Akar yang Tumbuh di Atas Kabel
“Teknologi boleh melesat ke depan, tetapi kearifanlah yang memastikan kita pulang dengan selamat.”
.
Papan Reklame yang Menyalakan Malam
Jakarta menyala seperti papan sirkuit raksasa. Dari jendela co-working lantai dua puluh tiga di koridor Sudirman, lampu-lampu jalan adalah jalur listrik, gedung-gedung adalah prosesor. Reza berdiri mematung, memandangi kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di belakangnya, layar-layar monitor berkedip: build success, deployment failed, retrying…
“Sejam lagi investor datang,” kata Nisa tanpa menoleh. Stylus di jemarinya menari di atas tablet, menyapukan sketsa antarmuka yang bersih. “Kamu yakin mesin rekomendasi harganya siap?”
“Siap dipaksa siap,” Reza tertawa tipis. “Kalau robotnya ngambek, kita tangani manual.”
Di sudut lain, dua orang sedang berdebat dengan nada yang ditahan. Maya dan Madi. Nama panggilan itu bukan kebetulan; tim sering menggoda mereka sebagai “dua saudara” dari lakon Serat Menak: Umarmaya—si penyusun strategi—dan Umarmadi—si eksekutor yang tak sabaran.
“Kurva konversi kemarin naik karena voucher, bukan karena perubahan algoritme,” tegas Maya.
“Tapi voucher tak akan efektif kalau rekomendasinya ngawur,” Madi membalas. “Kita butuh data lebih banyak. Aku jalanin scraper sekarang.”
“Jangan sekarang,” sela Reza. “Kita tak butuh trafik liar satu jam sebelum demo.”
Madi mendengus, tapi menahan diri. Jakarta di luar jendela seperti menatap balik: bergerak cepat, gesit, dan murah hati bagi yang berani.
.
Nama-Nama dari Cerita Lama
Reza lahir bukan dari album keluarga kota. Rumah kayu di pinggir jalan lintas selatan, suara jangkrik, dan lampu teplok yang menari di dinding masih membekas di ingatan. Setiap malam Jumat, kakeknya membuka peti kayu, mengeluarkan wayang. Ada Jaya—Jayengrana—yang lurus hati tapi sering dikerjai takdir. Ada Zubaidah—Siti Zubaidah—yang teguh pada tujuan. Ada Maya dan Madi—dua saudara yang saling menggenapi sekaligus menantang.
“Pegang ini,” kata kakeknya suatu malam, menyerahkan wayang kecil dari kulit kerbau. “Namanya Panji. Ksatria yang tahu kapan menunduk dan kapan maju. Ingat, urip iku urup: hidup itu menerangi.”
Petuah itu menjadi baterai yang tak pernah benar-benar habis.
.
Bootcamp: Delapan Senjata
Setahun sebelum malam demo, Reza mengambil putusan nekat: keluar dari pekerjaan nyaman dan masuk ke bootcamp delapan modul—iOS Swift, Android Kotlin, Fullstack JavaScript, UI/UX, Python for Data Science, Project Management, Agile-Scrum, dan AI. Ia merasa seperti ksatria yang tiba-tiba dijejali delapan senjata sekaligus. Bukan untuk gagah-gagahan; untuk bertahan dan berguna.
Instruktur pertama, seorang perempuan berkacamata dengan nada bicara tenang, memulai dengan kalimat yang menempel di kepala:
“Kalau hanya ingin selesai, mesin lebih cepat. Kalau ingin bermanfaat, manusia harus memimpin.”
Hari-hari bootcamp adalah campuran keringat, kopi, dan tawa getir. Reza belajar bahwa commit bukan sekadar menekan tombol, melainkan janji kepada orang-orang yang kelak menggantungkan harap pada baris-baris kode itu. Ia belajar bahwa desain bukan lukisan, melainkan jembatan. Ia belajar bahwa data bukan angka, melainkan nyawa yang harus diperlakukan dengan hormat.
.
Demo yang Tergelincir
Ruang presentasi dingin, aroma karpet baru, dan layar lebar yang menunggu. Tiga investor datang. Pemimpin rombongan seorang pria berambut perak, wajahnya teduh. Ia memperkenalkan diri singkat, “Panggil saja aku Panji.”
Aplikasi diputar. Slide berputar. Kata-kata mengalir. Sampai sebuah tombol ditekan dan layar membeku. Fatal error. Seperti lampu padam saat resepsi pernikahan.
