Pelukan yang Tak Ramah

“Tidak semua pelukan dimaksudkan untuk menghangatkan.
Ada yang merapat hanya untuk mengukur di mana harus menusuk.”

“Jarak bukan semata-mata menjauh.
Kadang, jarak adalah cara paling sopan untuk menyelamatkan diri.”

“Tidak semua yang dekat membawa niat baik. Ada pelukan yang ternyata menyimpan belati, dan tawa yang menyamarkan pengkhianatan.”

Langit sore di Kota Salatiga menggantung mendung kelabu. Hujan belum turun, tapi udara sudah dingin lebih awal. Di antara deretan bangunan tua bekas kolonial yang berdiri anggun di sudut kota, seorang pria dengan jaket abu dan ransel lusuh melangkah pelan menuju halte. Namanya Wirya. Wajahnya teduh, tapi matanya mengandung perih yang dalam. Ia bukan pendatang baru, tapi rasanya hari ini ia berjalan seperti orang asing.

Ia baru saja keluar dari gedung kaca—co-working space yang jadi markas komunitas kreatif yang dulu dirintisnya: Sagara Urban. Di dalam, neonsign berkelip biru, grafiti dinding menampilkan sayap-sayap yang mengajak orang berfoto. Semua tampak trendi, mahal, gaul. Semua seperti panggung rapi yang tersusun untuk menutupi satu hal: ada hati yang sedang dipindahkan dari tengah ke pinggir, dari subyek ke latar. Hati itu milik Wirya.

.

Pertemuan yang Membuka Luka

Ruang rapat beraroma pour over dan kertas baru dipotong. Musik instrumental merayap di sela-sela tawa. Di ujung meja, seorang pria berkemeja putih dengan jam tangan yang tak pernah lepas dari sorotan kamera influencer berbicara lantang. Orang memanggilnya Rakeyan—akrabnya, Rakai—nama yang ia pilih sendiri saat rebranding pribadinya sebagai “creative rainmaker”.

“Gini ya,” kata Rakai sambil menekan telunjuk ke meja, “bukan soal ide lu, Wir. Ide lu bagus. Tapi pola lu… too attached. Komunitas ini perlu orang-orang yang professional, bukan yang baper tiap kali dikritik.”

Tawa kecil bertebaran, seperti serpih kaca. Ada yang menunduk seolah membetulkan tali sepatu. Ada yang rapi mengetik sesuatu di laptop, pura-pura fokus. Di layar, presentasi berjudul “Sagara Urban 2.0: From Community to Ecosystem” masih terbuka. Di Nota Kesepahaman baru yang drafnya beredar, nama Wirya digeser ke bawah, ke bagian “Founder (emeritus) – advisory on demand”.

Wirya meneguk kopi yang sudah hambar. Tenggorokannya terasa sempit. Ia mengangguk kecil, menjaga agar suara tidak pecah. “Oke,” katanya pelan, “kalau ini yang terbaik buat semuanya.”

Rakai tersenyum, lalu berdiri, merangkul Wirya di hadapan semua, pelukan yang hangat untuk kamera—hangat yang terasa dingin pada tulang. Kala lampu sorot content creator berpendar, pelukan itu sukses merekam satu pesan: kami rukun, kami profesional, tak ada yang terluka. Hanya saja, setelah pelukan, ada bisik: “Santai. Namamu tetap ada kok. Biar terlihat legacy.”

Di dada Wirya ada sesuatu yang patah tanpa suara.

.

Kilas Balik Sebuah Ketulusan

Empat tahun lalu, sebuah ruangan di lantai dua bangunan lama di Jalan Diponegoro disulap jadi ruang temu. Catnya mengelupas, kipasnya berdecit, tapi mata orang-orang yang datang ke sana menyala seperti lampu panggung. Di situ, Wirya mengetuk pintu satu per satu, mengundang anak-anak muda yang suka menulis, menggambar, memotret, ngoprek code, atau sekadar melamun.

Ia menjual laptopnya untuk bayar uang muka sewa setahun. Ia mengantar proposal ke toko kue legenda kota, ke dealer mobil, ke perguruan tinggi swasta milik yayasan besar. Ia menata timeline sosial media, menyiapkan poster untuk open mic, film pendek, mural, dan kelas kecil “mendengar yang tak terucap”.

