Di Langit yang Sama, Aku Menemukan Diriku

“Kadang, untuk menemukan arah pulang, seseorang harus tersesat begitu jauh—hingga ia tak lagi mengenali siapa dirinya.”

Langit Jakarta di bulan Desember tak benar-benar biru; seperti kaca jendela yang kerap dibersihkan namun tetap menyisakan bekas usap. Dari ketinggian lantai delapan sebuah kantor konsultan teknologi di bilangan SCBD, gedung-gedung kantor berbaris seperti barisan dada yang menahan napas. Jalan layang melukis lengkung logam di atas kepala, pertanda kota ini pandai menyembunyikan ruwet di balik rapi. Di ruangan yang lampunya selalu terlalu putih, Jayeng menatap notifikasi email yang tak berhenti berkedip—hingga kelelahan seolah jadi suara latar permanen.

Ia sudah menulis sepucuk surat pendek: pernyataan pengunduran diri, efektif 15 Januari 2022. Kertas itu dilipat rapih, ditahan jempolnya seperti seseorang menahan pintu yang hendak tertutup selamanya. Ia tahu, baginya, melepaskan bukan kebiasaan; tetapi siapa sangka, justru hari itu melepaskan terasa seperti satu-satunya caranya untuk hidup.

“Hidup yang tidak kita pilih sendiri,” tulisnya di catatan kecil di ponsel, “serupa kemeja keluaran butik—pas di badan, tapi gatal di hati.”

.

Anak Baik dari Rumah Mapan

Ia lahir dari rumah yang tak pernah mengenal kata “kurang”. Di Magelang, yang anginnya kerap membawa aroma cengkih dari dapur tetangga dan bunyi kentongan dari arah perkampungan, ia tumbuh di rumah berpagar putih, pekarangannya diatur oleh ibu yang gemar menata pot. Ayahnya—Wirya, lelaki yang jarang meninggikan suara—pensiunan direktur pabrik pupuk nasional; ibunya, Retna, pegiat sosial yang setiap pekan mengajar literasi di rumah singgah. Keduanya orang baik yang percaya bahwa kebaikan bisa direncanakan seperti neraca keuangan; rapi, wajar, bertanggung jawab.

Dari kecil, Jayeng diajarkan menabung, menyimak, dan menyelesaikan. Ia menamatkan sekolah di kota kecil itu dengan nilai nyaris sempurna, melanjutkan kuliah ke Bandung—lalu, seperti kebanyakan anak berprestasi dari keluarga mapan yang meyakini “jalan aman”, ia pindah ke Jakarta dan menjadi bagian dari mesin bernama “korporat”. Gaji memadai, bonus tahunan, apartemen di bilangan Kuningan, cicilan mobil ramah bunga, gym dengan jendela besar menghadap kolam renang. Hidupnya tampak seperti lembar promosi bank: gloss, rata, tanpa lipatan.

“Tetapi hidup bukan brosur,” batin Jayeng. “Hidup adalah sisa lipatan di kertas setelah promosi selesai.”

Hari-hari di kantor datang dan pergi seperti gerimis halus yang tak pernah benar-benar tuntas. Pagi dengan latte, sore dengan rapat, malam dengan spreadsheet. Rekan seperbincangannya: Kertapati dari marketing yang luwes bergaul, Prasanta si analis yang tak pernah salah menghitung, serta Gandasari—teman lama dari komunitas menulis yang kadang menertawakan hidup seakan-akan ia tak pernah hampir tenggelam.

“Jang,” ucap Gandasari di sebuah kafe Senopati yang menerakan estetika skandinavia, “kau ingat cita-citamu dulu?”
“Menulis, memfasilitasi, bikin ruang aman untuk orang dewasa bertumbuh.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang… aku ahli membuat presentasi yang cantik agar orang lain membeli ilusi perubahan.”

Gandasari menatap lekat. “Mungkin sudah cukup, ya?”