Mata semua orang berpindah ke Reza. Maya menahan napas; Madi mengutuk nyaris tanpa suara. Di kepala Reza, kalimat kakek menyala: aja dadi kuthuk ilang induke—jangan jadi anak ayam kehilangan induk.
Ia menekan escape, mematikan proyeksi, lalu menatap Panji. “Kami gagal kali ini. Tapi kami tahu persis apa yang rusak, dan bagaimana memperbaikinya. Beri kami tiga puluh hari.”
Sunyi. Panji menautkan jari. “Waktu berjalan hanya untuk yang berani. Baik, tiga puluh hari. Dengan catatan: kalian tak menjual janji yang belum dikerjakan.”
Di lift yang menurunkan mereka, wajah-wajah terkulai. Nisa menyentuh lengan Reza. “Kamu tadi seperti orang yang pulang ke rumah. Tenang.”
Reza tertawa kecil. “Karena di kepalaku ada pendopo, bukan gedung kaca.”
.
Sprint-Sprint yang Mengasah
Hari-hari berikutnya berubah menjadi sprint yang rapat seperti anyaman tikar. Nisa merombak muka aplikasi dengan falsafah rinengga kanggo rahayu—indah demi kebaikan: tombol lebih kontras, langkah belanja lebih singkat, mikro-kopi untuk komunitas difabel. Maya menulis user story yang jernih: penjual keripik dari Malang, pengrajin batik Lasem, petani kopi Dampit, penjahit tas dari Cibaduyut. Madi membenahi index database, menulis ulang pipeline rekomendasi di Python, dan—dengan berat hati—menghapus tiga modul yang dulu ia banggakan.
Di tengah kejar-kejaran itu, konflik kecil menyala.
“Kenapa modul flash-sale dicoret?” Madi menatap layar Reza.
“Karena membuat orang membeli tanpa pikir panjang,” jawab Reza. “Penjual senang sehari, kecewa seminggu karena return tinggi.”
“Kamu terlalu moralistis,” balas Madi. “Kita butuh metrik naik.”
“Naik yang menipu sama saja menurun pelan-pelan,” sela Maya. “Kita butuh repeat buyer, bukan kilat.”
Perdebatan tak serta merta selesai. Tetapi malam-malam di kota seringkali menyelesaikan yang tak sanggup diselesaikan kata-kata. Mereka makan bubur di trotoar, tertawa atas kebodohan kode kemarin, dan pulang dalam diam yang mengerti.
.
Atap Kota dan Satu Pertanyaan
Suatu malam, hujan menggantung di atas Kuningan. Reza dan Nisa duduk di atap, memandangi kota yang tertutup gurat-gurat kilat.
“Kenapa kamu keras sekali soal flash-sale?” Nisa bertanya.
“Karena aku ingat paman. Dulu buka toko kelontong. Ada distributor menawari pinjaman cepat. Laku sebentar, macet lama. Hutang menjerat seperti kabel,” jawab Reza. “Aku tak mau aplikasi kita jadi kabel yang mencekik.”
Nisa mengangguk. “Baiklah, ksatria. Tapi ksatria pun butuh kemenangan. Jangan sampai kita kalah karena ingin terlalu baik.”
Reza menoleh, tertawa. “Ksatria di kepalaku sering menang karena tahu kapan menunduk.”
.
Presentasi Kedua
Tiga puluh hari lewat secepat iklan durasi lima detik. Mereka kembali ke ruangan yang sama. Showreel menampilkan penjual-penjual kecil yang tertawa, bukan hanya angka-angka. Dipadu data ringkas: waktu checkout turun 31%, repeat buyer naik 18%, eskalasi komplain turun 24%.
Panji menatap diam-diam, seperti mencari sesuatu yang tak tampak di layar. “Kamu memotong fitur yang bisa membuat angka kalian lebih tinggi,” katanya pada Reza.
“Kami memilih angka yang bertahan,” jawab Reza.
Panji tersenyum. “Selamat datang di investasi tahap awal.” Tepuk tangan tak meledak, hanya merambat seperti arus halus yang menghangatkan ruangan.
.
