Jangan Pernah Puas

“Selalu ada yang lebih baik—rumah lebih lega, gaji lebih tinggi, pasangan lebih pengertian, teman lebih tulus. Tapi tanpa ‘rasa cukup’, semua ‘lebih’ hanya jadi lubang tanpa dasar.”

.

Malam menetes di kaca-kaca tinggi yang melingkari lobi hotel bintang lima di kawasan SCBD. Lampu kota menyala seperti rasi bintang buatan manusia. Di balik dinding kaca, lalu lintas melilit seperti gelang logam di pergelangan Jakarta: berkilau dan sesak. Lembu berdiri di ambang pintu putar, setelan gelapnya memantulkan pancaran lampu gantung yang menjuntai seperti hujan beku. Punggungnya tegang, telapak tangannya lembap. Dari dalam ballroom, musik jazz mengalun, gelas-gelas kristal beradu pelan—malam ini adalah gala dinner proyek properti miliaran, malam ini ia harus tampak meyakinkan.

“Lu inget kata orang, Lem,” Wira menepuk bahu Lembu, senyumnya menebarkan wangi aftershave mahal. “Di kota, bukan siapa yang paling pinter yang menang. Yang menang adalah yang paling tahan lapar—lapar validasi, lapar pencapaian, lapar standing ovation.”

Lembu ikut tersenyum, menelan getir yang merayap di tenggorokan. Di permukaan, hidupnya sedang menanjak: ia tinggal di apartemen baru di bilangan Senopati, jendela floor-to-ceiling, meja marmer, dan mesin kopi kapsul yang mendengung seperti jet mini setiap pagi. Di kantor, kartu aksesnya membuat lift bergerak ke lantai paling atas. Jabatan “Business Development Lead” menempel pada email signature-nya yang rapi. Namun malam-malam, ketika lampu kota mengajukan pertanyaan yang tak pernah padam, dadanya serasa kosong seperti lorong panjang tanpa pintu.

.

Percakapan yang Tidak Pernah Usai

Percakapan itu selalu datang di tengah malam, bahkan sejak jauh sebelum jas licin dan kartu akses. Semasa kecil di Pagergunung—kampung dingin yang tiap subuh diselimuti kabut tipis—ia kerap duduk di beranda rumah panggung yang kayunya mulai kelabu. Lampu minyak menyala redup; di dinding tergantung foto hitam putih orang tuanya: Mbok Darmi berdiri tegap di sisi lelaki berkemeja lusuh dengan senyum kering. Harta warisannya hanya dua: ketekunan dan cara memaknai sepi.

“Apakah aku salah kalau ingin hidup yang lebih baik, Ndara?” Lembu dulu berbisik pada angin. Kata “Ndara” itu—remahan kisah Menak Madura yang sering diceritakan guru bahasa daerahnya—melekat seperti azimat. Dalam dongeng-dongeng itu, Panjiwira memilih jalan rimba, Sekar Kirana menyaru, Gunungsari menyebrangi batas—semuanya demi “lebih baik”. Nama-nama itu mengendap dalam leksikon batin Lembu, lalu, di Jakarta, menjelma wajah-wajah baru: Wira yang licin dan terang benderang, Sekar Ratri yang hening dan istiqamah, Gunung—nama panggilan bosnya—yang tampak kokoh di luar, dingin di dalam.

Selepas kuliah, Lembu pernah pulang. Tak ada lowongan yang sudi menerima CV cantiknya; ia menambal hari-hari dengan mengajar les anak tetangga, dibayar telur, sayur, syukur. Ratri—tetangga masa kecil, kini pustakawan di perpustakaan kota kabupaten—menyelinap ke dalam hidupnya pelan-pelan, seperti wangi seduhan kopi tubruk yang meneteskan pagi.

“Kamu pulang membawa ilmu, Lem,” kata Ratri sambil melipat ujung kain jariknya yang mulai usang. “Tak semua pulang berarti kalah.”

Tapi di dada Lembu, “lebih baik” memukul-mukul seperti burung yang gelisah di sangkar. Wira menghubunginya: Jakarta, dua digit, apartemen, rapat dengan bos-bos besar. Kalimat-kalimat itu menyalakan pelita yang memburu bensin. Lembu berangkat tanpa menoleh.

.

