Ketika Diam Menjadi Doa
“Tak semua luka butuh balas dendam; kadang diam adalah doa yang paling lantang, dan Tuhan sendiri yang menjawabnya.”
.
Jakarta seperti ruang tunggu raksasa: orang-orang bergegas, jam berdetak pelan tapi kejam, dan kursi-kursi plastik di halte menampung sisa sabar manusia. Di kota ini, kebenaran sering kalah cepat dari desas-desus, dan reputasi bertopeng angka-angka pada slide presentasi. Di kota ini pula Adipati berdiri pada satu malam yang melelahkan, memandang bayangan tubuhnya yang memanjang di trotoar basah seusai hujan.
Ia memeluk map cokelat berisi surat peringatan: SP1—kata yang bisa menurunkan harga diri lebih cepat daripada nilai tukar rupiah. Nama Adipati lolos dari lidah-lidah yang menyebutnya di pantry, di grup WhatsApp kantor, di smoking area, bahkan di lift yang selalu berhenti di lantai tempat Siti bekerja—perempuan berwajah teduh dan lisan yang tajam, mantan rekan sependapat yang kini berseberang tujuan.
“Dunia tidak bisa berjalan dengan idealisme saja,” kata Siti lirih tapi tegas siang tadi di ruang rapat kaca, ketika proyek e-government yang mereka rancang bergeser satu angka dari target. “Kita harus realistis. Kalau data tak cukup, kita pinjam proyeksi.”
Adipati diam. Di layar, grafik naik setengah derajat. Di hati, nuraninya turun beberapa derajat. Siang bergeser malam, dan bisik-bisik yang semula sekadar kabut berubah menjadi hujan jarum: Adipati memanipulasi data; Adipati menahan laporan; Adipati bermain belakang.
Ia memilih pulang berjalan kaki dari kantor di Kuningan menuju kosnya di Tebet, menyusuri trotoar yang bergelombang, menyeberang di zebra cross yang dilewati motor seperti anak panah, membeli nasi uduk bungkus di ujung gang dan secangkir kopi tubruk di warung yang selalu menyalakan radio dangdut. Di warung itulah Raden menemuinya—teman lamanya, kini jurnalis di sebuah media yang senang menulis “kisah kecil dari kota besar”.
“Aku membaca rilis perusahaannya,” kata Raden, menghembuskan asap rokok ke udara basah. “Namamu disebut samar. Bukan ditulis, tapi seperti dibisikkan agar orang mengerti.”
“Kalau ditulis terang, mereka bisa dituntut,” jawab Adipati, tertawa pendek. “Dibisikkan saja cukup untuk mematikan karier. Orang lebih senang mempercayai yang samar.”
Raden menatapnya lama. “Kau yakin tak mau membela diri?”
“Aku menulis laporan lengkap. Jejak auditnya jelas. Tapi aku tak mau mengotori mulutku dengan menyebut nama orang lain. Biarlah waktu bicara.”
“Waktu bisa kalah oleh algoritma,” gumam Raden. “Tapi baiklah. Kalau kau percaya, aku juga akan percaya.”
Malam menipis. Dari kejauhan, suara azan Isya bertaut dengan bunyi kereta Commuter Line. Kehidupan kota menunggu giliran untuk kembali bising esok hari.
.
Pagi berikutnya Adipati datang paling awal. Satpam Panji menyapanya, “Pak—eh, Mas—semangat!” Mereka tertawa kecil. Pintu kaca utama belum dibuka, lampu lobi masih setengah mati. Di lift, Adipati memandang pantulan dirinya. Mata sembab, tapi kepala tegak. Ia memasang earphone; suara hujan semalam masih mengendap di lagu-lagu lawas yang ia putar pelan.
Di meja kerja, ia menemukan amplop putih. Tidak ada nama pengirim. Di dalamnya hanya ada selembar print screen email palsu yang seolah-olah ia kirim. Waktu pengiriman sengaja diatur pada jam rapat tempo hari. Ia tahu itu rekayasa; jejak IP pada server tak sulit dideteksi. Tapi siapa yang peduli pada jejak ketika tuduhan telah lebih dulu menempel?
“Pagi, Dip.” Siti melintas dengan parfum lembut. “Jangan lupa, siang presentasi lagi. Kamu cukup duduk. Biar aku yang bicara.” Ia tersenyum, bukan manis, melainkan rapih—senyum yang tak berdarah tapi bisa melukai.
Adipati mengangguk. “Aku siapkan semua datanya.”
Siti menggenggam map biru. “Terima kasih.”
