Hidup Adalah Langkah

“Kadang langkah paling berarti bukan yang paling cepat,
tetapi yang paling tulus—meski tertatih.”

.

Di atas balkon sebuah apartemen tinggi di Surabaya barat, lampu kota memercik seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam membawa aroma kopi dari kafe di bawah, bercampur wangi hujan yang baru selesai. Jayengpati berdiri di sana, kedua tangannya memegang pagar stainless yang dingin. Layar ponselnya menyala: email penolakan magang di sebuah “venture studio” yang namanya sering muncul di headline. Notifikasi lain berderet: pesan dari dosen pembimbing—judul skripsinya “terlalu umum dan dangkal”—dan di paling atas, kabar pertunangan dari seseorang yang dulu menautkan janji lewat stiker chat dan foto-foto bercita rasa estetika.

Jayeng mematung. Dalam kepalanya bergaung suara kota: denting cutlery dari restoran fine dining di seberang, klakson jauh yang melengking, dan tawa sekelompok eksekutif muda yang menandai akhir pekan dengan minuman berlabel import. Ia bagian dari kelas menengah ke atas kota: kuliah di fakultas favorit, hidup di apartemen yang cicilannya dibayarkan orang tua, mengenakan sneakers edisi kolaborasi, dan sesekali “work from café” di meja yang dekat colokan. Namun malam itu, ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di mal raksasa—ramai, terang, tetapi hampa arah.

Di antara notifikasi yang menderas, muncul satu nama yang selalu membuatnya pulang, setidaknya di dalam hati: Wirasaba—kontak yang disimpan dengan ikon sandal jepit. Satu pesan: “Nang, kalau capek, istirahat. Kalau sesak, pulang. Mbah di kaki Tengger tetap di sini.”

.

Pulang—Kota Menyusut, Gunung Mendekat

Keesokan paginya, Jayeng memesan tiket travel. Surabaya memunggunginya pelan-pelan: gedung kaca, gerbang tol, baliho yang menjanjikan keajaiban dalam tiga kali cicilan. Jalan menanjak, udara menipis, dan deretan ladang tembakau yang menguning membuka diri seperti halaman buku yang lama tidak dibaca. Di kaki pegunungan Tengger, rumah Mbah Wira berdiri sederhana: dinding kayu yang diulang cat putihnya setiap lebaran, jendela kecil yang menghadap ke ladang, dan serambi yang akrab dengan gelas teh.

Mbah Wira menyambut tanpa banyak tanya. “Mandi dulu, lalu duduk. Hujan sore ini enak ditonton.”

Mereka duduk di serambi. Hujan turun tenang. Di kejauhan, kabut menggulung seperti selimut yang ditarik pelan. “Nang, boleh Mbah cerita?” tanya Mbah Wira ketika uap teh melati membentuk semacam doa.

Jayeng mengangguk.

“Waktu seumuran kamu, Mbah pernah mengejar yang cepat. Mbah pernah ingin terbang, bukan sekadar melangkah. Mbah jatuh cinta pada putri pedagang batik nomaden, namanya Candrakirana. Orangnya halus, matanya padang. Tapi Mbah cuma tukang sol sepatu keliling. Cinta Mbah… ditertawakan. Mbah marah pada dunia; Mbah kira yang Mbah butuh cuma kecepatan dan kemenangan.” Mbah tertawa kecil. “Nyatanya, yang Mbah butuh adalah waktu untuk menatap sepatu-sepatu orang lain—memahami keausannya, cerita mudanya, kenapa telapaknya tipis di satu sisi.”

Jayeng diam, merasakan kalimat itu menetes seperti hujan ke tanah gersang di dadanya.

“Pelajaran pertama,” lanjut Mbah, “kenali ausmu sendiri. Orang kota pandai berlari, tapi sering tidak tahu telapak langkahnya sebelah mana yang tipis.”

.

Kota Kembali—Dari Kaca ke Kulit

Dua hari di desa cukup untuk menurunkan nada suara Jayeng beberapa oktaf. Ia kembali ke Surabaya membawa tas ransel dan sepasang sepatu kulit tua milik Mbah, suvenir yang mengandung napas panjang. Di apartemen, ia menatap sepatunya sendiri—putih, tebal, mahal—lalu menatap sepatu Mbah yang retak-retak tetapi terawat. Ia memegang keduanya, menimbang-nimbang. Di momen itu, sesuatu di dalamnya menggeser arah.

