Menang di Tempat yang Tak Terlihat.

“Hidup bukan hanya tentang memenangkan pertarungan, melainkan tentang berani mengerti isi hati manusia—termasuk hati yang berbeda dari milikmu.”

.

Lampu-lampu kota menggigil di atas aspal basah, memantulkan garis-garis panjang seperti doa yang ditarik terlalu jauh dari bibir seseorang. Malam itu, dari atas Jembatan Suramadu, Hamzah memacu motornya dalam kecepatan yang sama dengan degup yang ia sembunyikan. Ia bukan siapa-siapa, cuma pengantar paket yang hafal tikungan dan lubang-lubang kecil yang menggonggong di tengah jalan. Tapi di kepalanya, ada peta lain yang tak tertulis: rute menuju orang-orang yang ia cintai, menuju satu kampung di tepi laut yang menolak dituakan oleh uang.

Di seberang, di kafe kecil di sisi Surabaya yang rawan hujan rintik, Zubaidah merapikan rambut ke belakang telinga. Matanya yang jernih memeriksa naskah di laptop 14 inci yang layarnya sering berkedip. Ia menulis kata yang ia percaya bisa menahan arus air pasang—kata yang baik, kata yang jujur. Ia menamai kolomnya “Di Bawah Lampu Kota.” Di situ ia menulis tentang kampung Kenanten, tempat anak-anak berlari di sela jaring ikan, tempat ibu-ibu menjemur senyum di tali rafia. Ia menulis tentang Hamzah—tidak menyebut nama—yang selalu datang paling akhir ketika rapat warga selesai, saat kursi lipat kembali ditumpuk, saat semua orang sudah letih menyebut kata “besok.”

“Besok” adalah kata paling harapan sekaligus paling mengkhianat. Seperti layang-layang yang ditarik ke langit, kumparan benangnya sering melilit kaki sendiri.

.

“Za, kalau mereka datang besok?” tanya Hamzah pada senja lain yang berwarna teh tawar. “Mereka itu selalu pakai mobil putih, kaca gelap. Ada satu orang yang jalan lebih dulu. Namanya Wilis. Dia nggak pernah marah, tapi kata-katanya dingin.”

Zubaidah menatap laut, garisnya yang menghitam seperti alis kota yang digambar terburu-buru. “Kalau datang, kita terima seperti tamu. Tamu harus disuguhi kursi, air minum, dan kalimat yang tidak memaki. Tapi mereka juga harus mendengar.”

Hamzah tertawa pendek. “Mereka datang bukan untuk mendengar. Mereka datang untuk menanda-tangani masa depan kita.”

“Kalau begitu,” Zubaidah menutup buku catatannya, “kita yang menulis catatannya.”

Di sekeliling mereka, suara kampung sedang berkarya: denting sendok ke bibir gelas, sapuan sapu lidi, tangis yang tidak keras, dan radio tua yang memutar dangdut dengan nasihat lebih panjang dari durasi lagunya. Di ujung gang, ada warung milik Maya dan Madi—dua saudara yang namanya sering dibuat mainan lidah: “Umar Maya-Umar Madi,” canda orang-orang tua di beranda musala. Mereka tertawa, meski sebenarnya hidup mereka tak banyak alasan untuk tertawa. Harga minyak goreng naik dan waktu terasa lebih mahal dari bensin.

Maya adalah sahabat Zubaidah, sejenis perempuan yang kalau bicara seperti menusuk balon gelisah orang lain agar pecah—agar semua tahu: “lihat, tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali angin.” Sedang Madi, adiknya, bicara pelan dan suka menimbang nasi di piringnya seolah menimbang nasib. Mereka bukan kakak beradik yang selalu setuju. Tapi mereka bertahan di warung kecil itu seperti dua pilar beton yang sudah kekenyangan ditempeli poster obral.

“Tole!” seru Madi pada pemuda jangkung yang baru datang. “Ambil kursi di dalam, ada tamu.”

