Sepotong Hening di Antara Gedung Kaca

“Kota bisa membuatmu berlari, tetapi hanya kamu yang bisa memilih untuk berhenti sejenak.”
“Hening bukan jeda; hening adalah cara agar suara hati terdengar.”

.

Alarm ponsel Maya berbunyi pukul 05.11. Angka yang selalu ia pilih—bukan karena mistis, tapi karena mudah diingat. Di balkon apartemen lantai delapan belas yang menghadap deretan gedung kaca Kuningan, udara pagi membawa sisa hujan semalam. Kota di bawah sana baru bangun: pedagang bubur menyeret gerobaknya, ojek menyalakan mesin, lampu-lampu apartemen redup satu per satu seperti bintang yang kehabisan giliran.

Maya menyalakan air panas dan membuka buku kecil bergaris—Jurnal Akar. Tiga baris syukur, tiga prioritas hari ini, satu daftar tidak. Ia menulis pelan, huruf-hurufnya rapi seperti niat yang disetrika:

Syukur: hujan menurunkan debu, ibu semalam menelpon, badan tak demam.
Prioritas: rapat desain jam sembilan, dry run presentasi jam dua, kirim ringkas untuk klien sebelum delapan malam.
Tidak: rapat tanpa agenda, scrolling tanpa sadar, menerima tambahan last minute yang tak mengubah hasil.

Ia meniup kopi hitamnya yang baru selesai diracik—air tidak mendidih, agar pahitnya tidak meledak. Dari kejauhan, terdengar bunyi kereta, seperti garis lurus yang ditarik penggaris di udara. Kota menyiapkan bisingnya. Maya menyiapkan hen­ingnya.

.

Kantor Maya berada di lantai dua puluh tiga, Sudirman. Nama perusahaannya Kanvas Konsultan—menggarap strategi merek, budaya kerja, dan kampanye digital untuk perusahaan-perusahaan yang ingin terlihat modern atau benar-benar ingin menjadi modern. Pagi itu, karpet kantor masih menyimpan jejak langkah semalam. Mesin kopi menderu, menelurkan harum yang membuat orang merasa kuat sebelum benar-benar kuat.

Retna sudah duduk di meja creative, rambut pendeknya menari-nari tiap kali ia tertawa. “Kamu bawa buku itu lagi?” tanyanya, menunjuk Jurnal Akar yang menempel di tangan Maya.

“Kalau tidak bawa, aku lupa siapa diriku,” jawab Maya. Retna menatapnya—mata yang pandai menertawakan tegangnya hari.

Amir dari tim desain datang dengan roti panggang yang gosong tipis—cara ia membuktikan pagi adalah milik manusia, bukan mesin. “Town hall jam sebelas,” katanya. “Maktal mau umumkan target kuartal depan.”

Maktal adalah pemegang saham dengan lidah angka. Bila ia bicara, grafik seolah punya suara. Di belakang Amir, Madi lewat—data lead yang memelihara dashboard seperti memelihara bonsai. “Pagi, Maya,” sapanya. “Slide behavioral sudah kubersihkan. Garis yang tak perlu, sudah kukubur.”

“Sisakan yang membuat orang mengerti,” kata Maya. “Yang cantik tapi tak perlu, kita buang.”

Maya menaruh tas, menyalakan laptop. Tepat pukul delapan, kantor memasuki ritus kecil ciptaan Maya: Jam Tanpa Bunyi—lima belas menit untuk duduk; lampu area focus diredam, musik ambient dipelankan. Orang boleh menulis, menggambar, memejam, atau hanya bernapas. Di kota yang selalu minta laju, mereka mengadakan lahan kecil untuk melambat.

“Kenapa hening, Mbak?” tanya Tole—intern yang baru masuk, anak Madura yang cekatan.

“Supaya otak tidak menjadi gudang barang tak berguna,” jawab Maya. “Kita lahirkan ide, bukan menampung sampah.”

Tole tersipu. Namanya mengingatkan Maya pada cerita Jokotole yang pernah diceritakan kakeknya. Kota memang pandai membuat legenda baru, tapi nama-nama lama masih tinggal di telinga.

