Langit di Antara Gedung
“Lelono adalah seni merawat luka dengan langkah pelan; bukan untuk lari, tapi untuk menemukan pulang yang lebih jujur.”
.
Kota yang Menggigil
Hujan tipis menulis garis miring di kaca halte Sudirman. Lampu-lampu kota menetes jadi bintang patah, bergerak lambat, seolah Jakarta sedang menahan napas. Jokotole berdiri di sana, payung kecil di tangan, ransel di punggung. Ia menatap jejeran gedung—bagai tiang-tiang raksasa yang memaku langit—dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tahu ke mana kakinya hendak berjalan: pulang, tapi bukan ke alamat lama.
Ia telah lelono—mengembara—selama tiga bulan, sejak hari itu: hari saat ia menutup pintu apartemen kecil di Kuningan, mematikan ponsel, dan memilih jalan kaki menyusuri kota yang dulu hanya ia lihat dari balik kaca mobil. Ia menyebutnya turun gunung, padahal tidak ada gunung di sini; yang ada hanya niat yang patah, luka yang basah, dan keinginan untuk berbenah, berubah, lalu berbuah.
Di dalam ransel, buku catatan bergaris penuh coretan. Peta yang ia gambar sendiri: rute kampung, lorong sempit, pasar pagi, mushala, taman kecil di belakang gedung perkantoran. Ia menandai tempat-tempat di mana ia bertemu orangnya, bukan objeknya; tempat di mana kata-kata pulang ke makna. Di setiap halaman, ada nama yang ia pinjam dari kisah lama Menak Madura: Kenanga, Wiraraja, Wandansari, Rukma. Nama-nama itu tumbuh jadi kawan baru di kota yang menelan sekaligus melahirkan manusia saban hari.
.
Kenanga
Kenanga pertama kali ia temui di bawah jembatan Slipi, malam Sabtu, ketika suara hujan jadi metronom yang konsisten. Perawat di rumah sakit swasta itu duduk menangkupkan tangan pada uap kopi hitam. Wajahnya tenang, matanya seperti halaman buku yang rapi.
“Kalau kamu capek,” kata Kenanga, “capeklah sepenuhnya. Jangan tanggung-tanggung. Kota ini kuat menampung air mata. Drainasenya selalu mencari jalan.”
Jokotole terkekeh getir. “Aku kehilangan pekerjaan. Iklan yang kusutradarai ditertawakan di ruang rapat. Katanya tidak sesuai strategi Q4. Aku pergi. Aku rasa aku pun kehilangan diriku.”
Kenanga menatapnya lama. “Pergi itu hanya cara lain untuk kembali. Berbenah bukan berarti membenci masa lalu; itu cara paling halus menghormati apa yang pernah ada, sambil membuka jendela baru.”
Kata-kata itu menempel di kepala Jokotole seperti embun di kaca. Ia menulisnya di buku catatan: Berbenah bukan berarti membenci masa lalu.
.
Wiraraja
Malam lain, pukul dua pagi, hujan reda. Wiraraja muncul—sopir truk yang kini jadi kurir malam. Ia meminjamkan jaketnya pada Jokotole yang menggigil. Di lengan jaket itu ada tambalan kecil: Yang ikhlas tak pernah kehabisan arah.
“Dari mana?” tanya Jokotole.
“Pelabuhan,” jawab Wiraraja. “Mengantar mesin kecil buat kapal kecil. Kota ini hidup karena yang kecil bekerja sempurna. Yang besar cuma headline.”
Kalimat itu menyalakan lampu kecil dalam batin Jokotole. Ia menulisnya: Yang kecil bekerja sempurna.
“Perubahan tidak butuh panggung; ia hanya butuh langkah pertama yang jujur,” gumamnya sendiri.
.
Wandansari dan Rukma
Di Surabaya, ia bertemu Wandansari, barista di gang Tunjungan. “Kopi yang baik lahir dari detik yang jujur,” katanya, menuang air seolah menulis puisi.