Suatu malam, saat acara pertama selesai dan kursi-kursi lipat ditumpuk bersamaan dengan rasa lega, seorang pemuda datang membawa tumpukan mockup desain. “Nama saya Rakeyan,” katanya, “tapi teman-teman panggil Rakai.” Ia tajam dalam bicara, ringan dalam tertawa, pandai merangkum gagasan. Wirya menepuk bahunya.

“Kalau kita bisa bareng dari nol,” kata Wirya, “kita pasti kuat sampai atas.”

Dan mereka naik. Sponsor berdatangan. Pemerintah kota mengetuk: tolong kurasi acara untuk memperingati ulang tahun kota. Logo “Sagara Urban” menempel di spanduk, kaos, lanyard, dan booth kopi. Kamera televisi lokal sesekali datang, menyebut mereka gerakan anak muda yang menata masa depan.

Tatkala lampu semakin terang, bayangan-bayangan pun muncul. Ada rapat-rapat tanpa undangan, ada draf tanpa komentar, ada keputusan tanpa konsultasi. Nama-nama yang dulu ia tulis dengan tangan sendiri perlahan disusun ulang. Nama Wirya masih ada, tetapi perannya menjadi catatan kaki.

.

Menyadari, Merekam, Menghela Napas

Suatu malam di kamar kosnya yang kecil—bangunan dua lantai di gang yang bau hujan dan wangi minyak kayu putih—Wirya memutar ulang voice notes yang “tak sengaja” terkirim padanya. Suara perempuan yang ia kenal—Nisrina, brand strategist yang sering menyebut “narrative architecture”—berkata datar: “Kalau Wirya pergi sendiri, story kita bakal rapi. Founder yang bijak, beralih jadi penasihat. Lebih gampang jual ke klien tier atas.”

Ada tawa yang menempel setelahnya. Tawa yang dulu terdengar seperti rekan satu tim, kini terdengar seperti penonton yang menepuk tangan saat pemain utama terpeleset.

Wirya menutup mata. Ada sakit yang menolak ditata. Ia tidak pandai marah. Ia tidak belajar memaki. Ia hanya memindahkan napas ke perut, menunggu detak yang terlalu cepat itu perlahan kembali ke ritme.

“Ternyata, setia pada cita-cita bukan jaminan kau disetiai manusia.
Yang kau rawat bisa mekar—untuk orang lain memetik.”

Esoknya, ia mengetik kalimat pendek di grup inti:
Halo semua, terima kasih untuk perjalanan yang kita tempuh bersama. Per hari ini aku mundur dari peran aktif. Doakan aku baik-baik. Semoga kalian juga.

Dari 47 nama, dua yang membalas: Angganaya—penyair yang suka menggunakan pseudonim Anaya—dan Panca—videografer yang tak pernah lupa menepuk bahu tiap orang yang terlihat lelah. Yang lain? Centang biru. Hening yang panjang. Seen, seolah legacy itu sekadar story highlight yang bisa disembunyikan tanpa notifikasi.

.

Kota, Kelas, dan Kemeriahan yang Membisu

Salatiga pada jam kerja adalah kota kecil yang berlagak besar. SUV hitam dengan lampu siang menyala menderu pelan, melewati kafe-kafe yang menamai diri dengan kata “lab”, “atelier”, “society”. Para pekerja baru kelas menengah atas—remote worker dengan gaji dolar, manajer brand, pengusaha cloud kitchen—berlomba memesan signature drink. Gelas double wall dan pastry pahit-manis menyusun estetika “we’ve made it”.

Di kafe “Ratna Society”—dinamai dari ibu pemiliknya, Ratna Ayu—Wirya duduk di dekat jendela. Ia membuka laptop. Tampilannya sederhana: waveform yang menyala, aplikasi untuk merekam podcast. Di buku kecilnya, ia menulis judul yang sudah lama berputar di kepala: Jaga Jarak, Jaga Hati.

Episode pertama bukan tentang dendam. Ia merekam napasnya dulu, 30 detik. Lalu ia cerita, datar dan pelan: tentang ruang yang dibangun bersama, tentang tawa yang memudar, tentang pelukan yang disiapkan untuk kamera, bukan untuk manusia. Ia tidak menyebut nama. Ia menyebut luka dan cara merawatnya.

“Kita bisa mengampuni tanpa kembali,
bisa menghargai tanpa mengizinkan diulang.”