Ia menghapus draft skripsi tentang “tren startup di Asia Tenggara” yang digubrisnya karena terlihat keren di linimasa LinkedIn. Ia menulis ulang: “Etika Perdagangan dan Ketahanan Relasi di Pasar Tradisional: Studi Etnografi Tukang Sol di Pasar Pinggir Kota.” Ia membaca lagi catatan lama Mbah: “Jangan langsung lem sepatu; bersihkan dulu benangnya.” Ia menyusun kerangka: observasi, wawancara, peta relasi antar pelapak, sirkulasi uang receh, dan cara negosiasi yang memuliakan wajah.

Di sela penyusunan, ia masih hidup di kota menengah ke atas: rapat kelompok di co-working space yang menyetel playlist lo-fi; brunch di kafe yang memotret latte art; lift apartemen yang berkaca di delapan sisi seperti cermin-cermin di toko jas. Namun kini ia memperhatikan hal-hal kecil: security yang menyapa dengan namanya, ibu-ibu yang berbagi kupon promo, pengemudi ojek yang menyeletuk “Mas, hati-hati ya, lantai lobby licin.” Ia mencatat. Ia menyusun mosaik empati yang selama ini kalah oleh kilau cepat.

.

Menak di Kota—Nama-Nama, Makna-Makna

Satu demi satu, tokoh-tokoh muncul seperti lakon lama yang berpindah panggung ke zaman ini.

Jayengrana, teman kuliah yang jago pitch deck, anak pemilik pabrik cat di Gresik, muncul di chat: “Bro, join cohort founder? Mentor-nya mantan unicorn.”
Menakjingga, julukan bagi atasan tempat Jayeng sempat magang, terkenal tegas, necis, tetapi muram—menyukai target yang naik seperti eskalator yang tak pernah berhenti.
Raden Panji—panggilan akrab untuk Panji Swandana, dosen pembimbing kedua yang bersahaja, suka datang pakai sepeda ke kampus, senyumnya tipis tapi mantap.
Candrakirana, kini manajer pemasaran sebuah brand kosmetik lokal yang sedang melesat, mengunggah foto pertunangan yang manis tapi menyayat, bukan karena cincinnya, melainkan karena tatapan yang dulu pernah ditujukan ke Jayeng.

Di kota, semua berjalan cepat dan indah, sementara di pasar, waktu melambat agar orang sempat saling menatap. Jayeng berada di dua tepi: pagi mengamati tukang sol, petang menulis di café; siang belajar menambal, malam menyusun bibliografi. Dunia-dunia itu bertubrukan halus, seperti ombak kecil yang menyentuh batu.

.

Lima Langkah Mbah—Versi Kota

Di balai warga dekat pasar, Jayeng bertemu Wiraraja, ketua paguyuban pelapak. Pria paruh baya dengan tangan berotot dan mata tajam. “Anak kota?” tanyanya datar.

“Anak gunung yang nyasar di kota,” jawab Jayeng.

Wiraraja tertawa. Mereka duduk bersisian. Jayeng membuka catatannya, memetakan “Lima Langkah”—metode yang semakin jelas baginya, hasil sulaman ucapan Mbah yang dibawa ke kota:

  1. Kenali Aus: cari sumber bocor sebelum menambal. Dalam hidup urban: audit pengeluaran emosi—di mana borosnya, pada siapa habisnya.

  2. Bersihkan Benang: sebelum mengikat, rapikan sisa-sisa lama. Di kota: selesaikan dendam kecil dan chat yang tidak di-reply agar tidak menjadi pasir dalam mesin.

  3. Jahit dari Dalam: yang paling kuat adalah jahitan yang tidak pamer. Di kehidupan kelas menengah: perbaiki kebiasaan privat (tidur, makan, waktu layar) sebelum posting resolusi.

  4. Lem Secukupnya: kepiawaian ada pada takaran. Di karier: ambil kesempatan yang proporsional—tidak semua konferensi perlu dihadiri, tidak semua zoom butuh kamera on.