Rukma, penjaga parkir di Embong Malang, menatap mobil-mobil mewah dengan resah. “Kita semua ingin menyelesaikan sesuatu,” ujarnya, “tapi tak selalu tahu apa. Kalau gengsi bisa dimakan, kota ini sudah kenyang. Untung gengsi cuma gas—bisa terbang.”
Kata-kata mereka seperti batu kerikil di saku: kecil, tapi membuat langkah lebih sadar.
.
Langit di Antara Gedung
Suatu Minggu, di Taman Bungkul, Jokotole duduk menatap anak-anak berlari. Seorang bocah kecil jatuh, menangis sebentar, lalu bangkit lagi. Ia tersenyum getir.
“Buah yang paling manis dari perjalanan adalah keberanian untuk tetap kecil, agar bisa bekerja sempurna.”
Hari ke-77 lelono, ia berdiri di jembatan penyeberangan Karet. Di bawah, seorang pemulung mendorong gerobak. Di atas, seorang ibu memeluk anaknya dengan payung polkadot. Jokotole memotret jarak antara keduanya. Ia mengirim foto itu ke Kenanga: “Ini definisi pulang.”
Kenanga membalas: “Pulang itu saat kau berhenti mensyaratkan dunia untuk paham. Kau yang memilih paham duluan.”
.
Berbuah
Ia menyewa kamar kecil di Tanah Abang: jendela sempit, kasur tipis, meja lipat. Dindingnya ditempeli catatan-catatan: “Berbenah. Berubah. Berbuah.”
Ia membuka laptop, menulis dokumen berjudul Rencana Berbuah:
-
Film pendek tentang gerobak pemulung dan payung polkadot.
-
Program “Lelono Kota”: anak-anak belajar menyeberang, memotret jarak yang menyatukan.
-
Undang Wiraraja, Wandansari, Rukma sebagai narasumber kecil.
-
Tulis esai “Kopi dan Detik yang Jujur”.
-
Belikan Kenanga payung baru.
Tangisnya jatuh, lalu ia tertawa.
“Perubahan tidak butuh panggung; ia hanya butuh langkah pertama yang jujur.”
.
Lelono Kota
Minggu pagi, dua belas anak berkumpul. Kenanga membawa kotak P3K, Wiraraja datang dengan gerobak bertuliskan Jalan Kecil, Langkah Besar. Wandansari menyeduh kopi; aromanya membuat warga berhenti.
“Hari ini,” kata Jokotole gugup, “kita akan berjalan sejauh kaki mau. Kita belajar menyeberang yang benar, menatap gedung tanpa minder, menenangkan diri kalau takut. Kita akan memotret yang kecil-kecil, lalu bercerita.”
Seorang anak bernama Sari bertanya, “Kalau aku takut menyeberang besar, gimana?”
“Kamu tidak harus melawan takut,” jawab Jokotole. “Pegang tangan orang di sebelahmu. Takutnya dipakai buat hati-hati.”
Mereka menyeberang bersama. Sari tertawa—tawa yang melekat di dada Jokotole.
.
Konflik Baru
Ketika program Lelono Kota mulai terdengar di media sosial, sebuah rumah produksi besar kembali menawarinya pekerjaan. “Kami ingin mengontrakmu setahun. Fee besar. Mobil, apartemen, tim kreatif. Kau hanya perlu kembali membuat iklan,” kata produser itu.
Jokotole diam lama. Ia teringat wajah anak-anak yang menyeberang dengan tangan saling menggenggam. Ia teringat Kenanga yang berkata: Berbenah bukan berarti membenci masa lalu.
Malam itu ia gelisah. Uang memang menggoda. Hidupnya sederhana, bahkan sering kekurangan. Tetapi ia tahu: jika ia kembali ke ruang rapat yang sama, dengan angka-angka dingin, ia akan kehilangan dirinya lagi.
