Jangan Paksa Diri Menjadi Hanya Satu Hal

“Jangan paksa dirimu jadi satu hal saja. Dunia terlalu luas, hidup terlalu singkat, dan manusia terlalu kaya untuk dikurung dalam satu label.”
“Kesibukan bisa menyamarkan luka, tetapi kejujuran menyembuhkannya.”
“Menang bukan selalu soal podium, kadang hanya tentang berani pulang pada diri sendiri.”

.

Senin yang Menggantung di Atas Balkon

Jakarta, pukul 06.10 pagi.
Langit kota masih kelabu, seperti kain sprei yang belum sempat diganti. Dari balkon lantai dua puluh satu, Arya Damar memandang arus kendaraan yang kian padat meski matahari belum bulat keluar. Asap tipis mengepul dari lubang knalpot, bertemu bau roti panggang dari kafe di bawah, dan harum kopi yang dingin di tangannya—dingin bukan karena lupa, melainkan karena pikirannya sibuk menghangatkan sesuatu yang tak terlihat: keputusan yang ia sembunyikan rapat-rapat dari semua orang. Hari ini, ia akan menyerahkan surat pengunduran diri.

Di bawah, Jakarta berlari seperti biasa. Di dalam, Arya berguncang seperti lift yang berhenti mendadak di antara lantai.

Ia meraba tepi cangkir, mengingat detail-detail yang entah kenapa selalu menempel padanya: angka-angka okupansi yang menurun jelang akhir bulan, wajah-wajah tamu yang marah karena check-in ditunda, catatan housekeeping tentang sprei yang harus diulang lipatnya. Detail kecil yang sering dibilang “bukan level GM”, tapi justru menjadi alasan tamu kembali—atau pergi.

“Jangan takut,” katanya pada dirinya sendiri, “takut tak akan membuatmu utuh.”

Telepon bergetar. Sebuah pesan pendek dari Panji, manajer pemasaran yang sudah ia anggap adik sendiri:
Bang, meeting revenue jam 10 ya. Direksi lengkap.
Arya mengetik pelan: Siap. On the way.

Ia melepas pandang terakhir pada kota. Asap, suara klakson, lampu-lampu yang memudar. Semua tampak sama, kecuali satu: hatinya yang akhirnya pulang.

.

Lelaki Bernama Arya Damar

Nama itu seperti potongan cerita lama: Arya Damar. Seperti ksatria tanpa keris, seperti tokoh dari kisah menak yang tersesat di era digital. Ia General Manager Hotel Semesta Raya—hotel bintang empat tinggi menjulang yang berpendar di tengah ibu kota. Di lobi, lampu gantung kaca menggigil lembut setiap ada pintu terbuka; di restoran, musik instrumental menutup percakapan; di koridor, karpet memeluk langkah agar tak menimbulkan gema.

Perjalanannya tidak berpola rapi. Ia memulai sebagai penjaga rak buku di Toko Bacakita, Malang. Di sana ia belajar menghafal kode, menyapa tanpa menggurui, menata seperti menenangkan diri. Lalu ia hijrah menjadi resepsionis di hotel kecil di Jogja; naik pelan ke manajer operasional di Surabaya; menjadi reliever di Bangkok, Dubai, Amsterdam—datang saat krisis, merapikan yang kusut, lalu pergi sebelum semua orang sempat benar-benar menanyakan namanya.

Di antara pindah-pindah itu, Arya menyerap satu hal yang tak tertulis di modul: menjadi pemimpin berarti menjadi pendengar pertama yang bersedia berdiri paling belakang.

Orang-orang di sekitarnya punya nama yang seperti diambil dari lembar-lembar kisah Menak Madura lalu diadaptasi untuk zaman ini:
Wirasena—disebut Wira saja—keuangan yang matanya selalu menghitung sebelum kalimatnya selesai.
Joko Tole—koki eksekutif yang lihai memintal resep tradisional ke piring modern, bertato kecil di lengan kirinya, tertawa seperti menggoreng bawang: renyah namun panas.
Retna—kepala housekeeping yang selalu punya cadangan rencana, bahkan untuk hujan yang lupa turun.
Dan Saraswati—Sales Manager yang cerdas, mandiri, menatap tajam seperti lampu jalan yang tahu kapan harus menyala.