Kata “cukup” itu bergaung lama di kepala Jayeng. Di jalan tikungan Jenderal Sudirman, lampu-lampu kendaraan seperti cacing-cacing cahaya. Di apartemen, ia menatap langit-langit. Di kamar mandi, uap panas menutup kaca. Di kepala, satu kalimat tidak berhenti mengetuk:

Kalau tak berani mengecewakan orang lain, kita akan terus mengecewakan diri sendiri.

.

Keputusan Paling Tak Masuk Akal

Ia pulang ke Magelang untuk mengucapkan niat. Di ruang tamu dengan sofa kain abu-abu dan rak buku yang menampung filsafat, manajemen, hingga novel komedi, ia menyampaikan rencana. Retna meletakkan cangkir teh. Wirya, seperti biasa, menimbang kalimat.

“Aku ingin jeda, Yah, Bu. Setahun. Aku ingin berhenti dari pekerjaan dan mencari… bukan kerja, tapi diriku.”

Di luar dugaan, Wirya mengangguk seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar penerimaan anaknya di perguruan tinggi impian.

“Kalau waktu adalah modal, kami punya sebisanya. Tapi pastikan jujur pada dirimu sendiri, bukan sedang kabur.”
Retna meraih tangan anak sulungnya. “Rumah tak pernah meminta kau menjadi siapa-siapa. Ia hanya menuntutmu pulang dengan jujur.”

Mereka menyiapkan skema sederhana: tabungan pribadi Jayeng menanggung sebagian, orangtuanya menyuplai sebagian—bukan untuk memanjakan, melainkan untuk memastikan jeda itu merupakan ruang belajar, bukan pelarian.

“Jangan lupa,” kata Wirya, “setiap kebebasan ada bebannya: bertanggung jawab atas pilihanmu.”

Malam itu, angin Magelang terasa seperti tangan yang mengusap punggung: tidak menepuk, hanya menenangkan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Jayeng tidur lelap.

.

Mencari di Setiap Ujung Peta

Ia memulai dari Banyuwangi. Bukan resort, bukan vila pinggir pantai; melainkan rumah penduduk di tepi sawah, atap sengnya bercericit saat hujan. Pagi hari, ia ikut seorang bapak membersihkan kandang kambing. Siang, membantu menjemur biji kakao. Sore, ia duduk di tepi sungai, memperhatikan anak-anak memandikan bebek. Malam, ia menulis.

Hari ke-3: aku tidak tahu apa yang kucari. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak memakai topeng.

Dari Banyuwangi, ia menyeberang ke Lombok. Ia tinggal di homestay milik Puspa—perempuan yang cekikikannya meletup seperti popcorn. Ia belajar membuat kopi tubruk yang rasio gula dan pahitnya sukar dicapai. Ia memotret matahari pagi yang, ternyata, tidak pernah datang dengan warna yang sama dua kali. Di Ende, ia mengajar membaca di surau yang dindingnya masih bata ekspos, kotak-kotak huruf menjadi jembatan bagi anak-anak yang suaranya baru menemukan dirinya.

Di Toraja, ia bertemu Nyi Gendhis—janda tua penenun yang hidup dari sabar. Tangannya berkeriput, tetapi setiap helai benang di alat tenunnya seperti doa yang panjang.
“Nak,” ucapnya suatu sore, “bukan panjangnya jalan yang bikin lelah, tapi beban yang tak kau pahami.”
“Kalau beban itu… ambisi?”
“Ambisi itu seperti garam,” senyum Nyi Gendhis, “secukupnya membuat rasa, kebanyakan membuat asin air mata.”

Kata-kata perempuan itu tinggal di kepala Jayeng seperti lampu malam.

Di Ambon, ia berdiri lama di tepi pantai. Ombak memukul bibir pasir dengan suara yang rapi. Ia sadar, tak ada suara yang lebih jujur dibanding repetisi. Lelah pun punya ritme, kalau kita mau mendengarnya.