Akhirnya ia menolak, dengan kalimat singkat: “Aku sudah menemukan panggungku sendiri, dan panggung itu berada di jalanan kota.”
Produser itu tertawa kecil lewat telepon, “Idealismemu mahal, To.”
Jokotole menjawab tenang, “Yang mahal itu kehilangan arah.”
.
Ritme Kota: Stasiun, Pasar, Lorong
Pagi-pagi buta ia turun di Stasiun Tanah Abang. Kursi-kursi penuh orang mengantuk, pedagang menjinjing bakul, bau kopi sachet bercampur parfum murah. Kereta datang seperti napas panjang; orang masuk- keluar bagai arus pasang. Di dinding, poster imbauan keselamatan: menyeberang di tempatnya, jangan memanjat pagar. Jokotole berdiri di situ, mengamati orang tua menuntun cucu kecil—gerak mereka ragu, tapi rapi.
Di pasar, ia belajar menawar bukan untuk menang, tapi untuk menyapa. Seorang ibu penjual daun pisang menceritakan anaknya yang takut menyebrang ke sekolah. “Jalan besar itu seperti laut,” katanya, “gelombangnya lampu-lampu.”
“Kalau begitu,” balas Jokotole, “kita ajarkan cara membaca angin.”
Di lorong-lorong kampung, motor meliuk di antara jemuran. Ada kakek yang menaruh kursi plastik di pinggir jalan, menatap kendaraan seperti menatap sungai deras. “Dulu belum seramai ini,” katanya. “Tapi ramai juga bisa menyehatkan, kalau kita belajar atur irama.”
“Kota tidak perlu ditaklukkan; ia hanya perlu diajak berdamai—dengan langkah pelan dan hati yang penuh.” Jokotole menuliskannya, lalu mengajar anak-anak permainan sederhana: berhenti, lihat kiri, lihat kanan, dengarkan—lalu jalan bersama.
.
Telepon dari Rumah
Suatu malam, telepon dari Madura berdering. Suara ibunya serak, habis batuk. “Kau baik-baik saja, To? Jangan lupa makan.”
“Aku baik, Bu. Aku sedang belajar mematangkan takaran api.” Ia tertawa kecil, mengulang nasihat tentang menanak nasi. Ayahnya merebut telepon, suaranya tegas tapi lembut. “Kau tak perlu kaya untuk berguna, To. Kau hanya perlu jujur.”
“Di sini aku belajar, Yah. Belajar jujur pada langkah sendiri.”
“Kalau capek, pulang. Rumah tidak pernah menanyakan alasan.”
Setelah telepon ditutup, Jokotole menatap langit yang teriris antena TV di atap-atap rumah. Ia menulis: “Pulang bukan alamat; pulang adalah keputusan untuk memahami.”
.
Retakan: Insiden di Zebra Cross
Minggu ketujuh program Lelono Kota, terjadi nyaris-kecelakaan. Seorang pengendara memaksa menerobos lampu kuning; anak-anak sudah menapak garis putih. Jerit kecil pecah. Jokotole spontan merentangkan tangan, menahan, memeluk Sari ke belakang. Rem berdecit, udara membau gosong. Pengendara menunduk, meminta maaf terbata.
Sari menangis dalam pelukan, bahunya kecil bergetar-getar. “Aku takut, Mas.”
“Tak apa takut,” bisik Jokotole. “Takut itu guru yang jujur.”
Kenanga mendatangi, menenangkan. Di pinggir jalan, Wandansari membagikan air minum; Wiraraja berdiri tegak, menatap pengendara yang masih meminta maaf. Satu menit senyap, lalu semua bernapas lagi.
Kejadian itu menyisa gemetar halus. Malamnya, Jokotole duduk lama di kamar. “Andaikan tadi telat sedetik,” pikirnya. “Andaikan aku goyah.”
Ia menulis, tangan sedikit gemetar: “Hidup adalah detik yang jujur. Kita tidak selalu bisa mengendalikan derasnya arus, tapi kita bisa menjaga cara melangkah.”
