Pagi yang Pelan di Kota yang Bergegas
“Kemewahan paling mahal bukanlah mobil, jabatan, atau bonus. Kemewahan itu adalah hati yang damai, tidur yang nyenyak, dan pilihan yang jernih.”
.
Jam lima empat puluh. Kota belum sepenuhnya terjaga, tetapi notifikasi di ponsel Umarmaya sudah lebih dulu bangun. Dari balkon apartemen sewaan lantai tujuh belas, ia melihat garis lampu kendaraan di Sudirman, seperti nadi raksasa yang mulai berdetak. Ketel listrik menggerenyet; ia menunggu bunyi klik yang menandai air mendidih. Kopi sachet disobek, gula dilewati. Pahit lebih jujur dari apa pun.
Di lift, ia bertemu Muninggar—tetangga sekaligus sahabat lintas profesi. Rambut dicepol, wajah cantik yang ditutup bedak tipis. Mereka tidak saling mengeluh, hanya bertukar kalimat singkat yang bunyinya seperti salam sandi orang kota.
“Meeting jam delapan?”
“Jam tujuh lima puluh lima.”
Mereka tertawa pelan. Tawa orang-orang yang punya waktu, tapi bukan milik mereka sendiri.
Ojek daring tiba. Helm disodorkan. “Ke SCBD, Mbak?” tanya pengemudi. Maya mengangguk. Jaket hitam mengilap memantulkan sisa lampu jalan. Motor menembus udara pagi yang lembap. Bau tanah yang semalam dikibas hujan menempel di wajah. Di perempatan, lampu merah memantulkan bayang-bayang panjang pada aspal; Maya menatapnya diam-diam: bayang siapa yang sedang dikejar siapa?
Ia mengingat pitutur kakeknya di Sumenep: alon-alon asal kelakon. Pelan bukan berarti lamban, pelan berarti sadar. Di kota, kata-kata itu sering terdengar seperti lelucon.
.
Kantor konsultan komunikasi tempat Maya bekerja berada di lantai dua puluh tiga sebuah gedung kaca. Lobi menampilkan jargon besar—hustle smarter, win bigger—yang entah menenangkan atau mengancam. Jam dinding menunjuk 07.55 ketika Maya masuk ruang rapat. Umarmadi (dipanggil Madi), kepala operasi yang cekatan itu, sudah duduk dengan laptop terbuka. Jayengrana—atasan yang tatapannya serupa sinar X—datang dua menit kemudian.
“Q4 harus tumbuh dua puluh persen,” kata Jaya, seolah angka adalah cuaca. “Klien minta kampanye regional. Kita bersaing dengan firma Singapura. Saya tidak mau alasan. Saya mau rencana.”
Di layar, grafik warna-warni bergerak. Di kepala Maya, angka-angka itu berubah menjadi jam tidur yang dipotong, sarapan yang digeser, dan panggilan video mendadak jam sebelas malam. Ia menulis catatan dengan tulisan paling rapi yang bisa ia selamatkan dari gemetar kecil: Siapa yang kita menangkan? Klien? Nama perusahaan? Atau hidup kita sendiri?
Habis rapat, koridor panjang terdengar seperti terowongan kereta bawah tanah. Orang-orang bergegas sambil menenteng gelas kopi kertas. Ada yang bergurau, ada yang melempar kelakar soal bonus, ada yang diam-diam mencari kamar mandi untuk menenangkan napas.
Di meja kerja, ponsel Maya bergetar. Grup keluarga—budhe mengirim foto cucu baru; ibu menanyakan kabar dengan emoji bunga. Maya mengetik balasan: Sehat, Bu. Nanti malam telepon ya. Lalu ia menatap layar kerja; empat jendela terbuka sekaligus: strategi digital, rencana konten, daftar influencer, anggaran. Hidupnya seperti tab-tab di browser: banyak, penting semua, tapi tak semua harus dibuka hari ini.
“Wherever you are, be all there,” bunyi kutipan yang pernah ia tulis pakai spidol di halaman pertama planner. Di mana pun kau berada, hadirilah penuh. Ia membaca ulang pelan-pelan, seperti obat serbuk yang dicampur air, pahit tapi perlu.
.