Mereka berputar dalam orbit kerja yang sama: mengejar target sambil menghindar dari rumor, menyulam rencana sambil membuka tiap hari seperti mengecek linen satu per satu.

.

Dunia yang Memaksa Satu Peran

“Harus tegas, tapi jangan keras.”
“Fokus saja, jangan terlalu banyak inisiatif.”
“Jangan terlalu dekat dengan staf bawah. Batas itu perlu.”

Dunia profesional suka ringkas, senang memberi garis tebal di sekeliling manusia. Arya mengangguk pada semua nasihat itu, lalu—dengan sopan yang sulit ditangkap—melanggarnya.

Saat memimpin rebranding Hotel Kenari di Semarang, ia memilih motif batik pada wallpaper kamar. Ia mengukur suhu lampu di lorong agar tidak membuat kulit tamu tampak pucat di cermin. “Ini bukan tugas GM,” kata seseorang di rapat direksi. “Tugas GM menaikkan revenue.”

Arya mengangguk. “Betul. Dan kenyamanan tamu adalah jalan pintas paling panjang ke revenue.”

Suatu sore, Retna kehilangan salah satu staf terbaiknya, Sulastri, dalam kecelakaan sepulang shift malam. Arya datang ke rumah duka, ikut mengangkat peti, mengantar sampai liang lahat. Ia menandatangani cek santunan tanpa menunggu persetujuan panjang. “Kamu terlalu emosional,” kata Wira. “Kamu bukan keluarga.”

“Aku bagian dari rumah yang sering mereka sebut kedua,” jawab Arya.

Emosi, baginya, bukan lawan dari strategi; keduanya seperti dua pintu yang mengapit lorong. Tanpa salah satu, orang tak punya cara keluar.

.

Forum dan Kalimat yang Membuka Luka

Di Surabaya, pada sebuah forum pariwisata, Arya duduk di baris belakang. Ia hanya menemani Panji mempresentasikan paket city retreat yang memadukan tur sungai, kuliner, dan mindfulness di kamar hotel.

Seorang pembicara asing naik panggung, memproyeksikan grafik yang tampak meyakinkan. “Manager Asia,” katanya, “sering terlalu emosional. Mereka lebih nyaman merasa daripada berpikir.”

Kalimat itu mendarat di dada ruangan seperti gelas yang jatuh di lantai marmer. Hening, lalu pecah. Arya bangkit berdiri sebelum sempat mempertimbangkan konsekuensinya.

“Justru dari rasa,” ucapnya, “kami bisa bertahan. Di kota dengan gaji yang ditekan, di industri dengan jam kerja yang memar, empati adalah alasan tim kami tidak bubar. Kami berpikir sekeras Anda, tetapi kami juga memilih untuk merasa. Karena manusia yang kami layani bukan mesin yang menukar tidur dengan tagihan.”

Ruangan menjadi sunyi—bukan sunyi yang canggung, melainkan kebisuan yang menimbang. Panji meliriknya, kagum sekaligus cemas. Setelah itu, beberapa orang menyalami Arya. Bukan tepuk tangan yang ia cari—yang ia inginkan hanyalah kalimat itu berhenti mengambang.

Malamnya, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal: Kata-katamu mengingatkanku pada rumah. —S

Arya membaca huruf itu berulang kali. S. Ia tahu siapa.

.

Tempat Belajar Menjadi Utuh

Dua tahun setelah forum itu, Arya mendirikan Cahaya Learning & People Development—sebuah ruang pelatihan yang tidak besar namun hangat. Ia menolak konsep panggung tinggi; ia lebih suka kursi melingkar dan papan tulis yang tampak seperti jendela. Pelatihannya sederhana: Leadership for the Whole Human. Materinya tampak berani untuk ukuran industri yang suka mengukur kinerja dengan angka, angka, dan angka.

Pada pertemuan pertama, ia menuliskan tiga kalimat di papan:

  1. “Berani menangis tanpa kehilangan wibawa.”

