Ruang Sempit, Langit Luas
“Aku membantu, bukan karena kuat. Aku membantu, karena pernah rapuh.”
“Menolong bukan tentang mampu atau tidak, tetapi tentang hati yang ingat rasanya ditinggalkan sendirian.
Jika aku memberi, bukan berarti aku lebih—aku hanya tahu getirnya menjadi yang tak punya.”
.
Di gang selebar bahu yang membelah rumah-rumah petak di tepi Kali Sentiong, Jayeng menutup pintu triplek dengan hati-hati. Bunyi engsel menyeletuk seperti keluh yang ditahan. Di dalam, Kelas—perempuan berkulit sawo matang dengan rambut dicepol sederhana—menyusui bayi mereka yang baru dua bulan. Nama bayi itu Kutaraja, panggilan Raja, karena Kelas ingin anak mereka kelak gagah menolak nasib seperti kota yang menolak tenggelam. Di atas dipan, termos air panas, botol susu, dan catatan utang warung ditumpuk setengah rapi.
Jayeng mengecek senter, ponsel, dan rompi satpam. “Aku berangkat, Les.”
Kelas mengangguk. Mata yang kurang tidur namun tetap berbinar. “Jangan pulang lewat dua, banjir malam ini bisa naik.”
Jayeng tersenyum tipis. “Langit baik kepada kita kalau kita baik pada sesama, kata Maya.”
Maya—nama asli Umarmaya—adalah tetangga tua yang suka duduk di ujung gang. Pensiun karyawan percetakan, pandai menjahit dan menambal luka. Di kampung, ia dianggap guru yang tak pernah berceramah: cukup menatap, mengangguk, lalu menolong di saat paling sederhana—menjemur baju saat hujan, membagi nasi bungkus saat ada kebakaran, menempelkan koyo di punggung orang yang sedang patah. Kelas memanggilnya “Mbah”, Jayeng “Maya”.
Maya pernah berkata, “Bantuan terbaik itu tidak perlu diumumkan. Cukup sampai rasa sesak di dada orang itu berpindah sebentar ke dada kita.” Jayeng mengangguk waktu itu, meski tidak betul-betul paham bagaimana caranya memindah sesak.
.
Shift malam di menara kaca dekat Sudirman acap terasa seperti berjaga di dalam akuarium. Dari pos satpam, Jayeng melihat ikan-ikan gedongan—para abdi lembur—berenang dalam lampu neon. Di luar, hujan turun. Pagar listrik berbunyi, “tik… tik… tik,” mengikuti ritme air. Jam nyaris sebelas ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
“Mas Jayeng?” Suara di seberang seperti meminjam napas.
“Iya.”
“Saya Madi… Umarmadi. Dari kampung. Maya jatuh di gang. Kayaknya kena serangan jantung.”
Jayeng berdiri. Di dadanya, sesak seperti dipindahkan. “Aku pulang sekarang.”
“Mas, tenang. Saya lagi cari motor ojek. Air sudah naik. Ada jalan yang putus.”
Pos komando memanggil. “Jaga perimeter, Jay!” rekan setim menyodorkan logbook patroli. Jayeng menandatangani terburu-buru. “Ibu saya…,” katanya bohong, “mendadak sakit.”
Atasan mengangkat alis. “Kau sudah ambil dua kali izin, Jay.”
“Kalau saya tidak pergi, seseorang bisa kehilangan nyawa.”
Itu kalimat yang jarang kita temukan di SOP. Namun malam itu, kalimat polos itu seperti anak kunci yang jatuh tepat di telinga yang tepat—atasan diam, menghela napas, lalu mengangguk singkat. Jayeng berlari menerobos hujan.
