Langkah-Langkah yang Tertinggal di Pundakku

“Perjalanan bukan tentang sejauh mana kaki melangkah, tapi sedalam apa kau pulang membawa makna.”

.

KOTA DAN KERETAKAN WAKTU

Jakarta pukul tujuh pagi tidak memberi ruang untuk bernegosiasi. Bunyi klakson menyayat udara, campur aroma bensin, roti panggang, dan kopi kapsul dari balkon-balkon apartemen menengah atas yang berjajar seperti lembaran catur raksasa. Di peron MRT Dukuh Atas, tubuh-tubuh berjas tipis bergerak dalam ritme yang telah dihafal: kartu tapping—pintu geser—langkah cepat—tatapan layar—headset. Di tengah irama tanpa cela itu, Galang berdiri diam seperti koma di kalimat yang terlalu panjang.

Ia baru saja kehilangan pekerjaan. Aplikasi perjalanan yang selama empat tahun terakhir menjadi kebanggaannya: tutup mendadak karena restrukturisasi investor. Ironis, pikirnya—ia yang menjual “liburan berkesan” justru tak pernah sungguh-sungguh berangkat ke mana pun selain rapat, pitching, laporan mingguan, dan lembur yang mematikan pelan-pelan. Tabungannya mengempis jadi angka dua digit. Asuransi kesehatan masih aktif, tapi masa depan terasa seperti lift yang macet di antara lantai—menggantung, tanpa tombol darurat.

Gedung-gedung kaca di kawasan SCBD memantulkan langit kelabu; yang kembali kepada mata Galang bukan wajahnya, melainkan siluet samar seorang laki-laki yang menolak tersenyum. Ketika arus orang-orang menelan peron, Galang justru melangkah keluar, menyeberang ke taman kota yang baru ditaburi rumput, dan duduk di bangku yang dingin. Ia membuka ponsel sekadar kebiasaan, bukan kebutuhan; notifikasi berhenti, tapi kekosongan terasa ramai.

Ada satu pesan menunggu dari Rengganis—teman lamanya semasa SMA yang dulu selalu menyelipkan penanda buku bertuliskan puisi ke saku seragamnya.

“Kapan terakhir kamu benar-benar pergi, Lang? Bukan pindah tempat, tapi pulang ke dirimu sendiri.”

Galang menutup layar. Kalimat itu seperti embun yang menyelinap ke dahi panasnya. Jakarta tetap berlari, tapi di dalam dadanya waktu mendadak tersandung.

.

TIKET TANPA TUJUAN

Tiga hari setelahnya, resepsionis apartemen menghubungi: ada paket kecil. Di dalam, Galang menemukan undangan reuni mini alumni SMA di Borobudur, selembar tiket kereta Gumarang, dan kartu pos bergambar relief. Tulisan tangan di baliknya ringkas:

“Kalau kamu berangkat, berangkatlah sebagai manusia. Bukan sebagai pegawai, bukan sebagai mantan siapa-siapa. Cukup sebagai kamu yang ingin menemukan.”

Tidak ada tanda tangan, tapi Galang tahu itu dari Rengganis. Ia menatap tiket, bukan meminta izin pada logika, melainkan pada luka. Dan malam itu, tanpa membuat daftar apa pun, ia naik kereta ekonomi premium dari Pasar Senen. Di hadapannya, jendela hanya menampilkan pantulan wajah sendiri: kantung mata, rambut mulai tipis di pelipis, dan guratan yang tidak datang dari usia, melainkan dari jam yang terlalu lama dipinjam kantor.

Ia membawa satu ransel, buku catatan kosong, serta pena tua peninggalan ayah—pena yang dulu ia pakai menulis catatan pelajaran sejarah tentang candi-candi yang kini memanggilnya. Tidak ada itinerary. Tidak ada target unggahan. Tidak ada ekspektasi. Hanya nafas yang hendak dipanjangkan.

Di kereta, ia duduk bersebelahan dengan seorang perempuan paruh baya yang membawa tas anyam berisi salak. Perempuan itu memperkenalkan diri—Arum—dan bertanya tujuan. “Borobudur,” jawab Galang. “Mencari apa?” tanya Arum sambil tersenyum. “Saya juga belum tahu,” jawabnya jujur.

“Yang penting kamu berangkat tanpa takut pulang,” kata Arum. “Yang takut pulang biasanya tak pernah benar-benar pergi.”

.

