Seberkas Cahaya di Ujung Jalan Thamrin

“Keberanian bukan tentang tak punya rasa takut, tapi memilih untuk tetap melangkah meski takut masih tinggal di dada.” — anonim

.

Langit Kota Tak Pernah Benar-Benar Gelap

Sinar lampu Jakarta menyusup dari sela tirai jendela di lantai 22 sebuah apartemen di kawasan Thamrin. Jalan raya menyala seperti urat-urat nadi, mengalirkan detik-detik yang tak pernah berhenti. Di balik kaca yang dingin, seorang pemuda berdiri dengan punggung tegak yang pura-pura, menatap hamparan cahaya yang seperti tak pernah tidur. Namanya Reksandha—biasa dipanggil Reks. Suaranya jarang terdengar, tetapi jika kau memperhatikannya cukup lama, kau akan merasakan sesuatu pecah pelan di dadanya, seperti gelas tipis yang direkah waktu.

Reks dua puluh tahun. Usia yang di kalender tampak muda, tetapi di batin terasa tua: penuh luka yang tak berdarah, penuh sunyi yang tak bisa dijelaskan. Lahir dari keluarga berada; sekolah internasional; trofi debat dan olimpiade sains berjejer seperti hiasan kaca. Namun setiap kali pulang dari panggung kemenangan, Reks kerap menemukan dirinya duduk di lantai kamar mandi, memandangi ubin yang basah, bertanya: “Kalau semua orang berkata aku hebat, mengapa suaraku sendiri tak mau percaya?”

Malam itu, Jakarta seperti biasa: klakson menempel, sirene memotong, pejalan kaki menyeberang tergesa di zebra cross yang garisnya mulai pudar. Dari lantai 22, kota terlihat seperti kapal pesiar raksasa—terang, gemerlap, tetapi jauh dari pantai.

Reks menutup mata. Di balik kelopak, ia ingat suara yang menempel seperti cat yang tak bisa dikerok: “Belajar dong kayak kakakmu; dia nggak pernah takut presentasi.” Kalimat yang seolah ramah, namun sebenarnya menggulung kepercayaan diri seperti karpet usang.

.

Di Antara Kaca-Kaca Menjulang

Ayahnya, Amir, pengacara korporat yang menyukai angka dan kemenangan; ibunya, Maya, pengusaha properti yang paham memilih marmer dan kalimat. Kakaknya, Madi, sedang menyelesaikan S3 di Boston—anak jenis meteor: melesat, menyala, ditatap semua mata. Nama-nama itu—Amir, Maya, Madi—dulu hanya panggilan keluarga; belakangan mereka terasa seperti tokoh dari hikayat lama yang berpindah ke kota: Menak Madura yang dilepas di hutan beton, tanpa gelar, cuma nama yang tabah diucapkan.

Maya pernah bilang sambil merapikan jas Reks, “Kamu cukup kok,” lalu lima menit kemudian menambahkan, “Tapi cobalah lebih seperti Madi: artikulasi, gesture, eye contact.” Saran yang niatnya baik, namun seperti pakaian satu ukuran lebih kecil: rapi, tapi sesak.

Reks bukan tak mau jadi hebat. Ia hanya bosan berkompetisi di arena yang dipasang orang lain. Terkadang ia ingin kalah pada dirinya sendiri, agar bisa menang dengan caranya.

.

Tersesat di Keramaian

Di kampus swasta ternama, Reks mengambil komunikasi. Ia kira akan mempelajari manusia; yang ia temukan mula-mula justru etalase citra: feed Instagram yang dirancang seteliti katalog, acara komunitas yang setengahnya panggung dan setengahnya cermin. Anak-anak seusianya menyusun personal branding seperti puzzle yang warnanya sudah ditentukan: hijau untuk ramah lingkungan, ungu untuk entrepreneur, hitam-putih untuk elegan. Reks iri pada kefasihan mereka—bukan pada isi, melainkan pada cara meyakinkan diri di depan kamera.

Ia duduk di sudut kafe kampus, menatap layar kosong yang memantulkan wajahnya sendiri. Kata-kata seperti menarik tangga; setiap huruf terasa jauh. Pada hari-hari tertentu, ia menghindari lift kaca karena merasa semua orang di lobi memperhatikan langkahnya. Kerap ia memilih tangga darurat, agar degup jantungnya terasa nyata, bukan sekadar notifikasi.

Di rumah, Madi menelepon dari Boston. “Seminar di Harvard seru, Dek. Kamu harus kebiasaan nanya, jangan cuma nyatet.” Reks menjawab sekenanya. Ada jeda di antara mereka yang sulit dijelaskan: bukan jarak waktu, melainkan jarak definisi tentang keberhasilan.

