Menunggu Hijau yang Tak Kunjung Datang
“Setiap perempatan menyimpan rahasia: siapa yang berani menunggu, siapa yang diam-diam menyerah, dan siapa yang tetap melangkah meski lampu tak pernah hijau.”
.
Senin pagi, Jakarta menguap panjang. Pagi bukan sekadar jam di dinding—ia adalah suara klakson yang tak sabar, dengung gardu listrik, dan aroma kopi sachet yang diseduh buru-buru. Wirabraja berdiri di halte TransJakarta Dukuh Atas, menatap buram kaca shelter yang memantulkan wajahnya sendiri: mata yang begadang, dagu yang tak sempat dicukur rapi, kemeja putih yang menyembunyikan berjuta gugup. Ia mengangkat ponsel, mengetik catatan harian: “Apa pun bisa terjadi di awal pekan. Aku harus berani—hari ini ide harus berkilau.”
Di belakangnya, layar LED raksasa menayangkan iklan yang menjanjikan hidup ideal: apartemen minimalis, gym 24 jam, pemandangan kota. Wirabraja tersenyum miris. Hidupnya belum seperti itu. Ia tinggal di kamar kontrakan sempit di Menteng Dalam, gangnya selega pelukan yang canggung, dindingnya tipis seperti perasaan yang mudah luka. Namun justru di ruang-ruang sempit, ide sering tumbuh tak terbendung.
Senin adalah listrik dalam nadi. Di kantor rintisan kreatif Arya Wulung—seorang senior pemimpin agensi yang dikenal keras namun adil—Wirabraja mempresentasikan konsep kampanye kota: “Jakarta, Di Mana Ide Tak Pernah Tidur.” Alih-alih menampilkan gedung-gedung kaca semata, ia menaruh kamera ke arah yang jarang ditatap: pedagang bubur yang mulai jam tiga pagi, tukang parkir yang hafal plat nomor pelanggan, satpam yang tahu jam pulang paling larut. Ia menyusun montase: napas kota, bukan hanya wajah kota. Presentasinya seperti hujan meteor—cepat, panas, dan menyala.
“Berani,” kata Arya Wulung, “kau menatap ke arah yang tidak lazim.”
“Karena di sana hidup terlihat jujur, Pak,” jawab Wirabraja.
“Jangan panggil aku Pak di ruang ide,” tegas Arya, menahan senyum. “Di sini, semua kita adalah penemu.”
Ide itu meledak. Tim bersorak kecil. Jaka Raras, sahabat satu tim yang cerewet dan setia, menepuk punggungnya. “Wira, ini gila. Kalau ini jadi, namamu benar-benar naik.”
Wirabraja hanya mengangguk. Di balik detak kemenangan, ada bayangan wajah Pujawati—perempuan yang ia temui beberapa bulan lalu di lokakarya sketsa urban di Taman Ismail Marzuki. Pujawati menggambar kota seperti seseorang menulis surat cinta: telaten, sabar, dengan garis-garis yang mengerti lelah.
Malamnya, mereka bertemu di kafe kecil di bilangan Menteng; lampu temaram, musik jazz lawas, dan meja kayu yang menyimpan gores waktu. Pujawati mendengarkan ide kampanye Wira, matanya berpendar.
“Kau memotret manusia yang sering dilupakan,” katanya.
“Karena aku juga sering merasa demikian,” Wira tertawa pendek.
Pujawati menatap, seperti hendak menghafal keteguhan yang rapuh itu. “Aku suka orang yang mengembalikan nama pada hal-hal kecil.”
Malam menutup Senin dengan janji yang tak diucapkan. Di kepala Wira, kalimat itu menyala: “Splash out artistically—bereksperimenlah.” Ia pulang dengan langkah yang lebih ringan, seakan batu-batu di kantongnya sudah dibuang satu per satu.
.
Selasa sampai Kamis pagi, kenyataan menuntut pajaknya. Ide besar harus dirinci: renstra, timeline, legal, izin lokasi, biaya overtime, negosiasi vendor. Getaran semesta kreatif pelan-pelan dikikis spreadsheet. Telepon berdering, email memanjang. Arya Wulung menatap tajam: “Ide hebat akan mati kalau detilnya dibiarkan lapar.”