Tole—yang di akta bernama Tolehudin, tapi terlalu panjang jika harus digunakan saat marah—menarik kursi dengan bunyi besi yang minta maaf. Ia kawan Hamzah sejak SMK, dulu mereka ikut lomba futsal antar-kelurahan, menangi sekali, kalah berkali-kali, tapi foto piala satu-satunya masih dipajang di rumah ketua RT, dilekatkan double tape yang kemampuan lekatnya tinggal setengah.

“Za,” kata Tole, duduk. “Besok katanya yang datang bukan hanya Wilis. Ada orang dari perusahaan, pakai kemeja biru. Bawa map.”

Zubaidah mengangguk. “Kita dengarkan. Kita catat.”

“Kalau mereka bawa polisi?” tanya Maya, menaruh dua piring gorengan.

“Polisi itu anak manusia juga,” jawab Zubaidah. “Mereka punya orang tua yang berdoa agar anaknya pulang dengan wajah lengkap. Kita bicara pada mereka seperti sesama manusia, bukan seperti pada batu.”

Hamzah memandang Zubaidah dan seperti selalu, ada ruangan kecil dalam dirinya yang rapi hanya untuknya. Ruangan dengan lampu kuning dan kursi kayu. Ada cermin yang tidak terlalu jujur, justru karena sayang. Ada bau kertas buku, kopi, dan… harapan.

.

Pagi yang dijanjikan selalu datang dengan seragamnya sendiri. Wilis turun dari mobil putih; sepatunya mengkilat, suaranya tenang seperti listrik yang disembunyikan di tembok. Di belakangnya, pria berkemeja biru membawa map tebal dan senyum yang diukur.

“Kami membawa kabar baik,” kata pria kemeja biru. “Relokasi yang layak. Ada uang lelah.”

Kata “lelah” membuat beberapa orang menelan air liur. Lelah memang mahal. Lelah adalah biaya tersembunyi dari hidup. Tapi Ketua RT, lelaki bernama Jayeng yang rambut putihnya tumbuh seperti hujan gerimis di sisi kepala, berdiri tegak.

“Ini bukan soal uang. Ini soal kami punya kuburan nenek di sini. Ada pohon ketapang yang ditanam pada saat harga gula pasir turun. Ada musala yang kami kelir sendiri. Bagaimana memindahkan itu semua? Pakai truk? Pakai gendongan? Pakai alasan?”

Wilis tersenyum, dan senyum itu seperti tangga lipat di gudang kantor—bisa dibuka, bisa ditutup, tidak pernah hangat. “Kami mengerti. Tapi kota ini berkembang. Ada jalan yang harus dibuka. Ada investasi yang harus masuk. Kita tidak bisa tinggal di masa lalu.”

Zubaidah menulis cepat. Tangannya gemetar tapi huruf-hurufnya tetap tegak. “Kota berkembang,” ia melirik Hamzah yang berdiri di barisan belakang, “karena orang-orangnya tumbuh bersama, bukan karena sebagian diangkut, sebagian ditinggal.”

Maya mengangkat tangan. “Kalau kami pindah, kami jual gorengan ke siapa? Pelabuhan? Udara?”

Madi menatap langit. “Kalau kami pindah, siapa yang tahu kami pernah ada?”

Percakapan itu tidak selesai dalam satu duduk. Ada kopi yang mendingin, ada emosi yang memanas, ada anak kecil yang memungut sedotan untuk dijadikan pedang. Pada akhirnya, Wilis mengatakan, “Kami beri waktu dua minggu. Kami percaya warga bijak.”

Bijak. Kata yang sejujurnya lebih menakutkan dari kata tegas.

.

“Hamzah,” kata ibunya di rumah kontrakan sempit yang jaraknya tiga gang dari musala, “hidup bukan cuma soal melawan. Kadang bertahan juga ibadah. Kamu nanti kalau ikut mereka marah-marah, ingat, mulut itu rumah dari yang keluar.”