Wirama, rekan satu tim yang dulu suka makan padang bareng Adipati, kini lebih sering mengirim emoji daripada kata-kata. Dia meringis singkat; yang lebih menyakitkan dari pengkhianatan adalah orang yang memutuskan jadi penonton.
.
Ruang rapat pada lantai dua belas selalu dingin, AC-nya seperti disetel untuk menyimpan es di dalam tulang. Adipati duduk berjarak dua kursi dari Siti. Puspita dari HRD mengecek kehadiran, Panji berdiri di pintu sebagai penjaga tamu, manajer-manajer lain menatap layar besar.
Siti memulai: “Tim kami menilai ada deviasi data, tapi itu wajar. Saya sudah benahi proyeksi agar tetap sesuai target.” Ia klik; layar menampilkan garis-garis mulus. “Kita butuh keberanian mengambil keputusan. Saya—kita—siap.”
“Bagaimana dengan laporan lama?” tanya seseorang.
Siti melirik singkat. “Adipati memegangnya.”
Semua kepala memutar. Adipati menghela napas. “Laporan lama tidak hilang. Ada di folder bersama. Saya tak mengubah apapun.”
“Buktinya?” suara itu lagi, kali ini tajam.
Adipati berdiri, menyalakan laptopnya, lalu membuka audit trail. Setiap klik terekam, setiap revisi menempel tanggal. Ruang rapat senyap sejenak. Ia tahu kelak ada rapat lain yang lebih senyap, ketika orang menyadari ketelitian bukan musuh ambisi, melainkan sekutu integritas.
Namun rapat hari itu tetap usai dengan keputusan terburu-buru: presentasi versi Siti akan dipakai, tim akan lembur, dan SP1 untuk Adipati tak ditarik. “Bukan hukuman,” kata Puspita, “hanya pengingat.” Seperti jika ada orang menempel stiker Sabar ya di dahi seseorang yang baru ditabrak.
Adipati pulang lebih cepat. Di halte busway Dukuh Atas, ia melihat seorang ibu memeluk anaknya yang ketiduran dengan tas sekolah masih melingkar. Ia terkenang ibunya di Jember yang sering berkata, “Kalau kamu benar, diamlah. Tuhan tidak tuli.” Ibu kini tinggal sendiri; bapak sudah wafat ketika pandemi mengunci pintu-pintu kota. Setiap kali rindu, Adipati menelpon sebentar, mendengar suara panci dan siulan radio lama. Rindu adalah ibukota dari semua perjalanan batin.
.
Pada malam Sabtu, Dewi—barista di kedai kopi dekat kos—mengajaknya menutup kedai setelah jam sepuluh. “Kau butuh dengar suara selain klakson,” katanya. Mereka duduk di bangku kayu, memandang jalur KRL yang sesekali berkilat oleh rem kereta.
“Aku punya kutipan buatmu,” kata Dewi sambil menuang sisa kopi ke gelas kertas. “Kebaikan memang tak selalu menang hari ini, tapi ia tak pernah kalah besok.”
“Kutipan siapa?”
“Seorang kakak kelas waktu kuliah. Kebaikannya sering jadi bahan olok-olok, tapi dia tetap baik. Sekarang dia jadi dosen, dan orang-orang datang minta nasihat.”
Adipati tersenyum. “Kalau dia jahat, mungkin tak ada yang datang, ya.”
“Kalau dia jahat, mungkin setengah kota datang—untuk menonton.”
Mereka tertawa. Malam merapat seperti selimut.
.
Sebuah banjir kiriman menyusul hujan tiga hari berturut-turut. Kantor memerintahkan work from anywhere, tapi “anywhere” yang dimaksud rupanya tetap harus online sepanjang jam kerja. Adipati menggelar kabel-kabel seperti peta sungai di lantai kos. Ia bekerja sambil mendengar sirene ambulans yang menembus sore.
Di tengah kekacauan kecil itu, email masuk: Subject: Urgent—Audit Internal. Kepala audit, seorang pria yang jarang bicara, meminta semua log server untuk proyek yang dipimpin Siti. Nada emailnya dingin, datar, seperti garis penggaris. Tapi bagi Adipati, itu adalah doa yang pelan-pelan menemukan suara.
Malam itu, Raden menelpon. “Aku mau menulis,” katanya tanpa basa-basi. “Bukan skandal. Hanya cerita manusia: bagaimana gosip berjalan lebih cepat dari keadilan. Kau keberatan kalau aku menulis dengan namamu?”