Ketika dana semakin menipis, ia kembali ke Bali, bekerja sebagai barista paruh waktu di Ubud. Ia belajar menghafal nama pelanggan tanpa melihat struk. Ia menakar espresso bukan hanya inchi dan gram, tetapi juga jeda. Ia mendengar percakapan: ada orang yang patah hati; ada orang yang berpindah kota; ada orang yang baru merayakan kelulusan. Semua orang sedang menjadi seseorang di kepalanya. Dan ia bertanya dalam hati—selama ini, sudahkah ia menjadi seseorang di hatinya sendiri?

.

Suara yang Akhirnya Didengar

Ia rutin menelepon Retna setiap akhir bulan, suara ibunya lembut seperti tirai putih yang digeser pelan.

“Kalau kamu capek, pulang saja, Le,” begitu ibunya selalu menutup percakapan. “Rumah tak pernah menuntutmu menang, ia hanya menunggumu benar.”

Jayeng mulai melatih sunyi. Ia membaca Kierkegaard di pinggir sawah, menandai halaman Rollo May di kamar kos, menyeduh kopi sambil mencoret kutipan di buku catatan: “Freedom is the capacity to pause between stimulus and response.” Ia mengikuti lokakarya psikologi populer, mencentang MBTI, DISC, Human Design, numerologi. Ia tertawa sendiri setiap kali hasil tes seperti ramalan cuaca: tepat karena kita ingin mempercayainya. Dan justru di antara semua label baru itu, ia menemukan satu kebenaran telanjang—ia hanya bisa pulang kalau berani berjalan tanpa nama.

Ia mencoba banyak peran. Fotografer pernikahan adat di Klungkung—ia menangkap wangi dupa bercampur haru. Relawan pengajar di Flores—ia menukar kata “berhasil” dengan kata “bermanfaat”. Magang dapur di warung makan milik teman lamanya—ia menyadari bahwa merajang bawang memberi keheningan yang tak diberikan rapat-rapat Zoom. Ia menyetir motor menembus hujan sore, baju tipis menempel ke punggung. Ia tertawa, menjerit, lalu diam—karena mengapa, untuk merasa hidup, kita selalu butuh langit yang basah?

.

Jakarta, Kembali ke Cermin

Satu tahun lewat seperti napas panjang yang akhirnya dituntaskan. Ia kembali ke Jakarta awal 2023—bukan untuk kembali jadi “orang lama”, melainkan menata hidup baru di kota yang sama. Ia menyewa kamar di Pejaten, beranda kecilnya menghadap pohon mangga yang sesekali didatangi burung. Pagi, ia menulis. Siang, ia membuka sesi mentoring karier untuk teman-teman yang gelisah. Malam, ia jalan kaki menyusuri Kemang dalam langkah-langkah yang tidak mengejar apa-apa.

Kertapati mengundangnya ngopi di sebuah co-working space di Sudirman. “Kembali kerja di sini, Jang? Kita butuh lead yang ngerti produk dan hati manusia.”
Jayeng tersenyum. “Aku senang kamu percaya. Tapi kita berdua tahu, aku bukan milik rapat-rapat itu lagi.”
“Apa rencanamu?”
“Membuat ruang bagi yang kelelahan seperti aku dulu,” Jayeng menatap lampu neon yang memantul di meja. “Ruang untuk berhenti berpura-pura.”

Ia menamai programnya sederhana: Teknologi untuk Kemanusiaan. Setiap Sabtu, ia membuka kelas daring. Ia membicarakan Marketing 6.0 tanpa jargon—mengembalikan brand ke tubuh manusia, bukan sebaliknya. Ia meramu metode refleksi mingguan, mengajarkan orang-orang dewasa mengatur napas, mengelola ekspektasi, memeluk rentan, memodulasi ambisi. Ia mengundang Gandasari untuk sesi menulis jujur. Ia mengajak Prasanta untuk sesi “logika yang memeluk empati”—bagaimana angka dijadikan pijakan, bukan cambuk.

