Ketika Diam Menjadi Suara

“Kadang kita baru mengenal wajah asli seseorang saat kita rela pura-pura tak paham, pura-pura kalah, dan pura-pura menunggu. Di sanalah kebenaran keluar dari persembunyiannya.”

.

Angin malam menabrak kisi-kisi jendela apartemen kecil di Tebet, membawa sisa bau hujan dari arah Cawang. Di lantai delapan, Raden mematikan rokoknya di bibir cangkir kopi. Lampu jalan memantul di kaca; kilau mobil di tol layaknya arus sungai logam yang mengalir tanpa henti. Kota ini seperti panggung yang tak pernah menutup tirai—setiap adegan berlanjut ke adegan berikutnya, dengan aktor yang kadang menukar naskah di tengah permainan.

Raden baru saja pulang dari kantor Aria—perusahaan event organizer yang dulu mereka rintis berdua di sebuah ruko Petamburan. Namanya sekarang: Jayengrana Creative. Bukan nama lahir Aria, melainkan nama panggung yang dipilihnya—konon, adaptasi dari kisah Menak: raja tampan yang suka tampil gagah. Aria memintal narasi bahwa dialah pengendali panggung; yang lain hanyalah figuran. Raden menelan getir itu tahun demi tahun, sampai malam ini kontraknya diputus tanpa pesangon. Ia diusir dari panggung yang ia paku dengan tangannya sendiri.

Di bawah jendela, klakson bersahutan. Di atas meja, sebuah buku catatan terbuka. Di halaman awal, Raden menulis mantra warisan almarhum ayahnya—enam kalimat yang diajarkan pada malam listrik padam di kampung, saat lampu teplok menjadi mata waktu. Enam kalimat dari gambar yang tadi siang ia lihat lagi di ponselnya—menyingkap luka lama yang ternyata belum sembuh.

.

Mereka berdua—Raden dan Aria—berangkat dari Bangkalan, menyeberangi Suramadu, lalu ke terminal Bungurasih, menumpang bus malam menuju Jakarta. Raden membawa tas ransel isi kaus dan sebuah buku tulis; Aria membawa mimpi yang suaranya lebih keras daripada mesin bus. Di Jakarta, mereka kerja serabutan: jadi kru panggung di TIM, jadi pengangkat kursi di gelaran nikah mewah Senayan, jadi figuran iklan mi instan di studio Cijantung.

Malam-malam, mereka menginap di kontrakan dekat Warung Madura 24 jam; merangkai impian di atas tikar pandan. “Nanti kalau jadi, kita bikin perusahaan bareng. Namanya apa ya?” tanya Aria. “Apa saja. Yang penting kita jujur,” jawab Raden.

Mereka benar-benar jadi. Dari ruko sempit, mereka naik ke gedung kaca di Sudirman. Dari panggilan telepon kecil, mereka mengelola festival musik jalanan, pameran UMKM, sampai konser amal. Tetapi di setiap konferensi pers, hanya satu nama yang disebut. Di setiap press wall, hanya satu logo yang menonjol: wajah Aria yang selalu siap diabadikan kamera. Raden tetap di belakang, menyulam tenang.

Pada tahun keempat, Aria mengganti nama perusahaan menjadi Jayengrana Creative. “Nama yang kuat, Den. Orang ingat.” Raden mengangguk; tak bertanya kenapa namanya sendiri tak ikut tercantum. Ia memilih diam.

“Banyaklah diam untuk melihat siapa yang menyepelekanmu.”

Diam Raden disalahartikan sebagai lemah. Ide-idenya—Festival Sungai, Bulan Bercerita, Panggung Kopi Nusantara—muncul di brosur, di layar LED, di pidato Aria, tanpa satu pun kredit. Ketika jurnalis bertanya: “Siapa tim kreatifnya?” Aria menjawab, “Semua dari saya, tentu dengan bantuan staff.” Raden menelan kalimat itu seperti menelan paku.

Raden tak pernah berhenti berbuat baik. Ia sering pulang paling akhir, memastikan kursi tamu tak ada yang pincang, memastikan lampu emergency berfungsi, memastikan vendor dibayar tepat waktu—meski kadang harus memakai tabungannya sendiri karena Aria telat mentransfer. Ia yakin kebaikan akan dibalas kebaikan.