Siang meletup seperti kembang api kecil di sela gedung. Kafetaria di lantai dasar penuh, tetapi Maya dan Muninggar menemukan meja di dekat jendela. Di luar, semut-semut besi berbaris rapi di jalan tol layang. Di dalam, mesin espresso mendesis seperti kuda yang ditarik ke padang.
“Kadang aku iri pada orang-orang yang punya halaman,” ujar Muninggar, menyeruput cappuccino. “Bangun, menyapu daun, menyapa tetangga. Di sini, tetangga kita notifikasi.”
Maya tertawa, kemudian menunduk. “Kamu ingat pitutur tepa selira? Menjadi manusia yang menimbang rasa. Aku ngerasa makin hari, rasa itu menipis di kantor. Semua diukur KPI.”
“KPI itu singkatan Kamu Pulang Inem kali,” timpal Muninggar, mencoba melawak. Mereka tertawa sampai mata basah sedikit. Tawa yang menolak kalah.
Maya pernah membaca—entah di mana—bahwa lebih dari separuh pekerja muda di kota besar menyatakan “kehilangan waktu pribadi” akibat tuntutan kerja. Statistik kerap terdengar seperti orang asing di pesta, tetapi hari-hari Maya memberi wajah pada angka-angka itu: jam lari pagi yang dirapel, buku yang berhenti di bab dua, makan malam yang dimakan sendiri sambil melihat tembok.
Mereka diam sejenak, memandang pejalan kaki di luar kaca: seorang perempuan berbaju olahraga melambat di trotoar, seorang bapak menuntun anaknya menyeberang, seorang kurir memeriksa alamat di ponsel. Dunia tetap berjalan, bahkan ketika kita berhenti.
“Urip iku urup,” kata Maya, pelan. Hidup itu menyala untuk sekitar. “Jadi kalau kita padam, siapa yang mau kita hangatkan?”
Muninggar menghela napas. “Mungkin kemewahan paling mahal sekarang bukan tas atau mobil. Kemewahan itu: tidur utuh, sarapan pelan, hati yang damai.”
“Dan pilihan yang jernih,” tambah Maya. Mereka bersulang dengan gelas kertas. Bunyi ringan, tapi menggaung jauh di kepala.
.
Sore memanjang. Presentasi klien berlangsung di ruang rapat yang dindingnya meniru batu alam. Slide berjalan mulus. Kata-kata meluncur seperti kereta cepat. Seusai pertemuan, Jayengrana menepuk meja: “Bagus. Kita push jam kerja tim media. Mulai minggu depan, jam respons sampai pukul dua puluh dua. Klien Asia Timur sensitif waktu.”
“Pak,” sela Madi pelan, “anak-anak sudah padat. Bisa kita siasati kanal respons bergiliran?”
Jaya menatap satu per satu. “Kerja itu lari maraton, bukan jalan santai. Siapa yang kuat, finis.”
Kepala menunduk. Bahu merendah. Di kursi, Maya menggenggam pulpen seperti menggenggam pegangan di bus kota agar tak terpelanting saat menikung.
Malamnya, langit pendek. Lampu-lampu kota sibuk menulis huruf di kegelapan. Maya menatap lorong apartemen yang bersih, teringat pada lorong rumah sakit tempat ayahnya pernah dirawat—bau antiseptik, suara langkah tertahan, jam dinding yang bersuara lambat. Sejak masa itu, ia mulai takut tergesa. Sejak itu juga, ia ingin punya pagi yang pelan, meski hanya dua belas menit.
Di ranjang, ponsel masih menyala. Pesan atasan: Revisi deck. Kirim draf jam 06.00. Maya menutup mata. Hening? Tidak. Hening di kota adalah kemewahan seperti kamar dengan pemandangan laut.
Ia menarik napas. Mematikan nada dering. Menyalakan rekaman bunyi hujan. Di pelupuk, desa kecil melintas: jalan tanah, lampu minyak, bunyi jangkrik. “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding,” kata Einstein yang pernah ia baca. Damai bukan karena dipaksa, tapi karena paham. Ia berusaha memahami tubuhnya yang minta tidur, pikirannya yang minta pelan, dan kota yang minta cepat.
Tertidur juga akhirnya. Tidur tidak datang ketika dikejar; tidur datang ketika merasa aman.
.