Pada malam peluncuran, jumlah peserta hanya sembilan belas. Itu angka yang membuat sebagian orang putus asa. Tetapi satu per satu dari sembilan belas itu menulis email: “Aku tidak merasa sendiri lagi.” “Terima kasih, aku berani mengakui bahwa aku sedih.” “Aku resign besok—bukan untuk kabur, tapi untuk merawat anak yang sakit.”

Di suatu sesi, ketika Jayeng mengajak peserta menutup kamera, menghela napas, dan menulis surat untuk diri sendiri, chat Zoom berderet seperti bintang jatuh. Ada yang menuliskan maaf untuk dirinya yang menua; ada yang berterima kasih pada tubuhnya; ada yang akhirnya menyatakan cinta kepada hidup tanpa syarat.

“Hidup ini bukan perlombaan siapa sampai duluan,” ucap Jayeng di penghujung sesi, “tetapi perjalanan siapa paling jujur sampai ke tujuan.”

.

Buku-Buku Kecil yang Menyelamatkan

Tahun 2024, ia menerbitkan buku pertamanya: Mantra Kehidupan. Disusul Tembang Panggilan Jiwa—kumpulan prosa pendek yang lahir dari pagi-pagi yang ia isi dengan duduk, dengar, dan tulis. Buku-buku itu tidak meledak di toko besar. Tetapi orang-orang yang membacanya seperti menemukan kartu pos dari seseorang yang berjalan lebih dulu. Seseorang menulis dari Balikpapan, “Aku batal naik jembatan malam itu. Terima kasih.” Seseorang lain dari Makassar, “Ibuku menyalin kalimatmu di halaman belakang kalender—ia bilang itu doa.”

Gandasari, yang kini menikmati kebiasaan pagi tanpa notifikasi korporat, mengirim pesan: “Lihat, Jang. Kita mungkin tak kaya raya, tapi bukankah ini kekayaan paling lebar yang pernah kita punya?”

Jayeng teringat Nyi Gendhis; ia teringat tangan keriput itu. Ia membuka kembali catatan. Ambisi seperti garam. Ia tersenyum kecil—karena akhirnya tahu takaran asinnya.

.

Kota, dengan Segenap Luka Luhurnya

Jakarta tidak berubah menjadi kota ideal hanya karena Jayeng menemukan ritme barunya. Jalanan tetap macet, mal tetap penuh di akhir pekan, kafe-kafe baru tumbuh lebih cepat daripada pepohonan di taman. Namun, sesuatu dalam diri Jayeng menjadi lain: ia tidak lagi marah ketika kemacetan membekuknya; ia hanya memutar lagu dan memerhatikan wajah-wajah di angkot, di trotoar, di balik kaca mobil. Ia mendengar kisah-kisah kecil: sopir ojol yang ditinggal kawin, tante-tante yang menawar kain di Thamrin City sambil bercanda, anak-anak yang berlari mengejar bus TransJakarta. Kota menyodorkan kurikulum yang tak pernah rampung: belajar menjadi manusia bersama manusia.

Suatu malam, ia menyusuri Taman Literasi yang masih ramai menjelang tutup. Di bangku kayu, seorang lelaki paruh baya membacakan buku anak ke putrinya. Di sisi lain, sepasang kekasih berdebat kecil lalu tertawa pada kalimat yang sama. Angin membawa aroma hujan; langit memantulkan cahaya kota seperti kanvas raksasa.

Jayeng menulis di ponselnya, mengutip dirinya sendiri: “Kita ini satu langit yang sama, meski jarak telah menata ulang peta. Pulang tidak selalu alamat; kadang, ia adalah cara kita menempatkan diri.”

.

