Sepi yang Tak Lagi Diberi Nama

“Tidak semua sepi adalah ke­ka­la­han. Kadang sepi adalah ruang rawat inap bagi jiwa—tempat kita memulihkan napas, menambal luka, dan memilih arah pulang.”

“Orang yang memilih diam belum tentu kalah; ia mungkin sedang menyelamatkan dirinya dari keramaian yang pandai bersuara, tetapi gagap mendengar.”

“Menutup komunikasi memang tidak mengakhiri masalah; tapi tetap tinggal di tengah yang melukai hati juga tak menyelesaikan apa-apa.”

.

Di kota ini, suara ramai bisa lebih sunyi dari sepi. Orang-orang sibuk menyapa tanpa benar-benar mendengar. Tak semua luka harus ditonton ramai-ramai. Ada yang cukup disembuhkan dalam sepi. Diam belum tentu kalah—bisa jadi, ia sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Maka jika dunia terasa bising dan luka tak kunjung pulih, menjauhlah. Bukan karena lemah, tapi karena ingin sembuh dan tinggal dalam tenang.

Namanya Pandhita. Tidak tinggal di pesantren atau kraton; ia menumpang hidup di kamar indekos dua lantai di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kamar 2×3 yang digambar garis-garis retak di dindingnya, kipas angin yang bersuara seperti radio tua, dan jendela yang menghadap jalan raya—tempat deru motor menyanyi lebih rajin daripada cicak yang tertangkap cahaya.

Sejak pandemi, Pandhita bekerja sebagai moderator daring untuk diskusi-diskusi publik, pelatihan motivasi digital, dan acara korporasi yang ingin tampak ramah di layar. Ia lihai menyusun diksi, menyambung opini, dan menyamarkan luka di balik kamera. Username-nya selalu muncul tepat waktu; senyumnya selalu simetris. Ia terbiasa menyebut nama orang satu per satu dari daftar peserta yang melimpah: Amir, Maya (yang sebenarnya bernama Umarmaya, tapi ia memilih “Maya” agar mudah diingat), Madi (singkatan dari Umarmadi), Jaya (dari Jayengrana), dan Rengga (serupa Rengganis dalam kisah lama—yang pernah dibacanya di perpustakaan kampus bertahun silam). Nama-nama yang datang dari legenda, kini mengetuk hadir di ruang Zoom, menulis komentar tentang produktivitas, self-mastery, dan kebahagiaan.

Namun, di dunia nyata, Pandhita mulai lelah.

Ia bukan takut akan digitalisasi. Ia hanya bosan menjadi versi dirinya yang bukan dirinya. Di dunia yang serba daring, semua orang saling menyapa tanpa benar-benar mengenal. Semua bicara, tak ada yang mendengar. Semua berlomba menampilkan cahaya, padahal di dalamnya gelap gulita, lampu notifikasi memantul di bola mata yang kurang tidur.

Kamu baik-baik aja, Dhit?
Pertanyaan itu paling ia benci. Sebab jawab apa? Kalau ia bilang tidak baik, orang biasanya menambahnya dengan stiker peluk dan saran minum kopi hitam. Kalau ia bilang baik, ia sedang berkhianat pada tubuh yang pegal dan dada yang kerap sesak ketika malam.

Saka, kekasih yang ditemuinya di sebuah webinar “Resilience for Millennial Leaders,” makin lama terasa seperti algoritma Instagram—hadir, tapi tak pernah memeluk utuh; menghibur, tapi tak menyembuhkan. Saka percaya semua masalah bisa diatasi dengan buku self-help, “deep work,” dan to-do list berbentuk peluru tajam.

Kamu terlalu perasa, Dhit. Dunia nggak butuh air mata. Dunia butuh strategi,” ucap Saka, menjentikkan sisa gula dari pinggir cangkir.
Kata-katanya masuk akal, tetapi hati menolak logika yang kaku. Strategi memang menyusun rute, namun siapa yang mengangkat kaki yang gemetar?

Setiap pagi, sebelum jadwal siaran, Pandhita membuka jendela. Dari lantai dua kosannya, ia melihat jalan yang tak pernah benar-benar tidur. Pedagang roti keliling mendorong gerobak, klakson metromini yang sudah tinggal cerita digantikan dering ojek daring, dan grup WhatsApp kantor yang ribut sejak pukul enam. Dunia tak berhenti meski hatinya retak pelan-pelan.

Di kalendernya, tanggal-tanggal dirangkai seperti pagar. Dalam pagar itulah ia tinggal, berjalan ke sana kemari di rerumputan waktu yang makin membotak. Sepi tumbuh dari jam-jam kerja yang tak lagi punya ujung, dari tuntutan menyelenggarakan empati secara profesional sementara lutut batinnya memar.