Di halte Transjakarta, bus terlambat datang. Hujan membuat kota menciut: trotoar melebur jadi sungai, lampu-lampu jadi bintang-bintang yang menetes. Jayeng menyeberang di bawah jembatan dengan sepatu terendam. Dalam kepalanya, gambaran Maya yang tertawa kecil ketika mengembalikan sandal jepitnya yang putus waktu banjir tahun lalu. “Diukur dulu mau ke mana,” kata Maya saat itu, “baru tahu tali mana yang harus disimpul.” Jayeng memelihara kalimat itu seperti batu kecil di saku: sederhana, tapi menenangkan.
Sebuah ojek motor berhenti mendadak. “Mas Jayeng?”
Jayeng menatap. Pengendara itu Madi—anak muda kurus yang biasa membantu di belokan gang. “Naik, Mas. Saya pinjam motor tetangga. Cepat.”
Mereka menembus hujan. Jalanan berubah urat, berkelok dalam gelap. Di bawah pohon angsana, mereka terhadang banjir kiriman. Madi, yang tak pernah selesai SMA karena harus menjaga bapaknya yang sakit, memutar motor melalui jalan belakang. “Mas,” teriaknya melawan angin, “Maya sempat bilang, ‘Sampaikan pada Jayeng, semua orang berhak pulang dengan tenang.’”
Kalimat itu mengawetkan dingin dalam tulang. Jayeng memeluk helm kendor.
.
Di pintu gang, air sudah sebatas lutut. Orang-orang menggulung celana, menenteng ember, menambatkan kehidupan. Di ujung, di rumah triplek Maya, telah ramai. Ringga—tetangga yang berprofesi tukang sonido (sound system)—berdiri bingung. “Puskesmas tak bisa kirim ambulans. Ban bekas ponton menutup pintu keluar.”
Kelas datang sambil menggendong Raja dan menenteng tas berisi popok. Matanya mencari Jayeng dan masuk tenang ke dalam pelukan. “Maya pingsan, tapi masih hangat,” katanya.
Dalam rumah kecil itu, Maya terbaring miring. Bibirnya bergerak pelan, seperti merajut doa. Jayeng duduk di lantai, memegang telapak tangan yang kapalan. “Maya,” bisiknya, “ini aku.”
Maya membuka mata tipis. “Jay… kau sudah pulang.” Ada senyum kecil, lalu batuk yang dalam. “Jangan ribut. Air akan surut. Hidup juga begitu.”
Di tikungan suara, Kelas mengusap punggung Maya. “Mbah, kita bawa ke rumah sakit.”
“Tunggu.” Maya menarik napas. “Jay… pinjamkan motormu pada Madi. Ada bayi tetangga, Kinasih, demam tinggi sejak sore. Ibunya, Sari, harus ke IGD. Motor Madi kecil, tak kuat menembus air. Motormu lebih tinggi.”
Jayeng menahan impuls untuk berkata tidak. Motor itu satu-satunya modalnya bekerja. Namun ia ingat kalimatnya sendiri. “Jika saya meminjamkan sesuatu, bukan karena saya punya lebih…” Bukan kalimat instagram; itu batu kecil lain di saku.
Madi gelagapan. “Mas, bagaimana dengan Maya?”
Jayeng menghela napas. “Motor itu juga akan membawamu menjemput ambulans kalau perlu.”
Kelas menatap Jayeng, seolah bersiap menjadi tembok saat ia nyaris runtuh. “Pergi,” katanya pelan.
Madi memeluk Jayeng cepat—pelukan yang tidak nyaman namun tulus—lalu berlari ke luar. Ringga dan beberapa tetangga mengikuti, menyiapkan makeshift tandu dari papan sempit.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Kelas pada Maya.
Maya mengangguk. “Sejak kecil aku tinggal di rumah petak di Pamekasan. Orang tuaku pedagang sate. Kalau hujan, asap menempel di daun dan atap. Kami hidup dari kepulan-kepulan yang tak sempat jadi bintang. Tapi ada satu pelajaran dari bapak: ‘Kalau kamu memberi, pastikan orang itu tidak perlu berterima kasih. Biarkan ia punya beban lebih ringan, bukan utang hati baru’.”