Hamzah menunduk, mencium tangan ibunya. “Aku nggak mau marah. Aku cuma mau ada ketika yang lain butuh.”

Ibunya mengangguk. Di sudut kamar, foto ayahnya menatap: lelaki yang dulu juru ketik di kantor kelurahan, yang mengajari Hamzah menulis nama dengan pensil 2B yang mudah patah, agar sabar. “Ayahmu dulu orangnya tenang,” kata ibunya. “Kalau orang lain naik, dia turun. Kalau orang lain keras, dia lembut. Tapi bukan berarti dia kalah. Dia cuma memilih menang di tempat yang orang lain tidak lihat.”

Di perjalanan kembali ke kampung, Hamzah berpapasan dengan Tole yang duduk di tepian jembatan, memancing tanpa umpan. “Zaman ini ikan juga pandai baca situasi,” kata Tole, mengangkat kail kosong. “Mereka cuma datang kalau air tenang.”

“Berarti kita harus menenangkan air?” Hamzah duduk, menatap perahu-perahu kecil yang bergoyang seperti kepala yang disuruh mengangguk.

“Air itu tidak gampang disuruh,” jawab Tole. “Kita tenang dululah. Lihat apa yang bisa dipegang. Lihat apa yang bisa dilepas.”

Mereka diam. Ada diam yang lebih bergizi dari seribu kata.

.

Berita pertama meledak di sebuah portal kecil yang desainnya terlalu ramai. Judulnya menjerit: “Kampung Ilegal Tolak Relokasi, Terduga Provokator Ditangkap.” Di paragraf ketiga, nama Hamzah disebut. Ia tak ditangkap—belum—tapi fotonya ketika mengangkat tangan pada rapat warga dipotong sehingga terlihat seperti hendak memukul. Zubaidah mengetik secepat hujan. Ia mengirim naskah ke redaksi, membalas pesan pimpinan yang bertanya: “Kamu yakin ini taktik framing?” Zubaidah menjawab, “Saya tidak yakin. Saya tahu.”

Malam itu, Wilis kembali. Ada empat polisi di belakangnya, wajah mereka kelelahan seperti cat di tembok yang sudah lupa kapan terakhir disentuh.

“Saudara Hamzah,” kata salah satu polisi. “Ikut sebentar ya, ada pemeriksaan. Bukan penangkapan.”

Hamzah memandang ibunya, memandang Zubaidah, memandang kampung. “Kalau saya tidak kembali, jangan menunggu dengan gelisah,” ia berkata tenang. “Menunggu itu boleh, gelisah itu gratis tapi mahal.”

Di kantor, ruangan berbau AC yang ditahan, meja panjang dalam kemeja biru muda. Pertanyaan bertubi: dari mana, ke mana, siapa, kapan, mengapa, bagaimana. Hamzah menjawab pelan, bersajak pendek.

“Kenapa Anda mengangkat tangan di rapat?”

“Karena saya ingin bicara.”

“Anda memprovokasi?”

“Saya mengingatkan. Supaya kami didengar.”

“Siapa yang menyuruh?”

“Rasanya seperti ibu saya waktu kecil menyuruh saya tidur. Lalu saya bangun jadi orang dewasa yang disuruh oleh kata hati. Jadi, siapa? Saya memilih saja.”

Di balik kaca, Wilis menonton, bukan marah, bukan puas. Hanya mencatat waktu. Di luar, Zubaidah menunggu di bangku panjang, bersama Maya yang membawa kue pisang dan Madi yang membawa berita kecil yang bisa membuat orang besar berdebar: LPM kampus kami setuju liput. Mereka bawa kamera. Anak-anak ini kalau membuat video, bisa lebih jujur dari televisi.

Sekitar tengah malam, Hamzah keluar. Ia tidak ditahan. Wajahnya letih, tapi matanya menyalakan sesuatu yang dulu disebut orang-orang tua sebagai tekad.