Gengsi yang Melelahkan

Jakarta menyambut dengan cekatan. Di hari-hari pertama, Lembu menandai kota lewat kopi: espresso keemasan di Senopati, cold brew di Kemang, V60 di Cikini. Ia memotret segala sudut; algoritma memberinya jempol. Kantornya mengerjakan proyek ambisius: kompleks residensial berkonsep luxury urban sanctuary di atas tanah reklamasi, pusat gaya hidup yang menjual wacana “pulih” di tengah kebisingan kota. Brosur memamerkan gambar keluarga bersenyum di balkon—ayah-ibu-anak memandangi laut dari kolam renang tanpa batas.

“Apa pun bisa jadi sanctuary, selama kita pandai menjahit narasi,” kata Gunung, bosnya, lirih dan mantap. “Termasuk beton.”

Lembu, yang sejak kecil senang menyusun kalimat, meminjamkan kepandaiannya. Ia ikut menyusun narasi, mematri istilah: mindful living, curated neighborhood, slow luxury. Kata-kata yang enak didengar, yang membuat siapa pun percaya akan kehidupan baru di dalam pagar tinggi.

Malam-malam, ia pulang ke apartemen, meletakkan jasnya di sandaran kursi, menatap kota. Di gelap jendela, ia menangkap refleksi: wajahnya sendiri, bertamu di balik kaca. Ia meraih ponsel; ada pesan dari Pagergunung.

“Mas, Mbok Darmi tadi siang jatuh di dapur. Tapi sudah baikan. Ndak usah khawatir,” tulis tetangga lama, Joko.

Lembu mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Ujungnya, ia kirim stiker senyum. Esoknya ia sibuk presentasi, lari-lari ke rapat, menjawab email, menyusun rencana. Mbok Darmi, yang menua pelan-pelan seperti hujan memutihkan batu, membiarkan anaknya berkejaran dengan jarum jam.

Di sisi hidupnya, Wira megah seperti spanduk. Rekeningnya berkembung, feed-nya berkilau. Di caption, Wira menulis, “Upgrade is a must. Jangan pernah puas.” Lembu menyukai unggahan itu. Semua orang menyukainya.

.

Sekar Ratri dan Kertas-Kertas Tanpa Bunyi

Suatu malam di sela jadwal padat, Lembu bertemu Ratri di kedai buku kecil di Jalan Sabang. Ratri datang sebagai peserta diskusi—sepatu kets putihnya agak kotor, tas ransel kecilnya penuh buku pinjaman. Mereka duduk berdampingan, memesan teh manis.

“Jakartamu terang ya,” ujar Ratri sambil menatap neon yang memantul di aspal basah.

“Terang, tapi silau,” jawab Lembu, setengah bercanda.

Ratri tertawa, lalu diam. “Kamu nggak takut kehilangan dirimu, Lem?”

“Diriku yang mana?”

“Yang bisa menunggu.”

Pertanyaan itu menempel seperti getah. Tetapi sebelum Lembu sempat meresap, ponselnya bergetar. Grup kerja: urgent. Ia minta pamit, meyakinkan diri akan menemuinya lagi lain waktu. Di trotoar yang diguyur lampu putih, siluet Ratri mengecil, sementara layar ponselnya membesar, menenggelamkan.

Di kantor, Gunung menunggu. Ada berkas-berkas yang harus ditandatangani—dokumen internal, kata Gunung. “Bagian dari realitas,” katanya, “di negeri yang tata ruangnya didefinisikan oleh yang punya ruang.”

Lembu membaca sekilas. Ada istilah yang membuatnya dingin: kompensasi. Ada skema yang memindahkan garis pantai dan batas moral. Selembar kertas tidak bersuara, tapi tangan yang meneken menyimpan gema. Ia menatap pena. Di luar kaca, kota menampakkan wajah terbaiknya. Ia meneken.

.

Telepon dari Pagergunung

Pukul dua dini hari. Lembu baru pulang. Di apartemen, ia menyalakan keran, menatap air jatuh seperti tali-tali cahaya. Ponselnya berdering—nomor dari Pagergunung. Suara Joko bergetar: “Mas Lembu, Mbok Darmi dibawa ke rumah sakit. Tumornya… dokter bilang sudah berat.”

Di kepala Lembu, jarak Jakarta–Pagergunung berubah jadi garis tipis di peta, lalu jadi jurang. Ia berdiri kaku. “Aku pulang besok,” katanya. “Pagi.”

Pagi itu, kantor meledak dengan angka-angka. Signing ceremony. Klien menunggu. Gunung memanggil, “Tanganmu yang menyalakan mesin ini, Lem. Kalau kau tidak ada, roda macet. Pulanglah besok lusa. Sehari lagi.” Sehari—sekalimat yang selalu tampak ringan bagi mereka yang tak sedang kehabisan hari.