Tiga minggu kemudian, episodemu jadi percakapan di ruang-ruang rapat yang dingin oleh AC. Ada ibu-ibu profesional yang memutar saat perjalanan Bandung—Jakarta, ada anak magang yang menyalakannya sambil menyusun deck. Jaga Jarak, Jaga Hati mengudara, menempati daftar top di platform lokal. Wirya kaget, tapi tidak girang. Yang ia rasakan justru campur rasa: lega karena ditemani, haru karena ternyata banyak yang senasib, dan sepi karena menyadari—betapa luas dunia ini, betapa seragam pola lukanya.

.

Rakai, Ratna, dan Ruang-ruang yang Beririsan

Dari semua notifikasi, satu pesan membuatnya menahan napas lebih panjang dari biasa. Rakai mengirim link: Artikel feature di majalah bisnis. Judulnya mencolok: “Sagara Urban 2.0: Membaca Ulang Arsitektur Komunitas Kreatif”. Foto-fotonya cantik—jendela besar, neon, kemeja putih, gelas kristal, senyum yang diatur. Ada satu paragraf yang menyebut “pendiri generasi awal”, tanpa nama. Ada satu lagi yang memuji “ketegasan kepemimpinan baru”.

Sore itu, Rakai juga mengirim pesan singkat: “Wir, kita perlu ketemu. Biar clear. Aku rindu ngobrol yang dulu.”

Wirya menimbang. Ia memilih bertemu di ruang yang bukan markas mereka, bukan kafe yang menyediakan diskon khusus untuk komunitas, bukan tempat di mana tatapan bisa diinterpretasi sebagai “siapa yang milik siapa”. Mereka bertemu di Ratna Society. Ratna, yang rambutnya selalu dicepol rapi seperti ibu-ibu bangsawan kota kecil, menyambut wirya dengan senyum yang tidak menuntut percakapan. “Nanti aku kirim lotus tea-nya, ya,” katanya.

Rakai datang dengan wewangian yang mengalahkan aromaterapi ruangan. Ia menaruh kunci mobil di meja—kebiasaan orang yang ingin didefinisikan oleh benda yang ia bawa. Ia membuka tangan—pelukan itu. Wirya menyambut secukupnya. Tidak menolak, tidak menambah.

“Gue salah cara,” kata Rakai, “tapi gue bener niat. Kita perlu move on, jadi gue bikin struktur yang efisien. Lu kan… too sentimental.”

“Kalau tujuan lu bener,” jawab Wirya, “kenapa cara lu harus menyembunyikan? Kenapa gak bilang di awal kalau lu mau memimpin sendiri? Biar gue mundur dengan kepala tegak.”

Rakai menatap jendela. Hujan menitik satu-satu, seperti mengetuk. “Lu tau sendiri, sponsor-sponsor besar butuh simbol. Mereka butuh figure yang sesuai gambar. Lu… terlalu… asli.”

Di dalam dada Wirya, sesuatu yang lama dipertahankannya—harap agar suatu saat Rakai minta maaf sepenuh hati—pelan-pelan menyusut. Yang tersisa bukan marah, melainkan kepastian. Bahwa ada orang-orang yang memahami hati, tetapi memilih jalan yang lain karena angka-angka.

“Beberapa orang bukan tak mampu mengerti kita.
Mereka hanya memilih apa yang lebih menguntungkan mereka.”

“Gue gak minta lu balik,” kata Rakai akhirnya, suaranya melembut bagai daun basah, “tapi gue minta… lu jangan rekam hal-hal yang bikin brand kita susah melaju.”

Wirya tersenyum. “Gue gak sebut nama. Gue rekam luka agar gak mengulang luka.”

Mereka bubar tanpa marah. Tanpa damai. Hanya dua orang dewasa yang sama-sama memilih kursi yang berbeda di ruang yang sama dinginnya.

.

Ayah, Ibu, dan Pelukan yang Ramah

Malam itu, Wirya pulang lebih awal ke rumah orangtuanya di sisi kota yang lebih tua. Ayahnya, mantan pegawai bank yang pensiun dini untuk membuka toko alat tulis kecil, menunggu di teras. Ibunya, perias pengantin yang kini lebih suka meronce melati untuk sembahyang, menyeduhkan jahe hangat. Rumah itu tidak mewah, tetapi rapi dalam cara yang tak bisa ditemui di hotel bintang lima: ada kalender keluarga dengan lingkaran merah di tanggal ulang tahun tiap anak, ada foto-foto yang tidak kurasi.