.

Percikan yang Menyalakan

Suatu malam, Reks datang ke seminar kecil di coworking space Senopati: “Public Confidence for Young Professionals.” Ruangannya tidak megah, hanya lampu-lampu warm membuat bayangan lembut di dinding. Pembicaranya Tirta—bukan nama besar, bukan wajah viral, hanya suara yang tenang dan udara yang membuat orang berani mendengar kalimat yang selama ini dihindari.

“Banyak anak muda pinter,” kata Tirta. “Masalahnya bukan kekurangan ilmu, melainkan tak terbiasa mendengarkan suara sendiri. Kita terlalu sering jadi versi terbaik dari orang lain.”

Kalimat itu memecah sesuatu di dalam Reks. Seperti retak pertama pada es batu yang terendam teh hangat.

Usai acara, Reks memberanikan diri menghampiri. “Boleh minta waktu lima menit?” Tirta menatapnya seolah sudah mengenal lama. “Kamu butuh lebih dari lima menit,” jawabnya, tersenyum. “Besok pagi, Thamrin City, lantai food court. Bawa catatan.”

.

Latihan Menjadi Diri Sendiri

Pertemuan pertama mereka terjadi di meja dekat jendela. Di bawah, bundaran HI memutar air seperti pikiran yang tak pernah selesai. Tirta tak bicara soal teknik bicara. Ia meminta Reks menulis sepuluh kalimat yang paling sering ia katakan pada dirinya. Tangan Reks gemetar tipis saat mencatat: “Kamu selalu terlambat. Kamu tidak cukup. Kamu bukan Madi. Kamu akan gagal kalau bicara.”

“Baca pelan,” kata Tirta.

Ketika kata-kata itu dilafalkan, Reks merasa kepalanya didekatkan ke kaca—ia dipaksa menyaksikan wajah sendiri. “Kalau ada orang lain mengatakan ini ke kamu, kamu akan bela diri,” ujar Tirta. “Lucunya, kalau kamu yang mengucapkan, kamu percaya tanpa negosiasi.”

Latihan-latihan berikutnya bukan hal besar, tetapi menghantam tepat sasaran. Setiap pagi, Reks berdiri di depan cermin, menatap mata sendiri, lalu mengucapkan: “Aku cukup untuk mulai. Suaraku tidak harus keras untuk menjadi jelas. Aku tidak sempurna, tapi aku hadir.” Ia merekam suaranya sendiri membaca paragraf pendek, mendengar ulang, mencari jeda yang bisa diperbaiki, bukan cacat yang harus dihukum. Ia belajar membedakan desah takut dan intuisi: yang satu menjerit agar berhenti; yang lain berbisik agar pelan tapi tetap maju.

Tirta menyuruh Reks memperhatikan tubuhnya: bahu yang terlalu menekuk, napas yang ditahan saat orang menatap. “Kepercayaan diri adalah seni mengatur napas,” ucapnya. “Sebelum meyakinkan orang lain, yakinkan paru-parumu dulu.”

Reks mulai mengurangi scroll yang membuatnya melihat hidup orang lain sebagai standar. Alih-alih, ia berjalan kaki menyusuri trotoar baru yang dikembangkan kota. Di bawah pohon-pohon ketapang kencana, ia belajar menyapa penjual koran, bapak ojol, petugas kebersihan. Suara mereka, yang jujur dan apa adanya, menambal robekan kecil di dirinya.

.

Ujian Kecil yang Mengubah Arah

Suatu Jumat sore, kampus mengadakan diskusi publik. Pembicara utama batal datang, panitia panik, mikrofon diletakkan di panggung yang mendadak terasa seperti altar. Reks—karena kerap membantu dosen—dikejar-kejar mata yang meminta tolong. “Kamu aja,” kata seorang teman, Jaya, setengah memaksa. Nama Jaya selalu terasa seperti doa yang dipotong pendek. Anak ini cekikikan ketika gelisah.

Reks berdiri di belakang panggung. Tangannya basah. Tirai hitam turun setengah, membuat ruang sempit antara panggung dan dunia. Ia memejam, mengingat pelajaran napas: empat detik tarik, empat detik tahan, enam detik lepas. Detik-detik itu terasa panjang seperti musim.

Ketika maju, ia tak hebat-hebat amat. Ia tersedak di kalimat ketiga, lupa contoh di menit kelima. Namun ia tidak lari dari panggung. Ia menatap satu orang di baris kedua—ibu-ibu yang menunduk pada ponsel—dan berbicara pada satu wajah itu seolah sedang di meja dapur.