“Jadilah baik untuk melihat siapa yang memanfaatkanmu.”

Suatu malam, selepas rapat sponsor, Aria menepuk bahunya. “Den, kamu orang baik. Tanpa kamu, susah.” Kalimat itu hangat, tetapi paginya Raden menemukan memo: posisinya “dialihkan” ke proyek lain tanpa kejelasan honor. Baik yang dipuji, ternyata baik yang dieksploitasi.

Raden mengalah. Ia masih datang paling awal, pulang paling akhir. Ia menambal kesalahan produksi, menenangkan klien yang marah, menahan amuk vendor yang menunggu pelunasan. Mereka menyebutnya “orang belakang yang bisa diandalkan.” Sementara Aria berpidato di panggung, menyebut kata-kata “integritas” dan “keluarga,” Raden menulis nomor resi di kotak logistik.

“Banyaklah mengalah untuk tahu siapa yang menginjak-injakmu.”

Puncaknya datang saat proyek Festival Sungai—ide yang Raden tulis tiga tahun lalu, saat ia melihat anak-anak bermain di tepi Ciliwung yang tercemar. Ia membayangkan panggung apung, kios UMKM bantaran, workshop edukasi sekolah, dan pawai perahu. Ia mempercayakan semua blueprint kepada Aria dengan pesan: “Ini mimpi kita.” Aria mengangguk sambil tersenyum. Dua minggu kemudian, Jayengrana Creative menandatangani kontrak miliaran rupiah dengan pemerintah kota—tanpa nama Raden di lampiran.

“Berilah kepercayaan untuk tahu siapa yang mengkhianatimu.”

Hari itu Raden berjalan menyusuri trotoar di bawah flyover Karet. Hujan bubar; genangan memantulkan LED reklame. Teleponnya bergetar: pesan dari staf keuangan—gajinya ditunda karena “arus kas menipis”. Dari jauh, suara sirene ambulans lewat, seperti mempertebal luka di telinga. Raden menatap langit. Jakarta seolah menatap balik, menawarkan pelajaran yang ia enggan terima: kebenaran kadang butuh kehilangan.

Malam berikutnya, Raden tidak ke kantor. Ia duduk di warung kopi milik lelaki paruh baya bernama Kertadenta—orang Lamongan yang ramah dan cerewet. Di warung itulah Raden bertemu Maya, musisi jalanan yang suaranya bening, dan Adaninggar, jurnalis yang menulis kolom kota di media daring. Nama-nama itu seperti melompat dari lembar kisah Menak yang ia baca kecil dulu—kini hadir dalam tubuh yang wangi kopi dan lampu neon. Mereka cepat akrab. Maya memetik gitar, menyanyi tentang kota yang terlalu terang hingga lupa gelap. Adaninggar mencatat, tangannya lincah seperti lari kata.

“Orang baik sering disalahartikan,” kata Kertadenta sambil menuang kopi tubruk. “Tapi orang baik yang cerdas, tahu kapan harus pergi.”

Raden diam. Ia tak ingin pergi karena marah. Ia ingin pergi karena cinta pada dirinya sendiri. Di meja kayu itu, mereka bertiga merancang acara kecil: Sanggar Senyap—panggung komunitas yang memberi ruang pada musisi jalanan, buruh harian, pedagang asongan, mahasiswa patah arang, dan siapa pun yang ingin bercerita tanpa sorot kamera berlebihan. “Kita bikin di taman yang sering gelap,” usul Maya. “Taman pun berhak punya panggung.”

Minggu pertama, mereka tampil di Taman Menteng. Penonton hanya belasan—penjaga parkir, pasangan muda, dan seorang ibu yang mengayun stroller. Minggu kedua, mereka pindah ke trotoar panjang di depan stasiun Sudirman. Penonton bertambah, karena kereta selalu mendatangkan pertemuan. Minggu ketiga, video Adaninggar viral: “Ini kota yang tak hanya ditonton, tapi diajak bicara.” Sanggar Senyap menjadi bisik-bisik manis di telinga warganet.