Pagi Sabtu. Tidak ada rapat. Maya mengunci ponsel di laci. Ia berjalan ke taman kota di ujung jalan: petak hijau kecil yang bertahan di antara beton. Seorang lelaki lanjut usia menyapu daun ketapang seperti menyapu mimpi buruk semalam. Dua anak perempuan berlomba sepatu roda, dan kalah-menang di sana artinya jatuh lalu bangkit lagi.
Maya duduk di bangku. Matahari memanjat pelan di antar gedung, seperti anak sekolah takut terlambat. Ia mengeluarkan buku catatan dan menulis daftar pendek—yang benar-benar penting:
-
Telepon Ibu.
-
Masak sup bening.
-
Baca satu bab buku.
-
Cuci seprai.
-
Tidur siang tanpa rasa bersalah.
Muninggar datang membawa roti sobek dan cerita: “Aku memutuskan ambil cuti panjang. HR sudah tahu. Aku capek mengejar hal yang lari lebih cepat dariku.”
“Takut?” tanya Maya.
“Takut. Tapi lebih takut kalau suatu hari bangun dan tidak kenal wajah sendiri di cermin.” Ia tersenyum, setengah lega, setengah gentar. “Kamu selalu bilang, kita tidak bisa punya semua. Kita memilih.”
“Dan setiap pilihan punya ongkos,” sahut Maya. “Tapi memilih juga cara untuk hormat pada diri sendiri.”
Mereka makan roti di taman yang disukai kupu-kupu itu. Seekor kucing belang menabrak mata kaki Maya, lalu menghilang di balik semak. Dunia memberi tanda-tanda kecil pada orang-orang yang pelan.
.
Senin, badai. Hujan turun seperti dicetak pabrik. Pukul lima sore, kota berubah kolam. Grup kantor meledak: foto genangan, video motor mogok, emoji perahu. Maya memutuskan menunggu. Work from lobby, tulisnya pada Madi. Ia membeli dua mi instan dari minimarket. Separuh mi ia bagi kepada dua satpam yang basah kuyup.
Di dekat pintu putar, seorang perempuan muda dengan blazer kehujanan terisak. “Laptop saya basah, presentasi rusak… saya baru tiga bulan di tempat baru…” katanya pada siapa saja yang mau mendengar.
Maya menghampiri. “Mari kita lihat.” File masih bisa dibuka, walau huruf-hurufnya seperti kue basah. Maya mengajari cara memulihkan, sementara hujan memukul-mukul kaca. “Kalau tidak berhasil, backup ke cloud?”
Perempuan itu menggeleng. “Belum sempat.”
Maya menahan napas. “Baik. Kita rebuild ringkas. Jangan semua. Ambil inti.”
Mereka duduk berdampingan di kursi yang setengah basah, mengetik ulang dalam tempo dua mi instan. Pada slide terakhir, perempuan itu tertawa kecil di sela tangisnya. “Mbak… ini hari terburuk sekaligus terbaik.”
“Hujan itu guru,” kata Maya. “Ia memberi tahu kita: yang rapuh diikat ulang.”
Malam mengapung. Hujan mengendur. Kota mengembalikan suara lamanya: knalpot, klakson, lagu sendu dari warung kopi. Dalam perjalanan pulang, Maya melihat beberapa orang mendorong mobil mogok sambil tertawa. Ada guyub rukun yang kadang lupa muncul di gedung-gedung berseragam jas.
Di rumah, ia menyalakan lampu hangat. Ada diam yang bukan sepi, ada lelah yang bukan kalah. Ia mencatat sebuah kalimat di catatan yang menempel di kulkas:
“Hidup yang tertib bukan hidup tanpa badai, melainkan hidup yang tahu melipat payung ketika hujan berhenti.”
.
Selasa, rapat townhall. Jaya berdiri dengan mikrofon, di belakangnya angka, di depannya manusia.
“Kita akan restrukturisasi unit pemasaran. Tugas bertambah. Target tetap.”
Udara menjadi dingin tanpa dibantu AC. Seorang karyawan bertanya: “Pak, jam kerja diperpanjang lagi?”
“Kerja itu pengabdian,” jawab Jaya, cepat. “Yang mau bertahan, bertahan.”
Di baris kedua, Madi bersuara: “Pengabdian tanpa batas itu penghabisan, Pak.” Ruangan berhenti sebentar. “Kalau boleh usul, tim Maya sudah menyusun protokol slow morning: rapat mulai 10.00, deep work 08.00–10.00, tidak ada pesan mendesak setelah 19.00 kecuali darurat. Kita coba dulu seminggu.”