BOROBUDUR DAN SISA-SISA DOA

Fajar pertama menyentuh stupa, lembut seperti jari yang mengelus buku lama. Galang berdiri di sisi timur, menepi dari kerumunan yang menyalakan ponsel. Ada sesuatu yang diam-diam berdenyut di batu—entah doa atau debu abad, ia tak tahu. Yang jelas, sunyi di puncak candi tidak kosong; ia penuh dihuni nama-nama yang pernah mengucap makna.

“Sopo sing temen, bakal tinemu,” suara kakeknya berbisik dari celah kenangan—barang siapa bersungguh hati, akan menemukan.

Galang duduk di batu yang dingin. Ia membuka buku catatan—kosong yang bening—dan menulis: “Aku datang bukan untuk melihat, melainkan untuk diingatkan.” Ia menatap relief yang begitu telaten memahat cerita pada kerasnya batu. Di sana, ia merasa kisahnya sendiri sebenarnya tidak pernah betul-betul gagal; ia hanya lupa membaca.

Reuni mini berlangsung di homestay sederhana tak jauh dari candi. Sepuluh orang datang—cukup untuk mengembalikan satu masa ketika nama dipanggil tanpa gelar. Ada Samba yang kini jadi kurator galeri di Kemang; ada Manggala yang membuka biro hukum; ada Tole—anak Madura yang dulu paling sering menolong teman saat ulangan—kini pengusaha katering sehat. Mereka menertawakan potongan masa lalu, menentukan siapa yang dulu paling sering meminjam penghapus, siapa yang menulis puisi di belakang buku matematika.

Rengganis muncul belakangan, menenteng termos kopi dan dua cangkir enamel. Sinar lampu homestay memantul pada helai rambutnya yang memutih di kanan—garis waktu yang justru membuatnya tampak teduh.

“Aku tahu kamu akan datang,” katanya sambil menyodorkan cangkir.

“Aku hampir tidak jadi,” jawab Galang.

“Justru karena ‘hampir’ itulah kamu sampai,” ucap Rengganis, seolah mengembalikan kata ke tempatnya.

Malam itu, langit Borobudur berlangitkan bintang yang tidak ingin jadi pusat perhatian. Mereka berbincang tentang mimpi yang retak, karier yang berbelok, cinta yang pernah singgah lalu pulang tanpa kabar. “Hidup kita bukan CV, Lang,” kata Samba. “Ia album yang halaman-halamannya ingin sobek sekaligus disimpan.”

Galang mendengarkan. Untuk pertama kalinya, mendengar lebih menenangkan daripada menjelaskan diri.

.

DIENG DAN JEDA WAKTU

Reuni usai, orang-orang kembali ke kota masing-masing. Galang, entah kenapa, tak kembali ke Jakarta. Ia membeli tiket bus kecil ke Wonosobo, lalu menyeberang ke Dieng plateau. Udara memeluk tulangnya dengan dingin yang gentar. Di homestay milik seorang bapak tua yang suka bercerita—Mbah Lodra—Galang menemukan jeda. “Dieng itu rumah bagi yang sedang belajar menunggu,” kata Mbah Lodra sambil menuang teh panas di gelas kaca. “Kabut tidak pernah datang tergesa, tapi selalu tepat.”

Di teras kayu yang sempit, Galang menulis lebih banyak. Ia menulis tentang langit yang bisa diam lama tanpa merasa bersalah, tentang bukit yang tidak memamerkan puncaknya, tentang telaga yang menampung ragu tanpa berisik. Ia meminjam pitutur yang melekat di lidah orang Jawa—alon-alon asal kelakon—dan merasakannya bukan sebagai alasan untuk malas, melainkan ruang untuk merapikan napas.

Suatu pagi, di Telaga Warna yang memantulkan matahari, ia melihat seorang bocah menatap air lama-lama. Bocah itu menunjuk ke permukaan yang berkilau, “Bapak bilang warna air berubah-ubah karena sinar matahari dan sulfur. Jadi perasaan juga wajar berubah-ubah, Mas.” Galang tersenyum. Kadang yang dewasa bukan usia.

Rengganis mengirim pesan: “Kalau kamu mau, ikut aku ke Ubud. Ada sanggar tari yang buka kelas untuk anak-anak kampung. Mereka butuh orang yang bisa membantu menggambar peta dunia.” Galang membaca dua kali, lalu mengangguk pada dirinya sendiri.

.