“Dari dulu kamu paling gak bisa nolak,” kata Ibu, mengusap lengan anaknya. “Kalau disuruh milih, kamu milih capek daripada mengecewakan orang.”

Ayah mendengarkan sambil memutar radio yang memutar keroncong klasik. “Orang baik boleh kalah taktik,” katanya, “tapi jangan kalah prinsip.”

Malam itu, pelukan yang paling ramah bukan datang dari struktur, bukan dari rapat, bukan dari press release. Pelukan itu datang dari dua orang yang tidak butuh kamera untuk mengingatkan diri mereka bahwa kasih itu tidak butuh bukti.

.

Anaya dan Panca: Dua Nama yang Menjawab

Di episode ketiga, Wirya mengundang Anaya dan Panca. Mereka bercerita dengan tawa yang sesekali patah. Anaya mengaku pernah “dipinjam namanya” untuk proposal, sementara honor kerap tak sampai. Panca mengaku pernah “diminta fleksibel” untuk syuting pro bono demi “eksposur masa depan”.

“Aku capek jadi kata kerja orang lain,” ujar Anaya.
“Aku capek jadi angka dalam budget orang lain,” tambah Panca.

Wirya tidak mengomentari panjang. Ia hanya merangkum: “Ada waktu untuk berbesar hati, ada waktu untuk belajar menolak. Menolak bukan berarti jahat. Menolak, kadang, adalah cara menjaga kehormatan.”

Episode itu mengalun ke banyak telinga. Ada yang mengirim surel panjang bercerita; ada yang mengirim foto gelang tangan—hadiah untuk diri sendiri karena akhirnya berani keluar dari ruangan yang membuat dada sesak. Di Ratna Society, Ratna menambahkan kutipan baru di papan tulis: “Jarak adalah ruang bernapas. Hati juga butuh oksigen.”

.

Undangan yang Datang Saat Kita Tidak Lagi Menunggu

Beberapa bulan kemudian, Jaga Jarak, Jaga Hati diundang tampil di festival sastra kota. Panitia menawarkan honor yang “tidak simbolis”, hotel berbintang, dan panggung sore. Wirya menolak hotel, memilih pulang-pergi agar bisa makan malam di rumah. Ia memakai kemeja hitam polos yang disetrika ayahnya.

Menjelang naik panggung, pesan masuk. Nama pengirim: Rakai.
“Wir, maaf. Kita… kehabisan relawan. Ada krisis kecil. Bisa bantu dari balik panggung? Sedikit aja.”

Bukan pertama kali Wirya diminta “sedikit saja”—kata yang di masa lalu berarti “semua, hanya saja tanpa kredit”. Ia membaca pesan itu dua kali. Ia menutup layar. Di panggung, panitia memanggil namanya. Lampu menghangatkan kening. Kursi penuh. Hujan menggantung di luar gedung aula. Ia melihat ke barisan depan: Ayah, Ibu, Anaya, Panca, dan Ratna duduk rapat, tangan saling mencari tangan.

“Selamat sore,” kata Wirya, “saya akan mulai dengan satu kalimat yang menyelamatkan saya dari kebiasaan memaafkan sambil melupakan diri sendiri.”

Ia jeda.
Kita tidak wajib kembali ke rumah yang pernah membakar kita.

Ruang menjadi senyap. Kata-kata itu seperti menepuk punggung seseorang yang selama ini membungkuk.

“Memaafkan itu obat.
Tapi kembali ke racun—itu pilihan.”

Pertanyaan datang satu per satu. Ada mahasiswa yang ingin tahu bagaimana membedakan kritik jujur dan kritik yang bersenjata. Ada manajer HR yang bercerita tentang “karyawan emas” yang dipotong sinarnya agar atasan tidak silau. Ada founder muda yang baru saja tahu bahwa cap table bisa digunakan sebagai senjata halus.

Wirya tidak memberi resep. Ia mengulang hal-hal sederhana: dengarkan tubuhmu, track perasaanmu, simpan catatanmu. Jika pelukan datang bersamaan dengan penghapusan namamu, itu bukan pelukan. Itu prosedur.

Di akhir acara, ia menutup dengan satu kalimat yang membuat Ibu menitikkan air mata dan Ayah mengangkat dagu sedikit lebih tinggi dari biasa:

“Terima kasih, karena aku akhirnya menemukan pelukan yang paling ramah—
pelukan yang menegakkan punggung, bukan yang melipatkannya—pelukan dari diriku sendiri.”

