Luka yang Menjadi Baja
“Tak semua luka melemahkan. Ada luka yang justru melahirkan ketangguhan.”
.
Kota yang Tak Pernah Tidur
Jakarta di malam hari bukan sekadar kota. Ia adalah monster bercahaya, berdenyut dengan lampu neon, suara klakson, dan langkah manusia yang tak pernah berhenti. Dari ketinggian jembatan penyeberangan Manggarai, Siti menatap laju kereta dengan wajah letih. Angin malam menyapu rambut pendeknya, dan di dadanya bergema dentuman roda besi yang seakan menggedor pintu ingatan.
“Semua orang berlari, semua orang sibuk,” pikirnya. “Tapi tak ada yang tahu bagaimana rasanya bertahan hanya dengan doa dan keberanian yang dipaksa tumbuh terlalu dini.”
Sebuah kereta melintas, menggetarkan tanah di bawahnya. Baginya, suara itu bukan sekadar gemuruh logam. Itu adalah gema masa lalu—suara bentakan ayah, ejekan teman sekolah, dan air mata yang sudah lama ia paksa mengering.
“Ada seseorang yang sedang berusaha keras menghancurkan mentalku,” gumamnya, menatap rel yang tak pernah tidur. “Tapi bodohnya, dia tidak tahu bahwa sejak kecil aku sudah ditempa dengan ujian yang lebih keras dari ini.”
.
Masa Kecil yang Menoreh Luka
Rumah masa kecil Siti berada di gang sempit Tebet, gang yang hanya muat satu motor melintas, dengan atap seng berkarat meneteskan air hujan ke dalam rumah setiap musim penghujan. Lantainya semen retak, dindingnya penuh bekas coretan krayon adik-adiknya.
Ayahnya, seorang sopir kopaja, jarang pulang dengan wajah tenang. Keringat dan bau solar bercampur dengan emosi yang meledak-ledak. Ibunya, penjual gorengan di pinggir jalan, selalu pulang dengan bau minyak jelantah melekat di rambut dan pakaian.
Malam sering berubah jadi medan perang. Ayahnya mengeluh penghasilan tak cukup. Ibunya membalas dengan teriakan, menyalahkan kebiasaan ayah yang suka main domino. Siti kecil bersembunyi di balik pintu, menutup telinga dengan bantal tipis. Tapi suara bentakan itu tetap menyelinap, merobek ketenangan hatinya.
Di sekolah, luka itu berlipat. Seragamnya kusam, buku tulisnya usang. Ketika bau minyak goreng terbawa angin ke kelas, teman-teman menyingkir, menutup hidung, lalu tertawa.
“Dasar anak gorengan! Pergi sana, bau minyak!”
Siti menggenggam erat buku tulisnya, menahan air mata agar tidak jatuh. Ia berjalan pulang melewati pasar, menunduk, mendengar tawa yang menempel seperti noda.
Namun justru di situlah ia belajar. Bahwa hidup tak pernah ramah. Bahwa untuk bertahan, ia harus mengeras seperti baja.
.
Menapaki Hidup Dewasa
Dua puluh tahun kemudian, dunia Siti berubah. Dari gang sempit ke gedung kaca. Dari bau minyak goreng ke aroma kopi mahal di lobi kantor. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan ritel besar di kawasan Sudirman.
Gedung menjulang itu bagai dunia lain. Resepsionis berjas rapi menyambut setiap tamu dengan senyum formal, lift mengeluarkan bunyi halus saat membuka pintu, dan lantai berkilau memantulkan bayangan dirinya yang masih merasa asing.
Namun, luka lama tak pernah benar-benar hilang. Di setiap rapat, ia harus menghadapi atasan yang galak, target penjualan yang mencekik, dan rekan kerja yang bersaing tidak sehat. Semua itu mengingatkan pada masa kecil: suara bentakan, ejekan, tekanan.
Bedanya, kini ia tidak lagi menangis. Ia berdiri tegak, meski keringat dingin menetes di punggung. Setiap kali ingin menyerah, ia mengingat wajah ibunya di bawah lampu jalan, menjajakan gorengan hingga larut malam.
“Kalau ibu bisa bertahan,” batinnya, “aku juga bisa.”
.
Raden, Pesona yang Menipu
Raden datang seperti musim semi. Ia adalah lelaki kota: tinggi, rapi, wangi, dengan senyum yang bisa meluluhkan hati siapa pun. Mereka pertama kali bertemu di sebuah seminar bisnis. Siti yang biasanya duduk diam, terkejut ketika Raden menghampiri dan menyapanya seolah mereka sudah lama kenal.
Hari-hari setelahnya seperti mimpi. Raden menjemputnya pulang, membawanya ke warung kaki lima, bahkan menemani Siti duduk di jembatan penyeberangan hanya untuk menatap lampu kota.
Namun, pesona itu hanya bertahan sementara. Perlahan, wajah asli Raden muncul. Ia mulai sering meremehkan.