Jayeng tersenyum getir. “Kalau semua orang begitu, hidup terasa seperti beranda rumah.”
Maya menatap langit-langit. “Beranda juga perlu diperbaiki menanti tamu. Dan kita semua tamunya.”
Di luar, suara knalpot memecah hujan. Madi melintas membawa Sari dan bayi Kinasih yang dibalut jaket hujan. Jayeng menatap motor bebek yang menjadi perahu. Dalam hati, ia menulis: satu kepergian selalu melahirkan satu kemungkinan pulang.
.
Rasanya jam berhenti berjalan di malam banjir. Ketika ambulans akhirnya masuk kampung, udara sudah bau lumpur. Petugas membawa Maya ke mobil. Madi kembali, meneteskan air dari ranselnya. “Bayi itu dibawa ke IGD, Mas. Alhamdulillah motor Mas kuat.”
Jayeng mengangguk. “Terima kasih.”
“Itu bukan uang, Mas,” jawab Madi canggung, “tapi entah kenapa saya merasa seperti baru saja menerima gaji.”
Mereka tertawa pendek yang tak betul-betul lucu. Kelas melirik Jayeng. “Pergi dengan ambulans.”
Maya menolak. “Biar Madi yang ikut. Kau pulang. Besok kau kerja. Kota ini selalu bangun jam enam.”
“Kalau Maya butuh apa pun…,” Jayeng menahan diri.
“Bawakan foto-foto Raja. Aku senang melihat yang kecil-kecil berhasil tidur.”
.
Besok paginya, kota terbangun seperti orang yang baru memaafkan. Di pos satpam, Jayeng disambut kebijakan dingin. “Kau meninggalkan pos tanpa izin tertulis,” kata atasan, “kebijakan kantor sedang diperketat. Permintaan maafmu tidak cukup.”
Jayeng merasa batu-batu di sakunya berat. Kata-kata gumam, “Hukum bukan tentang rasa,” tapi ada juga kalimat lain yang menindih: “Kalau rasa tak punya ruang di hukum, maka hukum akan kehilangan manusia.” Ia menandatangani surat peringatan kedua. Mungkin akan ada yang ketiga. Ia pulang lebih awal, mengantar surat kepada Kelas yang memelintir tali jemuran.
“Kalau begitu, kita harus menambah pemasukan,” kata Kelas. “Aku bisa ambil shift tambahan di toko roti.”
Jayeng memegang tangannya. “Jangan. Kamu baru selesai melahirkan.”
Kelas mendongak, mata kasar namun hangat. “Hidup tak pernah menunggu kesiapan. Dia menagih.”
Sebelum ia menjawab, Madi mengetuk pintu. “Mas… Maya menitip pesan. Ia minta aku jadi penghubung antara warga dan kelurahan untuk distribusi bantuan pascabanjir. Katanya: ‘Jayeng lebih sabar membaca peta. Madi lebih cepat membaca hati.’ Kita diminta menyusun daftar kebutuhan warga.”
Jayeng menghela napas. “Kita mulai petang ini.”
Kota menagih; ia memilih membayar dengan waktunya.
.
Daftar itu mekar jadi peta. Jayeng meminjam papan whiteboard dari sekolah nonformal dekat masjid. Ia menggambar blok-blok gang, menandai titik rumah lansia, ibu tunggal, anak putus sekolah, difabel. Madi mendatangi rumah-rumah, mencatat: siapa butuh obat hipertensi, siapa memerlukan popok, siapa kehilangan surat-surat. Kelas menjadi pos logistik di beranda rumah, memotong kardus menjadi label, menempelkan nama. Ringga mengurus speaker untuk memanggil warga tanpa menjerit.
Berita turun dari langit—atau dari grup WhatsApp RT—tentang bantuan logistik yang akan datang. Namun seperti biasa, lebih cepat rumor ketimbang truk. Orang-orang menunggu dengan kesabaran yang terasa seperti denda. Di tengah menunggu, ada yang menyusup: orang-orang dari luar kampung memotret luka lalu mengemasnya jadi konten. Jayeng menahan marah. “Kita butuh simpati, bukan pajangan,” gumamnya.
