Sudut Belajar di Tengah Riuh Hidup

“Di kota, kita tidak perlu lebih cepat dari jam; cukup lebih jujur daripada detik.”

.

Pagi Jakarta setelah hujan seperti kaca besar yang baru dilap. Trotoar memantulkan langit rendah, ojek melintas seperti kalimat pendek, dan wajah-wajah di halte menyusun daftar alasan untuk tetap bertahan hari ini. Hamzah merapatkan ranselnya. Ia menunggu MRT, memikirkan ruang yang dikelolanya—ruang kerja bersama dan komunitas, bernama Titik Riuh—yang semalam jadi bahan omongan di linimasa. Bukan karena acara musiknya, bukan juga karena pameran foto jalanan. Semua bermula dari satu hal sederhana: aplikasi pintu masuk baru macet di jam sibuk.

“Ngeli ora keli,” gumamnya, mengulang pitutur yang selalu dipakai simbahnya. Ikut arus tanpa terseret. Kota ini tidak menunggu siapa pun. Tapi manusia masih bisa memilih caranya berjalan.

MRT datang. Hamzah masuk, berdiri di dekat pintu. Di seberang, seorang anak kuliahan memeluk map, mungkin menuju sidang kecil di kampus. Di sampingnya, perempuan berkerudung krem menatap notifikasi di ponselnya: notifikasi yang sama seperti yang ada di ponsel Hamzah—tagarnya #TitikRiuhDown.

Semalam, akses digital yang baru diluncurkan sebenarnya dibuat untuk memudahkan: member cukup menempelkan ponsel di panel, pintu kaca akan terbuka. Tapi server memutuskan belajar mogok di jam paling riuh. Antrian menumpuk, rapat-rapat molor, mood orang turun seperti lift. Video berdurasi tiga puluh detik—cuplikan orang-orang mengeluh di depan pintu kaca—menyambar ruang maya. Komentar beranak. Menuduh. Menertawakan.

Hamzah memejamkan mata. Baginya, bukan malu yang paling berat. Yang berat adalah menyadari betapa cepatnya manusia—termasuk dirinya—menjadi tersangka di pengadilan yang tak punya hakim tetap.

Ia turun di stasiun Dukuh Atas, menyusuri jembatan penyebrangan yang memotong dua arus kota. Angin menyapu wajahnya, membawa bau tanah basah yang belum tuntas. Titik Riuh hanya dua blok dari situ: lantai pertama toko buku kecil, lantai kedua co-working, lantai ketiga ruang komunitas, atapnya kebun hidroponik yang dikelola anak-anak kampung dari gang belakang.

Di pintu, Maya sudah menunggu—poninya setia menghadap dunia. “Mas, vendor bilang masalahnya di patch izin akses. Mereka janji siang ini beres.”

“Vendor janji itu seperti ramalan cuaca,” jawab Hamzah, setengah bercanda. “Kita siapkan payung dulu.”

Di dalam, Madi sudah duduk di meja panjang. Ia membuka laptop, menyiapkan dashboard analitik ala-ala start-up tapi dengan empati yang serius. Retna berkeliling, menyapa orang satu per satu di area kerja. Jayeng datang membawa termos kopi, aromanya menenangkan, selalu menambahkan jeda di antara dengus dan gumam.

Hamzah berdiri di depan mereka. “Teman-teman, semalam kita diolok-olok. Wajar. Banyak yang kesal. Mari kita mulai dengan tiga hal.” Ia menulis di papan tulis: Memahami – Mengevaluasi – Menciptakan. “Kita pakai tangga Bloom bukan buat dinding pajangan. Kita panjat pelan-pelan.”

Maya menghela napas, menggeser rambutnya. “Aku sudah catat beberapa pesan dari DM. Banyak yang marah karena ‘tidak ada manusia’ saat sistem berhenti. Mereka butuh seseorang maju, bukan error message.”

“Catat itu,” jawab Hamzah. “Sebelum menyalakan mesin, nyalakan manusia.”