Di saat yang sama, ada bayang lain: ayah Pujawati, Kertarajuna, pengusaha properti yang wajahnya sering muncul di media bisnis, menilai dunia dari angka-angka. “Anak siapa dia?” tanya Kertarajuna pada Pujawati.
“Anak pesisir,” jawab Pujawati tenang. “Dari Madura. Ibunya penjual nasi, ayahnya tukang perahu.”
“Lalu apa yang bisa dia beri untukmu?” Suara itu datar, seperti pintu lift yang terus menutup walau kau menahannya.
“Keberanian,” kata Pujawati.
Kertarajuna menyipitkan mata. “Keberanian membayar cicilan rumah?” Sinisme itu menggantung seperti udara lembap. “Kau tahu standar keluarga kita.”
Di kantor, Wira menerima pesan Pujawati: Ayahku ingin bertemu. Aku tak bisa menjamin apa-apa.
Wira mengangguk pada layar. Dada menegang seperti tali digesek terlalu kencang. Ia teringat ibunya yang menutup warung menjelang Magrib, menyisihkan uang receh yang tak seberapa untuk ongkos kuliahnya. Juga suara laut di Pamekasan yang mengajarinya ikhlas bahkan ketika perahu oleng.
Rabu malam, Wira makan di warteg pinggir jalan. Di meja: sayur lodeh, tempe orek, sambal yang menyengat, dan suara TV menayangkan telenovela yang tak pernah tamat. Jaka Raras duduk di hadapannya.
“Kau memang mau datang jumpa ayahnya Puja?”
“Kalau aku tak berani sekarang, kapan lagi?”
Jaka menghela napas. “Tidak semua benteng bisa ditembus dengan idealisme.”
Wira menatap piringnya. “Tapi aku bukan hendak menyerang benteng. Aku hanya mengetuk pintu dengan cara yang sopan.”
Jaka tertawa getir. “Semoga penjaganya paham bahasa ketukan.”
Kamis pagi, Wira berlatih di depan cermin: kemeja tanpa motif, sepatu yang disemir, kalimat-kalimat yang disusun rapi seperti batu bata. Ia datang ke rumah Kertarajuna di bilangan Permata Hijau. Rumah yang tak sekadar luas, tapi berwibawa. Di ruang tamu, lukisan-lukisan besar menatap dingin. Pelayan menyajikan teh yang menyisakan uap tipis, seperti napas yang ditahan.
“Jadi kau Wirabraja,” kata Kertarajuna, menatap data profil yang sudah ia gali dari internet. “Agensi kreatif. Kontrak belum panjang. Tabungan?”
Wira menjawab jujur. “Sedikit, Pak. Tapi cukup untuk hidup sederhana.”
“Anak-anak muda kota sering keliru mengira gairah bisa mengganti kenyamanan,” Kertarajuna menyandarkan punggung. “Kau tahu biaya hidup Jakarta?”
“Tahu, Pak. Sebab aku menghitungnya per piring nasi.”
Jawaban itu membuat sudut bibir Pujawati terangkat, namun tidak mengubah suhu ruangan.
Kertarajuna menajamkan suara, “Anak saya tidak boleh hidup dari sayang saja.”
Wira menahan napas. “Benar, Pak. Tapi kalau syarat hidup adalah sayang dan kerja keras, izinkan saya mengerjakan keduanya.”
Pujawati menatap ayahnya. “Aku memilih dengan mataku sendiri.”
“Kau memilih dengan perasaanmu,” sanggah Kertarajuna. “Perasaan adalah kabut.”
“Ayah lupa,” Pujawati berdiri, suaranya jernih. “Kabut pun tunduk pada matahari.”
Pertemuan itu tak berkesudahan dalam persetujuan. Wira pulang dengan tubuh utuh tapi hati remuk ringan, seperti kaca yang retaknya tak terlihat dari kejauhan. Namun, anehnya, ia merasa lebih jelas. Kegagalannya sore itu mempertegas jalan di depannya: bekerja lebih keras, menambah pundi kecil, menjadi laki-laki yang bertahan bukan karena kebetulan, melainkan keputusan.
“Jangan takut menjadi kecil di kota besar; takutlah jika hatimu mengecil di hadapan rezeki yang membesar.”