Zubaidah Mengirim Pesan
Tiga bulan berlalu. Aplikasi menembus sepuluh ribu penjual. Pada suatu dini hari, masuk pesan panjang dari seorang penjahit bernama Zubaidah di Surabaya: ‘Dulu saya takut menjual ke luar kota, apalagi luar negeri. Sekarang pesanan datang dari Kuala Lumpur. Anak saya bilang, Ibu sudah mendunia. Terima kasih.’
Reza membacanya pelan, seolah kalimat itu kain yang sedang disetrika. Nama Zubaidah mengusik ingatan pada wayang kulit. Di kepalanya, lakon Serat Menak bergerak: Zubaidah yang menempuh perjalanan panjang demi martabat. Di sini, ia menempuh perjalanan dari rumah kontrakan ke bandara melalui paket logistik.
.
Retak- Retak yang Datang dari Dalam
Seiring naiknya kurva pengguna, datanglah penyakit awal pertumbuhan: rapat yang terlalu banyak, bug yang tak terduga, opini yang tak lagi fungsional.
Madi, yang merasa jerih payah backend kurang dihargai, mulai jarang datang. “UI selalu dapat pujian, backend dianggap otomatis,” keluhnya pada Reza. Di lain sisi, Maya kesal karena sprint sering terganggu perubahan menit terakhir. Nisa lelah karena harus menjelaskan bahwa “cantik bukan tujuan; mudah pakai adalah tujuan.”
Suatu malam, ledakan kecil terjadi. Madi mem-push perubahan yang menabrak modul rekomendasi. Service tumbang selama dua jam; ticket komplain menebal seperti awan mendung. Rapat darurat digelar. Suhu ruangan seperti turun beberapa derajat.
“Aku hanya ingin bukti bahwa backend punya suara,” Madi berkata, nyaris menantang.
Reza menahan marah. Ia teringat tepa selira—mengukur diri dalam diri orang lain. “Suara backend tidak perlu dibuktikan dengan mematikan aplikasi. Suara backend terdengar saat semuanya berjalan seperti tak terjadi apa-apa. Itu suara paling sunyi sekaligus paling penting.”
Sunyi. Lalu Maya, yang biasanya tajam, mengambil jalan lembut. “Madi, kamu bukan mesin. Kamu bagian dari kisah. Kita tulis namamu di release note, kita paparkan arsitektur di town hall. Tapi tolong, jangan buktikan diri dengan membahayakan orang lain.”
Madi menunduk. “Maaf.”
.
Kantor yang Tiba-Tiba Menjadi Rumah
Sejak itu, mereka membangun kebiasaan-kebiasaan kecil yang menyehatkan: retrospective tanpa menyalahkan, makan siang bergilir masakan rumah, coding dojo Jumat malam. Di dinding, Nisa memasang kutipan bertinta hitam:
“Kecepatan tanpa arah adalah putaran di tempat. Arah tanpa empati adalah perjalanan yang ditinggal penumpang.”
Di ujung lorong, Reza menyiapkan pojok “pendopo”—kursi kayu, tanaman lidah mertua, dan kain batik sebagai alas. Tempat itu menjadi ruang menenangkan pikiran. Kadang, di tengah malam panjang, mereka duduk di sana tanpa suara, sekadar mengingat bahwa di luar target dan deadline ada sesuatu yang lebih luas.
.
Telepon dari Kampung
Sebuah panggilan memecah hari yang sibuk. Ibunya, suaranya serak. “Bapakmu… eh, kakekmu… masuk rumah sakit. Tadi malam sesak.”
Reza terdiam. Kakek yang mengajarinya tentang Panji, tentang urip iku urup. Ia membeli tiket kereta paling cepat, meninggalkan rapat yang belum usai.
Kereta melaju, menembus lumpur sawah, stasiun kecil, dan kebun tebu. Waktu seperti melar. Di kamar rumah sakit, kakek tersenyum, pipinya mengempis.
“Kamu menanam kabel, Nak?” kakek berbisik.
Reza menggenggam tangan yang kasar itu. “Aku mencoba menumbuhkan akar di atas kabel.”
Kakek tertawa kecil. “Jangan lupa, akar butuh air. Air itu orang-orangmu.”
Malam itu, kakek meninggal. Sunyi merambat seperti kabut. Reza memandangi wayang Panji di meja kecil, bayangannya jatuh di dinding putih. Ada tangis yang ditahan, ada janji yang diam.
.