Jayeng mengangkat cangkir. “Kalau begitu, kopi Ngeli Ora Keli kuhidangkan di depan pintu. Semua orang yang masuk dan mau menunggu akan kuberi cangkir kecil, biar jantungnya menurunkan nada.”

Madi menimpali, menunjuk layar. “Data semalam: 183 orang terdampak, 71 komplain di tempat, 29 komplain di media sosial, 15 memuji staf karena terus meminta maaf dan menawarkan solusi cadangan. Ada satu video yang viral. Tapi lihat ini—orang yang tadi malam memuji, pagi ini kembali datang. Orang yang memaki paling keras? Belum terlihat.”

Hamzah mengangguk. Tepa selira. Menempatkan diri di sepatu orang lain. “Retna, bikin meja kecil dekat pintu kaca. Tulis besar-besar: Sudut Belajar. Kita pajang kegagalan kita hari ini, bukan untuk mengeluh, tapi untuk mengajak orang melihat bagaimana kita memperbaikinya.”

“Kaos kaki aib dibuka?” Jayeng menggoda.

“Bukan aib,” Retna menukas. “Kepala. Biar nggak pengap.”

Hamzah tertawa pelan. “Mari, kita uji keberanian.”

.

Sudut Belajar lahir sebelum jam makan siang. Sebuah papan gabus berdiri dengan judul tangan: “Kami salah memperkenalkan aplikasi—kurang uji, kurang manusia. Apa pendapatmu agar kota ini lebih ramah?” Di bawahnya ada bagan alur akses seperti peta rute TransJakarta: masuk—verifikasi—selesai. Di sisi kanan tertera jalur manual: petugas dengan papan nama siap membantu. Ada juga kartu pitutur ukuran kartu pos—ngono ya ngono, nanging ojo ngono; empan papan; aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh—siap dibawa pulang siapa saja.

Orang-orang datang dengan rasa ingin tahu yang lebih lembut daripada kemarin. Mereka membaca, mengangguk, beberapa menulis saran: “Tolong sediakan jalur lansia dan difabel juga.” “Kalau listrik mati?” “Bagaimana dengan orang yang tidak punya ponsel canggih?”

Seorang perempuan berkerudung krem—yang tadi Hamzah lihat di kereta—berhenti di depan meja. “Mas, saya Sinta. Kemarin saya terlambat rapat karena antrean itu. Jujur, kesal. Tapi melihat ini, saya… agak luluh.”

Hamzah mengajak duduk. “Saya Hamzah. Kami perlu waktu untuk menambal. Kami juga butuh teman agar tambalan tak menjelma benteng.”

Sinta menatap meja. “Saya anak kos. Semua orang berkata kota ini menghukum orang yang lambat. Saya tidak setuju. Kota juga berterima kasih pada orang yang jujur.”

Hamzah tertawa. “Kalau begitu, tolong kota berterima kasih pada kita besar-besar nanti.”

Mereka bicara tentang hal-hal kecil yang membentuk hari: kemacetan sebagai guru sabar, suara motor sebagai metronom, uang kiriman dari kampung yang datang terlalu awal atau terlalu akhir. Sinta bercerita tentang pekerjaannya sebagai ilustrator lepas—dia memasok gambar-gambar untuk merek kecil di media sosial. “Kadang saya iri melihat teman-teman yang punya ‘ruang sendiri’. Saya merasa selalu meminjam kota.”

Hamzah mengangguk. “Kita semua meminjam. Tugas kita: mengembalikan kota dalam kondisi lebih rapi dari ketika kita meminjamnya.”

Di atas, lampu matahari menyelinap melalui bukaan, menimang wajah-wajah yang mulai lebih teduh. Sudut Belajar menjadi magnet. Orang-orang memotret, bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk mencatat cara meminta maaf yang tidak basa-basi.

.