  2. “Berani menegur tanpa mempermalukan.”

  3. “Berani mencintai tim tanpa ingin memiliki.”

Pesertanya datang dari jaringan hotel, restoran, rumah sakit, bahkan perusahaan start-up yang kantornya mengilap namun lemburnya sunyi. Di sesi role play, Arya sering menjadi tamu yang mengeluh dengan kalimat-kalimat faktual yang terdengar personal. Ia mengajarkan bagaimana meminta maaf tanpa menggadaikan harga diri, bagaimana mengatakan “tidak” tanpa menutup pintu “ya” di masa depan.

“Pemimpin,” kata Arya, “bukan topeng yang tidak boleh basah. Kita bukan patung di lobi yang dinyalakan lampu dari bawah supaya tampak gagah. Kita manusia yang bisa salah, dan karena itu bisa belajar.”

Wajah-wajah di hadapannya berubah. Ada yang menunduk; ada yang mengangkat tangan, ingin bercerita betapa seringnya mereka dituntut menjadi mesin dengan senyum yang terkunci.

Arya menyukai kata “dan” lebih dari “atau.”
Tegas dan lembut.
Visi besar dan perhatian kecil.
Strategi dan empati.

“Karena hidup,” katanya, “terlalu sempit jika kita memaksa diri menjadi satu hal.”

.

Cinta yang Tak Bisa Disebut

Saraswati. Nama itu seperti gerimis yang datang tanpa suara. Ia dan Arya pernah bekerja bersama tiga tahun—cukup lama untuk saling memahami ritme, terlalu singkat untuk menamai apa yang bergerak di antara mereka.

Saraswati menatap dunia seperti membaca fine print di kontrak: teliti, curiga yang sehat, namun siap memberi potongan harga pada kemanusiaan. Suatu malam, setelah rapat yang berlalu seperti menonton lampu-lampu kota dari atas taksi, ia bertanya, “Kenapa kamu selalu ada?”

Arya menoleh pelan. “Karena kasih tidak selalu berarti memiliki. Kadang, cukup memastikan seseorang tidak berjalan sendirian menuju tempat yang ia inginkan.”

Esoknya, Saraswati berpindah ke Bali, mengejar posisi yang ia impikan. Mereka tidak berjanji apa-apa. Janji sering menjadi pintu yang mengurung.

Ketika pesan berinisial S mendarat di ponselnya usai forum Surabaya, Arya membalas singkat, “Terima kasih.” Lalu menghapus percakapan. Ada hal-hal yang tidak perlu disimpan agar tidak berat dibawa.

Namun manusia tidak bisa memaksa hati menjadi satu hal: lupa atau ingat. Hati sering kali memilih “dan”—lupa yang ingat, ingat yang merelakan.

.

Luka-luka yang Diolah Menjadi Hikmah

Di Bandung, dalam sesi pelatihan, seorang peserta bernama Retno—masih muda, semangatnya seperti kompor yang baru dipantik—mengangkat tangan. “Bang Arya,” katanya, “kalau kita terlalu jujur, apa kita tidak terlihat lemah?”

Arya tersenyum, memperhatikan garis tipis keletihan di bawah matanya. “Lemah bukan lawan dari kuat,” jawabnya. “Lemah adalah bagian dari kuat. Seperti malam dan siang—matahari tidak menghina bulan, bulan tidak merebut pagi. Mereka saling menunggu, saling menandai.”

Retno menulisnya. Di luar, hujan turun ringkas. Di dalam, beberapa orang menahan napas seperti hendak mengingat. Malamnya, kalimat itu diunggah ke media sosial. Nama Arya kembali dibicarakan—dengan pujian yang hangat, juga sinis yang tak kalah hangat. Ia membiarkannya. Popularitas itu bising. Kedalaman itu sunyi. Dampaknya yang diam-diam panjang.

Malam yang sama, ia menelepon ibunya di Malang. Suara perempuan itu masih serupa bunyi beras yang dicuci—bertabrakan sebentar, lalu jernih. “Anakmu masih belajar, Bu,” kata Arya.