.

Pukul sembilan, rapat desain dimulai. Proyek besar kali ini: rebranding jaringan klinik kesehatan keluarga di Jabodetabek. Mereka duduk melingkar di ruang rapat kaca yang membuat mereka seolah tontonan akuarium.

Retna membuka dengan narasi: bahasa yang menyapa, bukan menggurui. “Klinik ini harus terasa seperti tetangga yang punya ilmu,” katanya. Amir memaparkan user journey pendaftaran online: tiga langkah, satu kali konfirmasi, selesai. Madi menunjuk hasil A/B testing: kalimat yang lebih manusia naik 18% click-through. Ia tersenyum, malu-malu pada angka yang jinak.

“Bagus,” kata Maya. “Tapi pilih tiga pesan inti. Sisanya jadi pelengkap.” Ia menulis di papan: Ramah manusia. Rute mudah. Tenang dan bersih. “Kita pacu ke sini.”

“Kalau cuma tiga, takut kurang lengkap,” Amir mengangkat tangan.

“Ketidaklengkapan yang sengaja itu namanya undangan,” jawab Retna.

Madi menoleh ke Maya. “Kamu memang pelit kata.”

“Supaya makna punya ruang,” ujar Maya. Di kepalanya, pepatah Jawa ing ngarsa sung tulada berbisik: pemimpin memilih dan memberi contoh, bukan menjejalkan semua.

.

Jam sebelas, town hall. Orang-orang berdiri di commons area yang beraroma karpet baru. Maktal berdiri di depan layar besar, dasinya senada dengan grafik. “Kuartal depan: pertumbuhan 25%,” katanya. “Ambil dua klien baru, perbaiki margin. Bekerja lebih cepat. Lihat kompetitor.”

Tepuk tangan terjadi seperti hujan—ramai di awal, sisanya rintik. Maktal melanjutkan, “Kecepatan penting, tapi jangan lupa kualitas. Besok, Maya dan tim presentasi klinik. Ini klien gerbang.”

Selesai acara, ia mendekat ke Maya. “Bisa tambahkan dua fitur pendaftaran minggu depan? Biar tampak lebih lengkap.”

Maya mengingat no list yang ia tulis pagi tadi. “Untuk minggu depan, belum,” jawabnya. “Kami ingin tiga hal inti berdiri dulu. Tambahan bisa setelah itu.”

“Menunda?” alis Maktal naik.

“Menanam,” Maya mengoreksi. “Supaya buahnya tak asam.”

Ada hening tipis menggantung. Lalu Maktal mengangguk—setengah rela, setengah penasaran. “Pastikan besok solid,” katanya akhirnya.

Retna menyenggol lengan Maya. “Kamu mengajarkan kota berhenti sebentar,” bisiknya. “Berani juga.”

“Kalau tak berhenti sesekali, kita tersandung,” sahut Maya.

.

Siang mengalir, petang mengintip. Pukul dua, dry run presentasi. Maya menyusun peran seperti sutradara yang memeriksa lampu panggung.

“Retna buka narasi—manusiawi, tidak terlalu pintar. Madi, tunjukkan tiga angka yang mengubah perilaku. Amir, gambarkan rute pendaftaran sesederhana naik MRT. Tole, kamu jaga timer dan cek koneksi cadangan.”

“Dan kamu?” tanya Retna.

“Aku yang memastikan tak ada yang jatuh.”

Mereka tertawa—tawa kecil yang membuat paru-paru lega. Di slide Madi, grafik sempat penuh garis. Maya mengangkat tangan. “Pilih satu. Sisanya bayangan.”

“Ini semua penting,” Madi bertahan.

“Yang penting adalah yang dipahami orang,” kata Maya, menghapus tiga garis. Di bawah garis yang tersisa, ia tulis: “Bahasa manusia membuat angka ikut naik.” Madi terdiam, lalu mengangguk—seperti bonsai yang menerima gunting.