UJUNG PERJALANAN DI UBUD

Rumah panggung bambu itu berdiri di pinggir sawah yang persawihannya dikecup angin. Sanggar milik seorang penari tua—Sawung—yang gerakannya masih lentur seperti lidah doa. “Menari itu bukan soal menghafal,” kata Sawung pada malam pertama. “Menari adalah mengenang tubuhmu.”

Pagi-pagi, Galang menyapu halaman, menyusun bunga di canang, dan menyiapkan kertas-kertas untuk peta. Anak-anak datang—ada Panggalih yang tertawa tanpa alasan, ada Arum kecil yang selalu bertanya, ada Nala yang sesekali memeluk ibunya sebelum masuk ke barisan. Galang mengajar mereka menggambar pulau demi pulau, memberi warna, menulis nama-nama kota. Ia tidak menyebut “destinasi,” ia menyebut “rumah”: bahwa setiap tempat adalah rumah bagi seseorang. “Jika kamu berkunjung, jangan jadi tamu yang berisik di rumah orang,” begitu ia menutup pelajaran.

Suatu sore, Sawung mengajak Galang berjalan menyusuri jalur irigasi yang membelah sawah. “Apa yang paling sulit dari perjalananmu?” tanya Sawung.

“Menemukan bahwa selama ini aku hilang,” jawab Galang tanpa ragu.

“Dan apa yang paling mudah?” Sawung tersenyum.

“Menemukan bahwa sebenarnya aku tidak pernah benar-benar jauh. Aku hanya lupa mengetuk.”

“Kalau begitu,” kata Sawung, “tarianmu tinggal satu: pulang.”

Malam itu, di bale-bale bambu, Galang menulis surat lamaran kerja untuk sebuah lembaga kecil yang mengembangkan program perjalanan edukatif berbasis budaya. Ia menulis dengan tubuh yang telah diberitahu oleh sawah, oleh doa, oleh tawa anak-anak. Kata-katanya tidak mengajukan prestasi, melainkan janji: “Saya ingin mengajak orang bepergian bukan untuk melihat tempat, melainkan untuk mendengarkan makna.”

.

KEMBALI KE KOTA DENGAN HATI YANG BARU

Jakarta menunggunya tanpa berubah. Jalan layang tetap melilit, mal tetap menguap wangi parfum mahal, kopi susu literan tetap mengantri di aplikasi. Tetapi sesuatu yang besar dan halus bergeser di dalam diri Galang. Ia menyewa kamar kos di Kuningan—lebih kecil dari apartemen lamanya—namun jendelanya meminjam langit. Pagi-pagi, ia berjalan kaki ke taman dekat Setiabudi One, berolahraga ringan, lalu duduk menatap orang lewat. Ia perhatikan bahwa setiap langkah memiliki alasnya sendiri-sendiri.

Lamaran kerjanya diterima. Ia menjadi fasilitator di sebuah inisiatif bernama “Menemu Rumah”—program perjalanan pelajar dari kota-kota besar untuk tinggal seminggu di desa-desa, belajar dari petani, nelayan, perajin, dan guru-guru yang menjaga api kecil. Gajinya jauh dari nominal lamanya, tetapi dadanya selalu penuh.

Ia merancang modul: “Cara Sopan Menatap,” “Menulis Peta Dengan Santun,” “Mengucap Terima Kasih Dalam Lima Bahasa,” “Bertemu Diri Di Tempat Asing.” Ia mengingat Tole—teman lamanya—yang kini punya katering sehat; mereka berkolaborasi menyiapkan menu lokal yang tidak berlebihan. Ia mengingat Samba; mereka merancang pameran foto kecil setelah perjalanan usai. Ia mengingat Manggala; ia bantu membuat rambu-rambu hukum agar program aman. Nama-nama adaptasi dari kisah-kisah lama itu menjadi jembatan baru dalam hari-hari yang sekarang lebih pendek, lebih jujur.

Suatu Sabtu, Rengganis datang ke kota untuk urusan pekerjaannya sebagai produser dokumenter. Mereka bertemu di toko buku yang menghadap jalan protokol. “Kamu sekarang kelihatan seperti orang yang tidak terburu-buru,” kata Rengganis.

“Aku belajar dari kabut,” jawab Galang.

Rengganis tertawa. “Kalau begitu, jangan lupa dari mana kabut naik.”

Mereka berjalan kaki menyusuri trotoar yang rapi, menyeberang di zebra, menunggu lampu hijau. Ada sesuatu yang ritmis pada cara mereka hening. Di persimpangan terakhir, Rengganis berkata, “Kita tidak harus menjadi pasangan untuk saling pulang. Kadang kita hanya perlu memastikan satu sama lain punya alamat.”