.

Ia menonton ulang rekaman webinar yang ia pandu—tema “Empati Digital di Era Performa.” Di layar, ia tampak cakap, merangkai pujian seperti pita. Di balik kamera, matanya bengkak: ibunya masuk rumah sakit di kampung karena kelelahan merawat dirinya sendiri. “Tidak parah,” kata paman melalui telepon. “Cuma butuh istirahat.”
Tetapi istirahat siapa? Ibunya kerap lupa bahwa hatinya juga organ kerja.

Pandhita ingin pulang. Tapi naskah pembukaan, catatan narasumber, materi sponsor, dan jadwal gladi menahan pergelangan kaki. Ia mematikan ponsel tengah malam, mematikan notifikasi, menyalakan keberanian. Di stasiun Pasar Minggu, ia membeli tiket KRL. Bogor jadi arah. Dari sana, ia menumpang mobil bak terbuka menuju Desa Wringinrejo—tempat masa kecil yang sudah ditinggalkannya di usia dua belas.

Angin malam menggigit bahu, tetapi ada yang dihangatkan: kemungkinan untuk kembali menjadi manusia biasa.

.

Simbah Cempaka membuka pintu dengan tangan yang telah lama menghafal daun pintu. Tak ada peluk dramatis; hanya tatapan yang menembus bising di kepala.
Kowe wis dudu kowe. Kowe dadi robot, Dhe,” katanya pelan.
Kata-kata itu tidak menghakimi, lebih mirip pengantar tidur yang jujur.
Pandhita duduk di bangku bambu, menatap halaman yang simpel: pohon jambu, pot lidah mertua, sumur yang seperti mata masa lalu. Di langit-langit, laba-laba menambal jarak antara hari ini dan masa kecilnya.

Hari-hari di desa berjalan lambat. Pagi menggulung seperti tikar anyaman, siang menguap dari kulit daun, dan sore menutup mata pelan. Pandhita tidur tanpa notifikasi, bangun tanpa target presentasi. Ia membantu Simbah menyapu halaman, cuci beras, menanak harapan di panci kecil. Sesekali ia menggambar ulang masa kecil di kertas buram: gambar dirinya duduk di bawah jambu, gambar ibunya tertawa sambil menjemur sarung, gambar sepeda yang rantainya kerap lepas tapi selalu disambung.

Malam itu, di bawah lampu kentang yang remang, Simbah menyuguhkan teh gula batu.
Dhit, wong niku yen kebacut rame atine, ojo didadekke omah. Sepi kuwi omah yen kowe gelem ngresiki.
(“Nak, kalau batinmu terlalu ramai, jangan kau jadikan keramaian itu rumah. Sepi bisa jadi rumah kalau kau mau membersihkannya.”)

Di desa, ia mendengar suara yang tak berhasil ditangkap di kota: kejujuran. Jujur bahwa ia lelah. Jujur bahwa ia tidak sedang baik-baik saja. Jujur bahwa pandai berbicara bukan kunci menyelesaikan semua hal—kadang, pintu itu terbuka hanya dengan diam.

.

Satu pagi, surat digital dari Saka meletup di layar laptop tua yang dipinjamkannya ke Simbah untuk video call BPJS:
“Kamu ngilang kayak anak kecil.”
“Kalau semua orang kayak kamu, dunia nggak bakal jalan.”
“Balik ke kota. Hadapi masalahmu.”

Pandhita mengetik balasan, menghapus, mengetik lagi, menghapus lagi. Akhirnya ia menutup layar. Ia menulis catatan kecil di kertas minyak, menyelipkannya di bawah batu di tepi sungai tempat ia biasa mencuci kaki:
“Menutup komunikasi memang tidak menyelesaikan apa-apa. Tapi tetap tinggal di dalamnya, juga tak mengobati. Aku menjauh bukan karena benci. Aku ingin sembuh.”
Di sebelahnya, ia menulis satu kalimat lagi:
“Tak semua luka harus ditonton ramai-ramai. Ada yang cukup disembuhkan dalam sepi.”

Kertas itu ia lipat, seperti ia melipat siang hari menjadi doa pendek.

.