Sebelum bubar, Maya mengajak ke ruang wellness: ruang kecil bekas gudang, lampu hangat, lantai karpet. Mereka stretching sepuluh menit. “Konsistensi mengalahkan intensitas,” ujar Maya. “Tiga kali tiga puluh menit seminggu. Punggungmu akan berterima kasih.”

Amir mengeluh manja. Retna pura-pura pingsan. Madi, yang jarang olah tubuh, terkekeh melihat jemarinya sendiri bisa menyentuh ujung kaki.

.

Malam itu, Maya pulang naik MRT. Di gerbong penuh, ia berdiri dekat pintu, memandangi bayangan orang-orang kelas menengah kota: rapi, lelah, ingin berhasil. Ponselnya bergetar: Grup Keluarga—Bapak kirim foto kebun. Ia membuka. Pohon mangga yang dulu setinggi lutut, sekarang berbuah hijau.

Ibunya menulis: “Ngunduh wohing pakarti, Nduk. Nandur sing becik, entuk sing becik.”

Maya menutup mata sesaat, seperti yang dilakukan orang yang ingin menyimpan kabar baik di tempat yang tak bisa dicuri siapa pun.

Di apartemen, sebelum tidur, ia menulis: “Besok, jangan ingin terlihat pintar—jadilah jelas.” Ia mematikan lampu. Di luar, kota tetap menyala; di dalam, ia membuat gelap yang bersahabat.

.

Pagi berikutnya cerah seperti halaman baru. Mereka berangkat lebih awal. Tole menggendong tas kabel seperti menggendong bayi—waspada. Rapat dimulai pukul sepuluh. Di depan: direktur pemasaran berkemeja biru muda, dua manajer yang lihai mencatat, dan staf muda yang matanya bergerak cepat seperti kursor.

Retna memulai. “Kami tidak menawarkan aplikasi baru,” katanya tenang. “Kami menawarkan kebiasaan baru.” Ia bercerita tentang orang tua yang takut ke klinik, anak muda yang ingin proses cepat, dan orang sibuk yang tak suka ribut. Kata-kata Retna seperti air yang menemukan alurnya.

Tiba-tiba projector berkedip—sekali, dua kali—mati. Ada suara kecil, seperti detik yang kehilangan jam. “Listrik aman,” kata teknisi, wajahnya cemas.

Maya menepuk meja pelan. “Tak apa,” katanya. “Kita mulai tanpa layar.” Ia meminta papan tulis. Amir menggambar rute pendaftaran dengan pena hitam, tiga kotak, satu panah, selesai. Madi mengeluarkan tiga angka yang ia cetak semalam—tak sampai halaman penuh. Retna menjaga cerita tetap hangat.

Lima belas menit tanpa layar menjadi lima belas menit paling manusia. Ketika projector menyala kembali, setengah pekerjaan telah selesai. Direktur pemasaran bersandar, menatap mereka seperti menatap orang yang berani berjalan tanpa sepatu di jalan yang tak semestinya halus.

“Risiko?” tanyanya. “Biaya?”

“Risiko terbesar adalah kembali ke kebiasaan lama,” jawab Maya. “Biaya terbesar adalah keberanian memilih.” Ia berhenti sejenak, memastikan kata-katanya bukan topeng. “Kami menemani.”

Direktur tersenyum tipis. “Saya suka kalimat Anda. Keberanian memilih.” Ia menutup buku. “Mulai minggu depan. Kirim ringkasan hari ini.”

Di lorong, nafas mereka terasa seperti milik kembali. Madi menepuk dahi. “Kalau tadi menunggu layar, kita habis.”

“Makanya hard skill harus diikat soft skill,” kata Retna. “Seperti sepatu dan tali sepatu.”

“Seperti roti dan selainya,” tambah Amir.

“Seperti angka dan perasaannya,” Tole menyengir. Mereka tertawa—tawa yang tidak memerlukan emoji.

.

Perayaan mereka sederhana: es teh manis di warung ruko bawah. Angin parkiran membawa sisa hujan dari lorong. Retna mengunggah catatan ke folder tim, Amir menggoda kucing ruko, Madi menatap dashboard—kali ini tanpa tangan yang gatal untuk menambah grafik. Maya menandai kalender: learning hour bulan depan Time Blocking, bulan depannya Client Recovery.