Maya kaget. Ia berpaling. Madi mengedip. “Kalau output turun, kita evaluasi,” lanjut Madi. “Kalau tidak, artinya kita bisa kerja lebih waras.”
Semua mata menatap Jaya. Ada hening yang bukan takut, melainkan harap. Jaya menatap layar, menatap jam, menatap manusia. “Coba dua minggu,” katanya akhirnya. “Ukurnya jelas. Kalau turun, kembali seperti semula.”
Ruang rapat bernapas. Maya merasakan tulangnya mundur satu milimeter dari tepi. Dua minggu bukan selamanya, tapi cukup untuk mencoba menjadi manusia di kantor.
.
Dua minggu bersayap. Pagi kantor tak lagi dirampas rapat. Orang datang, membuat minuman, menata meja, menulis sepuluh baris kode atau dua paragraf strategi tanpa gangguan. Rapat jam sepuluh menjadi rapat; yang perlu saja yang bicara, yang lain mendengar. Sore, lampu padam tepat waktu kecuali ada yang benar-benar harus dinyalakan. Grup pesan tetap bersuara, tapi tidak menjerit.
Maya mendapati hal-hal yang dulu ia kira hilang: ia bisa membaca dua bab novel di MRT pulang; bisa menelpon Ibu tanpa terburu-buru; bisa memasak sup bening dan menunggu uap yang keluar pelan-pelan. Tidur kembali menjadi ritual, bukan barang curian.
Di akhir minggu kedua, grafik output justru naik tipis. Tidak ada keajaiban; yang ada, kehadiran. Orang yang diberi ruang bernapas ternyata bisa berlari lebih jauh. Di sudut pantry, Madi berkomentar: “Ternyata kita tidak perlu menambah jam kerja, kita cukup mengurangi jam merasa diawasi.”
Jaya tidak mengucapkan selamat. Tapi ia tidak mencabut kebijakan. Di kantor, kadang diam adalah bentuk paling jujur dari setuju.
.
Malam tertentu, Maya duduk di meja makan, menulis post-it kecil untuk dirinya sendiri:
“Kaya itu bukan barang yang dipamerkan, melainkan batin yang tenang. Kaya itu bisa menolak rapat yang bukan untuk kita, bisa menutup laptop sebelum mata berat, bisa bilang ‘cukup’ kepada hal yang memang cukup.”
Ia menempelkan kertas kecil itu di belakang ponselnya. Malam itu, ia tidur seperti seseorang yang diantar pulang oleh dirinya sendiri.
Keesokan hari, di perempatan dekat kantor, lampu merah menahan puluhan kendaraan. Seorang penjual tisu mengetuk jendela mobil. Seorang lelaki muda di belakang kemudi menolak dengan isyarat, lalu membuka kaca sedikit: “Mas, minum dulu,” katanya, menyerahkan sebotol air. Penjual tisu tersenyum, mengangguk dalam-dalam. Lampu hijau menyala. Mobil bergerak pelan-pelan, seperti ucapan terima kasih yang panjang.
Maya berdiri di trotoar, menyaksikan adegan kecil itu. Di kepalanya, kalimat lain muncul seperti tembanner di situs berita: Kota yang baik tidak selalu sunyi; kota yang baik memberi tempat untuk menjadi manusia.
Ia melanjutkan langkah—tidak cepat, tidak lambat. Alon-alon asal kelakon bukan lagi lelucon di antara jam kerja, melainkan cara baru bekerja, cara lama menjadi manusia. Urip iku urup bukan lagi tulisan di kaus event budaya, melainkan cahaya kecil yang bisa ia bawa di saku, untuk dinyalakan ketika kantor mati lampu, ketika hati remang, ketika kota lupa pulang.
Di lift menuju lantai dua puluh tiga, refleksi wajahnya di dinding baja tampak lebih bulat, lebih hidup. “Selamat pagi,” katanya pada dirinya sendiri. Bukan sebagai affirmation yang dipaksa, tapi sebagai salam. Karena hidup, seperti kopi pahit di pagi hari, menjadi lebih bisa diminum ketika diterima apa adanya.
.
.
.
Jember, 28 Agustus 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KehidupanPerkotaan #KelasMenengahAtas #KemewahanSejati #PituturJawa #BudayaKerja #SlowMorning #UrbanMindfulness