Saat Kata Menjadi Cahaya

“Di kota yang bising, kata-kata yang lembut justru paling lama tinggal di dada.”

.

.

Pagi di Atas Trotoar

Jakarta melompat dari tidur seperti alarm yang tak pernah padam. Dari jembatan penyeberangan halte Tosari, Retna melihat deretan kepala mengalir seperti arus yang tak kenal muara. Ia menempelkan kartu di mesin pemindai—bunyi bip kecil terdengar, seolah izin untuk memasuki babak harian yang itu-itu lagi.

Angin dari jalan protokol membawa bau aspal, kopi sachet, dan sedikit hujan yang tertahan di daun trembesi. Di bawah, ojek melambai-lambaikan tangan, pedagang koran bersiul, dan anak sekolah berlari sambil memeluk map plastik. Kota bergerak—kadang gagap, kadang gagah—tapi selalu bergerak.

Retna menggenggam buku catatan tipis. Di halaman pertama, tulisan ibunya terbaca rapih: ajining diri saka lathi. Harga diri lahir dari lisan. Dua tahun di Jakarta membuat kalimat itu berubah dari pitutur jadi kompas. Bukan untuk mengatur orang lain, melainkan mengarahkan dirinya sendiri: kapan bersuara, kapan diam, dan terutama, bagaimana memilih kata yang membuat orang bergerak—bukan berhenti.

Bus datang. Ia masuk, berdiri di dekat jendela. Di kaca, pantulannya tampak lebih lelah daripada semalam, tapi ada sesuatu yang tetap menyala di matanya—keyakinan yang pelan, tapi tekun.

.

Ruko Kaca, Lantai Delapan

Kantor Retna menempati dua lantai sebuah ruko kaca—agak ke sisi Thamrin tapi tak cukup mewah untuk disebut kantor pusat. Plafon rendah, dinding putih yang dipenuhi poster motivasi, meja-meja kayu pinus yang meninggalkan bekas cangkir. Di pojok, mesin fotokopi berdengung—musik latar yang tak pernah selesai.

Tim kecilnya punya nama-nama yang seperti ditarik dari kisah lama: Hamzah, Umarmaya, Umarmadi, dan Lela. Mereka sering tertawa saat ada yang bercanda, “Ini kantor konsultan komunikasi atau panggung hikayat?” Tapi justru nama-nama itulah yang menempel di kepala, mengikat mereka dalam semacam persaudaraan halus.

Hamzah mengurus client relations; bertubuh tinggi, langkahnya panjang, bahunya seperti pagar yang membuat orang merasa aman. Umarmaya, desainer yang terlalu mencintai font; lincah dalam otak, licin dalam ide. Umarmadi, orang IT merangkap teknisi; tak banyak bicara, tapi ia paham kabel mana yang bisa diajak kompromi, dan laptop mana yang harus disalati dulu sebelum dinyalakan. Lela, anak baru lulusan kampus negeri; matanya selalu tampak baru—seperti kota yang ia lihat untuk pertama kali setiap hari.

Rapat pagi berlangsung riuh. Sore nanti ada presentasi penting untuk klien perusahaan transportasi digital—bukan soal pariwisata, bukan soal hotel—tapi tentang bagaimana menyusun bahasa untuk kampanye keselamatan kota: zebra cross, helm, sabuk pengaman, dan kebiasaan kecil yang mencegah musibah besar.

“Visual belum final,” ujar Umarmaya. “Aku terjebak di warna. Kalau pakai biru, terlalu dingin; oranye, terlalu berteriak.”

“Kata-kata dulu,” kata Retna pelan. “Narasinya ‘perjalanan manusiawi’. Warna mengikuti rasa—hangat tapi tegas.”

Hamzah menoleh, mengangkat alis. “Kamu pimpin susunan kalimatnya?”

Retna meneguk air. “Aku coba.”

Ia menuliskan kalimat pembuka di layar: “Kota aman bukan karena kita takut pada aturan, tapi karena kita saling menjaga.” Ruang rapat mendadak tenang; kalimat itu jatuh seperti batu ke sumur—memberi gema.

“Bagus,” gumam Lela. “Kayak obrolan bapak-bapak di pos ronda, tapi berpendidikan.”

Mereka tertawa. Retna menghela napas. Ngeli ning ora keli—mengikuti arus tapi jangan hanyut. Ia menambatkan diri pada kata-kata.