Peluncuran Fitur “Pulang”
Sekembali ke Jakarta, Reza membawa satu gagasan: fitur Pulang. Fitur itu sederhana: dashboard untuk penjual yang menunjukkan dampak sosial—berapa pekerja tambahan yang dipekerjakan, berapa pelanggan ulang, bagaimana aliran kas sehat—bukan hanya penjualan harian.
“Ini bukan sexy feature,” komentar salah satu penasihat.
“Tapi ini mengingatkan bahwa bisnis bukan lomba lari seratus meter,” jawab Reza. “Ini maraton.”
Tim memandang ragu. Namun Nisa menepuk bahu Reza. “Kita coba. Kalau pun tak viral, setidaknya benar.”
Hari peluncuran Pulang, server tak jebol. Tak ada trending. Tetapi dua hari kemudian, Zubaidah mengirim video singkat: tiga perempuan duduk di ruang kecil, menjahit bersama. ‘Dulu saya sendirian. Sekarang ada Maya dan Madi—namanya kebetulan sama. Mereka bukan pegawai, mereka keluarga.’
Reza menutup laptop, menahan sesuatu yang naik ke dada.
.
Godaan Cepat Kaya
Seiring stabilnya pertumbuhan, datang tawaran dari jaringan fintech. Mereka menawarkan kemitraan pinjaman dengan bunga yang “kompetitif”—angka yang di atas kertas terlihat ramah, namun Reza tahu bagaimana cerita-cerita ini berakhir.
Panji mengundang rapat tertutup. “Ini bisa melipatgandakan GMV,” katanya datar. “Tapi kalian yang memutuskan.”
Ruang rapat hening. Ada kilau di mata Madi—kilau yang mudah dimengerti: infrastruktur yang selama ini ia rawat bisa tumbuh berkali-kali lipat; ada kebanggaan yang sah. Maya menimbang: akses modal bisa jadi udara untuk penjual kecil, asalkan sehat. Nisa menatap Reza.
“Aku pilih tidak,” kata Reza akhirnya. “Kita belum siap memastikan tak ada yang tergilas.”
Panji tidak langsung menjawab. Ia berdiri, melongok kota dari balik kaca. “Banyak tim berpikir seperti kalian saat kecil, lalu lupa saat besar. Aku tak akan melarang atau mendorong. Tapi ingat: keputusan paling mahal adalah keputusan yang tepat, bukan keputusan yang cepat.”
Mereka memutuskan menunda. Bukan menolak selamanya, tetapi menata pagar, menyusun guardrail, memastikan bahasa yang jernih dan uji coba terbatas. Di town hall, Reza menjelaskan keputusan itu sambil menahan desakan ambisi yang menggoda. Aneh: justru karena menahan, mereka merasa lebih kuat.
.
Malam yang Menyatukan
Ritme kerja kembali menemukan nadanya. Pada suatu tengah malam, listrik padam sepersekian detik. UPS berdengung. Kota di luar jendela seperti menarik napas. Di pendopo kecil, Maya bicara pelan.
“Kita seperti keluarga Menak versi urban,” katanya setengah bercanda. “Ada Jaya—kamu—yang kerap dikerjai situasi. Ada Zubaidah yang teguh—para penjual itu. Ada aku dan Madi yang bertengkar karena ingin memihak cara paling benar.”
“Dan ada Panji,” tambah Nisa, “yang entah sebenarnya siapa.”
Mereka tertawa. Lalu diam—diam yang tak canggung. Seperti jeda di antara dua bait tembang.
.
Sekali Lagi, Kota
Musim hujan turun membawa aroma tanah yang lama tak ditemui. Reza berjalan sendirian dari halte TransJakarta menuju kantor. Trotoar baru glembur, pohon peneduh baru ditanam. Ia berhenti di kios koran—yang jumlahnya makin jarang—membeli roti isi dan air mineral. Kota ini berubah, pikirnya, tetapi selalu menyisakan ruang untuk orang yang mau tinggal dan merawat.
Di lift, ponselnya bergetar. Pesan dari Panji: ‘Datang lebih siang. Ada sesuatu untuk tim.’
Di ruang rapat, Panji berdiri bersama seorang perempuan berkerudung sederhana. “Ini Zubaidah,” ucapnya. “Ia datang jauh-jauh untuk menceritakan sendiri.”