Ia teringat pada masa kecilnya di Lamongan, ketika bapaknya pedagang sayur keliling dan ibunya mengajar mengaji. Suatu hari, rumah mereka kebakaran kecil. Tetangga datang, bukan dengan kamera, melainkan dengan ember. Waktu itu, kesimpulannya sederhana: dunia selamat bukan karena pahlawan, tapi karena orang biasa tidak pura-pura buta.
Maya menelepon dari ranjang rumah sakit. Suaranya lebih jernih. “Jay, aku menatap plafon. Ada retak seperti sungai di peta. Retak itu mengajariku: yang pecah, kalau ditandai, bisa jadi jalan.”
Jayeng tertawa kecil. “Maya, bagaimana dengan jantung?”
“Masih utuh, hanya menua. Aku ingin pulang sebelum Idulfitri.”
“Pulang ke rumah atau pulang ke tenang?”
“Dua-duanya. Orang yang pulang ke rumah, jika hatinya tenang, akan menularkan jalan pulang ke orang lain.”
.
Program kecil itu berjalan dengan logika yang malu-malu. Mereka menamai dirinya “Tali Air”—bukan komunitas formal, hanya kebiasaan yang disepakati. Tali Air bukan LSM, bukan ormas; ia lebih mirip dengan jalur selang yang ditaruh diam-diam di atas genting. Dari satu rumah ke rumah lain, pelan-pelan air ketercukupan mengalir. Jayeng membuat jadwal piket: siapa mengantar obat, siapa menemani lansia ke puskesmas, siapa memantau anak-anak belajar di ruang mushala, siapa menjadi penghubung ke kelurahan.
Dalam sebulan, kampung yang biasanya hanya masuk berita saat banjir mulai punya berita sendiri: anak-anak kembali main layangan di lapangan kecil yang disapu dari sisa lumpur; ibu-ibu membuka warung sederhana dengan sistem “bayar nanti” tanpa bunga; para bapak memperbaiki jembatan kayu dengan paku yang dikumpulkan dari bekas palet. Mereka menertawakan diri sendiri, seperti orang yang sadar bahwa hidupnya unik sekaligus pasaran.
Suatu sore, Sari—ibu bayi Kinasih—datang membawa bingkisan roti. “Kalau motor itu tidak datang malam itu,” katanya, “aku tidak tahu harus bagaimana.”
Jayeng menggeleng. “Itu urusan kita semua.”
Sari memeluk Kinasih yang kini pipinya mulai menggemuk. “Aku masih takut menjadi utang.”
“Maya selalu bilang: ‘Biarkan orang yang dibantu lupa, asal yang membantu tidak lupa bagaimana rasanya butuh.’” Jayeng menatap bungkusan roti itu. “Tapi kami tidak menolak roti,” tambahnya sambil tertawa.
Di tepi lapangan, Madi duduk memperhatikan segerombol anak remaja bermain bola. Ia tampak diam namun resah. “Mas,” katanya kemudian, “kalau Tali Air jadi besar, orang akan salah paham. Mereka bertanya: apa maumu?”
Jayeng mengangkat bahu. “Kalau orang bertanya apa mau kita, jawaban paling jujur mungkin: maunya bisa tidur nyenyak.”
Madi menatap langit. “Aku takut suatu hari aku ingin terlihat. Padahal yang ingin kita suapi adalah perut kosong, bukan ego yang lapar.”
Jayeng menepuk bahu Madi. “Keinginan terlihat itu normal. Kita hanya perlu memastikan yang terlihat adalah kerja, bukan dirimu. Dan kerja yang baik selalu memiliki tombol senyap.”
.