Sore hari, Simbah mengajaknya ke kebun belakang. Sedikit pohon pisang, sedikit rumput liar, dan satu batang mangga yang pernah patah dihantam badai. Dari patahan lama itu, tunas kecil tumbuh seperti alis yang sabar.
Dhit, yen wit kuwi tiba amarga badai, isih bisa thukul. Nanging yen saben dina keno penthung—sethithik-sethithik—matine alon, ora ono swara.
(“Nak, kalau pohon itu tumbang karena badai, ia masih bisa tumbuh. Tapi kalau tiap hari dipukul-pukul—meski sedikit—ia mati pelan, tanpa suara.”)

Kata-kata Simbah seperti menunjuk sesuatu yang tak mau lagi ditutupi: bahwa yang membuatnya patah bukan satu badai besar, melainkan ribuan pukulan kecil—komentar yang memerintah untuk “kuat dong,” meeting yang menuntut “senyum profesional” walau duka mengaduk-asak, target yang berkedok kehormatan, pujian yang terasa seperti perangkap.

Simbah menepuk punggungnya.
Kutha dudu mungsuhmu. Nanging kowe ora kudu tetep nang papan sing gawe lara atimu. Yen bali, balio merga wis mari. Ojo merga dipaksa.
(“Kota bukan musuhmu. Tapi kau tak perlu terus bertahan di tempat yang menyakiti hatimu. Kalau kembali, kembalilah karena kau sudah sembuh. Bukan karena dipaksa.”)

.

Desa mengajarinya ulang alfabet yang pernah hilang: A untuk “aman,” B untuk “bernapas,” C untuk “cukup.” Ia menata ulang ritme makan, ritme tidur, ritme berpikir. Pelan-pelan, ia menata ulang ritme berharap—agar tidak lagi menggantung di bahu siapa pun yang sedang sibuk menjadi hebat.

Malam-malam ia menulis, bukan untuk “engagement rate,” tapi untuk menandai jalan pulang. Tulisannya pendek, tetapi berdenyut. Ia menaruhnya di blog kecil tanpa nama, menghapus kolom komentar, menutup daftar like. Seperti menanam biji di halaman rumah: ia tahu tidak semua yang ditanam mesti dipamerkan di Instagram Story.

Di terminal desa, ia duduk mengamati bus antarkota. Sopir bersiul pelan, kernet memanggil penumpang dengan nada yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Di bangku sebelah, seorang bocah memeluk buku tulis, ibunya memeluk tas kresek berisi lauk. Di mata mereka, ia melihat kota yang sama, tapi dengan warna berbeda. Kota sebagai harapan, bukan ancaman. Mungkin selama ini yang membuat kota terasa kejam bukan gedung-gedungnya, melainkan cara kita memperlakukan diri sendiri di tengahnya.

“Kota bukan tentang gedung tinggi,” tulisnya pada sebuah malam, “tapi tentang siapa yang kau izinkan menetap dalam dirimu.”

.

Tiga bulan berlalu, pelan dan penuh napas. Dokter puskesmas menyatakan ibu membaik; lelahnya turun, gula darahnya patuh, wajahnya mulai kembali cerah seperti fajar di balik tirai. Pandhita mengusulkan agar ibu tinggal beberapa waktu bersama Simbah—desa punya waktu yang memeluk. Ibu mengangguk; kadang pulang butuh tiga orang: diri sendiri, yang menanti, dan yang mengingatkan.

Ia kembali ke kota, tetapi tidak ke kantor yang sama. Di Pasar Minggu, ia menyewa kamar kost yang masih itu-itu juga, tapi ia menempatinya dengan cara berbeda. Ia menutup kontrak event besar yang pernah jadi kebanggaannya, membuka kelas menulis reflektif untuk komunitas kecil, mengelola kanal video yang membicarakan self-healing in silence—tanpa musik dramatis, tanpa target viral. Ia kembali pada Amir, Maya, Madi, Jaya, dan Rengga, tetapi kini bukan sebagai host yang mengejar interaksi; ia duduk sejajar, kawan seperjalanan yang punya luka masing-masing dan tak lagi memberi nama pada sepi selain “tempat istirahat.”

Ia menata ulang cara menerima pekerjaan: bekerja bukan untuk melupakan sakit, melainkan setelah merawatnya. Kalau ada tawaran yang memaksa tersenyum saat hati sedang pecah, ia belajar berkata tidak. Kalau ada undangan dengan tema besar yang menuntut suaranya lebih tinggi daripada jujurnya, ia akan memikirkan dua kali.
Teman menyebutnya kemunduran. Ia menyebutnya penyembuhan.