“Saya dulu mengira percaya diri adalah bakat,” katanya. “Ternyata ia seperti otot yang bisa dikuatkan. Bukan agar menonjol, tetapi agar tahan menanggung diri.”

Ada hening yang bukan dingin. Tepuk tangan, pelan dulu, lalu deras. Reks turun panggung dengan lutut yang masih goyah, tetapi ia paham: keberanian itu gerak yang kecil-kecil, diulang-ulang, sampai getarnya berubah menjadi alur.

Malamnya, di Thamrin, hujan turun seperti memutar pita lama. Reks berdiri di bawah jembatan penyeberangan orang, menonton lampu-lampu memantul di aspal. Ia mengirim pesan ke Tirta: “Aku tidak sempurna, tapi aku hadir.” Balasan datang sederhana: “Besok lagi.”

.

Mereka yang Menjadi Cermin

Kehadiran orang-orang yang namanya diambil dari hikayat lama membuat hari-hari Reks seperti wayang yang berganti panggung. Amir, ayah yang selalu pulang dengan wajah lelah namun memaksa ramah; Maya, ibu yang rapi dan rapi sekali; Madi yang menutup kabar gembira dengan bisik, seolah takut melukai. Dan Jaya—teman kampus—yang membuat segala kepanikan terasa lucu.

Suatu malam, Amir duduk di kursi ruang tamu, menatap layar penuh angka. “Presentasi papamu minggu depan. Klien berat,” katanya tanpa menoleh. Reks duduk di seberang, memutar botol minum. “Pa,” ujarnya ragu. “Aku pengin cerita.” Amir mengangkat alis. Reks bercerita: tentang seminar, Tirta, panggung kecil, napas yang ia pelajari. Amir mendengar sambil menatap layar; namun di satu titik, jarinya berhenti mengetik. “Kamu berani cerita itu ke Papa. Itu sudah presentasi terbaikmu malam ini,” ucapnya pendek. Kalimat yang tak panjang, tapi membuka jendela.

Perlahan, mereka belajar bertemu ulang: bukan sebagai hakim dan terdakwa, melainkan dua orang yang sama-sama sedang mencari cara agar tidak mewariskan rasa lelah yang sama.

.

Dari Lantai 22 ke Panggung Nasional

Dua tahun mengalir dengan runut. Reks—yang dulu sembunyi di kafe—kini melatih tim kecil Mental Health First Aid di kampus. Ia mengetuk pintu dekan, menawarkan program ke kelompok mahasiswa di luar kampus. Ia bukan penceramah ulung; ia teman yang datang tepat waktu. YouTube “Bicara Diri” ia isi dengan video pendek: tiga menit tentang jeda, dua menit tentang menolak perbandingan, empat menit tentang memeluk kalah. Komentarnya tidak meledak, tetapi komentar-komentar itu tulus: “Mas, saya berhenti bandingin diri hari ini.” “Kak, saya berani nanya di kelas.”

Undangan datang: forum G20 Youth Summit di Jakarta Convention Center. Topik yang ia angkat membuatnya harus memungut kembali pecahan-pecahan lama: “Confidence Crisis Among Privileged Youth.” Ia menyusun pidato bukan untuk memamerkan luka, melainkan untuk memberi nama pada ketakutan yang biasa disalahpahami. Ia menulis malam-malam, di meja makan, sementara asisten rumah tangga lewat membawa piring, sementara lift apartemen berbunyi ting-ting, sementara hujan menyusun jeda di jendela.

Pada hari H, Reks berdiri di balik panggung. Jantungnya mencatat jam sendiri. Ia menatap layar LED yang sebentar lagi akan menjadikannya besar-besar di mata orang. Tirta mengirim pesan pendek: “Bicara dengan paru-paru, bukan dengan mulut.” Reks tersenyum, mengulang: empat detik tarik, empat detik tahan, enam detik lepas.

Saat melangkah, lampu menyambut seperti mata yang hangat. “Saya dulu orang yang paling takut bicara,” kalimat pembuka itu keluar lebih jernih daripada latihan. “Saya kira keberanian adalah berteriak paling kencang. Nyatanya, keberanian itu berjalan pelan sambil membawa sisa-sisa takut, dan tetap hadir.”

Ia tidak meledak-ledak. Ia tidak menaklukkan ruangan. Ia menautkan satu kalimat ke kalimat lain, seperti menautkan benang pada jarum. Ketika selesai, tepuk tangan berdiri. Reks tidak mengukur keberhasilannya dari riuh; ia mengukurnya dari detik sesudahnya—ketika ia menutup mata dan menyadari ia tidak ingin lagi menjadi orang lain.