Tepuk tangan meledak, bukan gegap gempita pesta, melainkan tepuk tangan orang-orang yang menemukan kalimat yang seharusnya mereka dengar sejak lama.

.

Setelah Lampu Dipadamkan

Malam merayap. Wirya berjalan sendirian di trotoar, melewati butik yang baru saja tutup dan dealer mobil yang memajang mimpi harga miliaran. Kota kecil ini tahu cara menampilkan diri seperti kota besar: rapih, tertib, aspirational. Di lampu merah, ia berhenti. Hujan masih menahan diri. Udara dingin seperti tangan yang menyentuh leher, mengingatkan bahwa besok ada hari lagi yang harus dihidupi tanpa panggung.

Di ponsel, ada notifikasi dari nomor yang tersimpan sebagai “Raden”—kawan lama, pengarsip, orang yang dulu memperkenalkan Wirya pada puisi Menak Madura. “Wir, aku denger. Bangga. Jangan lupa, di kisah lama pun, yang menak bukan hanya gelarnya, tapi ketahanan hatinya.”

Wirya tersenyum. Ia membalas: “Aku coba.”

Di kaca toko, bayangan dirinya memantul: tidak lagi lelaki dengan ransel lusuh yang hilir mudik menalangi tagihan, juga bukan sosok yang tersingkir. Di pantulan itu, ia melihat seseorang yang akhirnya mengambil kembali hak atas dirinya: menamai, menentukan, memeluk.

.

Kabar dari Ruang Lama

Seminggu kemudian, rumor menyelinap—sponsor besar menunda kerja sama. Bukan karena Wirya, bukan karena podcast, tapi karena struktur yang terlalu rumit untuk deliver. Ada turnover sunyi, ada kontrak yang dirombak tergesa. Sagara Urban tak runtuh; ia hanya goyah, seperti dinding tua yang membutuhkan perancah.

Rakai mengirim satu pesan terakhir:
“Wir, terima kasih. Gue ngerti sekarang, pelukan itu bukan strategi. Itu seharusnya rumah. Maaf karena dulu gue menata kamera, bukan hati.”

Wirya membaca lama. Ia tidak membalas. Kadang, diam bukan amarah. Diam adalah doa tanpa kata—agar seorang kawan tua belajar pelan-pelan menata ulang apa yang dulu mereka rusak bersama.

.

Menutup, Membuka

Di episode kesepuluh, Jaga Jarak, Jaga Hati menutup musim pertamanya. Wirya memilih merekam di rumah, bukan di kafe. Suara jangkrik menyelinap. Ibu menaruh jahe hangat di meja, Ayah mengetuk pintu pelan agar suara langkahnya tidak terekam. Wirya membuka mikrofon.

“Terima kasih sudah berjalan sejauh ini,” katanya, “Kepada kalian yang memilih diri, yang berani menolak, yang belajar mengikhlaskan. Kita bukan korban abadi. Kita hanya murid dari kejadian-kejadian yang tak ramah.”

Ia menyelipkan satu puisi pendek, untuk dirinya sendiri:

“Jika mereka merapat untuk mengukur di mana menusuk,
rapatkan tanganmu di dada, lindungi jantungmu.
Tak semua undangan harus dihadiri,
tak semua pelukan harus dibalas.”

Rekaman berhenti. Lampu kecil di mikrofon padam. Di luar, hujan akhirnya turun—jenis hujan yang tidak meledak, melainkan merapal pelan. Wirya menutup mata. Di kelopak, ada sisa-sisa gambar: ruang rapat, jendela kaca, neonsign biru, pelukan yang dingin. Gambar-gambar itu perlahan mundur, digantikan punggungnya sendiri yang berdiri lebih tegak dari kemarin.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia benar-benar percaya: hidup tidak meminta kita menyenangkan semua orang. Hidup hanya meminta kita setia pada yang membuat dada lega.

.

“Terlalu percaya itu bukan kelemahan.
Tapi tidak belajar dari luka yang sama—itulah kebodohan.” — Wirya

“Kita boleh rindu masa lalu,
tapi jangan tinggal di rumah yang menolak keberadaanmu.”

“Jarak yang benar membuat pelukan lebih jujur.”

.

.

.

Jember, 17 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PelukanYangTakRamah #JagaJarakJagaHati #UrbanIndonesia #KelasMenengah #BatasSehat #SelfRespect #CerpenKompasMingguVibes #NamakuBrandkuStyle

Leave a Reply