Jam Hening di Tengah Bising

“Kadang cara paling cepat untuk maju adalah memutus koneksi sejenak, lalu mendengarkan ulang suara kita sendiri.”

.

Malam itu, lampu-lampu Jakarta seperti bintang yang turun rendah: menyenggol dahi gedung-gedung tinggi, menabrak kaca-kaca kantor yang belum sepenuhnya gelap, menetes di aspal basah bekas hujan. Jayengrana berdiri di tepi jembatan penyeberangan dekat Dukuh Atas, mengawasi arus manusia yang mengalir seperti kalimat-kalimat yang lupa tanda titik. Di tangannya, ponsel berkedip tak putus; nada getarnya seperti bel sekolah yang paksa anak-anak kembali ke kelas.

Ia mendongak, mengamati pesawat yang melintas, memanjang jadi garis keperakan. Lalu ia mengetuk ikon kecil di layar: mode pesawat. Getar berhenti. Notifikasi membeku. Kota seolah mengecil satu nada.

Jayengrana menutup mata. Hening mengalir dari telinga, lalu menabrak dadanya seperti ombak kecil. Ia lupa kapan terakhir kali merasakan diam tanpa merasa bersalah. Ia ingat obrolan terakhir dengan Kelaswara, anak perempuannya yang sepuluh tahun: “Ayah, kalau ayah sibuk, boleh aku cerita ke kucing?” Kelaswara tertawa waktu itu, tawa yang pendek karena terbiasa disela. Jayengrana menelan rasa yang sejak lama ia tangguhkan: rasa kalah pada kebisingan.

.

Siang tadi, ruang rapat di lantai dua puluh memerangkapnya dalam layar-layar besar. Kampanye iklan terbaru—kolaborasi dengan influencer dan merek raksasa—diperiksa kata per kata. Adaninggar, rekan kreatif yang selama ini jadi mitra sekaligus penyeimbangnya, menatapnya lama. “Kamu hadir,” katanya pelan, “tapi kamu tidak ada.”

Kalimat itu melekat seharian, seperti sisa parfum yang tertinggal di kemeja. Jayengrana tahu ia kehilangan sesuatu. Ia masih berfungsi, kampanye jalan, target terlampaui. Namun ada jam yang retak di dalam dirinya: detiknya berlari tapi tak pernah benar-benar sampai.

Jam enam sore ia turun ke jalan, menolak ajakan makan malam tim. Ia menyelinap ke kerumunan, menyapu trotoar yang disulap jadi plaza. Di dekat stasiun, seorang pemusik jalanan menyanyikan lagu yang dulu dinyanyikan ibunya, Rengganis, saat menidurkannya: lagu lama tentang perahu, angin, dan doa-doa yang minta jalan pulang. Jayengrana berhenti. Saat itulah, ia mematikan data, menyalakan mode pesawat.

Tanpa berniat, ia berjalan mengikuti suara lagu ke arah kali kecil yang dilingkari beton. Bau air yang masam seperti buku tua. Di warung kopi pinggir kali, Umar Madi—ojek daring yang sedang menepi—menawarkan tempat duduk. “Hujan barusan membuat aspal licin,” katanya, “dan hidup juga.”

Jayengrana tersenyum. “Bagaimanapun, orang tetap butuh sampai.”

Umar Madi menunjuk ponsel Jayengrana. “Kok mati?”

“Mode pesawat.”

“Biar enggak diomelin pacar?”

“Biar aku dengar suara sendiri.” Jawaban itu meluncur lebih cepat dari sadarnya sendiri.

Umar Madi tertawa. “Kalau Anda bisa dengar, sampaikan juga suara saya. Saya kadang merasa hidup ini seperti aplikasi: minta verifikasi terus. Padahal jalan kaki juga nyampe.”

Mereka tertawa bersama. Hening berikutnya lebih lembut. Dari kejauhan, klakson bersahutan seperti burung-burung yang kabur dari pohon.

.