.
Rumah Sakit
Seminggu kemudian, Kenanga jatuh pingsan di ruang jaga; kelelahan. Jokotole menjenguk saat hujan menimpa kanopi rumah sakit. “Aku hanya kurang tidur,” kata Kenanga, tersenyum tipis.
“Tubuhmu bukan mesin.”
“Lihat aku,” ia menunjuk kantung mata. “Bekerja merawat yang sakit justru membuatku ingat, lelono kita harus tetap punya jeda. Berbenah itu menata tanpa benci—termasuk menata badan sendiri.”
Jokotole memegang payung polkadot di ujung ranjang—hadiah dari pasien. “Aku takut kehilangan kawan seperjalanan,” ucapnya lirih.
“Kalau suatu hari kita berpisah,” kata Kenanga, “ingat saja bahwa perjalanan yang baik selalu melahirkan cabang-cabang baru. Bukan semua kawan harus sampai di tujuan yang sama. Ada yang tugasnya membuat kita berani memulai.”
Di lorong rumah sakit, lampu neon dingin, aroma antiseptik menekankan sunyi. Jokotole memejam: “Perjalanan yang baik mengajari kita melepaskan.”
.
Surat untuk Diri Sendiri
Ia menulis surat untuk dirinya yang dulu—sutradara yang haus angka, terbakar deadline, terbiasa dengan tepuk tangan yang sementara.
“Kau kira panggung itu cahaya. Ternyata panggung itu juga bayangan. Kau menyukai sorot lampu, lupa bahwa sorot juga bisa membutakan. Kini kau belajar: tidak semua sorak berarti benar; tidak semua sepi berarti salah.”
Ia menutup surat, menatap jendela kecil kamar. Rel kereta menggetarkan kaca seperti jantung kota yang berdegup. “Buah paling ranum dari perubahan bukanlah piala, melainkan kesanggupan menjaga yang kecil tetap hangat.”
.
Undangan
Sebuah sekolah mengundangnya mengisi apel pagi. Ratusan murid berbaris, seragam basah oleh embun. “Apa itu lelono?” tanya seorang anak.
“Lelono itu berjalan ke arah yang jujur,” jawab Jokotole. “Bukan lari dari kenyataan, tapi menuju kenyataan yang lebih jernih—pelan, tepat.”
“Kalau gagal?”
“Gagal itu rambu, bukan tembok. Kita tidak menaklukkan kota. Kita menajamkan cara mencintainya.”
Kepala sekolah mengangkat jempol. Di halaman, zebra cross baru selesai dicat. Murid-murid mencoba menyeberang dalam kelompok kecil, tertawa, gugup, lalu berani.
.
Pertemuan di Kafe
Produser lama menghubunginya lagi, mengajak bertemu di kafe glass-house di bilangan SCBD. Di balik kaca, gedung-gedung seperti kotak-kotak es yang menyala.
“Kami paham keinginanmu,” kata produser. “Bagaimana kalau kita produksi serial mini tentang keselamatan pejalan kaki? Kau tetap memimpin. Bujet kecil tapi cukup; kami tidak ganggu keputusan kreatif.”
Jokotole menatap cangkirnya. Di seberang, orang-orang bersetelan rapi tertawa tanpa suara. “Kalau aku setuju,” katanya, “aku ingin tim kreatifnya warga: perawat, kurir, barista, penjaga parkir. Kamera kecil, cahaya alami, dialog lahir dari mulut mereka sendiri.”
Produser mengangguk. “Kita coba.”
Jokotole menatap hujan di kaca, dan dalam pantulan itu ia melihat wajahnya sendiri—lebih tenang. “Perubahan yang baik tidak memutus masa lalu; ia mengubah cara kita menatapnya.”
.