Suatu sore, ponsel Raden bergetar. Nomor tak tersimpan. “Den, kamu di mana?” Suara Aria. “Di luar,” jawab Raden. “Besok rapat jam sembilan. Jangan telat. Ada pembicara dari kementerian.” Raden menghela napas; ia tahu, panggilan itu bukan undangan—melainkan perangkap. Rapat itu nanti akan diakhiri dengan pengumuman “restrukturisasi” dan Raden akan diposisikan sebagai “freelancer”. Ia memutuskan datang—tanpa membawa apa pun selain hati yang sudah memaafkan.

Rapat berlangsung di ruang kaca lantai 20. Aria tampil dengan jas slim fit; senyumnya rapi, kata-katanya manis. “Kita perlu efisiensi, Den. Kamu kita posisikan sebagai konsultan lepas. Bebas memilih proyek.” Raden mengangguk. “Gajiku yang tertunda?” tanya Raden. Aria melirik staf keuangan. “Sedang diproses.” Raden tidak memaksa. Ia berdiri, menyalami satu per satu. Di lift, ia melihat wajahnya di cermin: letih, tetapi entah kenapa—enteng.

Di trotoar, Raden mengirim pesan pada Maya dan Adaninggar: “Sudah resmi. Aku lepas.” Maya membalas dengan emoji senyum; Adaninggar mengirim potongan kalimat: “Setelah kamu tahu sifat asli mereka, kamu boleh meninggalkannya.” Raden tertawa kecil. Pelajaran selesai.

.

Musim hujan meluap cepat tahun itu. Ciliwung naik. Festival Sungai garapan Jayengrana Creative tetap digelar di kawasan Kalibata—mengejar jadwal pejabat. Raden datang sebagai penonton, berdiri di belakang truk sound. Ia menyaksikan panggung apung yang licin, tali jangkar yang tidak dikencangkan, dan kabel listrik yang melintang dekat air. Ia menahan diri untuk tidak mengintervensi. Kebaikan punya batas: batasnya adalah nyawa.

Langit gelap. Hujan turun seperti domba berlarian. Penonton berhamburan mencari teduh. Seorang anak terpeleset di bibir panggung, air menelan sandal kecilnya. Raden refleks berlari, melompati pembatas, menangkap anak itu sebelum terjerembap. Sirene menggema; panitia kelabakan. Aria berdiri di panggung, wajahnya kaku. “Tenang, semua terkendali,” katanya di mikrofon—kalimat yang terdengar lebih panik daripada menenangkan.

Raden memanggil relawan Sanggar Senyap yang kebetulan datang sebagai penonton. Mereka membentuk barikade manusia, mengosongkan jalur evakuasi, menutup panel listrik dengan plastik, dan menuntun anak-anak ke tenda medis. Maya menyanyi pelan—lagu lullaby di tengah riuh. Adaninggar menulis cepat, tapi menahan diri untuk tidak menyiarkan kesalahan teknis: keselamatan dulu, berita belakangan.

Hujan reda dua jam kemudian. Festival dinyatakan ditunda. Aria menahan Raden di pinggir tenda. “Terima kasih,” katanya pendek. Matanya tidak tenang. “Besok aku akan mengundangmu kembali. Kita perbaiki semua.” Raden menggeleng. “Aku sudah pilih jalanku, Ria.” Ia menatap sungai yang kembali mengalir. “Kali ini, biar aku menjaga panggung yang tak kau lihat.”

Raden pulang dengan sepatu becek, tetapi langkahnya ringan. Di kereta Commuter Line, ia melihat pantulan wajahnya—kini dengan gurat baru yang tak lagi malu pada senyap. Di ponsel, pesan bertubi-tubi masuk: kanal daring membicarakan Sanggar Senyap yang sigap membantu. Ada yang menyebut mereka “komunitas kecil yang mengerti arti panggung sesungguhnya.”

Malam itu, Kertadenta menutup warung lebih malam. Mereka merayakan dengan kopi dan telur setengah matang. Maya tertawa, Adaninggar menggoda, Kertadenta berkisah tentang masa mudanya di pelabuhan Kalimas. Raden mendengarkan, seperti mendengar dirinya sendiri dari lorong waktu. Ia tahu, panggungnya telah berpindah: dari gemerlap sorotan, ke wajah-wajah manusia yang dihidupkan.