“Belajar itu seperti menanak nasi,” jawab ibunya. “Ada fase mendidih yang riuh, ada fase mengukus yang sepi. Keduanya perlu supaya matang.”

.

Hari Terakhir dan Jalan Pulang

Hari ini, ia memutuskan untuk tidak menunggu fase apa pun lagi. Surat pengunduran diri ia cetak di kertas yang sedikit terlalu tebal—sebab keputusan besar perlu terasa di tangan.

Rapat direksi berjalan seperti biasa: angka-angka ditembangkan, grafik naik turun seperti nadir dan zenit sebuah lagu. Wira mempresentasikan rencana efisiensi—pukul satu menit dari waktu yang ia rancang. “Kita perlu memangkas biaya cleaning amenities, mengalihkan brand ke produk generik,” katanya, menatap daftar. “Penghematan 12% per bulan.”

“Produk generik itu bagus,” sahut Arya tenang. “Asal bukan untuk mengganti hati.”

Semua menoleh.

“Apa maksudmu?” tanya Wira.

“Aku sudah cukup lama menjadi satu hal di sini,” kata Arya, menyerahkan surat di atas meja. “Saatnya aku belajar menjadi lebih dari itu.”

Ruang rapat merenggang. Direktur—Wirasena yang lebih tua—menggeser kacamatanya. “Apa yang bisa kami tawarkan agar kamu bertahan?”

Arya tersenyum. “Kadang, bertahan justru merusak yang sudah baik. Aku ingin membangun sesuatu yang lain—masih di industri ini, tapi dengan cara yang membiarkan manusia menjadi manusia.”

“Cahaya itu?” tanya Panji lirih.

Arya mengangguk.

Ada hening panjang seperti jeda napas setelah berlari. Kemudian, direksi mengulurkan tangan. Retna menatap dari luar ruangan, matanya berkaca. Joko Tole menyeka ujung apron—sudah menjadi kebiasaan ketika ada yang pulang.

Di lobi, Arya berhenti. Ia menatap patung dekorasi yang dahulu ia protes—terlalu terang lampunya, terlalu dingin refleksinya. Ia mengusap punggungnya tanpa menyentuh. “Terima kasih,” katanya pada benda yang tiba-tiba tampak seperti cermin yang tidak memantulkan.

Di luar, udara panas memeluknya. Pedagang asongan menawarkan tisu. Arya membeli dua, bukan karena butuh, melainkan karena ingin.

.

Tentang Wiraraja dan Retna yang Menyeka Debu

Kabar pengunduran diri menyebar cepat seperti gosip yang sudah lama menunggu tempat mendarat. Ada yang menyebutnya “keputusan berani,” ada yang diam-diam menyebutnya “kalah”. Namun hidup tidak tersusun dari dua kata itu saja.

Wirasena—yang sebelumnya paling keras—mengirim pesan singkat: Aku tidak selalu setuju dengan cara kerja dan kata-katamu. Tapi aku menyesal terlambat mengerti bahwa laba dan laba hati bisa hidup di neraca yang sama. Arya membacanya dua kali, lalu membalas, Terima kasih. Kita bertemu lagi, entah di rapat atau di kafe.

Retna, yang selalu memikirkan cadangan rencana untuk hujan yang lupa turun, memberi Arya sebuah kotak kecil. Di dalamnya, ada bros kecil berbentuk bulu angsa. “Supaya tulisanmu ringan,” katanya. “Kita sering menyeka debu di kamar, Mas, tetapi lupa menyeka debu di dalam dada.”

Arya tertawa kecil. “Terima kasih, Retna. Jaga dirimu ya.”

“Jagalah kami dengan tulisanmu,” jawab Retna.

Joko Tole mengajak makan terakhir di dapur. “Aku bikin rawon seperti di Madura, tapi kuahnya kubikin bening. Biar orang ingat kampung tanpa lupa kota,” ujarnya. Mereka makan berdiri, menyandari meja stainless. Rasa kaldu menyusup ke celah batin yang biasanya dipenuhi jadwal.

“Mas,” kata Tole, “jangan lupa datang kalau aku bikin pop-up restoran. Kita kasih nama Warung Jayengrana. Biar keren dikit.”