Kabar buruk datang seperti suara kursi diseret di lantai keramik—mengganggu karena terlalu wajar: kontrak kerja Jayeng tidak diperpanjang. Alasannya profesional: restrukturisasi, efisiensi. Pada satu sisi kertas, ada daftar kinerja memadai; pada sisi lain, tanda tangan yang membuat namanya berhenti di situ. Di halte bus, ia duduk memeluk tas sementara kota berdering—suara jam kantor menutup harapan pukul lima.
Ia menyembunyikan kabar itu dua hari. Pada hari ketiga, Kelas yang sejak awal seolah bekerja sama dengan semesta untuk menghaluskan kerasnya dunia, menatapnya lama lalu berkata, “Kamu kehilangan pekerjaan, ya?”
Jayeng tertawa hambar. “Aku masih punya kita.”
“Dan kita masih punya kota,” jawab Kelas. “Ada proyek Tali Air yang butuh koordinator penuh waktu.”
“Itu pekerjaan tak bergaji.”
“Gaji yang tertunda bukan berarti tak ada honor. Tabungan yang kita simpan adalah ketercukupan orang lain; bunga yang kembali nanti adalah tenang yang meluas.”
Jayeng memeluk Kelas lama. Raja merengek kecil, seolah minta dilibatkan pada persekongkolan harapan.
Malam itu, Jayeng berjalan sendiri ke jembatan kayu. Air kali memantulkan lampu-lampu rumah. Ia teringat pada bapaknya, pada rumah yang pernah kebakaran, pada para tetangga dengan ember. Ia ingin memelihara ingatan itu seperti memelihara api kecil: jangan sampai padam, jangan sampai membakar.
Di ujung jembatan, Maya duduk. Ia sudah pulang dari rumah sakit dengan langkah pelan tapi mantap. “Jay,” katanya, “aku dengar kau ‘dipulangkan’ kantor.”
“Kurang-lebih.”
Maya mengusap dagu. “Di Pamekasan, dulu, ada kisah Menak Jayengrana—kalian menyebutnya Jayeng—yang memilih tersingkir di istana agar bisa menyusup ke perkampungan. Bukan demi strategi, tapi agar bisa merasakan nadi orang banyak. Kadang kalah itu, kalau diolah, jadi pintu masuk.”
Jayeng tertawa kecil. “Nama saya tertular kisah.”
“Nama itu doa. Kau bisa menjemput doa dengan jalan kaki.”
Mereka tertawa. Lalu Maya menatap kali. “Aku ingin kau ingat satu hal, Jay: bantuan paling jujur adalah tidak membuat kita merasa lebih tinggi. Kalau kita meminjamkan sesuatu, pastikan kita meminjamkan bagian dari diri yang bisa kita pulihkan kembali—bukan harga diri yang membuat orang lain kerdil.”
“Bagaimana caranya?”
“Dengan selalu bertanya: setelah aku membantu, apakah orang itu bisa menatapku sejajar?”
.
Musim berganti. Banjir menyusut, panas mengeras. Tali Air menyusun kerja baru: bank ponsel bekas untuk anak-anak belajar daring, taman baca di mushala, kotak darurat menstruasi untuk remaja putri yang malu bersuara, kelas servis elektronik sederhana untuk para bapak. Program itu tumbuh seperti pohon yang tak pernah diunggah. Sesekali ada yang menawarkan donasi besar dengan syarat branding; sebagian mereka tolak halus, sebagian mereka terima dengan syarat bahwa nama donatur ditempel kecil di balik papan—bukan di depannya.
Tapi kota tak pernah kehabisan ujian. Suatu sore, kebakaran meletup di blok belakang. Kompor meledak. Api bergerak seperti kalimat panjang tanpa koma, menyapu atap-atap seng. Ringga membawa speaker, memanggil orang-orang: “Jangan panik, padamkan dari arah angin!” Madi mengevakuasi anak-anak, Kelas menggulung selang dari kran mushala. Jayeng memimpin jalur ember—barisan orang yang memindahkan air dari satu tangan ke tangan lain.