  5. Poles untuk Orang Lain: sepatu dikembalikan bukan agar tukang sol dipuji, tetapi agar pemiliknya melangkah percaya. Dalam pekerjaan: hasilkan manfaat yang memudahkan urusan orang—driver, OB, barista, security, kolega, vendor.

Wiraraja mengangguk. “Tulis besar-besar itu. Biar anak-anak sini baca.”

.

Presentasi Kelas Menengah—Gelas Air di Ruang Dingin

Undangan datang dari kampus: seminar mahasiswa akhir. Ruangan ber-AC dingin, layar lebar, slide berdesain rapi. Jayengrana mempresentasikan “Go-To-Market for AI SaaS in Emerging Cities”—mulus, cepat, penuh istilah. Tepuk tangan gemuruh. Dosen senior mengangguk-angguk dengan kagum.

Giliran Jayeng. Ia berdiri, menatap teman-temannya yang rambutnya tertata, kemeja disetrika, brand di pergelangan berkilau. “Saya tidak bawa istilah baru. Saya bawa cara lama yang mungkin kita lupa.” Slide pertama adalah foto tangan Mbah Wira—keriput, kukunya hitam. “Ini tangan yang membiayai banyak anak sekolah dari uang menambal sepatu. Di pasar, saya belajar: langkah kecil yang tidak terlihat kamera sedalam itu pengaruhnya.”

Ia menjelaskan lima langkah. Ia memutar video 45 detik: seorang tukang sol mencuci telapak sepatu pelanggan sambil berkata, “Biar rezekimu bersih dari bawah, Le.” Ruang yang tadi dingin mendadak hangat oleh diam yang kompak. Pada akhir presentasi, Jayeng mengangkat sepatu Mbah—ia letakkan di meja, di samping laptop. “Teori saya sederhana: hidup bukan soal siapa yang duluan melesat, tapi siapa yang tahu di mana harus memperlambat.”

Setelah sesi, Panji—dosen pembimbing yang bersepeda—mendekat. “Kamu belum selesai, tapi kamu sudah pulang.” Kalimat yang terasa seperti selimut tepat di bahu yang kedinginan.

.

Candrakirana—Pertemuan yang Tidak Mengalahkan

Di sebuah pameran UMKM urban chic, lorong-lorongnya wangi essential oil dan suara DJ berputar pelan, Jayeng berpapasan dengan Candrakirana. Gaunnya sederhana; make-up-nya berkelas. Mereka berhenti, menatap, dan menyusun kalimat yang aman.

“Kabar baik?” tanya Candra.

“Sedang belajar melambat,” jawab Jayeng.

Candra tersenyum, kali ini tidak menusuk. “Aku ikut bahagia. Dulu, kamu selalu ingin sampai.”

“Aku belajar bahwa sampai itu bukan garis, melainkan frekuensi. Kita bisa sampai di diri sendiri tanpa harus berada di tempat yang sama.” Ia ragu sejenak. “Selamat untuk pertunanganmu.”

“Terima kasih,” katanya, tidak berlebihan. “Kamu dulu marah, ya?”

“Aku dulu cepat,” Jayeng membetulkan. “Cepat salah paham, cepat menuntut. Sekarang aku latihan pelan.” Mereka tertawa, bukan untuk menutupi, melainkan untuk menyirami.

Sebelum berpisah, Candra melihat sepatu di tangan Jayeng. “Itu?”

“Sepatu Mbah.”

“Kamu membawanya kemana-mana?”

“Biar aku ingat, langkah itu lebih panjang daripada jarak.”

“Indah,” kata Candra. “Semoga kamu menemukan yang berjalan seirama.”

“Semoga kamu berjalan bahagia.”

Pertemuan itu tidak menaklukkan siapa pun, tetapi mengembalikan keduanya pada tempat yang lebih lapang.

.

Menakjingga—Tawar-Menawar yang Jujur

Suatu siang, Jayeng dipanggil kembali oleh Menakjingga, mantan atasan magang yang dulu menolak proposalnya tanpa menatap mata. “Saya lihat presentasimu viral di internal kampus. Kamu minat riset berbayar? Kami butuh studi soal perilaku pelanggan kelas menengah.”