“Besok kita rapat lagi,” kata Zubaidah, suaranya renyah seperti kerupuk yang tak kena lembab. “Tapi bukan untuk marah. Untuk membagi peran.”

“Peran?” tanya Madi.

“Yang kuat bicara, bicara. Yang kalem menulis, menulis. Yang punya kenalan, telpon. Yang punya kisah, bersaksi. Yang punya kamera, merekam. Yang punya doa, itu paling utama: panjangkan napas kami.”

Tole menggeser posisi duduk. “Aku bisa bikin poster.”

Maya mengangkat tangan. “Warungku boleh jadi posko.”

Hamzah menatap jam dinding yang berhenti di pukul dua. “Aku bisa jadi pengantar semua itu.”

.

Keesokan hari, kota bangun dengan berita yang pelan tapi pasti menggigit: video empat menit dari anak-anak kampus, judulnya “Di Sini Rumah Kami.” Tidak ada teriak-teriak. Ada nenek yang memindah panci, ada anak yang memegang ikan kecil, ada ibu yang mengelap meja. Ada Zubaidah bicara di menit kedua: “Relokasi bisa mulia kalau manusia punya pilihan. Jangan mengangkut kami seperti kursi bekas rapat—dipindah tanpa ditanya berapa kali sudah diduduki.”

Video itu meluncur seperti perahu tanpa jangkar di arus deras. Ada yang membagikan karena peduli, ada yang karena marah, ada yang karena bosan dengan berita politik yang selalu menempel seperti noda minyak di baju favorit. Di kantor, Wilis menatap layar, mengerutkan dahi. Ia bukan tidak punya hati. Ia hanya punya target. Target tidak bisa dipeluk saat tidur.

Ia memanggil pria berkemeja biru. “Kamu bilang sudah beres,” katanya dingin.

“Pak, kita… eh… kita ikuti prosedur.”

“Prosedur itu kotak. Manusia tidak bisa dimasukkan semua ke dalamnya. Cari jalan lain. Yang tidak bikin saya jadi jahat di berita.”

Pria berkemeja biru mengangguk, memikirkan biaya konsultan, memikirkan bagan di slide 32. Di luar ruangan, hujan jatuh tidak keras, tapi cukup untuk mengganti rencana.

.

Hari Minggu. Zubaidah mengusulkan jalan pelan—bukan demo. Lima puluh orang dari kampung berjalan dari gang ke tepi jalan besar. Mereka membawa payung. Payung-payung itu seperti kalimat yang tidak memaki: tidak semua yang menutupi, menipu. Ada payung yang menuliskan nama-nama: Maya, Madi, Tole. Ada satu payung kosong—untuk yang sakit tapi ingin hadir. Ada yang merekam, ada yang berdoa dalam hati, ada yang pura-pura menonton padahal ingin ikut.

Di pertigaan, polisi sudah berdiri. Jayeng melangkah duluan. “Kami jalan pelan, Pak,” katanya. “Bukan menghalangi lalu lintas, cuma ingin orang-orang melihat kami bukan angka-angka di spreadsheet.”

Polisi yang paling tua mengangguk. Di matanya, ada anak bungsu yang menunggu ayah pulang dengan martabak. “Jalan di pinggir,” katanya. “Jangan sentuh kendaraan.”

Mereka melangkah. Mobil-mobil memperlambat laju. Ada supir truk yang menekan klakson panjang, bukan memaki, tapi seperti berkata “semoga selamat.” Ada pengendara motor yang menurunkan kecepatan, merekam, mengirim ke grup keluarga.

Di depan kantor kota, mereka tidak berteriak. Mereka membaca satu per satu nama-nama keluarga yang akan dipindah. Nama itu biasa, seperti nama yang diambil dari kalender dinding atau dari mimpi ibu di malam sebelumnya. Tapi saat disebut bersama, nama-nama itu menjadi kesaksian.