Jayengrana pulang naik KRL yang tak terlalu penuh. Ia sengaja berdiri dekat pintu. Ponsel di sakunya seperti batu yang akhirnya berhenti bicara. Di kaca jendela, wajahnya memantul berdamping, berlapis bayangan lampu stasiun. Ia memperhatikan matanya sendiri—ada lingkar yang menebal, seperti garis sikut yang terlalu sering menahan payung.

Ia turun di stasiun kecil dekat rumah. Hujan belum benar-benar pergi: sisa gerimis menggambar jarum-jarum halus. Di bawah atap ruko, seorang gadis bergaun sekolah menunggu dijemput. “Ponselku habis baterai,” katanya pada perempuan yang menunggu di sisi lain. “Rasanya dunia jadi lambat.”

Jayengrana melangkah, tersenyum ke gadis itu. “Kadang dunia memang perlu dilambatkan.” Gadis itu mengangguk ragu, seperti menerima permen dari orang asing.

Di rumah, lorong apartemen memantulkan bau sabun cuci dan sup instan. Jayengrana berhenti di depan pintu. Dari dalam terdengar suara Kelaswara, bercampur bunyi sendok menghantam mangkuk. Ia mengetuk dua kali.

Kelaswara membuka, matanya bulat. “Ayah pulang cepat.”

“Iya.” Jayengrana membungkuk pura-pura memeriksa jam: “Sepertinya jarum jam di kantor masih mencari jalan pulang.”

Kelaswara tertawa. Di meja makan, Rengganis—yang datang seminggu untuk membantu menjaga cucu—menghidangkan sup bening. “Kamu pucat,” katanya, “dan cistern hatimu sepertinya bocor.” Ibu selalu menggunakan analogi yang sederhana; ia mengerti apa yang tak diucapkan.

“Saya menambal dengan mode pesawat,” kata Jayengrana. Rengganis mengangguk, seolah kata itu doa.

Malam itu, mereka makan tanpa televisi. Kelaswara bercerita tentang tugas seni: membuat peta kota dari potongan majalah. “Bu guru bilang, kota bukan cuma gedung. Kota juga orang-orang yang menunggu.” Ia memamerkan peta setengah jadi: kertas-kertas warna yang ditempel miring; di satu sudut, gambar halte; di sudut lain, sebuah bangku taman.

“Kalau kota adalah orang yang menunggu,” Jayengrana berkata, “maka ayah selama ini jadi jam yang terburu-buru.” Ia menarik napas, menatap anaknya. “Besok ayah antar kamu ke sekolah.”

“Serius?” Mata Kelaswara memantul seperti lampu lalu lintas saat hujan. “Tapi ayah kan… meeting.”

“Besok, mode pesawat.”

Kelaswara mengacungkan jempol, lalu menempelkan telinga ke dada ayahnya, mengecek “notifikasi” jantung. “Masih aktif,” katanya. Jayengrana tertawa, air hangat menggenang di kelopak.

.

Pagi berikutnya, Jakarta bangun dengan suara klakson yang santun dan wangi roti dari gerobak keliling. Jayengrana benar-benar menepati janji: ia mematikan data, mengantar Kelaswara sampai pagar sekolah. Di jalan, ia mengamati hal-hal kecil yang selama ini ia selesaikan dengan scroll: tukang parkir yang mengatur seperti dirigen, penjual koran yang hafal nama pelanggan, seorang perempuan yang menuntun ibunya menyebrang dengan sabar.

Adaninggar menelpon dua kali—Jayengrana melihat layar menyala tapi membiarkannya lewat seperti kereta ekspres. Ada rasa bersalah yang mencoba mengetuk, tetapi ia menahannya seperti menahan batuk di ruang seminar. Nanti, ia akan menjelaskan. Pagi ini, ia ingin mendengar kaki sendiri.