“Jangan pakai namaku. Pakai inisial. Biar fokusnya tetap pada cerita, bukan orangnya.”
“Baik. Tapi izinkan aku merekam suaramu.”
Adipati bercerita dari awal: bagaimana kegembiraan mereka saat proyek disetujui, bagaimana Siti mengumpulkan tim, bagaimana rapat-rapat larut malam, bagaimana target digeser setipis rambut, bagaimana ia menegur, bagaimana ia ditinggalkan. Rekaman itu panjang; Raden mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menghela napas.
Esoknya, artikel itu terbit: “Samar yang Membunuh Reputasi: Catatan dari Satu Meja Kerja”. Komentar pembaca mengalir: ada yang menyemangati, ada yang curiga, ada yang getir. Namun satu hal terjadi—nama Siti muncul di kolom tanggapan sebagai sosok yang “terlalu berani mengambil jalan pintas”. Kantor membaca. HRD membaca. Investor membaca.
Audit internal bergerak lebih cepat. Jejak perubahan dokumen merujuk ke remote access dari satu akun. Bukan akun Adipati. Server menulis jujur meski manusia menulis berbeda. Dan pada satu siang lembab di ruang rapat yang sama dinginnya, Siti diminta menyerahkan laptop kerja.
Ia tetap rapih. “Ini hanya salah prosedur,” ucapnya.
“Ini pelanggaran,” kata kepala audit.
Adipati duduk di sudut seperti bayangan dalam fotografi hitam-putih. Ia ingin menoleh, ingin mengatakan “Aku pernah percaya padamu,” tapi bibirnya memilih bahasa lain: diam. Siti menatapnya sekejap, ada badai kecil di mata yang dulu ia kagumi. Lalu ia menunduk.
Keputusan keluar dua minggu kemudian: jabatan Siti dicabut, kontrak tak diperpanjang. Wirama dimutasi ke proyek lain. SP1 Adipati dicabut—tanpa maaf, hanya pencabutan. Selembar kertas lain menyusul: promosi pelaksana proyek transisi, interim, sampai badai anggaran reda. Ia menandatangani, tangannya sedikit bergetar. Di kepalanya, suara ibu: “Kalau kamu benar, diamlah.”
Bukan sorak-sorai yang menyambutnya, bukan bunga di meja. Hanya jam dinding yang menandai pukul tujuh malam, ketika sebagian lampu lobi padam dan suara pel lantai berbunyi gesek, gesek seperti catatan kaki sebuah drama yang selesai.
.
Namun kisah kota tak pernah benar-benar selesai. Pada satu malam, Adipati menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal: “Maafkan aku.” Foto profilnya kosong, tapi ia tahu itu Siti. Typing… lalu hilang, lalu muncul lagi: “Aku takut kehilangan posisi. Aku kirimkan email itu atas namamu. Aku menyesal.”
Adipati menatap layar lama. Ia ingin menulis khutbah tentang integritas; ia ingin menyebutkan ayat-ayat statistik dan moral. Tapi ia juga teringat pada Dewi yang bilang, kebaikan tak pernah kalah besok. Ia menulis singkat: “Aku memaafkan.”
Balasan datang: “Terima kasih. Aku akan keluar dari Jakarta beberapa waktu. Doakan aku.”
Ia mengetik: “Semoga Tuhan menuntun.” Lalu meletakkan telepon seperti meletakkan batu yang berat dari punggung.
Malam itu, ia berjalan ke jembatan penyebrangan di dekat stasiun. Angin membawa sisa hujan. Dari kejauhan, azan Isya kembali bersahut dengan dentang lonceng gereja kecil. Jakarta, yang sering dianggap hanya soal jalan macet dan gedung kaca, tiba-tiba menjadi ruang doa yang luas, di mana setiap orang menyebut namanya masing-masing.
.
Hari-hari transisi tidak mudah. Investor meminta rapat-rapat yang menguji batas sabar, pemerintah daerah mengganti-ganti jadwal, vendor menawar harga seperti pedagang kain. Adipati belajar membaca peta baru setiap hari: peta kepentingan, peta celah, peta hati orang. Ia menulis papan tulis di ruang tim: “Yang kita kejar bukan angka, melainkan manfaat.” Di bawahnya ia tambahkan garis miring: “Angka akan mengikuti.”
Wirama mendatanginya, menunduk. “Maaf, Dip. Aku takut waktu itu.”
“Semua orang takut pada sesuatu,” kata Adipati. “Tinggal memilih takutnya mengarah ke mana.”
“Boleh aku kembali ke tim?”