Ruangannya dingin, jendela besar menghadap kota. Di meja, jam tangan mahal tergeletak seperti monumen kecil. Jayeng duduk, mengingat langkah keempat: lem secukupnya. Ia mendengarkan. Menakjingga menawarkan angka. Ia menyebutkan syarat: risetnya harus memasukkan pelapak pasar, bukan hanya responden dari klub golf dan jaringan private dining. Menakjingga menaikkan alis. “Kenapa pasar?”

“Karena pelanggan kelas menengah ke atas belajar banyak dari pasar: menawar dengan sopan, menghargai waktu, dan—yang paling penting—mengenali batas kebutuhan.”

Senja merayap di kaca. Menakjingga menatap kota seperti menatap cermin, lalu mengangguk kecil. “Baik. Kamu yang atur timnya. Ajari saya menawar dengan sopan.”

Dua minggu kemudian, mereka berdiri di depan kios tukang sol. Wiraraja menyambut Menakjingga tanpa kagum berlebihan. “Kursi ini, Pak, tempat semua telapak sama rendahnya.”

Menakjingga tertawa pendek, lalu duduk. Ia melepas sepatu kulitnya yang tampak tak pernah kotor—tetapi tetap punya aus. “Berapa lama perbaikannya?”

“Dalam hidup, yang cepat sering cuma janji,” jawab Wiraraja santai. “Yang baik, kadang perlu menunggu.” Menakjingga mengangguk, seperti menemukan kamus baru yang lama hilang.

.

Foto di Dinding—Langkah yang Mengisi

Waktu berjalan dengan musik yang tidak kita pilih. Skripsi Jayeng disetujui; ia lulus dengan presentasi yang tidak heroik, tetapi jernih. Ia bekerja di sebuah NGO yang menghubungkan UMKM tradisional dengan kanal-kanal digital, bukan untuk menjadikan mereka “viral” melainkan untuk menjadikan mereka tahan lama. Ia menulis modul “Lima Langkah” menjadi pelatihan singkat: 90 menit, lima ilustrasi, satu sesi praktik menambal sepatu bekas yang disumbangkan peserta.

Di rumah Mbah, sebuah foto dibingkai dan digantung: Jayeng berlutut memakaikan sepatu Mbah—sepatu yang kini lebih banyak diam di rak, karena kaki yang memakainya semakin sering duduk. Setiap pulang, Jayeng melihat foto itu, menyiapkan teh, dan bercerita tentang kota.

“Orang kota suka mengukur diri dengan tinggi gedung,” kata Mbah suatu sore. “Cobalah ukur dengan dalamnya menahan.”

“Menahan apa, Mbah?”

“Menahan diri untuk tidak cepat-cepat menilai. Menahan mulut untuk tidak cepat-cepat menyindir. Menahan tangan untuk tidak cepat-cepat menunjuk.”

“Berat…”

“Makanya disebut menahan,” jawab Mbah, tersenyum.

.

Senja di Kursi Kayu—Langkah Terakhir, Jejak Terpanjang

Pada sebuah sore yang sesederhana doa, Jayeng tiba tergesa. Ia membawa oleh-oleh: roti manis dari bakery baru yang tidak terlalu manis, karena Mbah diminta mengurangi gula. Ia masuk, memanggil. Tidak ada sahutan, hanya detak jam dinding. Di serambi, Mbah Wira duduk di kursi kayu favoritnya. Senyumnya seperti garis kecil yang berdoa. Segelas teh belum disentuh, uapnya menipis.

Jayeng duduk di samping. Ia memegang tangan Mbah—hangat yang tinggal sisa. Ia tidak menangis di depan rumah: tetangga sedang memanen tawa, anak-anak berlarian. Ia menatap ladang: hijau yang lama-lama menjadi jingga. Dalam diam, ia mengucapkan kalimat yang selama ini mengawalinya: terima kasih karena telah mengajari cara berjalan.

Malamnya, ia membersihkan benang-benang jahit di meja Mbah. Ia menyusun jarum-jarum. Ia merapikan sandal-sandal yang menunggu pemiliknya. Di atas meja, ia menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan Mbah, huruf-huruf yang sedikit goyah:

Langkah paling tulus selalu ditemukan setelah kita berani berhenti sejenak.
Kalau berat, turunkan yang tidak perlu.
Kalau ringan, bagilah.”