“Kamu tuh nggak akan bisa maju kalau mentalmu lemah begini,” katanya suatu malam setelah Siti mengeluh soal tekanan kerja.
Siti diam. Ada sesuatu di dalam dadanya yang retak. Raden tak tahu, kalimat itu membangunkan kembali luka-luka lama.
.
Kota Sebagai Cermin
Jakarta menjadi cermin luka. Di halte bus, ia melihat dirinya kecil menunggu ibu selesai berjualan. Di trotoar berdebu, ia melihat bayangan dirinya berjalan menunduk, menahan tangis. Di gedung-gedung tinggi, ia melihat ironi: kemewahan yang dingin, tempat luka tidak punya ruang untuk sembuh.
Namun, kota juga memberi pelajaran. Dari wajah-wajah lelah yang ditemuinya setiap hari, ia tahu semua orang punya beban. Bedanya, ada yang menyerah, ada pula yang memilih melawan.
Siti tahu, ia termasuk yang terakhir.
“Kota ini bukan sekadar gedung dan jalan. Ia adalah cermin. Ia memperlihatkan luka kita, memperbesar retaknya, sekaligus mengajarkan cara bertahan di tengah riuh.”
.
Persahabatan dengan Kerta
Di kantor, hanya ada satu orang yang benar-benar bisa ia percaya: Kerta. Lelaki sederhana dengan tawa renyah dan hati tulus. Mereka sering makan siang bersama di kantin, bercanda tentang atasan yang terlalu perfeksionis, atau sekadar berbagi kelelahan.
“Orang boleh menekanmu, Sit,” kata Kerta suatu sore, “tapi jangan biarkan mereka menentukan nilai dirimu sendiri.”
Kata-kata itu melekat di hati Siti. Namun, gosip kantor mulai berembus. Beberapa rekan berbisik-bisik, menuduh kedekatan mereka lebih dari sekadar teman. Siti sakit hati, tapi ia memilih diam. Ia sudah terbiasa dengan tuduhan.
.
Tekanan yang Menggila
Target perusahaan makin hari makin gila. Setiap bulan, angka harus naik, meski kondisi pasar menurun. Rapat sering berakhir dengan suara atasan membentak, melempar bolpoin ke meja, menyalahkan tim tanpa ampun.
Siti sering pulang larut, matanya sembab, tubuhnya lunglai. Raden tidak membantu. Justru ia menambah tekanan.
“Kamu itu payah. Perempuan kalau nggak bisa sukses ya percuma kerja,” katanya.
Siti menatapnya, menahan amarah. “Aku sudah bertahan sejauh ini, Raden. Kalau kamu tidak bisa menghargai, setidaknya jangan merendahkan.”
Namun Raden tertawa, seolah kata-kata Siti hanyalah gurauan.
“Kadang, orang yang kita kira penolong justru menambah luka. Dan kita lupa: ketangguhan sejati bukan datang dari mereka, tapi dari diri kita sendiri.”
.
Malam Pertemuan di Peron
Malam itu, hujan baru saja reda. Peron stasiun masih basah, lampu neon berpendar samar. Raden dan Siti berdiri berhadapan.
“Kamu nggak akan pernah jadi apa-apa tanpa aku!” teriak Raden. Suaranya menggema, membuat beberapa orang menoleh.
Kereta melintas dengan suara gemuruh. Siti menatap Raden, matanya berkaca-kaca, tapi kali ini bukan air mata kelemahan.
“Raden,” katanya pelan tapi tegas, “hidupku sudah ditempa jauh sebelum aku mengenalmu. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan teguran keras dan ujian mental. Kau salah jika mengira bisa menghancurkanku. Yang hancur hanya egomu sendiri.”
Raden terdiam. Pesonanya runtuh di depan mata.
.
Melepaskan Luka
Beberapa minggu kemudian, Siti memutuskan pergi. Ia mengakhiri hubungan yang hanya menambah luka. Raden mencoba kembali, tapi pintu sudah tertutup.
Kerta menjadi satu-satunya teman yang setia. Mereka tertawa di kantin, berjalan bersama ke halte, berbagi cerita tanpa prasangka.
Suatu malam, Siti menulis di buku harian:
“Tak semua luka butuh pelaku untuk sembuh. Kadang kita memegang sendiri perbannya.”
.
Luka yang Menjadi Cahaya
Jakarta tetap bising, tetap keras, tetap menuntut. Namun Siti kini melangkah dengan kepala tegak. Setiap suara klakson, setiap hentakan kereta, setiap bayangan gedung, bukan lagi ancaman.
Ia tahu, luka masa kecil bukan kutukan. Luka itu adalah baja. Dari situlah lahir ketangguhan.
Dan di balik semua itu, ia menemukan dirinya: seorang perempuan yang tidak bisa dihancurkan siapa pun.
“Luka itu bukan kutukan. Luka adalah baja. Dari sanalah lahir ketangguhan.”
.
.
.
Jember, 23 September 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraIndonesia #LukaMenjadiBaja #MentalKuat #CerpenKota