Zubaidah menatap mereka satu per satu. “Kalau kalian ingin tahu apa arti tombol-tombol itu, lihat tangan saya.” Tangannya menunjukkan bekas jarum dan kapalan halus. “Dulu saya bekerja sendirian, mencoba peruntungan di pasar Minggu. Sekarang saya bisa mempekerjakan dua orang tetangga. Kami tertawa lebih sering. Kami takut lebih jarang.”
Tak ada tepuk tangan. Hanya udara yang terasa berbeda—lebih berat sekaligus lebih hangat.
Panji lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya: wayang kulit kecil, tokoh Panji. “Warisan dari ayahku,” katanya. “Ia pedagang pecel di kampung. Dulu aku malu. Lalu aku belajar bahwa keringat adalah puisi paling jujur.”
Reza mematung. Wayang itu seolah menatap balik, seperti yang dilakukan wayang kakeknya dulu.
“Teruskan,” kata Panji. “Kalau nanti kalian memutuskan soal pinjaman, pastikan ia tak menukar masa depan anak-anak ini dengan grafis pertumbuhan.”
.
Pelajaran yang Tumbuh Perlahan
Waktu berlalu. Aplikasi tidak meledak, tetapi menyala konsisten. Mereka mengembangkan program “Teman Belajar” untuk penjual baru; sesi daring singkat tentang harga adil, etika foto, bahasa ramah. Madi menulis dokumentasi paling rapi yang pernah ia tulis; Maya menjadi fasilitator yang sabar; Nisa mengajar relawan desain tentang accessibility—kontras warna untuk lansia, teks alternatif untuk tunanetra. Reza menambahkan halaman “janji”: bahwa fitur akan mengutamakan kejelasan, bahwa kerahasiaan data diperlakukan seperti rahasia keluarga.
Suatu petang, di pendopo kecil, mereka merayakan ulang tahun aplikasi yang pertama. Kue sederhana, kopi sachet, dan layar proyektor yang menampilkan mosaik wajah para penjual dari seluruh Indonesia. Tak ada pidato panjang. Hanya kutipan yang mereka pilih bersama:
“Keberhasilan yang kita cari bukanlah panggung paling terang, melainkan terang yang tak memerlukan panggung.”
Reza menatap wajah-wajah itu—teman-temannya, keluarganya. Ia menatap kota di balik kaca. Ia ingat kereta yang melaju menuju kabar duka; ia ingat tangan kakek yang kasar; ia ingat tawa Zubaidah; ia ingat kebimbangan di rapat pinjaman; ia ingat bug yang membuatnya ingin menghilang; ia ingat commit pertama yang membuatnya percaya diri.
Ia menutup mata dan dalam hati mengucapkan terima kasih. Pada kabel-kabel di bawah tanah yang membawa ide-ide menyeberangi kota. Pada akar yang tumbuh pelan—tak terlihat, tapi menahan badai.
.
Pulang yang Selalu Baru
Beberapa hari kemudian, Reza pulang ke kampung untuk menengok makam kakek. Di teras rumah, ibunya mengeluarkan peti kayu. Di dalamnya: wayang Panji milik kakek, dan secarik kertas lusuh.
“Nak,” tulis kakek, “suatu hari kau akan dihadapkan pada pilihan yang membuatmu tampak kalah cepat. Ingatlah, tanaman yang akarnya dalam memang tumbuh lebih lambat, tetapi saat angin datang, ia yang tetap berdiri. Jika kau bingung, pulanglah. Kalau tak sempat pulang, bawalah rumah dalam cara kau memperlakukan orang.”
Reza tersenyum, memasukkan wayang itu ke dalam tas. Di stasiun kecil, ia menunggu kereta malam. Lampu-lampu loket berpendar. Sepasang anak muda memotret satu sama lain dengan ponsel. Suara penjual bakso seperti tembang yang akrab.
Kereta datang. Kota menunggu dengan lampu-lampu yang tak pernah padam. Reza melangkah naik, tahu persis bahwa di atas kabel-kabel kota, ia akan terus menanam akar. Pelan, tapi pasti. Sunyi, tapi menyala.
“Teknologi bisa mengantar kita jauh, tetapi hanya kearifan yang menunjukkan arah.”
.
.
.
Jember, 2 September 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #TeknologiDanTradisi #StartupIndonesia #UMKMDigital #AIHumanis #UIUX #AgileScrum #KearifanLokal #CeritaInspiratif #UrbanStory