“Yang kami minta,” kata Zubaidah ke mikrofon kecil yang suaranya pecah, “bukan kebal hukum. Kami minta diakui sebagai manusia. Kami siap pindah jika itu baik untuk semua, tapi dengan syarat: musala kami tetap ada, kuburan kami tidak digusur, anak-anak kami tidak putus sekolah, dan warung kami masih bisa menggoreng pisang bagi pekerja pelabuhan. Kota boleh besar, tapi jangan buat hati kami mengecil.”

Wajah Wilis ada di balkon lantai dua, menatap diam. Di sampingnya, pria kemeja biru menatap jam. Wali kota tidak keluar. Tapi seseorang dari bagian tata ruang turun, bicara dengan hati-hati, seolah setiap kata adalah paku yang bisa menusuk atau menahan.

“Mari bicara,” katanya. “Sekarang.”

Percakapan tidak selesai dalam sehari. Tapi ada yang bergeser: bahasa menjadi jembatan, bukan jurang. Disepakati tim kecil: Jayeng, Zubaidah, dan satu ibu muda bernama Sofi mewakili warga; dari pemerintah ada dua staf yang menyukai kopi, satu ahli yang menyukai data. Dari perusahaan, Wilis tidak datang. Pria kemeja biru datang, membawa map, membawa janji yang dicetak rapi dalam font standar.

Negosiasi itu panjang—lebih panjang dari antrian sembako saat awal bulan. Ada angka, ada peta, ada ancaman yang tidak jadi diluncurkan, ada air mata yang enggan jatuh. Di satu titik, Zubaidah merasakan tubuhnya berat, seperti buku tebal yang lama tidak dibuka. Ia menatap Hamzah yang duduk di belakang, kedua tangannya di pangkuan, kuku jari telunjuk sedikit hitam kena oli motor.

“Za,” bisik Hamzah saat jeda salat. “Kamu boleh lelah. Tapi jangan menjadikan lelah sebagai kebenaran baru.”

“Kamu juga,” balas Zubaidah, tersenyum.

.

Keajaiban jarang menumpang di bis kota yang sama dua kali. Tapi pada suatu Selasa yang panas, seorang dosen perencanaan kota datang membawa paket kecil yang disebutnya model uji. Ia bercerita tentang community land trust, tentang pengalaman di kota lain yang menyisakan ruang untuk yang kecil tanpa membuat yang besar merasa diperas. “Tidak sempurna,” katanya. “Tapi mungkin ini jalan. Relokasi sebagian, renovasi sebagian, melindungi ruang ibadah dan kuburan, memberi kios sederhana di tepi jalan, memastikan anak-anak tidak kehilangan rute ke sekolah.”

Warga saling pandang. Kata-kata itu seperti alat musik baru di gamelan yang kampung mereka biasa mainkan. Bunyinya asing, tapi tak menyakitkan.

Wilis akhirnya muncul di pertemuan berikutnya. Ia meletakkan ponselnya terbalik, kebiasaan orang yang sering mendapat kabar tak enak. “Kalau memang ini yang terbaik,” katanya datar, “kita jalan. Tapi saya minta tertib. Saya minta tidak ada lagi video berjudul macam-macam.”

“Video itu bukan senjata,” jawab Zubaidah lembut. “Itu cermin. Kita semua butuh cermin, bahkan yang kakinya paling kokoh.”

Maya mengangkat tangan. “Kalau kios kami jadi di tepi jalan, boleh dong pakai cat kuning seperti dulu. Biar orang tahu: kami masih di sini, cuma bergeser sedikit.”

Madi tersenyum lebar. “Boleh pasang nama Warung MayaMadi? Biar orang ingat ulang tahun kami selalu dua hari berturut.”

Tole mengangguk. “Aku yang bikin logonya.”

Wilis tidak tersenyum, tapi kepalanya mengangguk sangat tipis. Seperti daun yang tak ingin kelihatan bergoyang, padahal angin tahu.