Lembu memandang kalender, memikirkan tiket, memikirkan foto-foto Mbok Darmi. Lalu ia meyakinkan diri: sehari saja. Ia berdiri di podium, menggenggam pena lagi. Kilat kamera menelan wajahnya. Ketika sorak-sorai reda, teleponnya bergetar tanpa henti. Pesan dari Ratri: “Ibuku dulu berkata, kalau hati memanggil, kaki jangan diajak tawar-menawar.” Lembu menelan ludah. Ia sudah menangkap tanda, tapi ia baru melangkah ketika semuanya terlambat.

Sore itu, layar ponselnya menyala: “Ibumu sudah tenang. Kami kuburkan beliau di samping Bapak. Aku tunggu kau pulang.” Lembu duduk lunglai, dinding kaca apartemen melengkung menjadi cermin kesalahan.

Di malam yang memanjang tanpa ujung, ia membaca surat tulisan tangan Mbok Darmi—surat yang Ratri foto dan kirim: “Lembu, dunia ini luas. Tapi rumahmu adalah tempat di mana hatimu merasa cukup. Kejar mimpimu, Nak, tapi jangan sampai mimpi itu mengusirmu dari dirimu sendiri. Yen atimu tansah ngoyak ‘luwih’, awakmu bakal tansah krasa kurang.” Tulisan itu miring-miring, huruf “r”-nya seperti kait. Lembu menggenggam ponsel sampai sendinya putih.

.

Kota yang Tiba-Tiba Mengecil

Pemakaman berlangsung tanpa kehadirannya. Pagergunung mendung. Ratri menyiarkan dengan kata-kata pendek. Lembu menatap langit Jakarta yang bersih, seolah-olah kota ini tidak memiliki hari duka. Esoknya, ia pulang. Jalan naik ke Pagergunung terasa seperti tangga yang dibuat dari sesal. Di pusara terbaru, tanah masih lembap; bunga melati merunduk. Lembu berjongkok, meletakkan dahinya di nisan kayu. Tak ada kata. Hanya bunyi napas yang patah.

Ratri berdiri beberapa langkah di belakang, membuka payung kecil. Hujan turun pelan. “Maafkan aku,” kata Lembu akhirnya, nyaris tanpa suara.

Ratri menutup payung, membiarkan rambutnya basah. “Kita semua terlambat pada sesuatu, Lem. Tapi jangan terlambat pada dirimu yang bisa berubah.”

Di rumah tua, Lembu membuka lemari. Jaket lusuh pemberian almarhum bapak masih tergantung, berbau matahari yang jauh. Di meja, ada kaleng bekas biscuit berisi nota-nota belanja: minyak goreng, gula, obat nyeri sendi. Hidup ibunya sederhana; selama ini ia mengira kesederhanaan adalah bentuk kekalahan. Kini ia tahu: mungkin itu bentuk kemenangan yang paling sunyi.

Malamnya, Pagergunung tidur lebih cepat dari Jakarta. Lembu duduk di beranda, memandang bukit yang gelap. Angin membawa suara serangga seperti zikir. Ia menyalakan ponsel; notifikasi dari dunia yang dulu ia kejar berloncatan: rapat, target, follow up, press interview. Ia mematikan data. Untuk pertama kali setelah sekian lama, ia membiarkan malam tidak berbunyi.

.

Ketika Semua yang ‘Lebih’ Menjadi Berita

Beberapa minggu kemudian, berita meledak. Di aplikasi berita, di televisi, di grup keluarga: Wira ditangkap karena dugaan korupsi. Foto-fotonya disandingkan dengan caption yang dulu ia tulis sendiri: “Upgrade is a must.” Kantor tempat Lembu bekerja masuk daftar perusahaan yang diperiksa. Nama Gunung disebut. Nama Lembu melintas di salah satu artikel sebagai bagian dari tim yang menandatangani—hanya melintas, tapi cukup untuk membuat punggungnya dingin.

Telepon berdering terus. Beberapa teman kerja meminta bantuan, beberapa menawarkan pengacara, beberapa menghilang. Gunung mengirim pesan pendek, “Bertahan. Ini hanya badai.” Ratri, satu-satunya yang tidak bertanya apa-apa, hanya mengirim sebuah kalimat dari buku yang kerap ia baca: “Tak semua cuaca harus diprediksi. Sebagian cukup dilewati.”

Lembu memandang sawah. Langit Pagergunung setelah hujan seperti kain yang dicuci bersih. Ia menghabiskan sisa-sisa hari dengan menyulam ulang pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia bungkam: kenapa ia meneken, untuk siapa ia mengejar, kapan terakhir ia merasa bangga bukan karena tepuk tangan, melainkan karena hati yang tenang?