“Boleh, kalau kau mau belajar lebih keras daripada rasa bersalahmu.”
Wirama mengangguk. Mereka mulai ulang seperti orang yang memulai langkah di trotoar baru dicor. Pelan, tapi mantap.
Raden sesekali datang, membawa kamera saku. Ia menatap papan tulis itu dan tertawa. “Kau sedang menulis tesis praktis tentang etika proyek.”
“Judulnya apa?” tanya Dewi yang kebetulan mengantar kopi pesanan tim.
Raden mengangkat alis. “Manfaat Sebelum Angka: Catatan Orang Biasa dari Kota Luar Biasa.”
“Kota luar biasa?” Dewi cekikikan.
“Luar biasa macet,” sahut Wirama.
Mereka tertawa bersama. Tawa yang ringan, seperti sela dari gelap panjang.
.
Suatu subuh, Adipati pulang dari lembur. Langit Timur menipis, mengeja warna merah muda ke abu-abu. Di gang kos, Panji—yang ternyata tinggal tak jauh—sedang memandikan motornya. “Masih kerja juga?” sapa Panji.
“Selesai lembur.”
“Kalau capek, ingat kata Bapak saya,” ujar Panji sambil menyemprot air. “Kerja itu ibadah kalau niatnya bener; kalau niatnya salah, capeknya jadi dosa.”
Adipati mengangguk. “Bapakmu bijak.”
“Bapak saya tukang becak. Sekolahnya cuma sampai SD. Tapi saya belajar banyak dari cara dia minta maaf ke penumpang kalau telat, meskipun telatnya karena banjir.”
Kota ini, pikir Adipati, dibangun bukan hanya oleh insinyur dan pengusaha, melainkan oleh orang-orang sederhana yang mengajari orang lain cara menyimpan hati.
Ia masuk kamar, berbaring sebentar, lalu menulis diari: “Hari ke-91 sejak tuduhan itu. Aku belajar bahwa memaafkan bukan hadiah bagi orang lain, melainkan izin bagi diri untuk kembali bernapas.”
.
Perlahan, proyek mereka membuahkan hasil. Aplikasi layanan publik yang mereka bangun tidak sempurna, tapi keluhan warga turun drastis, antrean di loket mengecil, dan kebanggaan kecil muncul di wajah-wajah yang biasanya datar. Adipati menyempatkan diri turun ke kelurahan; ia duduk di ruang tunggu, menyimak orang-orang membantu warga mengisi formulir daring. Ada bapak yang gagap menyentuh layar; petugas muda menuntunnya sabar.
“Kamu dari mana, Mas?” tanya petugas itu saat rehat.
“Dari vendor,” jawab Adipati. “Hanya ingin melihat apa yang terjadi setelah rapat-rapat kami.”
“Yang terjadi? Warga senang,” ujar sang petugas. “Yang paling senang tentu kami, karena amarah di loket berkurang. Terima kasih, ya.”
Adipati menunduk. “Sama-sama.”
Ia tidak menceritakan apa yang terjadi di balik layar: rapat yang pecah, nama yang digerus gosip, surat peringatan. Ia hanya tahu, kebenaran paling sederhana adalah ketika manfaatnya sampai pada yang membutuhkan.
.
Beberapa bulan kemudian, ia pulang ke Jember, menjenguk ibunya. Sawah di pinggir jalan memantulkan langit; waktu seakan berjalan lebih pelan di sini. Ibu memasak rawon kegemarannya, menata piring dengan telaten seolah menata ulang dunianya. “Kau kurusan,” komentar ibu.
“Jakarta,” jawab Adipati singkat.
Malamnya mereka duduk di teras. Ibu menatap bulan. “Kau sudah memilih jalanmu, Dip. Dunia memang tak selalu membayar kebenaran dengan uang atau jabatan. Tapi kau akan tidur tanpa mimpi buruk.”
Adipati memandang telapak tangannya: ada garis-garis halus, ada bekas luka kecil karena jatuh saat kecil mengejar layangan. “Aku memaafkannya, Bu.”
Ibu mengangguk, tak heran. “Kau anakku.”
Pada subuh yang bening, Adipati kembali ke Jakarta dengan kereta. Di gerbong, ia menulis satu kalimat panjang di ponselnya, mengirimkannya ke Raden: “Akhir dari cerita bukan ketika pelaku dihukum, melainkan ketika korban tidak lagi dikuasai oleh peristiwa.” Raden membalas dengan emoji jempol, lalu: “Aku akan menutup serinya dengan kalimatmu.”
.