Setelah mengantar Kelaswara, Jayengrana berjalan ke taman kecil di balik gang. Di sana, Umar Maya—tetangga yang bekerja paruh waktu sebagai teknisi printer—sedang memperbaiki bangku yang jebol. “Kalau bangku rusak,” katanya, “orang tetap bisa duduk di lantai. Tapi lantai dingin. Kita belajar memperbaiki yang jadi tempat orang singgah.”

Jayengrana membantu memegang papan. Mereka bekerja dalam diam. Setelah selesai, Umar Maya menyodorkan roti. “Kamu kelihatan lain.”

“Mode pesawat,” jawab Jayengrana, dan Umar Maya tertawa.

“Mode pesawat itu untuk terbang?”

“Untuk mendarat.”

Matahari merambat di daun-daun. Jayengrana merasakan sesuatu yang sederhana: waktu yang berjalan tanpa diusir. Ia menumpang angkot menuju kampung halaman kecil yang tersisa di tengah kota, tempat Rengganis dulu menjual kue. Ia membeli beberapa kotak, menuliskan di secarik kertas nama-nama pelanggan yang diingat ibu: Bu Sari yang selalu meminta tambahan serundeng, Pak Budi yang suka kuenya lebih gosong. Ia mengelilingi gang; beberapa rumah masih ada, beberapa sudah berganti ruko. Di satu teras, seorang perempuan tua tersenyum: “Anaknya Rengganis, ya?”

Jayengrana mengangguk, menahan perasaan yang ingin membludak seperti air setelah bendungan dibuka. Ia membicarakan hal-hal sederhana yang dulu ia sepelekan: bagaimana mengenali kualitas beras lewat ujung jarinya, bagaimana menyimpan bawang agar tak cepat tumbuh. Perempuan itu bercerita tentang anaknya yang merantau, pulang setahun sekali sambil mengecek email di ruang tamu. “Katanya pekerjaannya menyelamatkan dunia,” ucapnya, “tapi mungkin dunia di layar lebih berat daripada baju di jemuran.”

Sore, Jayengrana duduk di masjid kecil di ujung gang. Ia tidak sedang berdoa secara formal; ia memejam mata, membiarkan suara azan menyusup pada celah-celah ingatan. Ia teringat ayahnya yang jarang berbicara, tapi selalu menanyakan satu kalimat: “Kamu sudah makan?” Di kota, cinta sering dieja lewat pertanyaan sederhana: sudah minum, sudah istirahat, sudah pulang. Ia tertawa sendiri—ternyata ia mengerti bahasa itu terlambat.

.

Malamnya, Adaninggar datang ke apartemen membawa tumpukan draf. Rengganis sedang menidurkan Kelaswara; lampu ruang tamu disetel redup. Adaninggar menatap Jayengrana dengan senyum setengah. “Kamu menghilang.”

“Aku muncul di tempat lain.”

Adaninggar meletakkan draf. “Aku tahu kamu capek. Tapi deadline tetap deadline.”

“Aku akan tetap bekerja.” Jayengrana menunjuk dadanya. “Cuma aku ingin mengingatkan diri sendiri bahwa di sini,” ia menepuk pelan, “ada listrik yang bukan dari colokan kantor.”

Adaninggar menghela napas. “Kamu mengajariku banyak hal soal kata-kata, Jay. Kamu yang bilang, ‘Iklan yang baik harus punya ruang untuk bernafas.’ Kenapa kamu sendiri tak mau bernapas?”

Jayengrana tersenyum. “Itu yang sedang kucoba.” Ia lalu menceritakan perjalanannya hari itu: bangku taman yang diperbaiki, peta kota Kelaswara, roti ibu, perempuan tua yang menyebut dunia layar. Adaninggar mendengar tanpa menyela, sesuatu yang jarang terjadi dalam rapat-rapat mereka.

“Besok kita presentasi,” kata Adaninggar setelah lama hening. “Aku ingin kamu hadir—bukan hanya datang.”

“Aku akan datang sebagai orang yang bisa hilang tanpa internet. Kita gulirkan ide yang pelan.” Jayengrana mengedip, setengah bercanda. “Ada slot satu menit untuk sunyi di tengah video. Mau?”