Arya mengangguk. Nama itu seperti datang dari cerita lama dan menempel ke hari esok.

.

Satu Kelas, Seribu Pintu

Cahaya Learning tumbuh seperti tanaman yang tidak disiram setiap hari, tetapi akarnya rajin diajak bicara. Arya menerima kelas kecil-kecilan dari hotel-hotel independen yang lelah dengan pelatihan yang hanya ganti slide, bukan ganti perilaku. Ia merancang modul yang memadukan taktik dengan tenderness. Ada checklist inspeksi kamar, ada juga latihan bernapas sebelum menegur staf yang telat.

Suatu kali, ia mengundang seorang sopir taksi daring untuk bercerita tentang “hospitality dari kursi pengemudi”. “Aku menilai tamu bukan dari bintang hotelnya,” kata sopir itu. “Tapi dari cara mereka memanggilku. Mas atau hey.”

Peserta terdiam, lalu mencatat. “Nanti kalau jadi GM,” Arya menambahkan, “ingatlah untuk memanggil orang dengan nama, bukan hanya jabatannya. Karena manusia tumbuh dari panggilan.”

Di akhir sesi, Arya selalu meminta peserta menuliskan satu kalimat yang ingin mereka simpan. Dari puluhan kertas, kalimat yang paling sering muncul adalah versi-versi dari ini: “Menjadi sempurna adalah beban. Menjadi utuh adalah keberanian.”

Arya tidak pernah bosan membacakannya ulang, seolah itu ditulis untuknya sendiri.

.

Surat dari Bali

Suatu sore, kotak masuk surelnya berbunyi. From: Saraswati. Subjek: Hujan di Ubud.

“Aku baca tentang pelatihanmu,” tulis Saraswati. “Aku tersenyum, lalu menangis sebentar. Di sini, aku belajar banyak hal baru. Tapi ada hari-hari ketika aku rindu cara kamu menutup rapat tanpa menutup hati. Kalau kamu ke Bali, mari minum kopi yang benar-benar hangat.”

Arya membalas setelah menutup laptop, setelah telinganya berhenti mendengar suara lalu lintas imajiner: “Aku akan ke Bali bulan depan, mengisi kelas kecil di Gianyar. Mari minum kopi yang tidak usah kita definisikan.”

Ia tidak menambahkan emoji, tidak menanyakan kabar hubungan, tidak membuka masa lalu. Ia hanya membuka jendela—biar angin memilih apa yang dibawa.

.

Senin Lain di Atas Balkon

Beberapa minggu sesudahnya, Arya kembali ke balkon yang sama, olesan cahaya pagi lebih berani. Ia bukan lagi GM Hotel Semesta Raya. Tapi ia tidak kehilangan. Ia sedang pulang.

Kota terlihat sama—macet, tergesa—namun ia kini menangkap detail yang dahulu lolos: tukang parkir yang mengangkat tangan seperti memberi restu, perempuan penjual ketan yang menepuk-nepuk plastik agar tidak menempel, seekor burung kecil yang berani bertengger di papan reklame yang menampakkan wajahnya malah makin kecil.

Di meja kerja, lampu kecil menyala. Ia membuka jurnal:
“Aku tidak harus jadi satu hal. Karena manusia itu bukan label. Tapi perjalanan.”

Ia menulis lagi, baris tambahan yang tiba-tiba ingin keluar:
“Karena dan lebih jujur daripada atau.”

Telepon bergetar. Panji mengirim foto ruang rapat kosong. Bang, aku maju. Jangan ketawain presentasiku kalau berantakan ya.

Arya membalas: Kalau berantakan, itu tanda kamu manusia. Kalau selesai, itu tanda kamu berani.

Ia menempelkan bros bulu angsa di kemejanya. Di dalam kaca, pantulan dirinya tampak berbeda—bukan karena atribut, melainkan karena cara ia memandang.

.

Peta Kecil untuk Orang yang Lelah Menjadi Satu Hal

Di kelas berikutnya, Arya memberikan catatan yang ia sebut “peta kecil”—bukan untuk menemukan gedung, melainkan untuk mencari diri ketika sibuk mengejar semua hal yang harusnya kita kejar demi terlihat “jadi orang”.