.

Kos-Kosan di Senen, Dinding Tipis

Malam itu, di kamar kos 21 meter persegi di Senen, Retna menyalakan kipas angin. Suara kompor tetangga terdengar samar. Ia menulis lagi di bukunya, kali ini bukan pitutur, tapi daftar kalimat alternatif untuk keadaan-keadaan yang sering menegangkan:

  • “Ini sulit” → “Ini menantang, dan kita cari jalan keluarnya bersama.”

  • “Kita salah” → “Terima kasih sudah mengingatkan; mari kita perbaiki.”

  • “Saya tidak tahu” → “Izinkan saya mengecek dan kembali memberi jawaban.”

Ia tak sedang memaniskan kebohongan; ia sedang mencari kedewasaan di balik kalimat. Kata, pikirnya, bukan sekadar suara; ia juga sikap.

Di layar ponsel, ibunya mengirim pesan suara: “Nduk, sabar iku laku utama. Tapi sabar bukan diam. Sabar itu menyiapkan langkah, alon-alon waton kelakon—pelan, tapi sampai.”

Retna menutup mata. Di luar, klakson masih menyalak. Jakarta tak pernah kehabisan suara. Ia harus belajar menempatkan suaranya sendiri—tidak melawan bising, tapi menembusnya.

.

Yang Terselip di Ruang Rapat

Sore itu, klien datang. Bukan di hotel megah, hanya di ruang rapat kantor: proyektor menggantung miring, kopi sachet, biskuit dalam kaleng yang selalu berisik jika dibuka. Satria, bos besar, menggelengkan kepala menatap jam. “Jangan ada kesalahan.”

Lalu terjadi hal klasik kota: listrik kedap-kedip, laptop utama nge-freeze, file presentasi tak mau dibuka. Sepuluh menit berlalu, jantung semua orang menabuh genderang.

“Batal?” bisik seseorang.

Retna mengangkat tangan. “Mulai saja tanpa slide. Saya buka dengan cerita. Visual menyusul.”

Satria terlihat ragu, tapi mengangguk. “Silakan.”

Retna berdiri. “Setiap pagi, Jakarta mengangkat jutaan orang ke punggungnya. Sebagian melompat dari ojek ke bus, dari bus ke kereta. Di persimpangan, mata lelah menimbang, apakah menyeberang sekarang atau menunggu satu menit lagi. Kampanye ini bukan tentang aturan; ini tentang saling menolong orang yang tak kita kenal. Tentang pulang dengan selamat.”

Kalimat yang dikumpulkan di kamar kos semalam tiba-tiba menemukan tuan rumahnya: ruang rapat. Orang-orang menatap, senyap berubah jadi dengar. Saat file akhirnya bisa dibuka, Retna sudah menanam akar di hati mereka. Slide menjadi pelengkap, bukan penyelamat.

Usai presentasi, perwakilan klien berkata, “Kalimat kalian tidak menyuruh; diajak merasakan. Itu yang kami cari.”

Satria tersenyum—tipis, tapi ada. Di lift, ia berkata, “Kamu yang paling tenang di ruangan itu.”

“Tidak juga,” sahut Retna. “Tapi aku tahu apa yang ingin kusampaikan.”

.

Forum RW di Taman Kota

Minggu sore, Retna menunggu bus di halte dekat sebuah taman RW di Cikini. Ia mendengar pengeras suara: forum warga membahas trotoar yang akan dibongkar untuk pelebaran jalan. Warga cemas kehilangan pohon rindang; petugas memikirkan kemacetan.

Ketua RW meminta masukan. Suara naik turun. Seorang bapak berteriak, “Pohon bukan cuma daun!”

Seorang petugas menjawab, “Kalau macet, panjenengan juga yang mengeluh.”

Hamzah—yang kebetulan tinggal tak jauh—melambai pada Retna, mengajaknya menepi dan duduk. “Dengar? Ini Jakarta versi tanpa jas. Semua jadi ahli.”

Retna tersenyum. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Begitulah.”

Ketika forum hampir bubar—tanpa keputusan—seorang ibu paruh baya berdiri. “Saya tidak paham istilah teknis. Tapi saya paham panas,” katanya, sambil mengipas. “Kalau pohon ditebang semua, nanti cucu saya main di mana?”