“Kalau bos minta percepat segala?” tanya Amir.

“Kita jelaskan alasan. Kalau alasanmu waras, orang akan mengerti,” jawab Maya. “Kalau tidak, setidaknya kamu tidak mengkhianati dirimu.”

Retna menatap Maya lama-lama. “Kamu seperti bertambah umur lima tahun tapi tidak keriput.”

“Aku hanya ingat pesan ibu: eling lan waspada.

Madi mengangkat gelas plastik. “Untuk hal-hal kecil yang menyelamatkan hari-hari besar.”

Mereka bersulang. Hujan turun tipis-tipis—bukan pertanda buruk, melainkan cara langit menyejukkan aspal.

.

Hari-hari berikutnya tidak menjadi mudah; hanya menjadi lebih masuk akal. Maya menolak rapat tanpa agenda, dan menyetujui rapat yang punya ringkas dua paragraf. Ia berlari tiga kali seminggu—bukan untuk kurus, melainkan untuk berdamai dengan napas. Ia menutup notifikasi pukul delapan malam—bukan menolak kerja, melainkan menabung tenang untuk besok. Ia menyisihkan anggaran: mengurangi kopi mahal yang tidak ia nikmati, mengalihkannya ke buku, kelas daring, atau pulang murah ke Sleman sekali dua bulan.

Hubungan pun ia tata. Lima orang di lingkaran dekatnya ia pilih dengan sadar: ibunya yang sabar, Retna yang menyegarkan, Madi yang menajamkan, Amir yang mengingatkan untuk makan, dan Reni—teman lama di Bandung—yang selalu menulis, “Kalau lelah, pulanglah dulu. Tak ada piala untuk yang pingsan di tengah lomba.” Satu pesan sederhana bisa mencegah satu keputusan bodoh.

Tentu ada hari yang kacau: klien ingin semuanya “besok siang”, traffic memancing doa yang tidak diajarkan di Taman Kanak-Kanak, server mogok di jam genting. Ada juga hari yang pas: email terkirim sebelum mata lelah, orang asing di LinkedIn menulis, “Presentasi Anda membuat rapat terasa manusiawi.” Pada hari-hari begitu, Maya menulis di jurnal: “Ngunduh wohing pakarti.” Panen bukan kebetulan.

.

Suatu Jumat malam, kota macet seperti pita yang kusut. Di dalam kantor, lampu sebagian sudah padam. Maya masih duduk, menyelesaikan ringkasan untuk dikirim. Retna pulang duluan—ada janji nonton film. Amir pamit menjemput ibunya di klinik gigi. Madi berdiri di depan jendela, memandangi lampu-lampu gedung yang bertumpuk.

“Kamu takut gagal, Maya?” tiba-tiba Madi bertanya—jarang-jarang ia bertanya tentang sesuatu yang tidak bisa digrafikkan.

“Aku takut hilang arah,” jawab Maya. “Takut menjadi sibuk tanpa hasil. Takut mengabaikan yang penting karena terlalu sibuk memuaskan yang bersuara keras.”

Madi mengangguk. “Kamu tahu, angka-angka itu kadang seperti kembang api: heboh sebentar, gelap lagi. Yang tinggal itu kebiasaan.”

“Makanya kita pilih kebiasaan yang tidak memalukan bila dilihat dari dekat,” Maya tersenyum.

Madi menepuk bahunya—cara kaku seseorang yang belajar menghangat. “Untuk Jam Tanpa Bunyi—terima kasih,” katanya. “Kerjaku lebih rapi sejak bisa mendengar pikiranku sendiri.”

Maya tidak menjawab. Tidak semua terima kasih perlu dijawab. Ia menekan send, menutup laptop, memeluk hening beberapa detik sebelum pulang.

.

Bulan berganti. Proyek berjalan. Kepercayaan tumbuh seperti akar di bawah tanah—tak terlihat, tetapi memegang tanah agar rumah tidak goyah. Tole lulus masa intern, diterima sebagai staf ops. “Saya pikir kota hanya soal cepat,” kata Tole. “Ternyata juga soal mana yang pantas cepat.”