  1. Simak yang tak dikatakan.
    Di balik kata “tidak apa-apa” sering ada “tolong lihat aku”. Di balik “siap, Pak” sering ada “aku takut salah”. Dengarkan dengan mata.

  2. Pisahkan peran dari nilai diri.
    Kamu bisa gagal dalam projek tanpa menjadi kegagalan sebagai manusia. Kamu bisa keluar dari pekerjaan tanpa keluar dari makna.

  3. Latih keberanian menunda jawaban.
    Tidak semua kritik butuh respons cepat. Keheningan tiga detik bisa menyelamatkan hubungan tiga tahun.

  4. Pilihan bukan hanya A atau B.
    Banyak jalan panjang bernama “dan”. Tegas dan empatik. Ambisius dan lembut. Modern dan setia pada kearifan lokal.

  5. Ingatkan tubuh.
    Pemimpin yang tidur cukup lebih bijak daripada yang begadang sambil marah-marah. Minum air. Bernapas. Berjalan tanpa ponsel.

Kertas-kertas kecil itu dibawa pulang, diselipkan di dompet, ditempel di belakang kartu akses kantor, kadang-kadang dilupakan, lalu suatu hari ditemukan kembali ketika hidup memaksa seseorang memilih sudut.

.

Ketika Kota Menyalakan Lampunya

Bali menyambut Arya dengan hujan tipis. Pertemuannya dengan Saraswati terjadi tanpa drama. Mereka duduk di beranda kafe yang dindingnya menua dengan bangga. Mereka berbicara tentang tamu yang datang dengan harapan kosong, tentang musim yang berubah, tentang menu yang perlu menyesuaikan hati orang yang makan.

“Kadang aku masih ingin jadi satu hal,” aku Saraswati, “yang jelas, yang bisa dimengerti semua orang.”

“Jadilah banyak hal,” jawab Arya. “Tapi jadilah satu kepada dirimu sendiri.”

Di pengujung pertemuan, mereka tidak membuat rencana. Mereka membuat ruang. Ruang untuk tertawa jika kelak bertemu di kota lain. Ruang untuk tidak menyalahkan jika suatu hari tak lagi sempat membalas pesan.

Malamnya, Arya berjalan kembali ke penginapan. Di atas, langit meminjam cahaya lampu jalan. Di bawah, suara sandal wisatawan menyentuh aspal basah. Ia merasa ringan, bukan karena beban hilang, melainkan karena beban diakui.

.

Epilog di Jantung Jakarta

Beberapa bulan kemudian, sebuah pesan masuk dari Wira: Hotel mengadopsi programmu: “tegur tanpa mempermalukan.” Angka komplain turun. Aku makan di restoran, Joko Tole menamai menu barunya “Rawon Jayengrana”. Bercampur tapi jujur.

Arya tersenyum. Ia menatap kota dari jendela kereta yang melintas di atas jalan layang. Jakarta menyalakan lampu, satu-satu lalu serentak. Di kepalanya, kalimat itu berulang seperti doa yang tidak meminta apa-apa: Kita tidak dilahirkan untuk menjadi satu hal.

Ia membuka ponsel, menuliskan satu pesan ke grup kecil alumni pelatihannya:
“Jangan lupa tidur. Besok kita jadi manusia lagi.”

Kereta melambat. Stasiun mendekat. Ia berdiri, merapikan baju, merasakan bros bulu angsa menyentuh dada. Di hadapannya, pintu terbuka—bukan hanya pintu kereta, melainkan pintu ke hari berikutnya yang tidak perlu ia definisikan dulu.

Ia melangkah.

Dan kota, untuk pertama kalinya, terlihat seperti tempat yang tidak menuntut identitas—melainkan menawari perjalanan.

.

“Menjadi sempurna adalah beban. Menjadi utuh adalah keberanian.”

.

.

.

Jember, 4 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguVibes #JakartaUrban #MenakMadura #Leadership #Hospitality #Empati #SelfDiscovery #Storytelling #KelasMenengah

Leave a Reply