Di tengah komando darurat, Jayeng melihat seorang lelaki tua berdiri dengan tatapan kosong. Ia memeluk kandang ayam tanpa ayam. “Pak,” kata Jayeng, “mari ke lapangan.” Lelaki itu menggeleng. “Aku kehilangan foto istriku.”
Jayeng menatap rumah yang terbakar. Akalnya menolak, hatinya sudah melangkah. Ia menyelinap ke pintu yang tinggal rangka. Asap menampar. Di kamar paling belakang, ada lemari kayu dengan bagian atas hangus. Ia menunduk, meraih album foto yang setengah basah. Di halaman pertama, seorang perempuan berkebaya tersenyum malu. Jayeng menutup album, berlari keluar. Ia tersengal di udara malam, menyerahkan album itu. Lelaki tua itu meneteskan air mata tanpa suara—air mata yang membasuh bara di pipi.
Setelah api padam, kampung bau air hangus. Orang-orang duduk di trotoar, capai yang suci. Madi mendekat. “Mas, kau gila. Kalau kau pingsan di dalam, kita tidak punya satpam kampung lagi.”
Jayeng mengangkat bahu. “Aku hanya meminjamkan paru-paru sebentar kepada orang itu.”
“Dan kalau paru-parumu tak kembali?”
Jayeng menatap langit yang nyaris tanpa bintang. “Mungkin ada orang lain yang meminjamkan paru-paru kepada Kelas dan Raja.”
Madi terdiam. “Jangan terlalu percaya pada dunia, Mas.”
“Aku tidak percaya pada dunia. Tapi aku percaya pada kemungkinan.”
.
Kabar tentang Tali Air menyebar tanpa sengaja. Bukan viral, tapi beredar seperti cerita warung kopi. Suatu pagi, seorang eksekutif dari perusahaan properti datang dengan rombongan. Ia menawarkan relokasi ke rumah susun baru yang letaknya dua kecamatan dari situ. “Akan lebih bersih, lebih rapi. Kalian akan aman dari banjir.” Warga menatap Jayeng, seolah ia kepala desa yang tidak pernah dipilih tetapi selalu ditanya.
Jayeng meminta waktu. Mereka berkumpul di mushala: 28 keluarga, 28 suara yang sama-sama genting. Ada yang setuju pindah, ada yang takut jauh dari tempat kerja, ada yang khawatir rusun menjadi sangkar baru. Jayeng menulis daftar di papan tulis: “Yang setuju pindah”; “Yang ingin bertahan sambil memperbaiki.”
“Kalau kita menolak relokasi,” kata Ringga, “apakah itu artinya kita menolak hidup yang lebih bersih?”
“Bersih itu penting,” sahut Kelas, “tapi rapi tidak selalu berarti adil.”
“Kalau kita pindah,” sela Sari, “bagaimana dengan ibu-ibu yang buka warung kecil? Di rusun, sewa ruang usaha mahal.”
Maya mengangkat tangan—yang tua tapi masih tajam. “Di Pamekasan, dulu ada kisah Umarmadi—kalian panggil Madi—yang tidak mau ikut arak-arakan penguasa karena ia khawatir kakinya tidak bisa kembali menyentuh tanah. Pilihan kita bukan hitam-putih. Kita bisa menawar: sebagian pindah, sebagian bertahan sambil menata drainase. Kita minta perusahaan menyediakan transportasi untuk yang pindah, dan infrastruktur pengelolaan sampah untuk yang bertahan.”
Jayeng menatap Maya kagum: tua ini selalu punya jalan tengah yang bukan kompromi, melainkan jembatan.
Keputusan diambil: 12 keluarga pindah ke rusun dengan skema sewa ringan; 16 bertahan dengan komitmen gotong royong kerja bakti setiap pekan dan pemasangan pompa bersama. Perusahaan properti, mungkin karena kaget melihat warga yang tahu persis apa yang mereka butuhkan, menyetujui sebagian besar usulan. Bukan kemenangan; lebih tepatnya, berkurangnya kekalahan.