Suatu Minggu, Maya pulang ke Sleman. Ayah menyirami pohon mangga. Ibu menyiapkan teh. Halaman rumah menyimpan pagi dengan cara yang lebih jujur daripada taman kota. “Kamu tahu kenapa pohon ini kuat?” tanya ayah.

“Karena disirami rutin?”

“Karena tidak semua tanah digali. Hanya yang perlu. Biar akar yang mencari.” Ayah tertawa. “Kamu juga begitu di Jakarta. Gali secukupnya, pelihara yang penting. Sisanya—percayakan pada hidup.”

Maya memeluk ayah. Ia membawa pulang bukan buah, melainkan kalimat yang beratnya lebih dari sekilo.

Di kereta malam, ia menulis: “Kota tidak memakanku. Kota menumbuhkanku.” Ia malu pada kalimatnya yang puitis, tetapi menuliskannya juga—karena yang puitis sering kali adalah sebentuk kejujuran yang dibiarkan punya kursi.

.

Suatu siang, Maktal mengundang makan. Ia jarang berterima kasih; ia lebih sering menuntut. Kali ini suaranya rendah. “Terima kasih,” katanya. “Kalian membuat angka berjalan tanpa membuat orang patah.”

“Angka berjalan karena orang berjalan,” sahut Maya.

“Kalimat poster,” Maktal tertawa. “Tapi benar. Dulu kukira efisiensi itu memeras waktu. Sekarang kubelajar: efisiensi itu memilih.” Ia menatap Maya. “Kamu mau memimpin program internal ‘Kerja Cerdas’ untuk seluruh perusahaan? Jangan seminar. Kebiasaan.”

Maya menatap Retna, Madi, Amir, dan Tole—mata yang saling memberi kekuatan tanpa puisi. “Boleh,” jawabnya. “Dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Mulai dengan lima belas menit hening.”

Maktal mendesah. “Kamu memang…”

“Kalau tidak ada hening, kita cuma mengganti kebisingan dengan kebisingan baru,” ujar Maya. “Kota sudah terlalu ramai.”

Maktal mengangguk. “Baik. Untuk hening yang membuat kita mendengar.”

Di luar restoran, lampu-lampu gedung seperti bintang yang ingin tampak modern. Maya memandangi pantulan dirinya di kaca. Ada orang yang sibuk mengejar bayangan; ada orang yang belajar mengobrol dengan bayangan. Ia memilih yang kedua.

.

Malam itu, ia berjalan pelan di jembatan penyebrangan. Dari bawah, lautan kendaraan mengalir, klakson bersahut, sirene jauh sekali. Angin kota tidak sedingin cerita film, tapi cukup untuk membuat anak rambutnya bergerak. Maya teringat dua kalimat yang ia letakkan di awal jurnal, seperti pagar rumah yang mencegahnya melompat ke jalanan yang bukan miliknya:

Kerja cerdas itu bukan meringankan beban, melainkan menimbang beban mana yang pantas dipikul.
Alon-alon ora alesan; sing penting tumindak sing bener lan konsisten.

Ia tersenyum pada kota—bukan senyum menang, melainkan senyum orang yang menemukan tempatnya berdiri. Sepotong hening yang ia pelihara setiap hari ternyata cukup untuk menumbuhkan akar. Dari akar, tumbuh batang. Dari batang, tumbuh daun. Lalu, suatu hari, teduhnya mungkin bukan untuknya sendiri.

Ia pulang. Di rumah, sebelum tidur, ia menulis kalimat penutup hari itu: “Yang kecil menyelamatkan yang besar.” Ia mematikan lampu. Di luar sana, gedung-gedung kaca masih bercerita. Di dalam sini, seorang manusia memeluk heningnya, dan itu cukup.

.

.

.

Jember, 28 Agusutus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #SepotongHening #KehidupanUrban #KerjaCerdas #KearifanJawa #Produktivitas #MotivasiKerja #ArswendoVibes

Leave a Reply