Malamnya, Hamzah pulang ke rumah kontrakan kecil di Tebet. Jalanan berdecit oleh gerimis baru. Ia menyalakan dua lampu; ruang tamu sekaligus ruang kerja berpendar setengah hangat. Di rak buku, ada kendi tanah liat kecil—kendhi—oleh-oleh dari ibunya di Jember. Ia memasukkan secarik kertas ke sana: “Hari ini: belajar kalah tanpa merasa jadi pecundang.”

Di ponsel, pesan dari ayahnya masuk: “Ojo ngoyak-oyak bandang. Sing penting kendhimu ora pecah.” Jangan mengejar banjir. Yang penting kendhimu tidak pecah. Hamzah memotret kendi itu, mengirim balasan. “Kendhi utuh, Pak. Bandang lewat, tapi kami tidak hanyut.”

Ia kemudian membuka linimasa. Video viral yang kemarin menggelegar kini tenggelam oleh berita lain—harga cabai, debat politik, cuaca esok hari. Namun jejak komentar masih ada. Hamzah membaca pelan. Ia janji pada dirinya sendiri untuk tidak menutup mata, tetapi tidak juga menenggelamkan kepala.

Di sebelah kiri, kalender putih menunggu spidol. Ia menulis: Jumat: Evaluasi & Rencana Cipta. Di bawahnya: “Siapkan program kota: Kelas Baca Jalanan, Bengkel Sepeda, Klinik CV untuk anak kos, Sudut Curhat untuk ibu muda.” Retna menyebutnya sebagai Guyub Inovasi. Nama yang terlalu manis, mungkin, tetapi Hamzah tahu kota butuh kata-kata manis yang tidak menipu.

.

Beberapa hari kemudian, Titik Riuh kedatangan rombongan berbeda. Mereka bukan pekerja kantoran; mereka anak-anak dari gang belakang, membawa buku tulis dan rasa ingin tahu yang sering disalahpahami sebagai gaduh. Rin—anak berambut kuncir yang nada suaranya mantap—mencari Hamzah. “Mas, denger-denger di sini ada kebun di atas. Bisa lihat?”

Hamzah tersenyum. “Bisa. Tapi syaratnya satu: setiap yang panen harus menanam.”

Rin tertawa. “Deal.”

Mereka naik ke atap, melewati tangga beton yang dihias mural. Di kebun hidroponik, hamparan daun hijau seperti cat air. Jayeng mengajarkan cara menyeduh teh basil dan lemon. Retna membagikan kartu pitutur; anak-anak memilih satu, membacanya keras-keras: “Ana dina ana upa.” Ada hari, ada rezeki. “Tata titi tentrem karta raharja.” Ketertiban membawa damai.

Rin memilih kartu rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Ia bertanya, “Artinya apa, Mas?”

“Kurang lebih: kalau ada penghalang, jangan berhenti hanya untuk marah. Cari celah. Hancurkan kebiasaanmu menunda, bukan pintu tetangga,” jawab Hamzah, setengah guyon.

Sejak itu, setiap Jumat sore Titik Riuh mengadakan sesi Evaluasi & Cipta. Bukan rapat serius; lebih mirip obrolan warung yang dicatat dengan rapi. Mereka memetakan hal-hal yang tidak lancar: aplikasi kadang lambat, kebun butuh jadwal siram, bengkel sepeda kekurangan kunci pas. Madi membawa data kecil: “Dari 183 yang terdampak insiden aplikasi, 61 sudah kembali dan memuji perbaikan manual. Waktu tunggu pintu turun dari 11 menit ke 2 menit.” Data menenangkan seperti suara hujan di atap seng.

Di akhir setiap sesi, mereka bertanya: Apa yang bisa kita ciptakan minggu ini? Jawabannya bermacam-macam. Sinta, yang kini sering datang untuk menggambar di sudut jendela, mengusulkan papan kecil di dekat tangga yang mengajak orang berhenti sejenak bernapas. Rin mengusulkan kelas memperkenalkan sepeda lipat untuk ibu-ibu di gang. Jayeng ingin mengajar seduh kopi murah yang tak pahit—kopi kampung dengan air yang benar dan doa yang benar.