Pada suatu malam Jakarta yang baru saja diguyur hujan, ia berjalan kaki menyeberangi jembatan penyeberangan di dekat Semanggi. Lampu kota menyala satu per satu seperti untaian doa yang ditarik dari saku. Dari atas, arus kendaraan mengalir seperti cat yang tumpah. Ia menyelipkan kertas kecil—catatan yang ia tulis di desa—di saku dompet. Ditariknya keluar sebentar, dibacanya pelan:

“Strategi terpandai adalah menjaga ruang di dalam dirimu yang tidak bisa dibeli oleh pujian, tidak bisa diperas oleh ketakutan.”

Kertas itu tidak ia buang. Ia lipat lebih kecil—bukan sebagai pedang, melainkan pengingat. Ia menyilangkan tas, melanjutkan langkah. Di bawah, klakson bertabuh; di dadanya, hening bertumbuh.

Saka kini tinggal di notifikasi lama yang tak pernah lagi dibuka. Pandhita tidak membencinya; beberapa perpisahan bukan dendam, melainkan cara tertulus menjaga agar luka tidak beranak-pinak.
Terima kasih sudah pergi,” gumamnya pada angin yang menyeberangi malam, “karena aku akhirnya belajar tinggal.

.

Suatu forum kecil mengundangnya berbagi cerita soal ketahanan batin. Di ruangan sempit berpendingin udara yang nyaris kalah oleh jumlah manusia, ia duduk bersama dua puluh orang. Ada di sana Amir yang baru berhenti dari pekerjaan toksik; Maya yang menunggu kabar suami dari proyek pertambangan; Madi yang menanggung cicilan dan anak balita; Jaya yang terlalu sering kalah oleh harapan bos; Rengga yang mendapati dirinya cekung di cermin.

Pandhita tidak membuka dengan slide. Ia membuka dengan hening satu menit.
Kalau bising di luar tak bisa kita atur, mari kita latihan mengatur hening di dalam.
Hening itu mula-mula kaku, lalu hangat. Seseorang sesenggukan kecil; yang lain menghela napas panjang; seorang lagi menyeka keringat yang tiba-tiba terasa dingin.

Baru setelah itu ia bercerita: tentang kota yang menguji, tentang desa yang memeluk, tentang Simbah yang menyapa dengan kejujuran, tentang kertas kecil yang dilipat lebih kecil lagi. Ia tidak menyuruh siapa pun kuat; ia hanya mengajak tahu kapan harus berhenti. Ia tidak memaksa pulang; ia menawarkan jalan yang menyala pelan.

Di akhir sesi, ia menulis tiga kalimat di papan tulis:

  1. “Bahagia bukan panggung; ia dapur tempat hati kembali hangat.”

  2. “Yang tenang bukan yang tak punya masalah, melainkan yang tahu di mana harus meletakkannya.”

  3. “Jalan pulang paling jauh adalah saat kau harus menjemput dirimu sendiri.”

Orang-orang memotret papan itu. Ada yang tersenyum. Ada yang menangis. Ada yang memeluk dirinya sendiri.

.

Malamnya, di kamar kos yang kini diberi tanaman lidah mertua di sudut, Pandhita menulis lagi. Ia menamai blog kecilnya “Sepi yang Tak Lagi Diberi Nama.” Ia tahu, pada satu titik, sepi tak melulu perlu dibaptis dengan istilah; cukup dirawat.
Ia menutup laptop, menyandarkan punggung, mematikan lampu. Dari jendela, lampu kota memantul di kaca. Di kejauhan, sirene ambulans menyayat, lalu menghilang. Detik menetes di jam dinding.
Di atas meja, kertas kecil itu kembali terbaca oleh mata remang: ruang yang tak bisa dibeli pujian, tak bisa diperas ketakutan. Ia menyimpannya di bawah bantal—seperti anak kecil menyembunyikan gigi susu di balik mimpi.

Esok hari, ia akan tetap berjalan, bukan untuk mengejar sorak-sorai, melainkan untuk menjadi rumah bagi dirinya sendiri.
Dan bila suatu saat ia lelah, ia sudah hafal alamat pulang: desir angin di kebun belakang, suara Simbah di serambi, dan dirinya sendiri yang menunggu di ambang pintu.

.

.

.

Jember, 27 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #SelfHealing #Jakarta #Sepi #Refleksi #KesehatanMental #CeritaUrban #KompasMingguStyle #MenakMadura #MenemukanDiri

.

Quotes yang menyertai cerpen:

  • “Tidak semua yang bersinar adalah sembuh; kadang itu hanya keringat dari luka yang dipaksa bekerja.”

  • “Pergi tidak selalu berarti menyerah; kadang itu cara paling jujur menghormati batas.”

  • “Kota akan tetap bising; tugas kita adalah menyiapkan telinga yang tahu kapan harus memejam.”

Leave a Reply