Adaninggar tertawa. “Sunyi di iklan? Kamu mau bikin merek kita dikira sinyalnya putus?”

“Sunyi sebagai pesan. ‘Matikan sejenak. Dengarkan ulang.’ Kalau merek berani memberi jeda, orang ingat bahwa manusia penting lebih dari produknya.”

Adaninggar menatapnya kagum, atau barangkali bingung. “Kita coba.”

Sebelum pulang, Adaninggar mendekat. “Kamu tahu, Jay, dalam mode pesawat, kamera masih bisa memotret. Mungkin kita selama ini lupa: fungsi inti tetap ada meski tanpa notifikasi.”

Jayengrana mengangguk. “Dan manusia tetap bisa mencinta tanpa tanda centang biru.”

.

Presentasi keesokan harinya berlangsung seperti jalannya hujan: mulai rintik, lalu deras, lalu reda dengan aroma tanah basah. Di tengah video kampanye, ada satu menit yang sengaja dibiarkan tanpa suara—menampilkan orang-orang biasa menutup mata: sopir metromini, kasir minimarket, anak sekolah di halte, ibu yang menimang bayinya. Selama jeda itu, ruangan rapat ikut hening. Jayengrana merasa jantungnya mendengar ulang sendiri. Di akhir video muncul kalimat: “Hidup tidak butuh setiap notifikasi untuk tetap berlangsung.”

Klien menatap lama sebelum bertepuk tangan. “Ini berani,” katanya. “Kita lupa bahwa keheningan bisa jadi mesin yang baik.”

Setelah rapat, ponsel Jayengrana kembali penuh pesan. Ia tidak mematikannya sepenuhnya—ada hal-hal yang memang perlu dijawab. Tetapi ia menepati janji kecil yang ia buat untuk dirinya sendiri: setiap malam, satu jam sebelum tidur, ia akan menyalakan mode pesawat. Jam itu ia sebut “Jam Hening”.

Pada Jam Hening pertama, ia dan Kelaswara duduk di lantai ruang tamu. Mereka menyusun peta kota versi baru. Jayengrana menempel gambar pohon di tempat parkir, memasang bangku di halaman kantor, menambahkan jembatan di atas sungai gelap. “Supaya orang yang menunggu bisa duduk, dan orang yang lelah bisa lewat,” katanya. Kelaswara menambahkan gambar pesawat kecil di atas gedung-gedung. “Supaya kita tidak lupa untuk mendarat.”

Rengganis menyeduh teh. “Di kampung,” katanya, “orang menyebut jeda sebagai ‘ngaso’. Ada ilmu yang hanya bisa kita dengar saat ngaso.” Jayengrana memandang ibu. Di matanya, ada pantulan masa lalu yang mengajari masa kini untuk menepi.

.

Tiga minggu berlalu. Mode pesawat menjelma kebiasaan kecil yang menyehatkan. Jayengrana memperhatikan perubahan halus: amarahnya tak lagi secepat tombol kirim; ia lebih sering mengucap “terima kasih” pada petugas kebersihan di kantor; ia menghafal nama anak penjual sate di bawah apartemen—namanya Kelaswara juga. Di lift, ia menahan pintu untuk orang yang berlari; di trotoar, ia memungut kertas iklan yang terbawa angin. Hal kecil, tapi seperti ember yang pelan-pelan mengisi kolam.

Suatu malam, ia dan Adaninggar diminta ke Surabaya untuk mempresentasikan ulang ke kantor regional. Di pesawat benar—bukan sekadar mode—Jayengrana memejamkan mata saat take off. Di atas awan, ia merasa jarak punya bentuk: kesempatan untuk melihat yang biasa tampak baru. Di sela kabut, ia menulis untuk Kelaswara:

“Anakku, hidup adalah bandar udara. Kita akan sering mendarat dan lepas landas. Jangan lupa, yang membuat pesawat bisa terbang bukan hanya mesin, tapi juga sayap yang tahu kapan menutup, kapan merapat.”

