Di Persimpangan Jalan

“Kadang, untuk jadi pemimpin yang benar, kita harus belajar menjadi orang yang salah dulu.”

.

Sebuah Awal di Jalan Gatotkaca

Langit Jakarta sore itu masih menahan hujan yang belum jatuh. Di lantai 21 sebuah gedung di kawasan Sudirman, seorang pria bertubuh tegap berdiri menatap jendela yang memantulkan siluet dirinya. Namanya Yudistira—dikenal sebagai pemimpin yang tenang, dingin, tapi selalu bisa membuat timnya berjalan. Di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang sudah berbulan-bulan ia tahan. Konflik dalam timnya yang seperti bara dalam sekam.

Semua bermula dari proyek besar rebranding sebuah layanan digital milik perusahaan induk India-Bharata Corp. Timnya terdiri dari para talenta terbaik: Bima yang vokal dan ambisius, Arjuna yang perfeksionis dan sensitif, serta Nakula-Sadewa, si kembar digital native yang kreatif tapi sering kehilangan fokus. Yudistira tahu, menjadi pemimpin bukan soal memerintah, tapi tentang membaca kesiapan mereka—dan saat itu, semuanya seperti berada di titik didih.

.

Gaya yang Tak Lagi Sama

“Lo mau kita ngikutin gaya kepemimpinan militer, bro?” suara Bima lantang dalam rapat internal seminggu lalu.

Yudistira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menuliskan catatan. Tapi dari gestur tubuhnya, terlihat jelas ia kecewa. Arjuna menarik napas panjang, lalu mencoba menjelaskan strategi dengan grafik yang rumit. Nakula dan Sadewa malah sibuk di Slack, membagikan meme soal ‘meeting yang nggak produktif’.

Yudistira tahu, timnya tidak bisa diperlakukan sama. Tapi ia juga tahu, tak bisa semua orang dituruti. Kepemimpinan situasional mengajarkannya hal itu. Tapi hari itu, semua ilmunya seperti diuji. Seperti berdiri di perempatan tanpa lampu merah.

“Jalan yang benar kadang tidak memiliki papan penunjuk.”

.

Dunia Kantor: Antara Hasrat dan Hati

Setiap hari Yudistira datang paling pagi, dan pulang paling malam. Bukan karena sok rajin, tapi karena ia butuh waktu sendiri. Ia mencintai timnya, tapi tak bisa selalu memanjakan. Ia ingin mereka bertumbuh, tapi juga tak ingin menjadi diktator.

Di salah satu malam yang sepi, Drupadi, HR Business Partner yang juga menjadi tempat curhat Yudistira, bertanya lembut:

“Kalau kamu terus jadi pohon peneduh yang memaksa tumbuh di tanah keras, kapan kamu akan mekar?”

Yudistira hanya tertawa kecil. Tak ingin mengaku bahwa dirinya pun rapuh. Bahwa kepemimpinan yang terlihat kuat, kadang hanya topeng untuk menyembunyikan luka karena tidak dimengerti.

“Menjadi pemimpin bukan soal tahu semuanya, tapi tahu harus diam kapan.”

.

Titik Didih

Konflik memuncak saat deadline proyek mundur dua kali, dan klien dari Mumbai mulai mengancam membatalkan kontrak. Di tengah rapat evaluasi, Arjuna meledak:

“Kalau strategi dari atasan berubah-ubah, gimana kita bisa deliver? Kita semua butuh arahan, bukan kebebasan penuh tanpa batas!”

Bima menimpali, “Lo selalu drama, Jun. Bukannya deliver malah ngeluh!”

Suasana mendidih. Sadewa melempar headset ke meja. Nakula menunduk tak mau ikut campur.

Yudistira berdiri. Tanpa suara, ia menutup laptopnya, dan berkata:

“Saya minta semuanya keluar ruang ini. Besok, kita mulai dari awal.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Yudistira menangis di musala kecil di basement.

“Kadang yang terberat dari memimpin bukan keputusan besar, tapi luka kecil dari orang yang kita lindungi.”