Kabut, Lawu, dan Doa Tanpa Nama

Di penghujung 2022 dulu, sebelum semua ini matang menjadi bentuknya, Jayeng naik ke Lawu seorang diri. Dingin yang menggigit memaksa ia mengakui kehadiran tubuhnya. Di punggungan kabut, ia duduk bersila, membiarkan napasnya menjadi metronom.

“Kalau aku tak tahu harus jadi siapa,” bisiknya, “izinkan aku menjadi manusia yang utuh.”

Air mata jatuh tanpa prolog. Tidak berlebih, tidak ditahan. Malam yang panjang tidak memberinya signboard, tetapi memberinya sesuatu yang lebih penting—izin. Izin untuk tidak punya jawaban segera. Izin untuk tidak menjadi spektakuler. Izin untuk menjadi, satu per satu, pelan dan cukup.

Esok paginya, ketika matahari memecah kabut menjadi serpih-serpih emas, ia merasa seolah ada sesuatu yang dikembalikan kepadanya: namanya sendiri.

.

Menjadi Cermin Bagi Yang Lain

2025—kota ini baru saja melalui putaran PHK di perusahaan teknologi; lebih banyak orang dewasa duduk di kafe dengan mata kosong. Di kelas Sabtunya, jumlah peserta naik tanpa iklan berbayar. Mereka datang membawa cerita: wirausaha yang tiba-tiba sepikuasa halaman; karyawan yang melepas gaji 13 demi menjaga kesehatan jiwa; orangtua yang kembali belajar karena anaknya bertanya, “Kenapa mama sering marah?”

“Di kelas ini,” ujar Jayeng, “kita tidak sedang memperbaiki diri seperti memperbaiki handphone rusak. Kita sedang belajar menemani diri.”

Ia memperkenalkan “ritus jeda sepuluh menit”: duduk tanpa ponsel, menuliskan satu kalimat jujur, menanyakan satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab hari itu juga. Ia mengembangkan modul “manajemen ekspektasi yang manusiawi”, mengajak peserta membuat kontrak batin yang mudah ditagih: minum air putih lebih dulu sebelum menegur siapa pun; menunda reaksi lima detik; menukar tiga sibuk dengan satu hadir.

Pada sesi terakhir term, ia menutup kamera, membiarkan ruang hening.
“Kita tidak sendirian,” katanya. “Kita hanya sering menyalakan lampu terlalu terang hingga lupa menatap bintang.”

Di layar, beberapa peserta menutup muka, bahunya bergetar. Di chat, kalimat-kalimat seperti daun jatuh; sederhana, jujur, tak berpura-pura.

.

Retna, Wirya, dan Ritual Paling Sederhana

Sesekali, Jayeng pulang ke Magelang. Retna membuat teh melati. Wirya memotong buah dengan presisi khas orang yang menghormati benda-benda. Mereka duduk bertiga, tidak selalu bicara hal-hal besar. Kadang-kadang membicarakan harga beras; kadang-kadang mengingat nama tetangga yang meninggal; kadang-kadang membahas buku yang belum selesai.

“Bagaimana kelasmu?” tanya Retna.
“Rasanya seperti menonton orang-orang menemukan peta di saku jaketnya sendiri,” jawab Jayeng.
“Mereka memerlukanmu?”
“Mungkin bukan aku. Mungkin cermin yang kubawa.”

Wirya tersenyum ringan. “Cermin pun butuh dibersihkan. Jangan lupa membersihkanmu.”

Malamnya, Jayeng berjalan ke halaman. Langit di Magelang lebih murah hati. Bintang-bintang hadir tanpa perlu diperintah. Di sana, ia mengucap doa paling sederhana: terima kasih.

.

Jakarta, Lagi-Lagi

Pada suatu sore, Gandasari datang membawa kabar: ia hamil. Mereka bertiga—Jayeng, Gandasari, dan pasangannya—merayakan dengan sop buntut di restoran yang dari jendelanya tampak orang-orang yang berjalan cepat, seperti ada tujuan yang tak boleh terlambat.