Di Surabaya, selepas presentasi yang sukses, mereka menyempatkan diri menyeberang ke Madura—bukan untuk urusan klien, melainkan untuk menepati janji pada diri sendiri: pulang ke cerita. Di Pamekasan, Jayengrana mendengar kisah-kisah lama Menak Madura dari seorang tukang becak yang juga dalang kelana. Nama-nama itu berloncatan seperti layang-layang: Jayengrana, Adaninggar, Kelaswara, Umar Maya, Umar Madi—menjelma tokoh-tokoh yang bertarung bukan melawan musuh, melainkan melawan bising di kepala mereka sendiri.

“Dulu para ksatria itu berkelana, mencari suara paling dalam,” kata si dalang. “Sekarang orang berkelana di layar. Tapi tetap, yang dicari sama: alasan untuk pulang.”

Jayengrana dan Adaninggar saling pandang. Malam itu, di atas jembatan Suramadu yang gemerlap, mereka menyalakan mode pesawat. Angin menampar wajah mereka dengan hangat. Jayengrana merasa, untuk pertama kali dalam waktu lama, ia tidak dikejar-kejar apa-apa.

“Jay,” kata Adaninggar, “kalau suatu hari kita kehabisan sinyal, apa yang kamu takutkan?”

“Takut lupa sambung pada orang-orang yang kucintai.”

“Lalu?”

“Lalu aku belajar menyambung dengan cara lain.”

Mereka tertawa kecil. Kota di belakang mereka seperti peta yang tertata di meja: ada jalan yang terang, ada gang yang misterius. Mereka tahu tidak semua cerita memerlukan ending besar. Kadang yang dibutuhkan hanya lampu kecil di teras, tanda bahwa rumah masih menunggu.

.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah malam yang basah oleh hujan Oktober, Jayengrana mengantar Kelaswara tampil di pertunjukan paduan suara sekolah. Ia duduk di baris ketiga, di sebelah Rengganis yang membawa termos kecil. Saat lagu pembuka dibunyikan, Kelaswara menoleh ke arah ayahnya. Jayengrana mengangkat ponsel, lalu—bukannya merekam—ia menekan ikon pesawat. Kelaswara tersenyum lega; senyum yang seperti lampu hijau untuk hati yang ragu.

Lagu yang dinyanyikan adalah lagu lama tentang perahu, angin, dan doa. Jayengrana tidak punya jejak digital malam itu. Yang ia punya adalah ingatan yang utuh: suara Kelaswara yang bergetar sedikit pada nada tinggi, senyum kawan sebangkunya yang menular, dan rasa hangat termos teh ibu yang berpindah dari tangan ke dada.

Sepulangnya, mereka melewati jembatan yang sama tempat ia pertama menyalakan mode pesawat. Jayengrana menatap kota yang tetap sibuk, tetap berpendar. Ia menunduk pada Kelaswara. “Apa kota itu?” tanyanya, ingin menguji definisi anaknya.

“Kota itu orang-orang yang menunggu,” jawab Kelaswara, setengah bangga karena ayahnya ingat. “Tapi juga orang-orang yang pulang.”

Jayengrana mengangguk. Ia merasakan sebuah kalimat tumbuh di dalam dadanya, kalimat yang ingin ia simpan seperti alamat rumah:

“Kita tidak perlu setiap suara untuk tetap hidup. Kita hanya perlu suara yang benar—yang membuat kita berfungsi, tumbuh, dan mencipta.”

Ia menggenggam tangan Kelaswara, mengaitkan jarinya pada jari kecil itu. Mereka melangkah pelan, membiarkan malam menutup pintu kota seperti ibu menutup selimut pada anaknya. Di saku, ponsel tetap sunyi. Dalam dirinya, suara yang lama tertimbun akhirnya terdengar: bukan teriakan, melainkan bisik yang sabar: pulanglah, lalu terbanglah lagi.

.