Retna mengangkat tangan pelan. “Apakah boleh saya bantu merangkum? Saya bukan siapa-siapa, hanya warga yang lewat.”

Semua menoleh. Ketua RW mengangguk. “Silakan.”

Retna melangkah ke depan. “Bapak-Ibu, bagaimana kalau begini: bukan ‘pohon vs macet’, tapi ‘sebagian pohon diselamatkan, sebagian jalan ditata ulang’. Kita minta kaji ulang desain—minim tebang, maksimal teduh. Kita usulkan jalur pejalan kaki yang benar-benar aman, bukan sekadar dicat. Dan kita minta jadwal kerja yang manusiawi, agar debu tak masuk rumah 24 jam.”

Forum mengangguk-angguk. “Ketua RW,” sambung Retna, “mari sepakati tiga tuntutan: desain ulang yang transparan, keterlibatan warga dalam uji lintasan, dan kompensasi hijau setelah proyek. Kita buat kalimatnya jelas.”

Ketua RW menatap Retna lama-lama, lalu tersenyum. “Rukun agawe santosa. Kalau kalimatnya bening, hati orang ikut jernih.”

Malam itu, Retna membantu menulis surat warga. Tanpa kemarahan, tanpa ejekan; dengan penjelasan dan ajakan. Ia belajar bahwa bahasa yang baik bukan yang mengalahkan lawan—tapi yang mengundang lawan duduk di kursi yang sama.

.

Luka yang Tiba-Tiba

Senin pagi, luka datang dari arah tak diduga. Dua akun anonim menuding presentasi kemarin adalah plagiasi dari kampanye luar negeri. Foto potongan kalimat disandingkan untuk menuding “sama”. Thread berkembang, komentar berdatangan, dan kantor Retna ditandai layaknya alamat untuk dilempari batu virtual.

Umarmaya panik. “Ini bisa habis-habisan.”

Satria mengetik cepat, tapi Retna menahan. “Jangan membantah dengan emosi. Kita klarifikasi dengan cara yang tidak mempermalukan, tapi menjelaskan.”

“Gimana?”

Retna menulis draf tanggapan:

“Terima kasih telah mengingatkan. Dalam dunia komunikasi, ada nilai umum yang sering serupa karena berbicara pada kemanusiaan yang sama. Kalimat kami lahir dari riset dan dialog dengan warga kota. Untuk menghormati semua pihak, kami sertakan referensi terbuka, proses perumusan, dan kami mengundang diskusi sehat. Jika ada kalimat yang dianggap menyinggung, kami siap memperbaiki.”

Tanggapan itu diunggah. Komentar masih deras, tapi nada perlahan berubah. Seorang jurnalis menulis, “Jarang ada kantor yang menjawab tidak defensif.” Seorang warganet membalas, “Mereka ngaku manusia, bukan malaikat. Oke lah.”

Retna menutup laptop. Dadanya sakit—bukan karena dituduh, tapi karena ia tahu, reputasi dibangun bertahun-tahun, dirontokkan dalam semalam. Ia menatap buku pitutur: becik ketitik, ala ketara. Yang baik akan tampak, yang buruk pun terbuka. Tugasnya bukan menutupi—melainkan memperbaiki.

Malamnya, ia berjalan ke mas-mas kopi di ujung gang. Hujan tipis jatuh. “Capek, Mbak?” tanya si mas.

“Capek adalah nama panggilan kota,” sahutnya. Mereka tertawa kecil. Di atas, kabel-kabel listrik menganyam langit seperti rencana-rencana yang tak pernah betul-betul rapi—tapi toh mengalirkan cahaya juga.

.

Ayah, Telepon, dan Keheningan

Di tengah ribut-ribut, telepon dari kampung datang: ayah Retna masuk rumah sakit karena asma. Suara ibunya bergetar, tapi tenang. “Nduk, fokusmu di sana juga penting. Ayah ditangani dokter. Sumeleh sing ora pasrah. Tenang yang bukan menyerah.”

Retna ingin pulang malam itu juga, tapi tiket mahal, jadwal padat. Ia memilih berada di dua tempat sekaligus: menyiapkan klarifikasi lanjutan, dan mengirim doa yang entah siapa yang pertama kali menulisnya—rupanya, doa diciptakan justru untuk jarak.