Hamzah melihat daftar itu dan tahu: kota pelan-pelan menukar keriuhannya menjadi kalimat-kalimat yang bisa dipegang.

.

Tapi kota tidak pernah lupa menguji. Satu Sabtu sore, video lain beredar. Seseorang marah di ruang bersama karena slot podcast yang ia pesan digeser sepuluh menit untuk menunggu anak-anak komunitas yang terlambat. Videonya disunting seperti potongan sinetron: wajah tegang, suaranya dinaikkan, caption-nya menggiring.

Maya panik. “Mas, akun itu besar. Komentarnya pedas!”

Hamzah merasa urat lehernya menegang. Ia ingin menjelaskan panjang-panjang, tetapi menahan diri. Ia mengingat kata-kata yang ditulisnya di kendi: belajar kalah tanpa jadi pecundang. “Baik,” katanya. “Kita tidak akan membalas dengan dinding. Kita undang pemilik akun ke sini. Kalau dia tidak mau, kita tetap jelaskan yang benar. Tanpa cari kambing hitam.”

Mereka mempublikasikan pernyataan: menjelaskan sistem pemakaian ruang yang tunduk pada arus komunitas, alasan menunda sepuluh menit agar anak-anak tidak pulang dengan gagal membuat rekaman pertama mereka, dan permintaan maaf karena kurang komunikasi. Di bawahnya ada kalimat yang Hamzah ambil dari pitutur ibunya: “Sing gedhe ojo ngisori, sing cilik ojo nunggaki.” Yang besar jangan menindih, yang kecil jangan membebani—menjaga adil dengan cara sederhana.

Orang-orang merespons. Ada yang tetap marah, ada yang mengerti. Pemilik akun akhirnya datang, ditemui Hamzah dan Retna. Mereka membuka jadwal, memperlihatkan ruang-ruang kecil di kota yang selalu berebut. Mereka menawarkan slot tambahan di luar jam. Orang itu mengangguk, menurunkan bahu.

“Kenapa kalian ngotot pakai kalimat-kalimat Jawa itu?” tanyanya sebelum pulang.

Hamzah tersenyum. “Karena kota ini terlalu penuh bahasa promosi dan terlalu sedikit bahasa hati.”

Ia pulang malam itu dengan langkah yang tidak seenteng doa, tapi juga tidak seberat prasangka. Ia menaruh kartu baru ke dalam kendinya: “Hari ini: menolak marah yang enak, memilih jujur yang pegal.”

.

Waktu bergerak. Titik Riuh tidak berubah menjadi ruang paling populer, bukan pula paling cantik. Tetapi ia tumbuh menjadi tempat di mana orang tidak takut mengakui “Aku tidak tahu, mari kita cari tahu bersama.” Sudut Belajar menjadi tradisi. Siapa pun boleh menempelkan selembar kertas berisi kesalahan yang mereka pelajari minggu itu—lupa backup file, gagal menepati janji, salah menulis nama. Orang lain boleh memberi saran. Mereka tertawa, kadang menepuk bahu, tidak pernah menyalahkan berlebihan.

Pada suatu malam, mereka mengadakan acara Malam Pitutur. Tidak glamor: hanya lampu-lampu kecil menggantung, kursi lipat, mikrofon murah, dan teh pandan di termos. Maya membaca cerita tentang perempuan yang menyusui bayinya di KRL dan menangis diam-diam karena orang-orang pura-pura tidur. Retna membacakan surat dari ibunya sendiri, yang dulu jualan sayur di pasar. Jayeng menyeduh kopi sambil mengucapkan doa singkat. Madi memproyeksikan grafik kecil—jumlah senyum yang tercatat di pintu manual—metode mengada-ada yang membuat semua orang tertawa.

Rin maju, membawa selembar kertas. Ia membaca pelan: “Kalau kota ini hotel—maaf, maksudku rumah—maka ruang tamu adalah tempat kita menukar penjelasan. Tidak perlu membuka semua koper. Cukup izinkan masing-masing orang tahu, bahwa ada tempat untuk meletakkan lelahnya tanpa merasa kalah.”