Keesokan harinya, di kantor, sebuah paket kecil tiba untuk Jayengrana. Tanpa pengirim. Isinya sebuah catatan tangan:

“Orang kota sering lupa, pesawat dibuat untuk tinggalkan tanah,
tapi manusia dicipta untuk menjejak.
Jangan ragu mematikan sinyal ketika hatimu perlu menyala.”

Tidak ada tanda tangan. Mungkin Adaninggar. Mungkin klien yang diam-diam tersentuh. Atau mungkin kota sendiri, yang memberikan hadiahnya pada mereka yang berani menepi. Jayengrana menempel catatan itu di dinding kerja, tepat di atas jam. Ia tersenyum. Jam itu tak terasa mengejar lagi.

Hari-hari berikutnya mengalir seperti sungai yang belajar bernyanyi. Ada rapat yang tiba-tiba kacau, ada proyek yang gagal di menit terakhir—kota tetaplah kota, penuh logistik dan kejutan. Tapi Jayengrana menemukan cara baru: ketika jantungnya kembali jadi kotak masuk penuh, ia pergi sebentar ke balkon, menatap langit, menekan ikon kecil itu. Mode pesawat. Hening. Napas. Kembali.

Pada suatu Jumat sore, sebelum beranjak pulang, ia menulis pesan untuk tim, ditempatkan di papan pengumuman digital kampanye mereka:

“Ketika kamu menyalakan mode pesawat, kamera masih memotret, musik masih bermain, catatan tetap tersimpan. Kita pun begitu. Kita masih bekerja, kita masih tumbuh, kita masih mencipta—tanpa harus menerima setiap gangguan.”

Pesan itu disertai ajakan: setiap Jumat, pukul empat sampai empat lewat lima, semua anggota tim mematikan notifikasi. Jeda Lima Menit. Di ruang kantor, lima menit itu terasa aneh pada awalnya. Namun perlahan, mereka belajar mendengar ulang: suara keyboard yang berhenti, kursi yang tidak lagi berderit, napas yang serempak. Ada yang memejamkan mata. Ada yang menertawakan diri sendiri karena ingin spontan mengambil ponsel. Ada yang tiba-tiba menemukan kalimat yang hilang. Lima menit jadi semacam doa yang sekuler.

.

Suatu malam, ketika hujan memandikan kota dengan sabar, Jayengrana duduk di teras apartemen kecilnya. Kelaswara sudah tidur; Rengganis menonton sinetron dengan volume kecil. Adaninggar mengirim pesan singkat: Sunyi lima menit barusan bikin aku ingat ayahku. Ia selalu menepuk pundakku sebelum ujian, tanpa kata-kata. Mungkin dulu ia sedang mematikan notifikasi di hatinya—untukku.

Jayengrana membalas: Kita semua sedang belajar jadi manusia yang bukan hanya online, Ninggar.

Ia menutup ponsel, menatap jejak air di pegas pagar. Ia merasa bukan lagi jam yang terburu-buru. Ia adalah pendengar yang akhirnya duduk di baris depan. Dan di suatu tempat di atas sana, di rute yang dilalui pesawat-pesawat malam, ada garis yang mengikatnya pada orang-orang yang dicintainya: tidak terlihat, namun nyata.

Ia menarik napas panjang, mengingat kalimat yang ia tempel di dinding.

“Terkadang cara paling cepat maju adalah memutus koneksi sejenak, supaya kita bisa mendengar diri sendiri dan memilih arah dengan sadar.”

Kota bergemuruh di kejauhan, tetapi di teras itu, malam seperti menunduk dan memberi ruang. Jayengrana menutup mata. Ia tidak lagi takut pada jeda. Ia tahu, dalam mode pesawat, hati justru menemukan udara yang hilang.

.

.

.

Jember, 28 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #ModePesawat #Hening #ArswendoVibes #UrbanIndonesia #AyahAnak #JedaLimaMenit #MenakMadura #DigitalDetox #KompasMingguStyle

Leave a Reply