.

Beberapa bulan berlalu. Sanggar Senyap berubah menjadi gerakan: panggung bergerak di taman, jembatan penyeberangan, aula rusun, lapangan RW, bahkan halaman mushala saat ba’da isya. Mereka punya jadwal seperti tur, tetapi tanpa tiket mahal, tanpa karpet merah. Dana datang dari donasi kecil, patungan, dan kontrak kerja sama sederhana dengan kampus, komunitas gereja, masjid, dan perusahaan kecil. Prinsipnya: panggung adalah milik yang hadir.

Malam tertentu, mereka tampil di Kampung Akuarium—komunitas pesisir yang bertahan dari penataan kota. Raden berdiri di samping panggung, menatap bayang-bayang nelayan di dinding tenda. Seorang bapak menyanyikan tembang Madura dengan bahasa yang tajam dan halus sekaligus; Maya mengiring dengan gitar. Adaninggar memotret senyap: wajah-wajah yang tak biasa dipertontonkan televisi tetapi justru menyala ketika didengarkan. Di sudut, anak-anak tertawa saat pelukis mural menggambar perahu di papan triplek. Panggung sederhana itu menyalakan harapan.

Selepas acara, seorang perempuan mendekat. “Mas Raden, saya Sari Adaninggar,” katanya memperkenalkan nama lengkap, dan seketika Raden merasa naskah tua yang pernah ia baca sedang bermain mata dengannya. “Bolehkah saya menulis cerita panjang tentang perjalananmu?” Raden tersenyum. “Tulislah tentang mereka,” ia menunjuk anak-anak yang menggambar. “Perjalananku baik-baik saja.”

Di malam yang lain, mereka ke Bandung. Di teras depan Balai Kota, Sanggar Senyap mengundang penyapu jalan untuk membaca puisi. Di Surabaya, mereka tampil di Taman Bungkul dan ditraktir rawon oleh tukang becak yang dahulu tergeser jalurnya tetapi kini mengantar penonton. Di Semarang, kepala sekolah mengundang mereka ke aula; anak-anak kelas sebelas menampilkan tari kontemporer tentang banjir rob. Di Yogyakarta, mereka menutup panggung dengan doa; Kertadenta memasak kopi di belakang mobil bak. Nama-nama dari kisah Menak seakan ikut berjalan: Maya yang tegar, Adaninggar yang tajam, Kertadenta yang setia—dan Raden yang memilih senyap sebagai rumah.

Sementara itu, Jayengrana Creative tak lagi setertek. Setelah kisruh Festival Sungai, beberapa klien menahan pembayaran; vendor meminta jaminan. Aria tetap bergaya di Instagram, tetapi sorot matanya melesak. Di suatu sore berawan, ia mendatangi warung Kertadenta. Raden sedang menyapu halaman, Maya menyetel mikrofon, Adaninggar menulis di buku catatan. Aria berdiri di ambang pintu, kaku.

“Kita bicara?” ujar Aria.

Mereka duduk. Kertadenta menyuguhkan kopi. Suasana genting tetapi hangat. Aria mengakui kesalahan yang dulu ia tolak: ia menginginkan panggung terlalu cepat, terlalu terang, dan lupa bahwa sinar juga mengandung panas. “Aku takut,” katanya lirih. “Takut kembali jadi tak ada.”

Raden menatapnya lama. “Kita semua pernah takut tak ada,” ia berkata. “Tapi tak ada bukan berarti tak bernilai. Kadang, saat kita menyingkir dari panggung, suara lain bisa didengar.”

“Bisa kita mulai lagi?” Aria hampir memohon.

Raden menggeleng pelan. “Aku sudah memilih. Kita bisa bekerja bareng sebagai mitra—tanpa saling menaungi. Tapi panggung ini… biarlah ia tumbuh tanpa lampu berlebihan.” Aria mengangguk—kali ini tidak pura-pura mengerti. Ia menyeruput kopi sampai habis, berdiri, dan pergi tanpa drama. Ketika punggungnya hilang di tikungan, Raden merasa satu bab buku ditutup dengan baik.

.