Kalimat itu ia catat malam itu juga.
.
Kamis petang, setelah kantor, Wira melangkah ke Taman Ismail Marzuki. Pameran seni rupa jalanan dibuka. Pada dinding, karya-karya Pujawati bercerita lebih lantang dari yang pernah ia ucapkan: anak-anak yang bermain karet di bawah flyover; penjual sate yang menyalakan arang seperti menyalakan harapan; wajah-wajah perempuan yang berdiri di antrian puskesmas; dan satu lukisan yang membuat Wira terpaku—seorang lelaki yang berdiri di perempatan dengan jaket lusuh, menatap lampu merah yang memantul di aspal basah. Judulnya: “Penunggu Hijau yang Tak Kunjung Datang.”
“Puja,” Wira berbisik ketika perempuan itu sudah di sampingnya, “aku mengenal lelaki ini.”
“Kau bukan sekadar mengenalnya,” kata Pujawati. “Kau adalah dia. Kau tahu menunggu bisa menjadi pekerjaan yang melukai.”
“Kau menertawakanku?” Wira tersenyum, separuh getir.
“Aku menertawakan diriku sendiri,” Pujawati membalas senyum. “Karena aku juga menunggu: lampu hati ayahku berubah warna.”
Di sela pidato kurator, di antara tepuk tangan dan gemerincing gelas plastik, dunia seolah memberi ruang: Wira dan Puja berdiri terlalu dekat untuk disebut teman, terlalu diam untuk disebut pasangan. Listrik lembut merambat dari ujung jari ke dada; sesuatu yang polos dan dalam, yang dulu dinamai orang-orang tua: asmaraloka. Di kota yang menelan anak-anaknya, dua orang ini menemukan potongan roti kecil yang menyelamatkan lapar.
Malam itu mereka menyusuri Cikini, berhenti di pedagang wedang ronde. Uap jahe menyusup hidung, menghangatkan tengkuk.
“Wira,” kata Puja, “aku tak mau kau berubah hanya untuk membuat orang lain tenang. Berubahlah kalau kau ingin menjadi lebih jujur terhadap dirimu.”
“Bagaimana kalau jujur itu berarti miskin, Puja?”
“Lalu apa arti kaya, kalau membatalkan kejujuran?”
Wira menatapnya lama. “Kau membuat kota ini terdengar manusiawi.”
“Bukan aku,” Puja menggeleng. “Kau yang mengunduh manusia dari langit iklan, menurunkannya ke jalan.”
.
Jumat menuju Sabtu, kreativitas beralih rupa. Diskusi-diskusi mereka melebar—tentang film semasa kecil, buku-buku yang mengubah cara pandang, bahkan tentang doa yang—kata Puja—kadang tak terucap tapi terasa. Mereka bertemu di museum, di halte, di lorong-lorong kampung kota. Kamera ponsel Puja merekam langkah, pena Wira menuliskan suara.
Di studio agensi, tim Wira begadang untuk syuting perdana kampanye “Di Mana Ide Tak Pernah Tidur.” Lokasi pertama: pasar subuh Kramat Jati. Wira meminta juru kamera menurunkan lensa sejajar meja dagang, sehingga sayur mayur terlihat sebesar rupiah yang dicari. Ia minta jarak fokus tipis, agar latar belakang kabur—mirip ingatan orang-orang tentang siapa yang menyiapkan makan mereka tiap pagi.
“Gila kau, Wira,” Jaka bersungut-sungut sambil memeluk termos kopi. “Iklan macam apa ini?”
“Iklan yang mengembalikan ucapan terima kasih,” jawab Wira.
“Terima kasih bayar sewa kantor?”
Wira tertawa. “Lihat saja nanti.”
Saat fajar melukis langit dengan warna yang tak diberi nama, Wira menerima pesan dari nomor tak dikenal: Dengar-dengar kau membuat proyek untuk kota. Ingat, kota adalah tempat yang cepat melupakan. Pastikan kau tidak termasuk yang dilupakan duluan.
Tidak ada identitas. Namun ia tahu—itu gaya tulis Sedayu—mantan rekan yang dulu memilih jalur cepat: di balik pintu tender yang tak semua orang boleh mengetuk. Pesan itu adalah racun dan gula: menakuti sekaligus memikat.