Ia merekam pesan suara untuk ayah:
“Yah, di kota ini aku belajar memilih kata. Semoga kataku cukup menyemangati, meski tak bisa mendampingi. Urip iku urup, ya? Hidup menyala ketika saling menguatkan.”

Ayah membalas dengan napas teratur. “Iki Saka?”—ayah selalu memanggilnya begitu, entah kenapa. “Sing sabar. Ngunduh wohing pakarti. Kowe lagi nandur. Siji-siji.”

Air mata jatuh. Ia menutup ponsel. Di luar, petir memilih jalan sunyi.

.

Jalan Kecil, Cerita Panjang

Beberapa hari kemudian, surat warga tentang trotoar mendapat jawaban: pemerintah setuju mengkaji ulang desain. Bukan kemenangan besar, tapi cukup untuk menyalakan semangat pos ronda. Pohon-pohon terpilih diselamatkan; jalur pejalan kaki direvisi dengan elevasi yang ramah kursi roda.

“Bahasa menyelamatkan pohon,” gumam Hamzah, berdiri bersama Retna di tepi taman. “Dan menyelamatkan orang dari panas.”

“Bahasa menyelamatkan orang dari merasa tidak didengar,” jawab Retna. “Itu lebih penting.”

Tiba-tiba Lela datang berlari. “Ada kabar!” katanya, terengah. “Klarifikasi kita dimuat media. Mereka bilang: ‘Ini contoh jawaban yang layak ditiru.’”

Umarmadi mengangkat jempol tanpa suara. Umarmaya—yang selalu ingin menambahkan sesuatu—kali ini hanya menutup mata sebentar, seperti menyimpan syukur.

.

Malam di Atap, Kota di Bawah

Suatu malam, listrik wilayah mereka padam. Atap kos jadi tempat berkumpul orang-orang yang biasanya tak saling sapa. Anak-anak menunjuk bintang—Jakarta jarang punya banyak bintang. Seorang bapak memainkan gitar, lagu-lagu lama yang bahkan retakan tembok hafal nadanya.

Retna duduk di samping Lela. “Kenapa kamu betah di kota ini?” tanya Lela.

“Karena di sini aku belajar, ‘yang paling didengar adalah hati’,” jawab Retna. “Di kantor, di pos ronda, di forum, di bus. Orang tidak selalu butuh solusi cepat. Kadang hanya butuh diajak melihat dari jendela yang lain.”

“Dan karena ada bakso enak di ujung gang,” sela Hamzah yang tiba-tiba muncul membawa mangkuk. Mereka tertawa. Tawa yang tidak tahu akan ditulis di mana dalam sejarah kota, tetapi cukup untuk menghangatkan lima menit berikutnya.

.

Kembali ke Meja Kerja

Pagi-pagi, Satria memanggil semua orang. “Kalian tahu, bukan cuma klien yang menilai kita,” katanya. “Kota juga menilai. Cara kita berbicara pada warga, pada warganet, pada haters, pada diri sendiri—itu yang membuat kita punya tempat.”

Ia menoleh pada Retna. “Kau pernah dibilang terlalu sunyi. Sekarang aku belajar dari caramu diam—diam yang menurunkan suhu ruangan, bukan membekukannya.”

Retna tersenyum samar. “Aku masih belajar, Mas. Semua orang masih belajar.”

“Justru itu,” timpal Satria. “Ojo dumeh. Jangan merasa menang hanya karena dipuji. Kebaikan yang ramai belum tentu bijak. Tapi kebaikan yang konsisten akan terdengar paling jauh.”

Mereka menyusun proyek baru: kelas komunikasi sukarela untuk komunitas warga—bukan kelas berbayar, bukan demi portofolio, hanya untuk berbagi. Lela mengusulkan nama: “Bahasa Saling Jaga.”

“Setuju,” kata Hamzah. “Kota ini perlu lebih banyak jaga, bukan jago.”

.

Hujan Besar

Hari Jumat, hujan besar datang seperti utang masa kecil yang menagih. Saluran air meluap; jalanan berubah jadi sungai dangkal. Di halte, orang-orang berkumpul, sepatu-sepatu basah, bau hujan bercampur sabun murah dan kesabaran.

Seorang ibu muda memeluk anaknya, bingung menatap peta rute. Retna menghampiri. “Ibu mau ke Cawang? Mampir di halte berikut, ganti koridor. Saya antar sampai tap in.”