Esoknya, desa mengantar Mbah. Tidak ada sirine, tidak ada spanduk belasungkawa yang berlebihan. Hanya suara ayat-ayat, tanah yang memeluk, dan angin yang membawa bau tembakau dan teh. Jayeng memeluk kursi kayu setelah semuanya selesai, seperti memeluk peta yang mendadak kehilangan legenda.

.

Kota yang Mendengar—Pelan, Tetapi Pasti

Surabaya kembali menyala. Jayeng berjalan lebih pelan dari biasanya. Ia menolak dua undangan panel talk yang menginginkan “tips karier tiga slide”—ia memilih mengajar kelas kecil di rumah susun, menjahitkan tas sekolah dari sisa banner iklan. Ia menulis di blog: bukan untuk viral, tetapi untuk menyalakan lampu di teras orang-orang yang letih.

Suatu hari, ia menerima pesan dari Menakjingga: foto sepasang sepatu yang dulu diperbaiki Wiraraja. “Masih saya pakai. Nyaman. Terima kasih sudah mengenalkan saya ke pasar,” tulisnya. Pesan lain datang dari Candra: foto sepasang flat shoes tanpa hak. “Aku memilih sepatu yang bisa dipakai berjalan jauh,” katanya. Lalu dari Jayengrana: “Bro, gue resign. Mau bikin usaha kecil bareng ayah di pabrik cat, pakai prinsip tertib yang lo ceritain. Doain.”

Pada sebuah Jumat sore, Jayeng berdiri lagi di balkon apartemen. Kota tetap berkilau. Hujan turun, menabuh atap kafe, menyapu kaca mobil, menenangkan dedaunan yang jarang dipandang. Ia menatap sepasang sepatu Mbah di rak kecil dekat pintu. Ia tidak lagi membawanya kemana-mana. Ia tahu, sepatu itu telah berpindah ke tempat yang lebih tidak terlihat: di cara ia mengucapkan terima kasih pada barista; di kesediaannya berdiri di antrean panjang tanpa mengeluh; di waktu ia menunda membalas pesan yang memancing amarah; di kakinya yang berhenti tepat di garis ketika lampu merah menyala.

Malam itu, ia mengetik pesan di grup kecil—grup yang tidak berisik, tidak memamerkan. “Terima kasih sudah jadi rumah singgah. Sampai jumpa di tikungan yang ditunjukkan waktu.” Ia menutup layar, memejam. Di kepalanya, kalimat pembuka kembali, bukan lagi sebagai peringatan, melainkan sebagai kunci yang membuka pintu ke halaman belakang tempat angin berlari bebas.

“Orang yang melangkah dengan sabar akan sampai pada tempat yang tak pernah bisa dijangkau oleh mereka yang terburu-buru.”

.

.

.

Jember, 16 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HidupAdalahLangkah #RefleksiKota #KearifanLokal #UMKM #LangkahPerlahan #Mentorship #UrbanStory #Surabaya #BelajarMelambat #MenakMadura

.

Catatan Reflektif (Edukasi & Solusi Praktis)

  • Audit Aus Pribadi: Tulis tiga kebiasaan harian yang membuatmu “bocor” (doomscrolling, kalimat defensif, janji berlebihan). Ganti satu minggu ini dengan kebiasaan yang menambal.

  • Ritual Menahan: Sediakan jeda tiga detik sebelum membalas pesan yang memicu emosi. Di jeda itu, tanyakan: “Apa manfaat langkahku bagi orang lain?”

  • Jahit dari Dalam: Pilih satu aspek privat untuk diperbaiki dulu (tidur, makan, bacaan). Konsistensi privat melahirkan kredibilitas publik.

  • Lem Secukupnya: Batasi rapat menjadi maksimal tiga per hari. Sisakan waktu “diam produktif” untuk berpikir.

  • Poles untuk Orang Lain: Cari satu orang di lingkungan kerjamu yang bisa kamu mudahkan urusannya minggu ini—tanpa minta disebut.

Karena pada akhirnya, kota akan selalu cepat. Kita tidak selalu bisa memperlambat kota, tetapi kita bisa memperdalam langkah—sehingga setiap jejak menjadi penerang.

Leave a Reply