Jakarta menyambutnya dengan matahari yang terlalu berani. Di kantor, Puspita mempertemukannya dengan tim baru. Di papan pengumuman, ada pengumuman kecil: “Terima kasih untuk semua pihak yang menjaga integritas proyek.” Nama Adipati tidak disebut, dan ia tidak membutuhkannya. Nama orang bisa dihapus dari lembar berita, tapi jejaknya tidak bisa dihapus dari hati yang pernah ditolong.
Sore itu, ia naik ke rooftop gedung. Kota menghampar seperti kumpulan rahasia yang tak sempat ditulis. Ia menutup mata, menarik napas panjang, dan membiarkan angin menyuapi dadanya dengan lapang. Hatinya berbisik: Aku tidak akan kotor untukmu, dunia. Kalau aku harus memilih, aku memilih bersih dan kekurangan—daripada kaya tapi kehilangan diri.
Ponselnya berbunyi. Pesan dari nomor tak disimpan: “Aku sudah di Malang, memulai pekerjaan baru. Terima kasih sudah memaafkan.”—Siti. Adipati mengetik: “Semoga baik. Jaga dirimu.” Lalu disimpan.
Di bawah sana, lampu-lampu menyala satu per satu, seperti doa-doa yang dinaikkan dari jendela-jendela apartemen, mushala, gereja, wihara, dan kamar-kamar kos. Jakarta, dengan segala kerasnya, rupanya masih memiliki ruang lembut untuk orang-orang yang memilih mengalah pada egonya sendiri.
.
Beberapa waktu berselang, Adipati diundang menjadi pembicara kecil di kelas etika kerja di kampus tempat Dewi dulu kuliah. Ia datang dengan kemeja sederhana, membawa slide seadanya. Di akhir sesi, seorang mahasiswa bertanya, “Mas, kalau waktu bisa diulang, apakah Mas akan melawan sejak awal?”
Adipati tersenyum. “Mungkin aku akan bicara sedikit lebih lantang. Tapi aku tetap tak akan membalas. Balas dendam itu seperti minum racun sambil berharap orang lain yang mati.”
“Terus apa yang paling berat?”
“Menunggu tanpa membenci. Itu seperti memikul air di padang pasir, tapi kalau berhasil, yang segar bukan hanya tenggorokanmu—tapi juga mata yang memandangmu.”
Mahasiswa itu terdiam, lalu menulis sesuatu di catatannya. Selesai acara, Dewi menyodorkan kopi. “Kau akhirnya bicara juga.”
“Aku belajar dari kalian,” balas Adipati, menatap Raden yang tersenyum dari bangku belakang. “Kota ini keras, tapi kita tidak harus ikutan keras.”
Di pintu keluar, hujan turun pelan. Orang-orang berlarian, menutup kepala dengan buku atau tas. Adipati melangkah pelan. Ia suka suara hujan; seperti tepuk tangan Tuhan yang jatuh dari langit, menepuk-nepuk bahu manusia yang hampir menyerah.
.
Malam itu, ia menulis lagi diari—kebiasaan yang menyelamatkannya dari banyak kalap:
“Aku memilih tak membalas dendam, bukan karena lemah, melainkan karena aku tak ingin hidupku diatur oleh orang yang melukaiku. Aku berutang pada kota ini—yang mengajariku bahwa sabar bukan pasrah, diam bukan kalah, dan memaafkan bukan melupakan. Ada luka yang tak berdarah, ada kata yang tak terucap, ada doa yang tak bersuara. Tapi Tuhan tak menilai volume; Dia menilai niat.”
Ia menutup buku, mematikan lampu kamar, dan membiarkan malam merangkulnya. Di luar, Jakarta belum tidur. Tapi di dada Adipati, kota itu akhirnya memejam.
.
.
.
Jember, 21 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMinggu #LukaTanpaBalasDendam #Integritas #Karma #Jakarta #SastraKota #Memaafkan #CeritaEmosional #JeffreyWibisonoV
.
Kutipan Inti Cerpen
“Tak semua luka butuh pelaku untuk sembuh; kadang kita memegang sendiri perbannya—dan Tuhan meniupnya hingga kering.”
“Menunggu tanpa membenci adalah bentuk keberanian paling sunyi.”
“Balas dendam itu seperti minum racun sambil berharap orang lain yang mati.”
“Yang kita kejar bukan angka, melainkan manfaat—angka akan mengikuti.”
“Akhir cerita bukan ketika pelaku dihukum, melainkan ketika korban tidak lagi dikuasai peristiwa.”