Mereka berjalan pelan. Anak kecil memegang lengan Retna. “Mbak, kenapa airnya suka naik?”

Retna menatap air cokelat mengalir ke sela-sela trotoar. “Karena kita lupa berterima kasih pada tanah yang menelan air. Kita terlalu sering menutupnya dengan beton.”

Anak itu mengangguk, seperti mengerti. Atau mungkin hanya senang diajak bicara.

“Terima kasih, Mbak,” kata si ibu. “Jakarta tetap punya orang baik, ya?”

“Jakarta dibangun orang,” jawab Retna. “Dan di antara semua bangunan, kata-kata adalah jembatan yang paling murah—dan paling sulit.”

.

Malam Panjang, Pesan Pendek

Malamnya, kabar dari kampung datang lagi. Ayah Retna sudah boleh pulang. Nafasnya masih pendek, tapi matanya sudah ingin bercanda. “Kowe kapan bali?” tanya ayah.

“Begitu bisa, Yah,” kata Retna. “Aku kirim rekaman cerita kota. Biar ayah merasa di sini.”

“Aku wis rumangsa,” jawab ayah. “Saben krungu swara kowe.”

Retna mematikan ponsel, menatap langit-langit kamar yang retak halus. Ia menulis satu kalimat terakhir malam itu:

“Top performer bukan yang paling lantang, melainkan yang paling bertanggung jawab pada kata-katanya. Sebab kata adalah cahaya yang menuntun pulang.”

.

Yang Tertinggal Sesudah Tepuk Tangan

Bulan berganti. Presentasi demi presentasi lewat, forum warga berganti agenda, garis-garis hujan mengering di kaca. Jakarta berjalan—tidak pernah terlalu cepat, tapi tidak benar-benar pelan. Di antara ritme itu, Retna menemukan ritme kecilnya sendiri.

Kadang ia masih salah ucap; kadang ia terbawa marah. Kadang ia ingin berteriak di tengah kemacetan—siapa yang tidak? Tapi setiap kali, ia kembali pada pitutur: eling lan waspada. Ingat tujuan, waspada pada jalan.

Di hari Minggu, ia kembali duduk di warung kopi pinggir jalan. Anak-anak bersepeda, bapak-bapak main catur dari kardus bekas, ibu-ibu menawar cabai. Hamzah datang membawa koran, menaruhnya di meja.

“Ada berita tentang’ trotoar Cikini,” katanya. “Desain final: pohon besar tetap berdiri, trotoar lebih lebar, jalur sepeda lebih jelas.”

Retna mengangguk. “Kota ini belajar pelan-pelan.”

“Dari siapa?”

“Dari orang yang mau mendengarkan,” jawab Retna. “Bahkan ketika suaranya tidak menggelegar.”

Hamzah menatap lalu lintas, menarik napas. “Kamu tahu, kadang aku iri pada suaramu yang tidak memaksa.”

“Jangan iri. Tirulah,” balas Retna, setengah bercanda.

Mereka tertawa. Jakarta tersenyum dengan caranya sendiri: lampu merah yang memberi jeda, penjual koran yang memilihkan sudut berita terbaik, langit yang tiba-tiba biru setelah seharian abu.

Di dompet, Retna menyimpan secarik kertas kecil, catatan dari kelas sukarela pertama mereka di balai warga: ‘Yang paling didengar adalah hati. Kalimat hanya jalannya.’ Tulisan tangan Lela, hurufnya miring-miring, tinta hitamnya sedikit luntur kena keringat.

Retna menutup mata sejenak. Di kepalanya, kota berdesir seperti sayap yang sedang dilatih. Di dadanya, kata-kata menyala—bukan untuk memanaskan, melainkan untuk menerangi.

“Yang lembut bukan berarti lemah. Yang pelan bukan berarti tak sampai. Yang memilih kata-katanya—seringkali justru yang paling lama dikenang.”

Dan hari itu, untuk pertama kalinya sejak datang ke Jakarta, Retna benar-benar pulang saat melangkah. Bukan ke rumah, bukan ke kampung—melainkan ke dirinya sendiri.

.

.

.

Jember, 27 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraUrban #Jakarta #PituturJawa #Komunikasi #TopPerformer #SelfLeadership #CerpenKompasMinggu

Leave a Reply