Setahun kemudian, Sanggar Senyap menggelar acara ulang tahun di bawah jembatan layang Dukuh Atas. Bukan acara besar, tapi dentingnya sampai ke banyak hati. Layar kain putih digantung; adegan-adegan kecil dari setahun ditayangkan—jemari nelayan, senyum petugas kebersihan, anak-anak meniup lilin dari kardus bekas, tangan yang menolong di tepi sungai, mata yang berair karena lagu Nina Bobo dibawakan dalam bahasa Madura.

Raden naik panggung untuk mengucap terima kasih. Ia bukan orator; suaranya tidak setinggi Aria. Tetapi kata-katanya jujur, itu saja. “Kota ini sering mengajari kita dengan caranya yang keras. Kita akan tetap baik, tapi juga cerdas. Kita akan tetap diam, tapi juga sigap. Kita akan tetap mengalah, tapi tidak untuk diinjak. Kita akan tetap percaya, sambil belajar mencatat.”

Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah di hadapannya. “Dan saat kita tahu orang tak lagi membawa kita ke cahaya, kita akan pamit baik-baik.”

Maya menyusul dengan lagu; Adaninggar menyalakan kamera, Kertadenta sibuk di belakang, menuangkan kopi ke gelas-gelas kertas. Di kejauhan, gedung kaca memantulkan bintang. Bukan bintang sesungguhnya—hanya lampu yang menipu. Tetapi malam itu, Raden tak lagi takut pada tipu-tipu. Ia tahu bintang sungguhan tinggal di wajah orang-orang yang hadir—yang datang bukan untuk bersinar sendiri, melainkan untuk saling menerangkan.

.

Apakah ia bahagia? Raden tidak menjawab pertanyaan itu dengan kata. Ia menjawabnya dengan tindakan: setiap pekan, Sanggar Senyap berpindah, menyala sebentar, lalu padam, seperti kunang-kunang yang ingin mengingatkan orang kota bahwa gelap pun butuh kawan. Kadang mereka rugi uang; kadang mereka kelelahan. Tetapi setiap kali Raden hendak menyerah, ia membuka halaman pertama buku catatannya—enam kalimat dari ayahnya yang kini jadi titah hidup.

Suatu dini hari, selepas acara di rusun Tanah Tinggi, Raden berjalan sendirian menuju halte TransJakarta. Kota akhirnya sepi; hanya sisa langkah petugas kebersihan. Seekor kucing belang menyeberang pelan, menoleh seolah ingin memastikan manusia baik-baik saja. Raden menengadah: langit Jakarta jarang menampilkan bintang, tetapi awan sesekali memberi jalan. Di rongga kecil itu, ada cahaya jauh yang bergerak lambat. Ia tersenyum. Mungkin bahagia adalah begitu: tidak selalu terang, tetapi cukup untuk melanjutkan langkah.

Di ponsel, notifikasi masuk: pesan dari Aria. “Den, aku lihat acara kalian. Selamat. Kalau butuh sound kecil, aku punya, aku pinjamkan.” Raden membalas: “Terima kasih. Salam untuk tim.” Ia menutup ponsel, menaiki bus malam. Jendela memantulkan wajahnya—tua sedikit, tenang banyak. Tak ada lagi panggung yang ingin ia rebut, tak ada lagi sorot yang ingin ia kejar. Ia hanya ingin menjadi ruang bagi yang ingin bersuara, menjadi telinga bagi yang selama ini tak didengar.

Bus melaju menyusuri jalan kosong. Kota menguap kantuknya. Raden duduk, menulis sebaris catatan di buku kecilnya:

“Hidup bukan soal siapa paling bersinar, melainkan siapa paling setia menyalakan. Dan ada saatnya kita berpura-pura lugu, menjadi baik, diam, mengalah, percaya—semata untuk melihat kebenaran. Setelah itu, berjalanlah, dengan hati yang tahu kapan tinggal dan kapan meninggalkan.”

Di ujung kalimat, ia menggambar perahu kecil di sungai, dikelilingi bintang-bintang yang mungkin palsu, mungkin sejati—tetapi malam itu, semuanya terasa cukup.

.

.

.

Jember, 4 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #SanggarSenyap #KotaDanManusia #PelajaranHidup #Pengkhianatan #MenakMadura

Leave a Reply