya berjalan—dan kali ini, tidak membawa muatan yang bukan miliknya.
.
Suatu pagi di bulan Juli, tabebuya di taman samping kantor mekar kuning seperti kembang gula. Mahadi duduk di bangku yang sama tempat ia mengakhiri sesuatu, memegang buku catatan kecil. Ia menulis satu kalimat untuk dirinya sendiri:
“Setelah pintu ditutup, jendela tak selalu harus dibuka. Kadang, kau hanya perlu duduk dan menikmati hening, sampai kau tahu: kau masih punya langit.”
Ia tersenyum. Di seberang jalan, seorang perempuan mendorong kursi roda ibunya; di langit, pesawat menggores garis putih. Mahadi menaruh buku, berdiri, dan melangkah ke dalam gedung—ke hidup yang tetap keras, tetapi kini tidak lagi mengikisnya dari dalam.
Karena begitulah orang tulus setelah sering kecewa: ia tidak menjadi jahat; ia menjadi jelas. Ia tidak menabung dendam; ia menabung jarak. Ia tidak memikirkan bagaimana membalas; ia memikirkan bagaimana menjaga yang tersisa dari dirinya. Dan di suatu tempat yang tidak ramai, keteguhan itu tumbuh, setenang akar pohon yang merayap di tanah—tidak terlihat, tapi menyelamatkan.
.
“Ketulusan bukan berarti selalu kembali. Kadang, ketulusan justru berjalan pergi agar hati tak lagi menjadi tempat orang lain belajar melukai.”
.
.
.
Jember, 25 September 2025
.
#CerpenEmosional #OrangTulus #SeringKecewa #SastraKota #KompasMingguStyle #LiterasiIndonesia #SelfHealing #Jokotole #Rengganis