Dari ruang tamu, memancar suara anak-anak tetangga belajar membaca. Mereka meminta Lembu bercerita; ia mengeluarkan kembali dongeng lama: Panji yang menyaru, Sekar yang berpindah rupa, Gunungsari yang menempuh jalan lurus ketika semua tikungan tampak lebih mudah. Di sela cerita, Lembu mengubah ending: kali ini, para tokoh belajar kembali menamai “cukup” bukan sebagai kata yang malas, melainkan sebagai kata kerja yang berani.

.

Dari Koperasi ke Kota, Dari Kota ke Koperasi

Kembali ke Jakarta bukan pilihan mudah. Ada perkara yang harus dihadapi. Ada kantor yang goyah. Ada nama yang perlu dijelaskan. Beberapa minggu kemudian, Lembu duduk di hadapan penyidik, menjawab pertanyaan, menyodorkan semua yang ia tahu. Ia memilih tidak jadi pahlawan yang menyelamatkan diri sendiri; ia memilih jadi manusia yang akhirnya berkata jujur. Beritanya singkat, tak sebesar berita Wira. Tapi di dalam, sebuah pintu terbuka sedikit.

Setelah itu, alih-alih menyerah, ia kembali menenun hari-hari dari akar. Ratri datang membawa gagasan: koperasi petani muda Pagergunung. Mereka mengajak kawan-kawan lama—Joko, Kemuning, Ragil, Panji kecil yang sebenarnya bukan Panji—mengubah cara menanam, memasarkan, mengemas. Lembu meminjam ilmu narasi yang dulu ia gunakan untuk menjual beton, kini ia pakai untuk menjual sayur organik: segar, adil, berkelanjutan. Mereka membuat kelas sore, mengajari anak-anak menulis cerita dari kebun—bahwa ada kisah di setiap akar, ada matematik di setiap bedengan.

Kota ternyata tidak benar-benar memusuhi: seorang jurnalis muda, Candra, menulis tentang komunitas Pagergunung; sebuah toko bahan makanan sehat di Kemang memesan bawang dan cabai, memberi label “dari gunung, untuk kota”; seorang chef—Kelana, bekas klien dari gala dinner—pindah jalur membuka bistro yang menyisihkan jam operasinya untuk kelas memasak anak. Jakarta mengulurkan tangan yang baru, bukan tangan pesta, melainkan tangan yang bertanya dengan jujur: “Bagaimana kita bisa hidup saling menguatkan?”

Di sela kesibukan, Lembu merapikan rumah tua. Ia tidak mengubah banyak. Balok kayu tetap dibiarkan menua; ia hanya mengganti atap bocor, menambal dinding, menambah rak buku. Di beranda, ia menancapkan papan kecil bertuliskan: “Sekolah Sore Pagergunung.” Setiap pukul empat, anak-anak berdatangan, membawa buku, membawa cerita. Mereka belajar menghitung dengan biji kopi, belajar geografi dengan peta sederhana, belajar keberanian dengan membaca puisi keras-keras. Tak ada ijazah, hanya air mata kadang-kadang karena menemukan diri sendiri tak semudah menemukan jawaban pilihan ganda.

Di beberapa malam, Lembu dan Ratri duduk berdampingan, meminum teh dan diam. Keheningan mereka bukan lagi tanda canggung; itu cara mereka mendengar suara yang tidak keluar dari mulut—suara hidup yang sedang tumbuh, perlahan.

.

Kenangan yang Tidak Selesai, Masa Depan yang Tidak Terburu

Di satu subuh yang bening, kabut tersangkut di pucuk bambu. Lembu membuka jendela, memasang jaket lusuh pemberian bapak. Benda itu memeluknya seperti pesan yang tak retak oleh waktu. Ia menuruni tangga, menyapu beranda. Di tanah, benih-benih kecil menunggu musim.

Ponselnya berdering; sebuah email dari firma konsultan di Jakarta—bukan kantornya yang dulu. Mereka menawarkan pekerjaan paruh waktu: menyusun narasi untuk program urban–rural link, jembatan antara kota dan desa. “Kami butuh orang yang berbicara kedua bahasa,” tulis mereka. “Bahasa pertumbuhan dan bahasa kesabaran.”

Lembu tersenyum. Ia memikirkan cara mengatur waktu, memastikan koperasi tidak terganggu, memastikan Sekolah Sore berjalan. Ia memikirkan Jakarta, bukan sebagai panggung yang minta tepuk tangan, melainkan sebagai tetangga yang bisa bekerja sama. Ia memikirkan Ratri—mereka belum menamai hubungan itu dengan apa-apa; barangkali nama bukan hal paling penting. Ratri menyukai kata-kata yang berjalan pelan, bukan spanduk yang berteriak.