Galang mengangguk. “Alamat: dada yang cukup lapang untuk menampung berisik dan diam.”

.

RUMAH BACA DAN LANGKAH-LANGKAH

Dari gaji pertamanya, Galang menyisihkan untuk membuka “rumah baca transit” di ruang kecil dekat stasiun KRL. Pintu gesernya dari kaca, rak-raknya dari kayu pinus murah, dan lampu-lampunya hangat. Ia menempelkan papan tulis: “Silakan masuk. Buku boleh dipinjam selama perjalanan. Kembalikan di cabang mana pun.” Ia belum punya cabang, tetapi tekad terkadang mendahului peta.

Anak-anak dari perumahan menengah atas mampir selepas sekolah, karyawan bersetelan jas singgah di jam pulang kerja, ibu-ibu menaruh bekal nugget untuk pengunjung lain. Roda kota yang biasanya saling menyalip itu tiba-tiba memilih berjalan berdampingan. Di sudut ruang, Galang menaruh kotak kecil bertuliskan: “Cerita Anda Hari Ini.” Orang-orang menulis, beberapa hanya satu kalimat: “Aku tidak marah lagi,” “Anakku akhirnya berani naik kereta,” “Aku memaafkan diriku.”

Rengganis membantu membuatkan film pendek tentang rumah baca. Dalam narasi, suara Rengganis mengatakan: “Kota cenderung meminta kita bergerak tanpa berhenti, tapi buku mengajari kita berdiri di halaman-halaman yang setia menunggu.”

Film itu ditayangkan di acara komunitas. Sawung mengirim pesan: “Setiap tarian butuh lantai. Kau baru saja membuat lantai untuk langkah-langkah orang yang lelah.”

.

HALAMAN TERAKHIR YANG TERTULIS

Sore itu Galang duduk di taman kota yang dulu menyambut kekalahannya. Matahari memerah di belakang gedung, seperti seseorang yang malu pada kebisingan sendiri. Ia membuka buku catatan pertamanya—yang ia bawa sejak kereta malam dari Jakarta ke Magelang—dan mendapati halaman-halaman padat tulisan: kata-kata yang merunduk, kata-kata yang tegak, kata-kata yang berdoa. Di halaman terakhir, ia menulis pelan, hampir seperti takut mengganggu:

“Aku bukan siapa-siapa yang penting. Tapi aku pernah berjalan. Dan langkah-langkah itu tertinggal di pundakku, bukan sebagai beban, melainkan sebagai cara tubuhku mengingat. Bila suatu hari aku kembali hilang, biarlah jejak di pundakku ini menjadi peta.”

Ia menutup buku. Ponselnya bergetar—pesan dari Arum: “Mas, terima kasih sudah kirim buku peta ke perpustakaan desa. Anak-anak senang sekali.” Dari Tole: “Menu sayur asamnya laku. Orang kota ternyata kangen rumah.” Dari Samba: tautan pameran foto yang baru akan dibuka pekan depan. Dari Rengganis: “Istirahatlah. Yang kuat bukan yang terus bergerak, tapi yang tahu kapan menutup halaman.”

Galang berdiri. Ia menyandang ransel yang sekarang terasa ringan. Di trotoar, derap sepatu-sepatu berkelas menandai jalan pulang masing-masing. Di antara semua itu, langkah Galang tak lagi kalah bising oleh kota. Ia berjalan pelan, memberi ruang pada masa depan untuk menyusulnya dengan cara yang sopan.

Perjalanan tidak selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia siap melanjutkannya—tanpa buru-buru, tanpa takut, dengan alamat yang selalu bisa ia sebut: dirinya sendiri.

.

.

Jember, 5 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKota #PerjalananBatin #Jakarta #Borobudur #Dieng #Ubud #Reflektif #Edukasi #Solutif #RumahBaca #KompasMingguVibes

.

Quotes  dalam cerita

  • “Hidup kita bukan CV; ia album yang halaman-halamannya ingin sobek sekaligus disimpan.”

  • “Yang takut pulang biasanya tak pernah benar-benar pergi.”

  • “Menari adalah mengenang tubuhmu.”

  • “Jika kamu berkunjung, jangan jadi tamu yang berisik di rumah orang.”

  • “Yang kuat bukan yang terus bergerak, tapi yang tahu kapan menutup halaman.”

Leave a Reply