.

Kembali ke Akar

Pulang ke rumah ibunya di Yogya seminggu kemudian, Yudistira berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumah masa kecil. Ibunya, perempuan tua yang kini lebih banyak diam, menyajikan teh panas dan berkata:

“Kalau kamu ingin jadi pemimpin seperti bapakmu dulu, ingat satu hal: jangan lupa lihat wajah mereka. Karena yang kamu pimpin bukan spreadsheet.”

Malam itu, Yudistira membuka kembali buku-buku lamanya, termasuk modul pelatihan Situational Leadership yang ia pelajari saat di Boston. Ia menyadari: terlalu lama ia ingin semuanya mandiri, padahal belum semuanya siap. Terlalu lama ia menahan emosi, padahal beberapa orang butuh empati, bukan ketegasan.

Ia kembali ke Jakarta dengan satu misi: mengubah pendekatannya. Bukan untuk menyenangkan, tapi untuk mengerti.

.

Ujian Terakhir

Hari pertama ia kembali, suasana masih dingin. Tapi ia tidak lagi meminta semua orang patuh. Ia mulai mengajak bicara satu-satu.

Kepada Bima, ia berkata: “Gue tahu lo kuat dan pengen maju cepat. Tapi lo juga harus bantu tim lain tumbuh.”

Kepada Arjuna: “Lo perfeksionis, dan itu bagus. Tapi kita butuh fleksibilitas.”

Kepada si kembar: “Lo berdua kreatif luar biasa. Tapi mulai sekarang, gue bakal kasih tugas yang jelas. Gue bantu, tapi gue juga minta komitmen.”

Ia mulai menerapkan gaya Telling untuk si kembar, Selling untuk Arjuna, Participating untuk Bima, dan akhirnya Delegating kepada Sadewa yang ternyata diam-diam telah mengembangkan UI framework sendiri untuk klien.

Seminggu sebelum presentasi akhir, klien dari Mumbai berkata:
“This is your best work. Better than what we expected.”

Dan seluruh tim berpelukan di ruang kecil itu. Tak ada lagi ego. Hanya lega.

“Kadang, untuk menjadi satu, kita harus runtuh lebih dulu.”

.

Tak Lagi Sama, Tapi Satu

Yudistira kini tak lagi berdiri sendiri. Ia belajar bahwa kepemimpinan bukan ilmu absolut, tapi seni membaca hati dan kesiapan. Ia menjadi pemimpin bukan karena paling hebat, tapi karena paling sabar.

Ia masih sering melihat jendela lantai 21 itu, tapi kali ini bukan dalam sepi. Di belakangnya ada tim yang percaya, dan ia percaya mereka.

Dan dalam diary digitalnya, ia menulis satu kalimat yang akan selalu ia ingat:

“Jangan pernah memaksa bunga mekar dengan teriakan. Temani saja ia tumbuh, dan ia akan mekar dalam waktunya.”

.

Pemimpin yang Utuh

Dan bila suatu hari nanti kamu ditugaskan memimpin sebuah tim yang berbeda karakter, berbeda irama, dan penuh luka, ingatlah ini:

“Pemimpin sejati bukan yang paling dulu sampai di garis akhir, tapi yang paling tahu cara menunggu—dan berjalan bersama mereka yang belum kuat melangkah.”

Karena dalam dunia yang sering memuja kecepatan dan kesempurnaan, hanya sedikit yang masih memilih untuk menjadi pelindung dalam diam, menjadi api kecil dalam gelap, dan menjadi arah bagi mereka yang kehilangan arah.

Yudistira telah memimpin. Bukan karena ia tahu segalanya. Tapi karena ia memilih tetap tinggal, bahkan saat semua ingin pergi.

Dan di titik itu—ia menjadi pemimpin yang utuh.
Bukan karena jabatannya. Tapi karena hatinya.

.

.

.

Jember, 28 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #CerpenKompas #KepemimpinanSituasional #CeritaMotivasi #CeritaKota #CerpenEmosional #CeritaKarier #CeritaKehidupan

Leave a Reply