Sebelum menjawab email, Lembu menulis kalimat sederhana di buku catatannya:

“Kita boleh ingin hidup yang lebih baik, tetapi jangan lupa: yang terbaik tidak selalu berada di ujung pencapaian; sering kali ia berdiam dalam rasa cukup.” Ia menutup buku, menarik napas panjang, dan untuk pertama kali, kata “cukup” tidak terdengar seperti rem, melainkan seperti jalan pulang.

.

Jakarta yang Lain

Beberapa bulan berlalu. Lembu bolak-balik Pagergunung–Jakarta dengan ritme yang ia atur sendiri. Ia masih mengenakan setelan ketika perlu berpresentasi, tetapi kini setelan itu tidak lagi terasa seperti kulit pinjaman. Di ruang rapat, ia membicarakan angka bersama orang-orang yang mau mendengar cerita di balik angka itu: siapa yang menanam, siapa yang mengangkut, siapa yang belanja, siapa yang makan. Mereka menulis ulang skema: pemasok dibayar tepat waktu, limbah diolah, pekerja mendapat ruang aman.

Suatu malam, ia kembali ke ballroom tempat gala dinner dulu. Bukan untuk selebrasi, melainkan untuk pameran kecil: foto-foto kehidupan koperasi, rak kecil berisi sayur, video anak-anak membaca puisi tentang biji dan musim. Orang-orang datang, sebagian memandangi dengan kepala sedikit miring, sebagian mencicipi tumis sederhana yang disajikan hangat. Di pojok ruangan, Kelana, sang chef, memimpin kelas singkat. Wira—yang kini menjalani hukumannya—tidak ada di sana. Gunung—yang perkaranya berlarut-larut—menghilang dari layar. Di panggung, nama-nama baru naik: orang-orang yang menyebut “lebih baik” sebagai hasil dari pertemuan, bukan perburuan.

“Gimana—kamu rindu euforia?” tanya Candra, si jurnalis, mengulurkan mikrofon untuk wawancara singkat.

Lembu menatap lampu gantung yang dulu terasa dingin. “Aku rindu ketenangan,” jawabnya. “Euforia datang dan pergi. Ketenangan bisa tinggal kalau kita menyiapkan kursinya.”

Ratri menatap dari kejauhan, tersenyum. Ia memotret momen itu, lalu menaruh ponselnya, memilih menyimpannya di kepala—di tempat yang tak bisa dihapus.

.

Penutup yang Tetap Terbuka

Malam kembali menetes di kaca-kaca tinggi kota. Lembu berdiri di ambang pintu putar yang sama, tapi jantungnya tak lagi berderap. Di saku, ada tiket KAI ke kota kabupaten, ada daftar belanja alat tulis untuk Sekolah Sore, ada rencana kecil-kecil yang tidak meminta sorot lampu. Jakarta tidak mengecil, Pagergunung tidak membesar; keduanya sekadar dua sisi dari kain yang sama.

Di beranda rumah panggung, nanti, ia akan duduk berselonjor dengan jaket lusuh, menatap langit. Ia mungkin masih akan berbicara pada “Ndara”—sisa dongeng Menak Madura yang menolak jadi debu—bertanya pertanyaan lama dengan nada baru. Tidak lagi, “Apakah aku salah ingin lebih baik?” melainkan, “Apakah hari ini aku sudah cukup baik pada diriku dan sesamaku?”

Ratri akan keluar membawa teh jahe. Angin gunung menutup buku hari itu dengan pelan. Dan di antara bunyi serangga, terdengar jawaban yang tak perlu didramatisir: cukup—kata sederhana yang mengembalikan manusia pada ukuran yang wajar, pada ambisi yang bermoral, pada kebahagiaan yang tidak disandera spanduk.

“Jangan pernah puas pada proses memperbaiki diri, tetapi belajarlah puas pada rasa syukur yang melindungimu dari kerakusan.”

Dan begitulah, malam menggulung seperti gulungan tikar; hari esok, dengan seluruh kemungkinan “lebih baik”-nya, menunggu pada ambang pintu yang tidak lagi menakutkan.

.

.

.

Jember, 22 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #FiksiUrban #KelasMenengahAtas #MenakMadura #Ambisi #RasaCukup #EtikaKerja #KotaDanDesa #SekolahSore #Indonesia

Leave a Reply