.

Perpindahan itu bukan hari raya. Banyak yang patah di hati kecil yang tak sempat disterika. Ada lemari yang tidak muat lewat pintu, ada panci penyok, ada sekrup yang entah asalnya di mana. Tapi juga ada tawa: anak-anak berlarian mengejar truk, berteriak “rumah kami jalan!” seperti pawai kecil yang konyol sekaligus suci.

Di antara keriuhan, Zubaidah duduk sebentar di tangga musala, menulis satu kalimat yang ia simpan lama: “Kehilangan boleh saja, asal kita bersepakat untuk tidak saling meninggalkan.” Ia memotret langit yang terlalu terang, tangannya sedikit gemetar. Foto itu kelak menjadi sampul kolomnya, menempel di hati banyak orang yang juga sedang belajar memindahkan rumah tanpa memecahkan kenangan.

Hamzah menuntun motor, membantu menurunkan kasur, mengikat tali, memikul nasib seperti memikul galon air—berat, tapi bisa ditawa-tawakan kalau kita tidak sendirian. Saat semua hampir selesai, Wilis mendekat, berdiri di sisi Hamzah.

“Kamu bisa ambil kerja di proyek,” kata Wilis singkat. “Masih pengantar. Gajinya sedikit lebih baik.”

Hamzah memandang tangan sendiri. “Saya mau tetap jadi pengantar. Tapi rute saya biar saya pilih sendiri. Saya mau tetap bisa mampir ke warung, ke musala, ke rumah orang-orang. Saya mau tetap tahu kabar mereka.”

Wilis menghela napas. “Baik.” Ia menatap ke kejauhan, mata yang sulit membaca hatinya sendiri.

“Pak,” Hamzah menahan, memanggilnya bukan dengan gelar. “Bapak juga manusia yang sedang belajar. Kita semua. Jangan khawatir kalau sering salah. Yang penting, jangan jatuh cinta pada kesalahan itu.”

Untuk pertama kali, Wilis tersenyum sungguhan. Senyum yang tidak seperti tangga lipat. Lebih seperti jendela yang lupa ditutup, dan udara masuk begitu saja.

.

Malam turun dengan ringan. Di warung baru yang cat kuningnya seperti matahari menginap di dinding, Maya menggoreng pisang. Madi membagi teh manis. Tole menempel logo yang agak miring tapi justru membuat siapapun tersenyum. Zubaidah duduk di kursi plastik, mengetik pelan.

“Za,” sapa Jayeng, duduk di sebelah. “Dulu aku pikir tulisan itu ringan. Ternyata berat juga ya, kalau harus dipakai menyeberangkan orang.”

“Yang ringan itu huruf-hurufnya, Pak,” jawab Zubaidah. “Kalimatnya, apalagi pesannya, sering minta ongkos lebih.”

Jayeng mengangguk. Di matanya ada sinar. “Aku ingin kasih judul untuk kisah kita. Biar anak-anak nanti tahu apa yang terjadi.”

“Sudah ada,” kata Zubaidah sambil memutar layar. “Di Bawah Lampu Kota.”

Di seberang jalan, mushala berdiri. Tidak besar. Tapi adzan Isya malam itu seperti menutup hari dengan napas yang panjang dan bersih. Orang-orang berbondong, ada yang pakai sarung, ada yang pakai celana kerja yang lututnya belel. Anak-anak berkejaran, melompati ubin baru. Ada nama-nama yang disebut dalam doa: yang tinggal, yang pergi, yang memaafkan, yang minta maaf.

Hamzah berdiri di tepi jalan. Angin melihat rambutnya yang sedikit memanjang. Zubaidah menghampiri, menatap lurus.

“Terima kasih,” kata Zubaidah.

“Untuk apa?”

“Untuk memilih menang di tempat orang lain tidak lihat.”