Arya Wulung muncul seperti hantu yang selalu tepat waktu. “Aku dengar ada tawaran yang menjanjikan pintas?”
Wira mengangguk.
“Kalau kau masuk ke lorong itu, cahaya tak lagi sekadar padam. Ia akan lupa pernah menyala.”
“Pak—eh, Arya,” Wira menimbang kata. “Aku hanya letih. Kadang aku ingin tiba lebih cepat.”
Arya menepuk bahunya. “Kau bisa tiba cepat dengan berlari keras, bukan meminjam kendaraan gelap.”
Malam Sabtu, setelah syuting kedua di kolong flyover Slipi—di mana anak-anak mengejar bayang sendiri di dinding beton—Wira duduk letih di trotoar yang dingin. Pujawati datang dengan bungkusan nasi uduk. Mereka makan tanpa banyak bicara; diam yang bukan kehampaan, melainkan perawatan.
“Puja,” kata Wira pelan, “kalau aku kalah? Kalau iklan ini ditertawakan dan aku tetap menjadi lelaki yang menunggu hijau yang tak kunjung datang?”
Puja mengunyah pelan, menatap lampu kendaraan melaju. “Kau kalah, lalu apa? Bukankah kita manusia justru dirawat oleh kekalahan? ‘Kebahagiaan membuat kita bersyukur, kekalahan membuat kita bertumbuh.’”
“Kau dari mana mengunduh kalimat itu?”
“Dari hidup,” ia tersenyum. “Dan sedikit dari puisi yang kubaca kemarin.”
Kota berkilau tanpa perasaan. Namun malam itu, di jalur lambat yang dilompati orang, dua manusia merasa cukup: kenyang nasi uduk, hangat tawa, tenang karena jujur. Kreativitas bertukar sumbu dengan romansa—sebuah kebetulan yang tampak ringan, padahal ia berat seperti keputusan.
.
Minggu: hari merapikan yang acak. Wira bangun lebih pagi dari matahari. Ia mencuci piring yang menumpuk, menyapu lantai kontrakan, memperbaiki pegangan lemari yang kendur, menambal cat dinding yang terkelupas. Tugas-tugas remeh yang sering diabaikan orang sibuk kini terasa seperti ibadah kecil: menertibkan semesta sejauh jangkauan tangan.
Di kalender ponsel, ia menulis: “Urusi hal-hal kecil: bayar listrik, kirim uang ke Ibu, bawa motor servis, periksa kontrak vendor, belikan cat tambahan untuk tetangga Ni Sekar yang melapuk dindingnya.”
Ia ingat kata-kata ibunya dari Pamekasan: “Rejeki itu bukan hanya yang masuk, Ra, tapi juga yang keluar dengan tepat.”
Siang, Pujawati datang membawa setumpuk sketsa baru. Mereka duduk di teras kontrakan, di bawah langit yang sedang menimbang hujan. Sketsa-sketsa itu memperlihatkan serangkaian panel: seorang ayah menaikkan putrinya ke sepeda onthel; seorang ibu yang mengantre BLT dengan wajah setengah lega; tukang potong rambut yang menaruh potongan layu di lantai yang penuh cerita; dan pada panel terakhir, dua orang duduk berdampingan, kepala miring saling menyandar, tak ada legenda gambar—sebab legenda sering merusak yang sebenarnya sederhana.
“Ini kita?” tanya Wira.
“Ini kota,” jawab Puja. “Dan karena kita adalah kota, maka ini juga kita.”
Telepon berdering: Arya Wulung. “Wira, kabar baik. Kota setuju menjadi mitra. Mereka bilang iklanmu bukan iklan; ini catatan terima kasih yang tertunda. Kita tayang pekan depan.”
Wira menutup telepon, menatap Puja. “Hidup barangkali sedang berpihak sebentar.”
“Jangan buru-buru berbaik sangka,” Puja bercanda. “Nanti ia cemburu.”
Mereka tertawa. Lalu hening.
“Puja,” Wira menunduk, mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Aku tak tahu jawabannya. Tapi kalau suatu hari nanti kau lelah menunggu lampu ayahmu berubah, kau masih mau duduk di terasku yang catnya mengelupas?”