“Aku takut menjadi ibu yang salah,” kata Gandasari, lirih.
“Tidak ada ibu yang benar setiap hari,” sahut Jayeng. “Yang ada, orang-orang yang berkali-kali meminta maaf dan mencoba lagi.”

Malam itu, mereka tertawa, lalu diam, lalu tertawa lagi. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Di lift apartemen, Jayeng menatap pantulan dirinya di cermin: mata yang dulu sering digenangi jam kerja kini menampung cahaya lampu lorong. Ia menyadari—ia tak lagi berusaha mengubah dunia menjadi panggungnya. Ia membiarkan dunia menjadi panggung semua orang, dan memilih menjadi penonton yang baik, sekaligus pemain yang jujur ketika gilirannya tiba.

.

Surat-Surat yang Tidak Pernah Terkirim

Di laci mejanya, Jayeng menyimpan surat-surat yang tidak pernah ia kirim: surat kepada dirinya yang berusia dua puluh dua—yang mengira satu-satunya cara membuat orangtua bahagia adalah menjadi cerita yang bisa diceritakan di arisan; surat kepada dirinya yang berusia dua puluh sembilan—yang memakai jam tangan mahal agar bisa menera keberhasilan; surat kepada dirinya yang berusia tiga puluh—yang menangis di kamar mandi kantor karena merasa semua orang bergerak kecuali dirinya.

Dalam tiap surat, ia menyelipkan kalimat yang sama: “Tak ada yang terlambat untuk pulang—selama kau mau mengetuk.”

.

Di Langit yang Sama

Kota-kota Indonesia selalu punya sore yang mirip: pasar tradisional mendekap bau daging dan daun pisang, mal menukar jam dengan diskon, pengajian di musala kecil mengusap udara. Di langit yang sama, orang-orang berlalu-lalang membawa resahnya masing-masing. Jayeng, kini, menjadi salah satu yang berjalan agak pelan. Ia bukan lagi “anak baik dari rumah mapan” yang pandai membuat orang tua bangga. Ia adalah manusia yang bersedia mengecewakan demi tak lagi berdusta.

Di sebuah gedung serbaguna di Jakarta Timur, ia berdiri di depan panggung kecil, menyapa dua ratusan peserta. Tak ada lampu sorot, tak ada layar megah. Hanya mikrofon, kursi, dan air putih.

“Terima kasih sudah datang,” ucapnya. “Kita mulai dengan satu kalimat, ya. Tulis untuk diri kalian—bukan untuk dibaca orang lain.”

Ia sendiri menunduk, menulis di kertas kecil. Kalimatnya sederhana, seperti berdoa tanpa menyebut nama: “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”

Di luar, hujan turun ringan. Jalanan basah, lampu-lampu memantul. Jakarta, yang selalu terlalu banyak dan terlalu cepat, malam itu seperti memperlambat langkah. Dan di langit yang sama, Jayeng—seperti kita semua yang sedang belajar—kembali menemukan dirinya.

.

.

.

Jember, 24 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #SastraIndonesia #KompasMingguVibes #UrbanJakarta #PulangKeDiri #MenemukanMakna #KelasMenengah #RefleksiDiri #MentalWellbeing #Storytelling

.

Petikan-Petikan  sebagai quote pemantik

  • “Hidup yang tidak dipilih sendiri serupa kemeja butik—pas di badan, gatal di hati.”

  • “Ambisi seperti garam: secukupnya memberi rasa, kebanyakan mengasin air mata.”

  • “Rumah tak pernah menuntutmu menang, ia hanya menunggumu benar.”

  • “Kita ini satu langit yang sama; pulang tidak selalu alamat, kadang cara menempatkan diri.”

  • “Tak ada yang terlambat untuk pulang—selama kau mau mengetuk.”

  • “Hidup ini bukan perlombaan siapa sampai duluan, melainkan perjalanan siapa paling jujur sampai ke tujuan.”

Leave a Reply