.

Retak yang Diterima, Bukan Disembuhkan

Setelah pidato itu, hidup tidak berubah menjadi musik latar yang heroik. Jakarta tetap macet, tugas kuliah tetap menumpuk, notifikasi tetap membuat kepala penuh. Namun ada yang berubah di cara Reks meletakkan kedua kakinya di bumi. Ia berani menolak ajakan yang membuatnya habis, berani meminta waktu ketika napasnya pendek, berani mengerjakan sesuatu tanpa memotret hasilnya.

Suatu sore di sekitar Dukuh Atas, Reks duduk di bangku trotoar, menatap anak-anak SMA pulang sekolah menyusuri jalur JPO yang instagramable. Seorang bapak ojol duduk di sebelahnya, helmnya retak sedikit. Namanya—tertulis di jaket—Jaya. “Capek ya, Mas?” tanya Jaya tanpa basa-basi. Reks mengangguk. Mereka berbicara soal rute, tarif, rezeki yang tak bisa ditebak. Di jeda obrolan, Jaya berkata, “Saya tiap hari takut sebenarnya: takut enggak cukup buat anak, takut motor rusak. Tapi kalau enggak jalan, ya enggak ngerti harus makan apa. Jadi saya takut sambil jalan aja.”

Kalimat itu menempel di kepala Reks jauh setelah mereka berpisah. Terkadang hikmah tidak datang dari panggung, melainkan dari jaket yang pudar dan helm yang retak.

.

Di Ujung Jalan Thamrin

Suatu senja, langit di atas Thamrin pecah lembut di antara jingga dan ungu. Di atap gedung tempat tinggalnya, Reks memandang kota yang pernah menakutinya kini seperti teman lama yang diulangi. Angin membawa suara sirene yang jauh; lampu-lampu menyalakan cerita masing-masing. Di dadanya, ada sunyi yang damai dan cahaya yang tidak menyilaukan.

Ia membuka buku catatan yang sampulnya mulai kusam. Tangannya menulis pelan, tidak untuk dikutip, tidak untuk disukai, hanya untuk diingat:

“Tak apa kau lambat. Tak masalah kau sempat takut. Yang penting kau memilih untuk tetap melangkah.” — Reksandha

Ia menutup buku itu, bukan seperti menutup bab, melainkan seperti melipat peta. Jalan-jalan kota tetap ruwet; tapi sekarang, ia tahu satu jalan setapak yang selalu bisa ia cari ketika tersesat: jalan pulang ke dalam diri.

Di bawah sana, arus kendaraan mengalir. Seorang perempuan—Maya—mengirim pesan, “Makan dulu.” Seorang laki-laki—Amir—menyusul, “Bangga.” Seseorang di Boston—Madi—mengirim foto salju dan menulis: “Kapan kamu ke sini biar aku yang belajar dari kamu.” Reks tertawa kecil, suara yang dulu jarang. Ia mengetik balasan yang sederhana: “Aku masih belajar pulang ke aku.”

Malam turun. Jakarta tidak benar-benar gelap. Di ujung jalan Thamrin, ada seberkas cahaya yang tidak berasal dari lampu—ia muncul dari detik ketika seseorang memutuskan untuk berdamai dengan dirinya, lalu melangkah lagi.

.

Tiga Kutipan Pengingat

  • “Percaya diri bukan berarti selalu siap; sering kali, ia berarti berani hadir meski setengah ragu.”

  • “Jangan meminta suara orang lain untuk menyetujui suaramu.”

  • “Kita boleh kalah dengan rencana, asalkan tetap menang dengan langkah.”

.

Nama-Nama yang Menyebrangi Zaman

Nama-nama yang dulu hanya sejarah di kertas—Amir, Maya, Madi, Jaya—berjalan bersama Reks di trotoar kota. Mereka tidak lagi mitos bersayap; mereka manusia yang sesekali goyah, sesekali gagap, namun terus menyusun hari. Dari Menak Madura ke Jakarta, dari hikayat ke realita, dari panggung ke paru-paru: keberanian ternyata bukan penaklukan, melainkan kesediaan untuk memulai lagi, dengan tubuh yang sama, dengan hati yang kini mau menjadi rumah.

.

.

.

Jember, 26 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SeberkasCahaya #JalanThamrin #PercayaDiri #MentalHealth #AnakMuda #Jakarta #Storytelling #MotivasiHarian #MenakMaduraUrban #BicaraDiri

Leave a Reply