Hamzah tertawa pelan. “Ayahku yang mengajarkan. Menang tidak selalu di panggung. Kadang di dapur, kadang di kamar, kadang di kepala sendiri.”

Zubaidah mengangguk. “Aku percaya.”

Lampu-lampu kota kembali menggigil di aspal, tapi kali ini tidak dingin. Mereka seperti berkedip-kedip, semacam mata yang sadar ia juga punya air mata. Di kejauhan, jembatan memanjang seperti kalimat yang percaya diri: tidak butuh tanda seru, cukup titik yang pasti.

“Za,” suara Hamzah perlahan, “kalau besok hari kembali biasa, kamu masih menulis?”

Zubaidah menatap langit. “Justru ketika hari kembali biasa, menulis jadi penting. Karena yang biasa itulah rumah kita. Di situ cinta bertahan, di situ marah belajar berdiri dengan sopan.”

Hamzah menghela napas, menatap wajah yang ingin ia hafal seperti arah pulang. “Kalau begitu, aku tetap mengantar. Kata-kata, harapan, paket sembako, apa saja. Kita jaga rute ini.”

Mereka berjalan pelan. Tidak bergandeng tangan, tapi jarak di antara mereka seperti kalimat yang tahu diri: cukup dekat untuk terdengar, cukup jauh untuk menghormati sunyi.

Di luar bingkai foto-foto yang akan beredar di gawai, di luar grafis yang akan dipresentasikan di rapat-rapat dingin, ada kehidupan yang tidak lelah memanggil manusia dengan nama depan. Malam memantulkan wajah mereka dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kota rasanya tidak sekadar tempat, tetapi perjanjian.

.

Beberapa minggu kemudian, kolom Zubaidah viral tanpa niat. Bukan karena judulnya, bukan karena dramanya. Tetapi karena ada satu kalimat yang orang-orang bagikan ke status, melekat di hati seperti tempelan magnet di pintu kulkas:
“Kota yang adil tidak menolak pertumbuhan, ia hanya menolak lupa kepada manusia-manusia kecil yang menumbuhkannya.”

Hamzah membaca di warung, ditemani pisang goreng yang terlalu panas dan teh manis yang terlalu manis. Maya tertawa, Madi menambah air ke teko, Tole menunjukkan pesan dari pacarnya yang tiba-tiba ingin belajar desain grafis.

“Za,” panggil Hamzah, “lihat.” Ia mengangkat ponselnya, menunjukkan kolom itu menyeberang ke layar-layar lain.

Zubaidah mendekat, menatap, tersenyum. “Aku takut terkenal,” katanya jujur.

“Kenapa?”

“Karena terkenal kadang menutup telinga.”

“Kalau begitu,” kata Hamzah, “kita jaga telingamu. Biar tetap mendengar.” Ia menatap sekeliling: musala, warung, payung-payung yang ditutup rapi, anak-anak yang menggambar jembatan dari crayon murahan. “Dan kalau suatu hari telingamu lelah, aku pinjamkan punggung. Biar kau bersandar.”

Zubaidah menatap Hamzah lama. Ada sesuatu yang tidak perlu ditanya. Ada keputusan yang tidak perlu diumumkan.

Malam kembali turun. Lampu-lampu kota tidak lagi menggigil. Mereka berdiri tenang, seperti saksi yang tahu cerita ini belum selesai, namun sudah sampai di bab yang bisa ditutup dengan senyum pendek. Di bawah lampu itu, Hamzah dan Zubaidah meneruskan hidup—tidak sebagai pahlawan tanpa cela, melainkan sebagai manusia yang bersepakat: “menang di tempat yang tak terlihat adalah cara paling sunyi, sekaligus paling jujur, untuk menjaga kota tetap manusiawi.”

.

.

.

Jember, 2 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKota #KompasMinggu #CerpenEmosional #AdaptasiMenakMadura #CeritaMengharubiru #HumanismeUrban #Suramadu #RelokasiBermartabat

Leave a Reply