Serial: Jalan Kecil, Langkah Besar
Pengambilan gambar dimulai di subuh hari. Kamera diarahkan rendah, setinggi mata anak-anak. Kenanga menjadi narator, suaranya teduh: “Kita belajar membaca lampu, membaca arus, membaca sabar.” Wiraraja mengajari cara mengangkat tangan dengan benar; Wandansari membuat jeda: jeda minum air, jeda menertawakan gugup; Rukma menjadi penjaga ritme, peluitnya singkat dan tepat.
Adegan favorit Jokotole adalah ketika Sari menatap lampu merah yang memantul di genangan, lalu bertanya, “Kenapa selalu merah dulu, Mas?”
“Supaya kita ingat,” jawab Jokotole, “bahwa berhenti pun bagian dari perjalanan.”
Serial itu tayang di kanal kecil. Tidak meledak. Namun setiap akhir pekan, ada kelompok baru yang menandai zebra cross di kampungnya dengan cat sumbangan warga. Ada pos ronda yang menempelkan poster: “Kalau hujan, jangan sembunyi. Jalan saja—perlahan.”
.
Malam yang Panjang
Suatu malam, listrik padam di rusun. Gelap menebal. Dari jendela, hanya bintang yang pelit sinarnya. Orang-orang berbicara pelan, anak-anak menyalakan senter. Jokotole duduk di lantai, punggung ke dinding. Ia mendengar detak jam, tali jemuran berdecit, suara radio dari kamar jauh yang masih menyala dengan baterai tua.
Dalam gelap, ia mengingat semuanya: rapat yang dingin, studio yang gemerlap dan menusuk mata; bau hujan, suara rem yang menjerit, isak Sari, senyum Kenanga di ruang rawat. Ia merasa seluruh perjalanan menetes jadi satu kalimat: “Berbenah, berubah, berbuah.”
Lampu menyala lagi. Orang-orang bersorak kecil. Kehidupan melanjutkan diri dengan sederhana.
.
Lelono, di Zaman yang Mendadak
Pagi-pagi sekali, Jokotole menulis epilog untuk dirinya dan kota:
“Berbenah itu menata tanpa benci; menerima yang pernah salah sebagai bagian dari yang menjadikan kita utuh.
Berubah itu berani melepas cara lama meski sayang; tahu kapan berhenti, kapan mulai.
Berbuah itu memberi tanpa menghitung kembali; memilih jadi bayang-bayang pohon di siang terik.”
Ia menambahkan:
“Di zaman yang mendadak—ketika kabar datang lebih cepat dari napas—lelono adalah disiplin untuk melambat, mendengar, dan menimbang. Bukan semua suara perlu ditanggapi, tapi semua manusia perlu ditatap. Bukan semua jalur perlu dilintasi, tapi semua zebra cross perlu dihormati.”
Kenanga mengetuk pintu, membawa payung polkadot yang kini catnya mulai pudar. “Hujan lagi,” katanya, senyum selebar pagi.
“Kita jalan?”
“Kita jalan,” jawabnya.
Mereka menuruni tangga rusun, melewati anak-anak yang mengikat tali sepatu, ibu-ibu yang tertawa di depan warung, bapak-bapak yang menyeruput kopi pahit. Di gerimis yang ditenun halus, payung polkadot itu melebar seperti sayap yang tahu ke mana harus terbuka.
Di zebra cross, mereka berhenti. Lampu hijau pejalan menyala. Mereka saling memandang sekejap—cukup untuk mengatakan hal-hal yang tak pernah dituntaskan kata.
Mereka mulai melangkah. Kota bernapas. Langit, bahkan di antara gedung, tetap luas.
“Kita tidak menaklukkan kota. Kita menajamkan cara mencintainya.”
“Lelono bukan lari dari kenyataan, melainkan berjalan ke arah kenyataan yang lebih jujur—pelan, tepat, dan berani berubah.”
.
.
.
Jember, 15 September 2025
.
.
#Lelono #LangitDiAntaraGedung #BerbenahBerubahBerbuah #CerpenUrban #Kota #PerjalananBatin #KompasMingguStyle #CeritaIndonesia