Puja menoleh, alisnya terangkat. “Aku mau duduk di tempat apa pun selama kau masih bersedia menyapu Minggu-minggu kecilku.”
“Bagaimana dengan Senin-Sabtu?”
“Senin kita gila bersama. Selasa sampai Kamis kita tertibkan. Jumat-Sabtu kita jatuh cinta lagi.”
“Setiap pekan?”
“Setiap kita lupa alasan pertama kita bertemu,” katanya, mata membentuk bulan sabit.
Hujan turun perlahan, seperti seseorang yang meminta izin memasuki rumah. Ni Sekar, tetangga sebelah, menyorongkan bakwan goreng hangat. “Mas Wira, Mbak Puja, hujan-hujan begini yang sedap itu cerita, bukan sekadar gorengan.”
Mereka duduk bertiga, membiarkan cerita menjadi payung. Ni Sekar menyebut harga beras yang naik, listrik yang boros, dan cucunya yang memenangi lomba hafalan surat pendek. Kehidupan yang tak menghias diri, tapi selalu mengembalikan kita pada alasan-alasan yang tak bisa diperdebatkan: lapar, sayang, dan rahasia kecil bernama harapan.
Sore, ketika hujan mereda, Kertarajuna datang. Tak ada pengawal. Hanya tubuh yang sedikit letih, mata yang baru saja memikirkan ulang sesuatu.
“Selamat,” katanya singkat. “Aku melihat pengumuman kemitraan itu.”
“Terima kasih, Pak,” Wira menunduk.
Kertarajuna menatap teras yang catnya memang mengelupas. “Rumah ini jujur,” gumamnya.
Puja menunggu. Ayahnya menghela napas panjang. “Aku tak meminta maaf untuk kekhawatiranku sebagai ayah. Tapi aku bisa belajar menyukai keberanian yang tak kumengerti.”
Ia menoleh ke Wira. “Jangan buat anakku lapar.”
Wira menatap balik. “Aku akan berusaha membuatnya kenyang bahkan ketika dunia kehabisan lauk.”
Kertarajuna mendengus—sejenis tawa yang malu menunjukkan giginya. “Sudahlah. Minggu depan makan malam di rumah. Bawa serta Seninmu yang gila itu.”
Setelah mobil itu berlalu, Pujawati memandang Wira. “Kadang-kadang yang kita kira dinding ternyata pintu yang salah kita dorong.”
“Kau menyebutnya apa?”
“Pertumbuhan,” Pujawati menautkan jemari. “Dan pertumbuhan itu, sayangku, jarang bersuara.”
Malam menutup pekan tanpa pesta kembang api. Di kamar kontrakan, Wira menulis catatan:
“Kota memang tak punya hati. Tapi setiap hari ada manusia yang meminjamkan hatinya agar kota bisa meniru cara berdetak.”
Ia menyelipkan selembar kertas kecil untuk Pujawati, ditempel di cermin:
“Cinta adalah keputusan untuk tetap duduk di kursi yang sama, bahkan ketika pemandangan di luar jendela sering berganti.”
Di kejauhan, layar LED kembali menyala: iklan baru menampilkan wajah-wajah yang selama ini tak dianggap layak tampil. Penjual sayur tersenyum kikuk. Tukang parkir melambaikan tangan. Anak-anak berfoto bersama lensa yang untuk sekali ini lebih adil. Di bawahnya, satu kalimat sederhana: “Terima kasih karena membuat kota ini hidup.”
Dan di bawah lampu kota yang selalu lebih terang daripada bulan, dua manusia mengerti: mereka bukan pahlawan, mereka hanya orang biasa yang bersedia bertahan. Asmaraloka tak selalu berbentuk megah; kadang ia hanya berupa teras sempit, hujan yang mau mampir, dan doa yang tak jadi-jadi tapi tetap berusaha.
.
“Kadang kota hanya memberi kita lampu merah, tapi hati yang tulus selalu menemukan jalan untuk pulang.”
.
.
.
Jember, 14 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #CintaPerkotaan #SastraUrban #MenakMadura #Jakarta #KisahEmosional #Asmaraloka