Hamzah menatap mereka dari belakang. Air matanya tiba-tiba keluar begitu saja, seperti keran yang lupa dimatikan. Ia tidak berusaha menahannya. Malam itu, ia membiarkan dirinya menjadi manusia yang sedang benar-benar hidup, bukan manajer ruang, bukan pengatur jadwal, bukan penjawab komentar.

Ia maju terakhir, menggenggam mikrofon seperti gagang pintu. “Simbahe saya dulu punya tiga aturan,” katanya, “Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh. Saya menambah satu: ojo kesusu pengin diaku. Di kota, pengakuan itu seperti lampu hijau—menyala, lalu merah lagi. Yang bisa kita jaga adalah cara kita menyeberang.”

Tepuk tangan tidak meriah; justru hangat. Mereka menutup malam itu dengan menyanyikan lagu masa kecil yang tiba-tiba semua orang tahu, padahal tak pernah janjian.

.

Suatu dini hari, Hamzah bangun lebih cepat dari matahari. Ia berjalan ke balkon kecil, menatap gang yang masih berkabut. Dari radio tetangga, suara berita menyiarkan angka-angka: inflasi, harga pangan, kriminalitas kecil, proyek baru. Kota selalu punya rapor. Hamzah tahu rapor yang lebih penting adalah yang tak terbaca alat: rapor ketahanan—seberapa sering orang mengurungkan kata-kata yang menyakitkan; rapor kemurahan hati—seberapa banyak orang berbagi tempat duduk tanpa pamer; rapor kejujuran—seberapa sering orang meminta maaf tanpa tapi.

Ia menulis di buku catatannya:
Waktu tunggu pintu: 2 menit.
Anak magang tetap datang: 11 dari 12.
Sinta menjual ilustrasi pertamanya ke merek kecil; membawa tiga kue basah untuk dirayakan.
Rin mengusulkan perpustakaan zine; disetujui.
Satu orang menempelkan kartu pitutur baru: “Laku sumeleh”—bergerak sambil merelakan yang bukan jatahnya.

Hamzah menutup buku. Ia kemudian mengirim pesan ke ibunya: “Bu, insyaAllah minggu depan pulang sehari. Kangen rawon dan cerita masa kecil.” Ibunya membalas cepat: “Rawon nunggu. Kota-mu ora bakal iri.” Ia tertawa, merasakan jarak antara ibu dan kota bukan lagi perbatasan, melainkan jembatan.

Di jalan, suara pedagang sayur memanggil pelan. Motor satu-satu melintas. Hari baru mengundang kota untuk kembali repot. Titik Riuh akan membuka pintunya lagi—manual dan digital. Manusia dan mesin. Doa dan dashboard.

Hamzah merapikan ransel. Di pintu, ia mengambil selembar kartu pitutur, menyelipkannya di dompet. Tertulis: empan papan. Ia menggumam, “Tahu tempat, tahu waktu.” Ia mengunci pintu, melangkah ke trotoar yang lembab. Di halte, ia berdiri bersama orang-orang lain yang sedang mengumpulkan tenaga untuk hari yang sulit tetapi mungkin menyenangkan.

Saat bus datang, ia naik, menemukan pegangan, dan dalam hati membisikkan kalimat yang sudah ia bawa sejak lama: “Datang bersama adalah awal, bertahan bersama adalah kemajuan, bekerja bersama adalah keberhasilan.” Itu mungkin kalimat orang besar. Tapi di pagi yang sedang menata niat, kalimat itu rasanya milik siapa saja yang berani jujur pada dirinya.

Kota melaju, detik-detik lewat, dan Hamzah mengizinkan dirinya tidak lebih cepat dari jam. Ia memilih lebih jujur dari detik.

.

.

.

Jember, 3 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#GayaHidupKota #PituturJawa #SudutBelajar #EmpatiDulu #EvaluasiJujur #InovasiSosial #KomunitasUrban #NgeliOraKeli #KendhiKota #CerpenKompasMinggu

Leave a Reply