.
Pada perayaan kecil di lapangan—bukan tumpengan, hanya minum teh sambil duduk di karpet—Jayeng duduk di samping Madi. “Kau tahu,” kata Madi, menatap Raja yang merangkak mengejar bayangan, “dulu aku merasa tak akan berguna bagi siapa pun. Sekolah tak selesai. Bapak sakit. Ibuku pergi. Tapi malam banjir itu, saat aku memegang setang motor Mas, aku seperti diberi peran.”
“Kau memang punya peran.”
“Peran itu bisa hilang.”
“Lalu kita ciptakan lagi peran lain.”
Madi menatap Jayeng seperti menatap cermin yang jujur. “Mas… kalau suatu hari aku tergoda mengambil untuk diri sendiri, tolong ingatkan.”
“Caranya sederhana: aku akan memintamu mengantar obat ke rumah yang tak punya siapa-siapa. Sesampainya di sana, lihat apakah wajahmu masih mencari kamera.”
Madi tertawa. “Sialan, Mas.”
“Begitulah. Hidup memang sialan. Kita mengubah sialan jadi alasan.”
Di bawah senja, anak-anak berlari mengejar layangan. Suara kereta dari kejauhan menyelip di antara atap seng. Kelas menyodorkan termos. “Teh manis tanpa jahe. Jahe habis.” Mereka menyesap. Panasnya seperti kalimat: pendek, jelas, tapi menenangkan.
.
Tahun berganti. Jayeng belum kembali ke kantor mana pun. Tali Air membiayai operasional dari iuran sukarela dan donasi kecil yang datang tanpa syarat. Mereka belajar berkebun di pot bekas; menanam selasih, cabai, bayam. Kelas memimpin kelas roti di teras; ia mengajari ibu-ibu membuat roti sobek dengan ragi murah. Madi mengajar anak-anak memperbaiki kipas angin; setengah dari kipas kampung kini berputar karena tangannya. Maya, yang sehatnya naik-turun, menjadi penanda waktu: jika ia duduk di ujung gang, artinya sore telah cukup.
Suatu malam, Jayeng menulis di buku catatan: “Kita membantu karena tahu rasanya tidak dibantu. Kita meminjamkan karena paham getirnya tidak punya. Di kota yang sibuk menjadi mesin, kita belajar menjadi tangan. Di kampung yang ramainya seperti radio tua, kita memilih menjadi pendengar.”
Ia menutup buku, menatap Raja yang tidur. Di dinding, tergantung foto kecil: Raja sedang tertawa, pipinya penuh tepung. Maya memotret itu waktu kelas roti perdana dan berkata, “Jangan lupa pajang keberhasilan kecil. Agar kita ingat, hidup bukan hanya rapat, tapi juga tepung yang berantakan.”
Jayeng meraba saku. Batu-batu kecil yang ia simpan sejak lama—nasihat bapak, tawa Maya, pelukan Kelas, tepuk bahu Madi—semuanya masih ada, justru lebih halus karena sering digenggam. Ia tersenyum. Besok pagi, ia akan membawa album foto lama ke rumah lelaki yang kehilangan istrinya. Mereka akan menempelkannya kembali dengan lem—bukan untuk menyatukan masa lalu, melainkan untuk memberi pijakan masa kini.
Di luar, hujan turun. Bukan banjir, hanya suara deras yang menepuk atap. Jayeng memeluk Kelas, berbisik, “Langit baik kepada kita.”
Kelas mengangguk. “Karena kita berusaha baik kepada sesama.”
Mereka tertidur dengan rasa yang tidak mewah tapi lengkap: rasa telah menjadi bagian dari pulang orang lain.
Dan itulah upah yang paling tahan lama.
.
.
.
Jember, 25 September 2025
.
.
#KisahKota #GotongRoyong #Solidaritas #Empati #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #MenakMadura #KampungKota #Humanity
.